Contoh Kerangka Naskah Akademik Peraturan Daerah



 KERANGKA NASKAH AKADEMIK

Peraturan Daerah Tentang Pengendalian Lingkungan dari Limbah

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Indonesia adalah Negara Agraris terbesar dikawasan Asia Tenggara, sebagai penopang kebutuhan akan bahan-bahan makanan pokok yang menjadi jujukan beberapa Negara dalam pengadaan pangan Nasional. Sebagai Negara lumbung Pangan Regional seharusnya Indonesia mampu mewujudkan kehidupan yang makmur bagi rakyatnya. Namun dalam senyatanya, kita belum mampu mengggapai harapan itu, bahkan kita masih sangan bergantung akan Negara lain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Pemerintah telah menetapkan Jawa Timur sebagai pusat Lumbung pangan Nasional pamasok bahan-bahan kebutuhan pangan.
Ponorogo sebagai salah satu peserta penyuplai stok pangan pertahaun rata-rata mampu menyumbang 17,65% hasil tanaman pangan untuk daerah Jawa Timur. Akan tetapi khir-akhir ini Ponorogo hanya mampu menyumbang 14,20% saja dari kebutuhan bahan pangan yang sebelumnya mencapai 17% atau turun sekitar 3,45%. Hal ini karena Ponorogo dihadapkan pada permasalahan yang pelik terkait ketersediaan SDA yang berupa air guna menjalankan kegiatan/usaha dan irigasi terutama untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Usaha untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian alam serta mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk mencapai kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaaan sumber daya alam yang selaras, serasi, dan seimbang sangat diperlukan dan disesuaikan dengan fungsi lingkungan hidup. Kegiatan pembangunan, pertambangan, dan perindustrian yang makin meningkat mengandung resiko pencemaran air dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan tidak dapat mendukung pembangunan berkelanjutan menuju Ponorogo yang Mukti Wibowo. Hal ini juga berpengaruh terhadap keberadaan sumber daya air, dengan semakin menurunnya mutu/kualitas dan kuantitas air, sebagai akibat terjadinya pencemaran air dari usaha atau kegiatan pembangunan yang membuang limbah cairnya ke dalam sumber-sumber air. Pencemaran lingkungan hidup dan atau pencemaran air akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan Pemerintah harus menanggung beban pemulihannya.
Keadaan yang demikian mendesak diperlakukannya upaya pengendalian pencemaran air, sehingga resiko yang diterima dapat ditekan seminimal mungkin. Upaya pengendalian pencemaran air tidak dapat dilepaskan dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan peraturan perundang-undangan yang terkait. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum yang berupa izin pembuangan limbah cair, dengan mencantumkan secara tegas kewajiban harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan, sebagai perwujudan partisipasi/serta serta masyarakat bahkan mampu berperan serta secara nyata dalam pengendalian pencemaran sesuai dengan tanggung jawabnya.

2.      Sistematika Naskah Akademik
Agar memudahkan pemahaman berkenaan dengan Rancangan Perda yang akan diajukan, maka akan dibagi dalam bab-bab tersendiri. Selain itu untuk memberikan batasan agar pembahasan tidak melenceng dari yang tercantum dalam Rancangan Perda ini. Adapun susunan bab tersebut adalah sebagai berikut:
Pada bab I akan dipaparkan latar belakang/alasan pengajuan Rancangan Perda tentang pengendalian dampak pencemaran air dan sistematika pembuatan naskah akademik terkait dengan Draft perda yang dimaksud.
Bab II akan memuat tantang arah dan tujuan dibuatnya Rancangan Perda serta gagasan yang mungkin bisa direlisasikan dalam bentuk riil. Demi mewujudkan cita-cita Bangsa dan Negara yang Gemah Ripah loh Jinawi, Ayem Tentrem Karto Rahardjo”, dan terutama kabupaten Ponorogo yang “Mukti Wibowo”.
Bab III akan dijelaskan tentang dasar-dasar/landasan Teologis, Ideologis, Yuridis, Filosofis, dan sosiologis yang melatarbelakangi lahirnya Rancangan Perda ini. Diharapkan dengan adanya landasan-landasan tersebut bisa meng-cover semua aspek yang perlu dipertimbangkan dan tidak bertabrakan dengan hirarchi tata peraturan yang ada. Selain itu juga mampu menutup celah-celah yang dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggungjawab untuk menghasilkan keuntungan pribadi sementara kepentingan hajat hidup masyarakat terbengkalai dan terabaikan.
Bab IV akan merinci tentang analisis masalah yang ada di lapangan, factor-faktor yang manghalangi terlaksananya, serta kemungkinan solusi yang bisa diberikan yang menginspirsi lahirnya Rancangan peraturan daerah ini.
Bab V akan menggambarkan materi Rancangan Peraturan Daerah tentang penanggulangan dampak pencemaran air dan beberapa hal lain terkait pelaksanaannya. Berkaitan dengan ketentuan umum, maksud dan tujuan, hak, kewajiban, serta peran serta masyarakat, wewenang, perlindungan, perizinan, pengawasan, sanksi administrasi, ketentuan pidana, pembiayaan, ketentuan penyidikan, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Bab VI berisi uraian penutup dari kaseluruhan rangkaian kerangka dalam naskah akademik peraturan daerah tentang pengendalian dampak pencemaran air.








BAB II
ARAH DAN TUJUAN
1.      Mencapai masyarakat yang “adil makmur, Gemah Ripah loh Jinawi, Ayem Tentrem Karto Rahardjo”
Secara De facto Indonesia terletak di antara 6º LU – 11º LS dan 95º BT - 141º BT, antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, antara benua Asia dan benua Australia, dan pada pertemuan dua rangkaian pergunungan, yaitu Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterrania. Dilihat dari lintangnya, Indonesia terletak di antara 6º LU (Lintang Utara) dan 11º LS (Lintang Selatan). Letak lintang yang sedemikian itu merupakan petunjuk bahwa:
·            Sempadan bahagian utara wilayah Indonesia ialah 6º LU dan paling selatan ialah 11º LS. (Tempat paling utara ialah Pulau We dan tempat yang paling selatan ialah Pulau Roti).
·            Jarak lintangnya ialah 17º.
·            Sebahagian besar wilayah Indonesia terletak di belahan bumi selatan.
·            Wilayah Indonesia dilalui oleh garis khatulistiwa.
Dilihat dari letak garis bujurnya, wilayah Indonesia terletak diantara 95º BT dan 141º BT. Ini bererti:
·            Batas paling barat wilayah Indonesia ialah 95º BT dan paling timur ialah 141º BT.
·            Jarak bujurnya ialah 46º (sekitar 5000 km, atau hampir 1/8 keliling bumi). Perbedaan garis bujur sedemikian itu menyebabkan adanya perbedaan waktu.
·            Semua wilayah Indonesia terletak dibelahan bumi timur (dihitung dari meridian 0º).
Letak astronomi yang demikian itu menunjukkan bahwa Indonesia terletak di daerah iklim tropika. Daerah iklim tropika terdapat di antara 23.5º LU atau Garisan Sartan, dan 23.5º LS atau Garisan Jadi. Hal ini mengakibatkan suhu di Indonesia cukup tinggi (antara 26º C - 28º C), curah hujan cukup banyak (antara 700mm – 7000mm per tahun), terdapat hujan zenital (hujan naik khatulistiwa), proses pelapukan batu-batuan cukup cepat serta terdapat berbagai jenis spesies haiwan dan tumbuhan.
Letak astronomi mengakibatkan terjadinya perbedaan waktu sekitar 3 jam (yang lebih tepatnya 46 x 4 minit = 184 minit) antara bagian paling timur dengan bagian paling barat Indonesia.
Sejak tanggal 1 Januari 1988 di Indonesia diberlakukan pembahagian daerah waktu yang baru, menggantikan pembahagian waktu lama yang berlaku sejak 1 Januari 1964. Dengan berlakunya pembahagian daerah waktu baru ini, terjadi pergeseran waktu di beberapa tempat.
·            Daerah Waktu Indonesia Barat (WIB). Waktu Indonesia Bahagian Barat berdasarkan meridian pangkal 105º BT, meliputi keseluruhan Provinsi di pulau Sumatera, seluruh Provinsi di pulau Jawa, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kalimantan Tengah (mempunyai selisih waktu 7 jam lebih awal daripada waktu Greenwich).
·            Daerah Waktu Indonesia Tengah (WITA). Berdasarkan meridian pangkal 120º BT, meliputi Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan seluruh Provinsi di Sulawesi (mempunyai selisih waktu 8 jam lebih awal daripada Greenwich).
·            Daerah Waktu Indonesia Timur (WIT). Waktu Indonesia Bahagian Timur berdasarkan meridian pangkal 135º BT, meliputi seluruh provinsi di Irian Jaya (Papua), Maluku, dan Maluku Utara (mempunyai selisih waktu 9 jam lebih awal daripada waktu Greenwich).
Dari paparan yang ada, seharusnya Indonesia mampu mensejahterakan kehidupan rakyatnya dengan segala fasilitas yang telah ada. Negeri yang subur, Sumber Daya Alam yang melimpah, dan cuaca yang medukung, menyebabkan banyak Negara irihati akan kekayaan alam tersebut. Bahkan bangsa belanda yang pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun, mengatakan “Batang Bambu Bila Ditanam Juga Akan Menghasilkan/Hidup” karena melihat kesuburan tanah Indonesia.
Akan tetapi setelah merdeka dari penjajahan selama 66 tahun, pemerintah belum juga mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Bahkan dari tahun ketahun tingkat kesejahteraan yang diharapkan bukan semakin meningkat, akan tetapi malah semakin menurun. Hal itu disebabkan oleh banyak factor, selain SDM yang masih sangat tidak memadahi, juga ulah oknum-oknum yang menguasai sarana-sarana SDA dan mengeksploitasinya untuk kepentingan individu. Padahal seharusnya SDA yang ada bisa digunakan secara merata oleh seluruh lapisan masyrakat Indonesia.
Wilayah Indonesia yang 2/3nya adalah wilayah perairan/laut memiliki kekeyaan alam yang sangat fantastis, namun lagi-lagi terkendala kualitas SDM yang sangat tidak potensial. Seiring dengan berjalannya waktu, kualitas SDM menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Akan tetapi hal itu sudah agak terlambat bila dibandingkan dengan Negara-negara lain dikawasan yang sama.
Adanya monopoli dan perbuatan tidak bertanggungjawab pihak-pihak tertentu ikut menjadi masalah dalam upaya peningkatan taraf hidup rakyat. Alam yang seharusnya berfungsi bagi seluruh individu tidak lagi dapat digunakan sebagaimana mestinya. Pencemaran terhadap lingkungan yang semakin tidak terkendali memaksa dibuatnya tata aturan yang dapat melindungi alam dan lingkungan agar tetap bisa seimbang.
Sehingga pemerataan hak dapat berjalan maksimal, dan keseimbangan alam tetap terjaga, dan pada akhirnya kehidupan akan berjalan seimbang. Maka tidak lagi sulit menggapai cita-cita bangsa yang didambakan ole setiap orang sesuai dengan landasan Negara/Pancasila, rakyat yang adil sentausa, makmur dan sejahtera.

2.      Menuju masyarakat Ponorogo yang “Mukti Wibowo”
Kabupaten Ponorogo adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini terletak pada koordinat 111° 17’ - 111° 52’ Bujur Timur dan 7° 49’ - 8° 20’ Lintang Selatan dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter diatas permukaan laut dan memiliki luas wilayah 1.371,78 km². Kabupaten ini terletak di sebelah barat dari provinsi Jawa Timur dan berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Tengah atau lebih tepatnya 200 km arah barat daya dari ibu kota provinsi Jawa Timur (Surabaya). Menurut publikasi BPS jumlah penduduk kabupaten Ponorogo pada Sensus penduduk tahun 2010 adalah 855.281. Terdapat beberapa obyek wisata di Kabupaten Ponorogo, di antaranya obyek wisata budaya, obyek wisata industri, obyek wisata alam dan obyek wisata religius. Sentra industri yang terdapat di Kabupaten Ponorogo, di antaranya Sentra Industri Seng di desa Paju kecamatan Ponorogo, Sentra Industri Jenang di desa Josari kecamatan Jetis dan Sentra Industri Kulit di desa Nambangrejo kecamatan Sukorejo.
Ponorogo sebagai daerah yang sebagian besarnya terdiri dari daratan (tinggi dan rendah), secara ekonomis sangat berpotensi untuk kegiatan ekonomi rakyat yang meliputi pertanian, perkebunan, perikanan, perhutanan dan lain-lain. Potensi alam yang ada selama ini belum bisa dikelola secara maksimal, karena adanya beberapa kendala sosial. Kawasan daerah yang subur sangat berperan penting dalam upaya percepatan pembangunan dan peningkatan taraf hidup masyrakat.
Tata kehidupan masyarakat yang makin maju mengikuti arus perkembangan zaman, juga mempengaruhi pola pikir masyarakat tentang segala hal. Perkembangan pola pikir itu dipengaruhi oleh beberapa faktor; tingkat kehidupan, pendidikan, pengalaman, dan perilaku sosial yang cenderung meniru apa yang dilihat dan diketahuinya. Akses informasi yang tiada batas, berperan sangat vital dalam proses pengetahuan masyrakat. Kemajuan teknologi dimanfaatkan dalam berbagai hal yang menunjang peningkatan taraf hidup dalam upaya eksplorasi kekayaan alam yang ada. Namun kadang solusi instan yang sangat kental dengan masyarakat Indonesia khususnya jawa, menyebabkan pola pikir yang salah dalam pemanfaatan teknologi dan SDA yang ada.
Dengan harapan mengeruk keuntungan yang berlipat dalam tempo yang singkat, tanpa harus bersusah-susah kerja menjadi dambaan setiap orang. Dengan segala cara berusaha mewujudkan hal itu, tidak perduli dampaknya terhadap keberadaan orang-orang yang ada disekitarnya. Yang penting bisa makmur secara pribadi, urusan orang lain adalah urussan yang kesekian kalinya setelah pribadi dan keluarga.
Dengan adanya pola pikir yang seperti itu, maka benturan antara hak dan kewajiban-pun tidak dapat terelakkan lagi. Banyak sekali sengketa-sengketa yang terjadi akibat perbuatan selalu menuntut hak, tanpa mau melaksanakan kewajiban. Pemerintah Kabupaten Ponorogo demi mewujudkan cita-cita dan harapan bersama, berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir atau bahkan meniadakan sifat egoisme individu yang selalu merugikan orang lain tersebut. Dengan segala cara, alam yang peruntukannya untuk rakyat harus dikembalikan fungsinya sebagaimana semula.
Melalui beberapa program yang telah ada, disertai harapan kedepan tidak ada lagi sumber daya alam yang dikuasai oleh individu. Agar kehidupan rakyat bisa lebih makmur, bersahaja, dan merata pada seluruh lapisan masyarakat tanpa ada diskriminasi dan pembedaan/penumpukan kekayaan pada segelintir orang saja yang menguasai faktor ekonomi. Percepatan pembangunan dan pemerataan hasilnya diharapkan bisa dinikmati tidak hanya oleh masyarakat kota saja, namun juga oleh masyarakat desa bahkan pelosok pedalaman yang berbatasan dengan wilayah lain. Kedepan diharapkan tidak adalagi kasus yang sempat mencoreng nama Kabupaten Ponorogo terkait “kampung idiot/kampung gila” yang rata-rata penduduknya berada dibawah garis kemiskinan dan tidak pernah tersentuh oleh program-program pemerintah baik pusat maupun daerah.
Untuk memeratakan hasil kekeyaan alam dan pemerataan hak yang sama bagi setiap masyarakat, mak perlu ada aturan tegas yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang ada. Dengan harapan taraf kehidupan akan semakin baik dan impian menjadikan kota Ponorogo “Mukti Wibowo” bisa terwujud dan setiap orag mendapatkan hak yang sama.




























BAB III
DASAR PEMBUATAN
1.      Dasar Yuridis
Sebagai Negara yang berstatus Negara hokum, Indonesia mengatur segala aspek kehidupan rakyatnya yang memungkinkan timbulnya permasalahan dan gesekan-gesekan kepentingan antara satu dengan yang lainnya. Agar tercipta rasa aman, nyaman, dan tentram. Akan tetapi perjalanan kehidupan yang selalu berubah dan berkembang dari waktu ke waktu, menuntut adanya pembaharuan dan reformasi atas hokum-hukum yang telah ada. Agar dalam penegakan hokum bisa berjalan sesuai dengan harapan dan dapat mengimbangi perkembangan zaman/teknologi yang semakin tidak terkontrol.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan belum mampu meng-cover dampak-dampak yang ditimbulkan oleh pihak-pihak pengusaha. Karena pada peraturan tersebut hanya disebutkan mengenai dampak secara umum terhadap kelestarian lingkungan, sehingga belum ada paying hokum yang secara jelas untuk menindak pihak-pihak yang yidak mampu mengolah sisa hasil kegiatan produksi/limbah dan membuangnya ke sungai-sungai sebagai sumber air bagi kehidupan.
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 15 Tahun 1987 tentang Perijinan Penggunaan Air di Jawa Timur junctis Nomor 10 Tahun 1991 dan Nomor 11 Tahun 1985 dan Nomor 11 Tahun 1998 yang diharapkan mampu memberikan solusi dari pembuangan limbah ke sungai-sungai juga belum secara maksimal deilaksanakan karena terbentur pada keadaan yang tidak sama dengan daerah provinsi tempat dibuatnya aturan tersebut.

2.      Dasar Filosofis
Perkembangan zaman yang sangat pesat menuntut adanya pembaharuan-pembaharuan dalam segala hal, terutama dalam hal penegakan hukum. Munculnya modus-modus operandi baru dalam hal tindak kriminal sudah jauh berbeda dengan masa dulu dimana undang-undang itu dibuat. Logikanya jika suatu tata peraturan sudah tidak mampu lagi mengimbangi kebutuhan realita di lapangan, maka perlu adanya pembaharuan peraturan yang bisa menjerat para pelakunya agar tidak lari dari tanggungjawab dari perbuatan yang dilakukan. Jangan sampai kesalahan yang sama terjadi, dimana sebuah peraturan yang seharusnya berlaku setelah diundangkan, tapi sebaliknya malah berlaku surut kebelakang. Sebagaimana yang terjadi pada tahun 2002, saat terjadinya bom Bali II oleh kelompok mujahidin yang para pelakunya dijerat dengan peraturan yang baru dibuat setelah terjadinya perbuatan dan para pelaku ditangkap.
Agar kesalahan yang membuat malu seluruh lapisan masyarakat, bangsa, dan negara dan mendapat kecaman dari pihak luar tidak terulang lagi dimasa-masa yang akan datang, maka pemerintah harus tanggap dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Apabila sudah muncul gejala-gejala baru yang memungkinkan bagi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab mencari celah agar bebas dari jeratan hokum, maka perlu dengan segera untuk menutupi celah itu dengan membuat terobosan peraturan yang bisadigunakan untuk menindak mereka.

3.      Dasar Sosiologis
Dalam rangka mewujudkan keadaan masyarakat yang aman, nyamam, dan terkendali demi mencapai cita-cita bersama Ponorogo “Mukti Wibowo” serta mendorong percepatan pembangunan di era otonomi daerah, perlu adanya aturan yang melindungi asset-aset daerah yang beraviliasi untuk masyarakat umum. Penggunaan sarana-sarana penunjang, factor-faktor ekonomi, serta pemerataan hasil pembangunan selama ini dirasa belum mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat, terutama kalangan menengah kebawah yang ada di daerah pelosok. Sarana-sarana itu baru dinikmati oleh segelintir orang yang menguasai factor ekonomi untuk memperkaya diri, dan setelah ditelusuri tenyata membawa dampak kerugian bagi orang lain. Pemanfaatan fasilitas umum untuk kepetingan pribadi jelas-jelas adalah perbuatan yang melanggar norma-norma kesusilaan, keadilan, dan hokum.
Realita dilapangan menengarai adanya perbuatan-perbuatan pihak tertentu yang mencemari lingkungan, terutama sarana air/sungai untuk membuamg sisa produksi yang dilakukan. Pembuangan limbah ke sungai harus memperhatikan beberapa pertimbangan, mengingat sungai menjadi salah satu fasilitas umum yang sangat fital bagi masyrakat untu Mandi, Cuci, Kakus (MCK) dan sebagai sarana irigasi untuk kegiatan bercocok tanam. Selain mengganggu kesehatan, pembuangan limbah ke sungai juga mengakibatkan kerusakan ekosistem sungai tempat berkembang-biaknya makhluk hidup dan keseimbang alam.
Dari hasil survey tim dari Din.kes yang dilakukan beberapa waktu yang lalu di kawasan sungai-sungai yang mengalir di Ponorogo, menunjukkan fakta yang sangat mengejutkan. Kadar (ph) pencemaran dalam air sudah melampaui kadar batas toleransi yang seharusnya tidak boleh melebihi 6 rph/liter, namun saat ini sudah mencapai 13rph/liter. Sehingga air yang ada sangat tidak layak untuk kegiatan pengairan tanaman, mandi, apalagi untuk dikonsumsi ternak dan juga manusia.
Untuk mengembalikan kelayakan mutu air yang telah terkontaminasi oleh pencemaran limbah, agar kembali layak digunakan sebagaimana mestinya, maka perlu ada aturan baru yang membatasi pihak pengusaha yang membuang limbah ke sungai. Sehingga pencemaran air bisa ditekan pada level aman yang tidak merusak keseimbangan ekosistem alam dan kembali pada taraf aman konsumsi sebagaimana semestinya.






BAB IV
PERUBAHAN PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
BERBANGSA, DAN BERNEGARA

1.      Perubahan pola pikir masyarakat
Kemajuan zaman yang diiringi kemajuan teknologi sangat berpengaruh besar terhadap pola pikir dan pranata social masyarakat. Paradigma masyarakat yang dahulu cenderung “pasif”, monoton, secular, dan tradisional, seiring dengan kemajuan disegala bidang lama kelamaan tergerus secara perlahan. Budaya gotong royong, tepo seliro dan kebersamaan yang menjadi cerminan jati diri bangsa ikut terbawa arus perkembangan yang ada. Revolusi industry yang pertama kali terjadi di Eropa, saat ini sudah sampai ke Indonesia, khususnya Ponorogo. Bahkan hal itu dengan sangat cepat menyebar keseluruh elemen masyarakat, sehingga dampak dari kemajuan itu tidak bisa terkontrol dengan baik karena meleset dari perdiksi sebelumnya.
Budaya tenggang rasa yang diajarkan dari falsafah pancasila-pun juga sudah sedikit luntur, dan cenderung mangacu pada budaya barat yang dianggap sebagai trend dan mode yang wajib ditiru. Ideology yang diharapkan mampu mem-filter arus budaya barat yang masuk dan tidak sesuai dengan ideologi ternyata juga tidak bisa menampung derasnya arus yang masuk. Sehingga mau tidak mau bangsa ini harus mampu menyesuaikan diri dengan pengaruh budaya barat yang saat ini sudah menjangkit di masyarakat.
Untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu, maka perlu adanya pembenahan dalam pranata sosial dan pranata hokum yang mampu mengimbanginya. Perubahan-perubahan itu tidak serta-merta terjadi begitu saja dalam tempo yang singkat, melainkan secara bertahap dan butuh proses waktu yang lama, sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Dalam hal ekonomi, pengaruh budaya barat juga sangat dirasakan di seluruh penjuru tanah air, bahkan pelosok negeri. Adanya kebijakan paket ekonomi, otonomi daerah, investasi, dan program-program lain dari pemerintah pusat ataupun daerah sangat memaksa untuk dibuatnya tata peraturan yang mampu mengayomi kepentingan bersama. Kawasan yang dulu subur sebagai lahan pertanian, saat ini sudah banyak beralih fungsi menjadi gedung-gedung menjulang, pabrik, tambang, serta industri-industri yang bergerak diberbagai bidang.
Pertumbuhan pabrik-pabrik yang kian menjamur, disatu sisi membawa dampak posotif bagi kemajuan dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Namun disisi lain kemunculan pabrik-pabrik itu juga menimbulkan permasalahan baru yang pemecahannya tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan dibeberapa daerah, hal itu berakibat pada konflik berkepanjangan antara pihak pengusaha/pengembang dan rakyat setempat. Dan ujung-ujungnya rakyat yang selalu jadi korban karena kongkalikong antara oknum aparat dengan pengusaha.
Sebenarnya permasalahannya tidak begitu seberapa besar, akan tetapi berkat provikasi dari para pesaing usaha sehingga tampak seolah-olah berdampak besar. Namun dari yang kecil bila dibiarka begitu saja, lama kelamaan juga aka menjadi besar dan akan cenderung disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Muaranya takyat selalu menjadi korban, sementara segelintir orang Berjaya dengan apa yang didapatnya tanpa mau tahu bagaimana dengan orang lain(egoisme).
Dengan adanya pabrik-pabrik itu, secara otomatis akan berdampak pada keadaan alam sekitar industry. Mulai dari pencemaran/polusi udara(bau dan kadar emisi gas buang), suara bising, lalu lalang kendaraan, dan yang paling penting adalah sampah industry yang berupa limbah. Bagi perusahaan-perusahaan besar yang mampu mengolah sampah industry mungkin tidak begitu manjadi masalah. Namun rata-rata industry yang ada dikawasan Ponorogo adalah perusahaan kecil yang belum mampu mengolah sampah industrinya menjadi barang berguna. Bahkan cenderung menjadi sumber masalah baru, baik bagi perusahaan sendiri maupun rakyat sekitarnya.
Dengan ketidakmampuan mengolah sampah industri tersebut, “solusi instan” yang bisa dilakukan adalah dengan membuangnya kekawasan sungai. Karena itu merupakan sarana yang cepat dan tidak perlu mengeluarkan biaya operasional tambahan yang sangat besar. Sehingga perusahaan tetap bisa eksis dalam pengopersionalannya, demi mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi.
Padahal sungai bagi penduduk kawasan tertentu, merupakan sarana yang sangat vital untuk kelangsungan hidup manusia. Didaerah pinggiran(Sooko, Pulung, Pudak, Badegan, Sampung, Ngebel, Jenangan, Bungkal, Slahung, terlebih Ngrayun), adalah sarana pokok untuk keperluan MCK(Mandi, Cuci, dan Kakus), irigasi, pemandian ternak, perikanan(tambak) dan lain sebagainya. Dengan pembuangan sampah industry ke sungai secara otomatis, mengurangi atau bahkan menjadikan sungai tidak dapat digunakan lagi untuk hal-hal tersebut. Padahal tidak ada sarana lain yang dapat digunakan untuk hal itu, atau jika ada dengan biaya yang sangat mahal dan tidak terjangkau masyarakat. Realita kedaan didaerah pinggiran yang demikian miskin dan tertinggal, sangat tidak adil bila dipaksakan untuk tetap dibiarkan saja.

2.      Upaya menjaga keseimbangan dan kelestarian alam
Isu global warming yang melanda seluruh Negara-negara di belahan dunia pada akhir-akhir ini adalah dampak dari ulah manusia itu sendiri. Eksplorasi alam yang tidak mempedulikan keterbatasan ketersediaannya dan keseimbangan ekosistem, mengakibatkan perubahan iklim yang sangat cepat. Manusia mengeruk kekayaan alam yang jumlahnya sangat terbatas untuk kepuasan sesaat oleh segelintir orang, tanpa peduli efek yang terjadi setelahnya. Pencairan es yang datang lebih awal di dua ujung dunia yakni kutub utara dan selatan menunjukkan bukti nyata akibat dari ulah manusia yang tidak mempedulikan keseimbangan ekosistem alam. Kandungan es di kedua kutub yang berfungsi sebagai penyeimbang cuaca dan iklim diseluruh dunia tidak mampu lagi menahan beban yang sangat tidak seimbang dengan yang seharusnya. Badan Antariksa Nasional NASA menyebutkan, jika hal it uterus menerus terjadi, bukan tidak mungkin 50 tahu lagi dunia akan tenggelam oleh air laut yang volumenya mendapatkan pasokan dari es kutub yang mencair.
Efek dari rumah kaca(sebagai citra hidup maju dan modern), menjadi “tersangka utama” atas perubahan iklim yang demikian ekstrim. Karena pemantulan dari sinar matahari tidak bisa terserap oleh bumi, melainkan kembali ke lapisan udara, sehingga penyaring bumi satu-satunya dari radiasi langsung sinar ultraviolet lambat laun kan semakin menipis. Selain melindungi bumi dari efek radiasi sinar ultraviolet, ozon juga berfungsi untuk mencegah tumburan langsung antara bumi dan benda-benda langit yang jumlahnya tak terhitung. Benda-benda langit itu bisa jatuh ke bumi kapan saja tanpa bisa diprediksi yang dampaknya berpuluh-puluh kali lipat dari bahaya bom atom/nuklir sebagai bahaya terbesar bagi bumi saat ini.
Pambukaan lahan-lahan(hutan/sawah) baru untuk kegiatan tambang dan industry menjadi “kambing hitam” kedua setelah efek dari rumah kaca. Pembukaan lahan yang serampangan akan mengurangi daya serap alam terhadap air, sehingga tanah menjadi labil dan menimbulkan longsor. Kawasan hutan yang berguna sebagai paru-paru bumi untuk menyerap gas-gas berbahaya dari emisi buang industry, kendaraan bermotor jika tidak dipedulikan kelestariannya akan berdamoak besar pada lingkungan dan ekosistem alam. Oleh karena itu, pembukaan lahan-lahan hutan harus memperhatikan pada keadaan alam sekitar sekaligus kelestariannya agar tetap terjaga dengan baik.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa prasyarat yang cukup berat bagi perusahaan baru yang mengajukan perizinan industry untuk mengurangi dampak global warming. Selain analisa mengenai dampak lingkungan(Amdal), juga harus memperhatikan kelestarian sumber daya alam yang ada. Agar anak cucu kita juga ikut merasakan/menikmati kekayaan alam anugerah yang kuasa dan menjadi hak setiap orang. Namun lagi-lagi hal itu tidak bisa meredam arus pertumbuhan ekonomi yang memici tumbuhnya industry-industri baru yang bergerak dalam bidan eksploitasi dan eksplorasi alam.
Sekalipun demikian setidaknya adanya pranata hokum baru diharapkan dapat mengurangai dampak tersebut bagi kepentingan bersama. Sehingga generasi berikutnya sempat menikmati anugerah besar yang diberikan Tuhan untuk dinikmati semua orang. Oleh karena itu, sangat penting untuk membuat tata aturan baru yang mampu mengimbangi kemajuan zaman agar kelangsungan dunia bisa bertahan lebih lama lagi. Meskipun hal itu tidak dapat diprediksi dengan kalkulasi matematik yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan secara maksimal.






BAB V
MATERI RANCANGAN PERATURAN DAERAH  NO. 13 TAHUN 2012
TENTANG PENANGGULANGAN DAMPAK PENCEMARAN AIR
1.      Ketentuan Umum
Rancangan Peraturan daerah tentang dampak pencemaran air adalah rancangan undang-undang baru yang diusulkan dalam rangka melindungi sumber-sumber air yang ada, agar kelestariannya bisa tetap terjaga demi pemenuhan hajat hidup rakyat banyak. Melihat semakin berkurangnya debit air yang selam ini sangat dibutuhkan masyarakat untuk dapat bertahan hidup, maka sangat perlu kiranya membuat tata peraturan yang berfungsi menjaga kelestariannya.
Disamping itu untuk meminimalisir dan/ menghentikan kegiatan-kegiatan yang selama ini di anggap meresahkan masyrakat terkait dampak pencemaran air oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Agar pemanfaatan SDA yang berupa air dapat berjalan sebagaiman fungsinya dan tidak merugikan orang lain.
Dalam ketentuan ini ada beberapa hal yang terkait dengan rancangan undang-undang ini, yaitu; pengertian daerah, kepala daerah terkait, BAPEPALDA, Kepala BAPEPALDA, air, sumber-sumber air, baku mutu air, pencemaran air, sumber-sumber pencemaran air, beban pencemaran air,  limbah, limbah cair, daya tampung sumber-sumber air, izin, baku mutu limbah cair, dan orang/badan usaha.

2.      Maksud dan tujuan
Peraturan Daerah ini dirancang dan diajukan guna melindungi dan menjaga kelestarian sumber-sumber air yang ada agar bisa memenuhi kebutuhan akan air yang makin lama makin meningkat. Sementara itu, jumlah sumber-sumber air yang sangat terbatas ditambah lagi ulah jahil oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, mengakibatkan kualitas dan kuantitas sumber-sumber air semakin menurun. Sehingga kadar ambang batas pencemaran kian meningkat dan menyebabkan air tidak layak pakai apalagi untuk dikonsumsi. Padahal bagi masyrakat pedesaas/kawasan tertentu sangat bergantung kebutuhan air dari sumber-sumber air yang berhulu ke sungai-sungai yang ada di daerah Ponorogo.
Fungsi air yang sangat penting demi kelangsungan hidup masyarakat sehari-hari memaksa diterbitkannya peraturan yang bisa melindungi sumber-sumber air. Selain itu agar sarana-sarana pendukung lain seperti jalur irigasi bisa terawat dengan baik dan sesuai dengan peruntukannya.

3.      Hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat
Masyarakat tanpa terkecuali, berhak mendapatkan hak yang sama dalam penggunaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber-sumber air yang ada agar bisa digunakan sebagaimana seharusnya. Pengelolaan yang dimaksud sebagaimana telah tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.
Selain itu, masyarakat juga berhak menyampaikan usul, saran, aspirasi, informasi, serta peran serta dalam pelaksanaan peraturan ini demi berjalannya hokum yang bisa melindungi sumber-sumber air untuk kemashlahatan bersama. Masyarakat juga berkewajiban memelihara, melestarikan, dan melindungi serta bertasipasi aktif dalam upaya menjaga kelestarian sumber-sumber air yang dimaksud.

4.      Wewenang
Wewenang dalam upaya pelestarian sumber-sumber air yang dimaksud disini adalah kewenangan kepala daerah untuk :
a.       Perlindungan, penanggulangan dan pemulihan mutu air pada sumber-sumber air, pencegahan pencemaran air pada sumber pencemaran, penetapan perizinan pembuangan limbah cair, dan pengawasan;
b.      Inventarisasi dan identifikasi sumber-sumber air dan sumber pencemaran, penetapan penggolongan air menurut peruntukannya, dan penetapan baku mutu air;
c.       Penetapan daya tampung sumber-sumber air, penetapan baku mutu limbah cair, penetapan rencana peningkatan mutu air, penetapan penurunan beban pencemaran, penetapan perizinan pembuangan dan pengolahan limbah cair, pengawasan;
d.      Pelimpahan kewenangan dari kepala daerah kepada BAPEPALDA selanjutnya akan diatur dengan peratiuran kepala daerah;

5.      Perlindungan
Agar peraturan ini dapat berjalan dengan maksimal, maka perlu adanya paying hokum yang jelas agar dikemudian hari tidak timbul permasalahan baru yang muncul dari akibat adanya peraturan ini. Sebagai perlindungan yang sah maka perlu dibagi dalam beberapa bagian;
1)      Inventarisasi dan identivikasi,
2)      Penggolongan Sumber-Sumber Air, Baku Mutu Air dan Daya Tampung Sumber-Sumber Air,
3)      Baku mutu Limbah Cair,
4)      Peningkatan Mutu Air dan Penurunan Beban Pencemaran.

6.      Perizinan
Perizinan adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap orang dan/badan usaha yang usahanya bersentuhan langsung dengan sumber-sumber air serta sarana-sarana pendukung lainnya. Terlebih jika adanya pembuangan sisa hasil produksi/limbah(baik padat ataupun limbah cair) kedalam air yang bersinggungan langsung dengan yang digunakan masyrakat banyak untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Perizinan dilakukan oleh dinas terkait dengan rekomendasi dari kepala daerah dan LSM agar pengawasan nantinya bisa berjalan dengan baik. Dalam hal ini BAPEPALDA diberi kewenangan oleh kepala daerah untuk memberikan izin setelah mengadakan survey dan pengkajian secara mendalam terkait dampak yang ditimbulkan.

7.      Pengawasan
Pengawasan dalam hal ini dilakukan oleh BAPEPALDA selaku perpanjangan tangan dari kepala daerah, dan selanjutnya BAPEPALDA bertanggungjawab penuh kepada kepala daerah. Masyarakat juga bisa berperan aktif dalam upaya pengawasan langsung, dengan memberikan informasi jika ditengarai ada penyimpangan-penyimpangan oleh pihak pengusaha yang mencemari air dan lingkungan.
Selain itu, aparat berwenang juga bertugas mengontrol dan mengawasi pelaksanaan peraturan daerah ini di lapangan. Segala bentuk pelanggaran diinfentarisir dan dilaporkan pada pihak penyidik untuk diproses secara hokum.

8.      Sanksi administrasi
Kepala daerah berwenang dalam memeriksa, mengkaji ulang, menghentikan, serta mencabut izin pihak pengusaha yang terbukti berbuat menyalahi izin yang diberikan. Namun demikian, hal itu harus dengan pertimbangan dan bukti-bukti yang kuat dan dapat dibuktikan.
Kepala daerah juga berwenang menindak pelanggar sesuai dengan peraturan yang berlaku, bila pihak pengusaha terbukti secara meyakinkan telah menyalahi aturan yang ditetapkan. Segala konsekuensi yang menjadi tanggungjawab pihak pelanggar akan diatur selanjutnya terkait teknis pelaksanaan sengan Surat Keputusan Bupati.

9.      Pembiayaan
Semua pendanaan terkait pelaksanaan peraturan ini akan dialokasikan dari APBD Daerah, berlaku sejak peraturan ini ditetapkan. Dan selanjutnya akan dikelola oleh tim BAPEPALDA sebagai tindak lanjut dari peraturan ini untuk kepentingan bersama. Biaya administrasi dari pendaftaran dan perizinan dimasukkan dalam PAD dan selanjutnya akan dikelola dinas terkait untuk biaya operasional seluruh agenda kegiatan daerah.

10.  Ketentuan Pidana
Pihak pengusaha yang terbukti secara sah melanggar peraturan ini, maka selanjutnya menjadi kewenangan penyidik dalam hal ini POLRI dan pejabat Pegawai Negeri Sipil(PNS) yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan dan pemidanaan. Pemberian sanksi bisa berupa pemidanaan kurungan/penahanan/ serta denda akan ditentukan berdasarkan tingkat pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan.

11.  Ketentuan Penyidikan
Penyidikan atas pelanggaran terhadap peraturan ini dilaksanakan oleh lembaga POLRI dan pejabat Pegawai Negeri Sipil(PNS) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan(sebagaiman diatur dalam KUHPidana).

12.  Ketentuan Peralihan
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, terkait teknis pelaksanaan, proporsi kewenangan, prosedur perizinan, penertiban, penindakan, dan hal-hal lain akan ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati sebagai tata pelaksanaannya lewat Peraturan Bupati.

13.  Ketentuan Penutup
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Arsip Daerah Kabupaten Ponorogo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA DEWASA

AMALIYAH NAHDLIYAH (Nahdlotul Ulama')

DELIK PERCOBAAN, PENYERTAAN, DAN PERBARENGANAN PIDANA DALAM KUHP