DELIK PERCOBAAN, PENYERTAAN, DAN PERBARENGANAN PIDANA DALAM KUHP
DELIK
PERCOBAAN PIDANA DALAM KUHP
Oleh : IRAWAN JATI MUSTIKO, SH, MH
PERCOBAAN PIDANA DALAM KUHP
Oleh : IRAWAN JATI MUSTIKO, SH, MH
A. Percobaan (POGING)
Merupakan perluasan pertanggungjawaban
pidana terhadap suatu perbuatan pidana, dia bukan merupakan delik mandiri,
sehingga harus dilengkapi dengan delik pokok. Selanjutnya karena hanya
merupakan perluasan pertanggungjawaban pidana maka ancamannya tidak maksimum
tetapi dikurangi 1/3 dari pidana pokok maksimum. Dari segi tata bahasa istilah percobaan
adalah usaha hendak berbuat / melakukan sesuatu, Percobaan dapat dikatakan
pula sebagai perbuatan pidana yang belum selesai. Delik percobaan diatur dalam:
Bab IV KUHP
Psl 53
1.
Mencoba melakukan
kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan & tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri
2.
Maksimum pidana pokok
terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
3.
Jika kejahatan diancam
dengan pidana mati/pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara
paling lama 15 tahun.
4.
Pidana tambahan bagi
percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Syarat untuk dapat tidak dipidana
dalam rumusan pasal tersebut, dapat dibedakan menjadi dua bagian:
a. Dalam rumusan delik yaitu;
1. Adanya niat / suatu maksud / voornemen, untuk melakukan suatu kejahatan
tertentu.
2. Adanya suatu permulaan pelaksanaan / suatu begin van uitvoering, dalam arti bahwa maksud
orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan
yang ia kehendaki.
3. Tidak selesainya pelaksanaan, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri
tetapi kehendak dari luar dirinya.
b. Diluar rumusan delik yaitu ; Perbuatan itu
harus mengandung unsur melawan hukum, dilarang oleh Undang-Undang sebagaigmana
telah menjadi unsur mutlak dalam rumusan perbuatan pidana (delik).
Dilihat dari terpenuhinya delik, maka percobaan dapat
dibedakan menjadi ;
1. Perbuatan yang delik pidana dan
tujuannnya belum selesai (Delik Percobaan Tentatif).
Misalnya ada
seorang pencuri sedang melakukan pencurian, namun sebelum barang curian berhasil
dibawa, perbuatan tersebut diketahui oleh pemilik barang.
2. Perbuatan yang delik pidananya
telah selesai namun tujuannya tidak selesai ( Delik Percobaan Manque ).
Misalnya A
berniat membunuh X dengan memasukkan racun kedalam minuman X. Minuman tersebut
kemudian diminum X, lalu X kejang-kejang & dibawa kerumah sakit, namun dengan
penanganan medis yang cepat, racun dapat dikeluarkan dari tubuh X, & X
kembali sehat lagi.
Kedua Pasal diatas tidak memberikan definisi tentang apa
yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging). Satu-satunya
penjelasan yang dapat diperoleh tentang Pasal 53 Ayat 1 KUHP adalah bersumber dari
MvT yang menyatakan, “Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet
voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering
geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen”. ( Percobaan untuk
melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang
telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, /pun suatu kehendak untuk
melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan dalam suatu permulaan
pelaksanaan ).
Namun demikian
ada juga beberapa macam kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum,
misalnya;
1. Percobaan menganiaya (Pasal 351 Ayat 5
KUHP),
2. Percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 Ayat 3 KUHP), dan
3. Percobaan perang tanding (Pasal 184 Ayat 5 KUHP).
2. Percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 Ayat 3 KUHP), dan
3. Percobaan perang tanding (Pasal 184 Ayat 5 KUHP).
Dalam beberapa kasus ditemukan adanya kesulitan
untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya perbuatan yang
dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela / kehendak diluar
pelaku. Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan
menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu.
Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang
terdapat didalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu /
karena ada faktor lain diluar diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan / perkiraannya
dapat membahayakan dirinya sehibgga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.
Loebby
Loqman memberikan contoh;
1.
Putusan Pengadilan
Arnhem tanggal 31 Juli 1951. NJ. 1952 No. 670 tentang percobaan pembunuhan.
A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu dengan membawa pisau
yang telah dipersiapkan, A memasuki ruangan dimana B berada, dengan berjalan
membungkuk menuju kearah B berada. Akan tetapi perbuatan A ditahan oleh
beberapa orang yang berada diruangan, sedangkan B lari meninggalkan ruangan.
Terdakwa dalam kasus diatas dituduh melakukan percobaan pembunuhan &
subsidair melakukan percobaan penganiayaan berat. Dalam surat dakwaan dikatakan
bahwa tidak selesainya pembunuhan / penganiayaan berat itu disebabkan
“setidak-tidaknya karena 1 / lebih keadaan diluar kehendaknya”. Terdakwa dalam
pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang hadir pada saat perbuatan
dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang semula
dikehendakinya. Akan tetapi yang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena
A melihat adanya perubahan wajah B pada saat itu & karena jeritan orang
banyak sehingga A tidak “tega” meneruskan perbuatan yang dikehendaki semula. Meskipun
demikian Pengadilan Arnhem dalam pertimbangannya memberikan putusan bahwa kasus
tersebut tetap sebagai percobaan. Pengunduran diri dalam kasus diatas meskipun
ada faktor yang datang dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari
luar memaksanya untuk mengundurkan diri.
2.
Adakalanya bahwa
seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengundurkan diri dari niatnya
secara sukarela. Percobaan seperti ini disebut sebagai voltooide artinya
meskipun seseorang telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul
niatnya untuk secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula tidak dapat
lagi dilakukan.
Sebagai contoh, seseorang dalam suatu pemeriksaan dipengadilan sedang
memberikan keterangannya. Karena dianggap memberikan kesaksian yang tidak
benar, Hakim memperingatkan bahwa seseorang dapat dipidana bila memberikan keterangan yang tidak benar
berdasarkan delik “kesaksian palsu”. Dalam hal demikian dianggap orang tersebut
telah melakukan delik, yaitu delik kesaksian palsu terhadap keterangan
sebelumnya yang telah diberikan dalam sidang itu.
Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus diatas, menganggap sebagai
pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena dengan
sukarela orang tersebut menarik kembali
keterangan yang tidak benar, akan tetapi putusan Hoge Raad tahun 1952
memutuskan bahwa kasus diatas merupakan delik selesai ( delik kesaksian palsu )
terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya setelah penundaan sidang.
3.
Disamping peristiwa yang
diuraikan diatas terdapat pula suatu keadaan dimana seorang melakukan percobaan
kejahatan, sementara itu terjadi delik lain yang telah selesai. Peristiwa ini
disebut dengan guequalificeerde poging ( percobaan yang dikwalifikasi ).
Sebagai contoh, seorang yang berniat melakukan pencurian terhadap
barang-barang dalam sebuah rumah. Untuk itu orang tersebut telah memasuki
halaman rumah, akan tetapi sebelum memasuki rumah sudah tertangkap. Dalam hal
ini orang tersebut disamping dianggap melakukan percobaan pencurian ( jika
dilihat dari teori subjektif ) juga telah melakukan delik yang selesai, yaitu
delik memasuki halaman tanpa izin ( Huisvredebruik )seperti yang diatur dalam Pasal
167 KUHP.
B. Teori Tidak Selesainya Suatu Perbuatan.
Menurut Barda
Nawawi Arief, tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena
kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
a.
Adanya penghalang fisik.
Contoh, tidak matinya
orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakannya
menyimpang / pistolnya terlepas. Termasuk dalam pengertian ini ialah jika ada
kerusakan pada alat yang digunakan misal pelurunya macet / tidak meletus, bom
waktu yang jamnya rusak.
b. Walaupun
tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan
adanya penghalang fisik.
Contoh, takut
ditangkap karena gerak-geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh
faktor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada objek yang menjadi sasaran.
Contoh, Daya tahan orang
yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati / yang tertembak bagian yang tidak
membahayakan, barang yang akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah
berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.
Jika tidak
selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka dapat
dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Pengunduran diri secara
sukarela terjadi jika pelaku masih dapat meneruskan perbuatannya, tetapi ia
tidak mau meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara
teori dapat dibedakan.
b.
Pengunduran diri secara
sukarela ( rucktritt ) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan
untuk delik yang bersangkutan.
c. Penyesalan ( tatiger reue ) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah
diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk
delik tersebut. Misal, orang memberi racun pada minuman si korban, tetapi setelah
racun diminum ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak
jadi meninggal.
SEKIAN
TERIMA KASIH
TERIMA KASIH
DELIK PENYERTAAN PIDANA
( DEELNEMING ) DALAM KUHP
Oleh : IRAWAN JATI MUSTIKO, SH, MH
( DEELNEMING ) DALAM KUHP
Oleh : IRAWAN JATI MUSTIKO, SH, MH
A.
DELIK PENYERTAAN
1. Delik Penyertaan Pidana ; adalah perbuatan pidana yang berbentuk khusus karena
jumlah pelakunya lebih dari 1 ( satu ) orang. Padahal subjek hukum yang disebutkan &
dimaksudkan dalam rumusan Tindak Pidana adalah hanya untuk 1 orang saja, bukan untuk
beberapa orang. Sebagai contoh
rumusan yang terdapat dalam Pasal 338 KUHP yang menyatakan bahwa, ”Barang siapa
dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara setinggi-tingginya lima belas tahun”. Jelas yang dimaksud dengan
“barang siapa” adalah 1 orang, & bukan banyak orang / beberapa orang.
Sehingga apabila ada kasus si A membunuh si B, dimana si
C memegangi tangan si B, maka berdasarkan rumusan Pasal tersebut, hanya si
A-lah yang dapat dikenai pidana, sedangkan si C tidak dapat, padahal si C juga
ikut andil atas pembunuhan terhadap si B. Keadaan seperti inilah yang diatur
dalam Pasal 55 dan 56 KUHP tentang penyertaan.
2. Menurut doktrin para pakar hukum pidana, delik penyertaan berdasarkan
sifatnya dibedakan atas:
a. Yang berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari setiap peserta dihargai
sendiri-sendiri, dan
b. Yang tidak berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu
digantungkan dari perbuatan peserta yang lain.
3. Menurut Adami Chazawi, persoalan pokok didalam ajaran delik penyertaan,
ialah meliputi hal-hal sebagai berikut;
a.
Mengenai diri orangnya,
yaitu orang yang mewujudkan perbuatan yang bagaimana & yang bersikap batin
bagaimana yang dapat dipertimbangkan & ditentukan sebagai terlibat / tersangkut
dengan tindak pidana yang diwujudkan oleh kerjasama lebih dari 1 orang, sehingga
dia patut dibebani tanggung jawab pidana & dipidana.
b.
Mengenai tanggung jawab pidana
yang dibebankan kepada masing-masing, yaitu apakah mereka para peserta yang
terlibat itu akan dipertanggungjawabkan sama ataukah berbeda sesuai dengan
keterlibatan / andil dari perbuatan yang mereka lakukan terhadap terwujudnya Tindak
Pidana.
4. Dapatnya perbuatan seseorang dianggap terlibat bersama peserta lainnya dalam
mewujudkan Tindak Pidana, disyaratkan sebagai berikut”
a.
Dari sudut subjektif ada
2 syarat, yaitu :
1)
Adanya hubungan batin ( kesengajaan
) antara pelakuengangn Tindak Pidana yang hendak diwujudkan, artinya
kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya Tindak Pidana. Disini, ada
kepentingan untuk terwujudnya Tindak Pidana.
2)
Adanya hubungan batin ( kesengajaan,
seperti mengetahui ) antara pelaku dengan peserta lainnya & bahkan dengan
apa yang diperbuat peserta lainnya.
b.
Dari sudut objektif,
ialah bahwa perbuatan orang itu ada hubungannya dengan terwujudnya Tindak Pidana
/ wujud perbuatan orang itu secara objektif ada perannya terhadap terwujudnya Tindak
Pidana.
5. Sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana pada penyertaan, yaitu ;
a.
Yang mengatakan bahwa
setiap orang yang terlibat bersama-sama dalam suatu Tindak Pidana dipandang
& dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian ( Dader ) melakukan
tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun
apa yang ada dalam sikap batinnya.
b. Masing-masing orang yang bersama-sama terlibat kedalam suatu Tindak Pidana
dipandang & dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang berat ringannya sesuai
dengan bentuk & luasnya wujud perbuatan masing-masing orang dalam
mewujudkan tindak pidana.
B.
PENYERTAAN
Dalam KUHP indonesia diatur dalam bab v, dikenal ada 2 bentuk,
yaitu,
1. Pembuat ( Dader ) dalam Pasal 55 KUHP.
2. Pembantu dalam Pasal 56 KUHP.
Pasal 55
1. Dipidana sebagai pelaku TP,
a) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan & yang turut serta melakukan
perbuatan.
b) Mereka yang dengan memberi / menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan
/ martabat, dengan kekerasan, ancaman / penyesatan / dengan memberi kesempatan,
sarana / keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
2.
Terhadap penganjur,
hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta
akibat-akibatnya.
Pasal 56
Dipidana sebagai
pembantu kejahatan,
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan,
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana / keterangan untuk
melakukan kejahatan.
Dalam
KUHP Jerman pelaku penyertaan
dikenal dengan istilah, Pelaku sebagai Tater, Penganjur sebagai Anstifter &
Pembantu sebagai Gehilfe. Titik berat diletakkan pada sikap batin para peserta. Dalam
teori hukum pidana perbedaan antara ketiga bentuk penyertaan yang dititik
beratkan kepada sikap batin masing-masing peserta dinamakan ajaran penyertaan yang
subyektif ( subjectieve deelnemingsleer ). Orang yang digolongkan sebagai Tater
harus mempunyai Taterwille ( niat ) untuk melakukan perbuatan sebagai perbuatan
sendiri.
Berdasarkan Pasal 55 &
56 KUHP tersebut, para pelaku kejahatan dibedakan dalam:
a.
Pelaku utama yang
dikualifikasikan sebagai pelaku materiel / pembuat delik ( Dader / Plegen )
&
b.
Pelaku pembantu yang
dikualifikasikan sebagai membantu melakukan secara sengaja / pembantu pembuat
delik ( Medeplegen / Medeplichtiger ).
Berdasarkan rumusan Pasal 55 &
56 KUHP maka terdapat 5 peranan pelaku Tindak Pidana / Dader, yaitu:
a. Orang yang melakukan Tindak Pidana ( Dader / Pleger )
Orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana
dirumuskan oleh Undang-Undang, baik unsur subjektif maupun objektif / sebagai pelaku
nyata / langsung dari Tindak Pidana ).
b.
Orang yang menyuruh
Pleger untuk melakukan Tindak Pidana ( Doenpleger / Doen Plegen )
Seseorang berkehendak melakukan suatu delik tapi tidak
melakukannya sendiri, melainkan menyuruh orang lain yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena berdasarkan Pasal 44 KUHP.
Ciri pokok perbuatan
menyuruh-lakukan, terletak pada alat yang dipakai, yaitu orang yang disuruh
tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan pidana yang dilakukan,
sedangkan unsur lainnya harus ada alat yang dipakai berupa orang lain yang
berbuat & tidak ditentukan daya upaya / cara-cara menyuruh orang lain itu.
Untuk terjadinya suatu doen
plegen seperti yang dimaksud dalam Pasal 55 Ayat 1 KUHP, orang yang disuruh
melakukan haruslah memenuhi syarat tertentu, yang menurut Profesor SIMON
berupa:
1)
Orang yang disuruh adalah
orang yang ontoerekenings vatbaar / tidak sehat akal seperti yang dimaksud dalam
Pasal 44 KUHP.
2)
Orang yang disuruh mempunyai
dwaling / kesalahpahaman mengenai salah 1 unsur dari TP yang bersangkutan.
3)
Orang yang disuruh sama sekali
tidak mempunyai unsur schuld / kesalahan, baik dolus / kesengajaan maupun culpa
/ kelalaian, maupun unsur opzet/ keterkaitan seperti yang disyaratkan Undang-Undang
bagi Tindak Pidana tersebut.
4)
Orang yang disuruh itu
tidak memenuhi unsur oogmerk / alasan, seperti yang disyaratkan UU mengenai Tindak
Pidana tersebut.
5)
Orang yang disuruh itu telah
melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht / daya paksa, & terhadap
paksaan tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan.
6)
Orang yang disuruh itu
dengan itikad baik telah melaksanakan perintah jabatan, padahal perintah tersebut
diberikan oleh atasan yang tidak berwenang.
7)
Orang yang disuruh itu tidak
mempunyai suatu hoedanigheid / suatu sifat tertentu, seperti yang disyaratkan UU,
yakni sebagai suatu sifat yg dimiliki oleh pelakunya sendiri.
8)
Perbuatan tersebut telah
diputuskan HOGE RAAD dalam arrest-nya tanggal 10 Juni 1912, W. 9355 yang
mengatakan antara lain, “Menyuruh melakukan itu sifatnya tidaklah terbatas, ditinjau
dari cara bagaimana suatu perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang disuruh
melakukan. Ia dapat berupa suatu perbuatan, yang oleh orang yang telah disuruh melakukan
itu tidak diketahui, bahwa perbuatan tersebut sebenarnya merupakan suatu Tindak
Pidana.
Dalam hal ini isteri seorang penjual susu yang telah menambah sejumlah air
kedalam susu yang telah siap diantarkan kerumah para langganan suaminya, yang
tidak mengetahui bahwa susu tersebut telah dipalsukan“.
Untuk terjadinya suatu doen plegen itu, suruhan untuk melakukan Tindak Pidana
tidak perlu harus diberikan secara langsung oleh mide dader kepada seorang
materieele dader, melainkan dapat juga diberikan dengan perantaraan orang lain,
seperti yang telah diputuskan HOGE RAAD dalam arrrest masing-masing tanggal 15
Januari 1912, W.9278 & tanggal 25 Juni 1917, NJ. 1917 halaman 818, 10145,
dimana HOGE RAAD mengatakan antara lain: “Pada doen plegen itu, perintah untuk
melakukan suatu perbuatan dapat diberikan kepada orang yang disuruh melakukannya
melalui seorang perantara“.
Pertanggungjawaban orang yang menyuruh dibatasi sampai,
a.
Pada perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang disuruh, walaupun maksud orang yang menyuruh lebih
jauh daripada perbuatan yang terjadi &
b.
Tidak lebih dari yang
memang disuruh-lakukan, walaupun orang yang disuruh itu melakukan perbuatan
lebih jauh.
Keadaan orang yang disuruh tidak dapat dipertanggungjawabkan itu, disebabkan banyak
kemungkinan, antara lain karena pasal 44, pasal 48, pasal 51 ayat 2 KUHP,
sedangkan unsur kwalitas orang yang disuruh sebagaimana disyaratkan delik pasal
413, 419, 437 KUHP & lain-lainnya.
c. Orang yang turut melakukan / turut serta dengan Pleger dalam melakukan Tindak
Pidana (Mededader), dimana syarat Mededader ada 2, yaitu
a. Harus ada kerja sama secara fisik.
b. Harus ada kesadaran kerja sama.
Dalam doktrin ada 3 pendapat
kemungkinan untuk terwujudnya turut serta, yaitu,
1. Pelaku bersama-sama melaksanakan delik, / setidak-tidaknya memenuhi unsur
delik,
2. Salah 1 pelaku memenuhi rumusan unsur delik, sedangkan yang lain tidak
memenuhi tetapi sangat penting untuk terjadinya delik,
3. Masing-masing pelaku tidak memenuhi unsur delik secara keseluruhan, saat
mereka bersama-sama mewujudkan suatu delik, sebab dalam praktik sulit untuk
membuat ukuran seberapa jauh seseorang dianggap ikut dalam pelaksanaan delik.
Inti perbuatan turut serta melakukan, ditentukan adanya “kerjasama yang erat diantara peserta” sbgmana yang ternyata dari kesepakatan perbuatan pembagian hasil kejahatan.
Inti perbuatan turut serta melakukan, ditentukan adanya “kerjasama yang erat diantara peserta” sbgmana yang ternyata dari kesepakatan perbuatan pembagian hasil kejahatan.
d. Orang yang sengaja membujuk / menganjurkan Pleger untuk melakukan Tindak Pidana ( Uitlokker ),
diatur dalam Pasal 55 Ayat 1 ke 2 KUHP yang berbunyi, Mereka yang dengan
pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan / derajat ( martabat ) dengan
paksaan, ancaman / tipuan / dengan memberikan kesempatan, ikhtiar / keterangan
dengan sengaja membujuk supaya perbuatan itu dilakukan.
Menurut doktrin, orang yang menggerakkan orang lain disebut actor intelectualis / intelektual dader / provocateur / uitlokker. Sedangkan orang lain yang menjadi perantara untuk melakukan perbuatan pidana disebut materiale dader.
Menurut doktrin, orang yang menggerakkan orang lain disebut actor intelectualis / intelektual dader / provocateur / uitlokker. Sedangkan orang lain yang menjadi perantara untuk melakukan perbuatan pidana disebut materiale dader.
Menurut
peraturan KUHP, bentuk penganjuran itu terdapat 4 isi ketentuan sebagai syarat,
yaitu:
1)
Ada orang yang
menggerakkan orang lain,
2)
Ada orang yang dapat
digerakkan,
3)
Cara menggerakkan harus
dengan salah 1 upaya tertentu &
4)
Orang yang digerakkan harus
benar-benar melakukan perbuatan pidana.
Perbuatan penganjuran seluruhnya hrs
memenuhi 5 syarat, yang mencakup:
a) Untuk Penganjur / Dader harus memenuhi 2
syarat, yaitu,
1. Ada kesengajaan menggerakkan orang lain untuk melakukan
perbuatan pidana, &
2. Cara menggerakkan dilakukan dengan upaya tertentu yang
di tentukan oleh UU,
b. Sedangkan Orang Yg Dianjurkan / Material Dader harus
memenuhi 3 syarat, yaitu:
1. Harus melakukan
perbuatan pidana yang dianjurkan atau percobaan pidana yang dianjurkan,
2. Harus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana,
&
3. Harus ada
hubungan kausal dengan upaya-upaya tertentu yang dipergunakan oleh Dader.
c. Daya upaya yang
dilakukan oleh penganjur, menurut UU harus berupa:
1. Memberikan / menjanjikan sesuatu berupa barang,
uang & segala keuntungan yang akan diterima oleh orang yang dianjurkan.
2. Menyalahgunakan kekuasaan / martabat, yaitu pada
saat dilakukannya perbuatan, sungguh-sungguh ada kekuasaan martabat yang
berdasarkan hukum publik, maupun hukum privat.
3. Memakai kekerasan, artinya orang yang
dianjurkan tidak dapat berbuat lain seperti daya paksa.
4. Memakai ancaman atau penyesatan, maksudnya dapat
menimbulkan perasaan pada orang lain dalam keadaan bahaya / berbuat yang tidak
semestinya.
5. Memberikan kesempatan, sarana / keterangan,
yaitu menyediakan kemudahan untuk melakukan perbuatan pidana, alat-alat yang dapat
dipergunakan & petunjuk-petunjuk untuk menggerakkan.
Pertanggungjawaban
terhadap si penganjur, hanya sebatas perbuatan yang sengaja dianjurkan saja
beserta akibat-akibatnya. Namun dalam kejadian yang nyata penentuan
pertanggungjawaban itu tidak mudah, berhubung dengan adanya unsur kesengajaan /
kealpaan yang dilakukan oleh orang yang dianjurkan.
Prof. van HAMEL
merumuskan uitlokking itu sebagai suatu bentuk deelneming / keikutsertaan
berupa, “Het opzettelijk bewegen, met door de wet aangedide middelen, van een
zelfverantwoordelijk persoon tot een strafbaar feit, dat deze aldus bewogen,
opzettelijk pleegt”. Yang artinya, “Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat
dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu Tindak Pidana
dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh UU, orang yang
digerakkan tersebut kemudian dengan sengaja melakukan TP yang bersangkutan”.
e.
Orang yang membantu
melakukan (Medeplichtige)
Mengenai pembantuan diatur dlm 3 Pasal yaitu Pasal 56, 57 & 60 KUHP.
Mengenai pembantuan diatur dlm 3 Pasal yaitu Pasal 56, 57 & 60 KUHP.
- Pasal 56 KUHP merumuskan tentang unsur
subjektif & objektif,
- Pasal
57 KUHP memuat tentang batas luasnya pertanggungjawaban bagi pembuat pembantu,
- Pasal
60 KUHP mengenai penegasan pertanggungjawaban pembantuan itu hanyalah pada
pembantuan dalam hal kejahatan tidak dalam hal pelanggaran.
Psl 57
1. Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,
dikurangi 1/3.
2. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati / pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
3. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
4. Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan
yang sengaja dipermudah / diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Psl 58
Dalam
menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang, yang menghapuskan,
mengurangi / memberatkan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan terhadap pembuat
/ pembantu yang bersangkutan itu sendiri.
Psl 59
Dalam
hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus,
anggota-anggota badan pengurus / komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota
badan pengurus / komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan
pelanggaran tidak dipidana.
Psl 60
Psl 60
Membantu
melakukan pelanggaran tidak dipidana.
pasal 61
1. Mengenai
kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, penertiban selaku demikian tidak
dituntut apabila dalam barang cetakkan disebut nama & tempat tinggalnya,
sedangkan pembuatnya dikenal, / setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur
pertama kali lalu diberitahukan kepada penerbit.
2. Aturan ini tidak berlaku jika pelaku pada
saat barang cetakan terbit sudah menetap diluar Indonesia.
Psl 62
1.
Mengenai kejahatan yang
dilakukan dengan percetakan, pencetaknya selaku demikian tidak dituntut apabila
dalam barang cetakan disebut nama & tempat tinggalnya, sedangkan orang yang
menyuruh mencetak dikenal, / setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur
pertama kali lalu diberitahukan oleh pencetak.
2. Aturan ini tidak berlaku, jika orang yang menyuruh mencetak pada saat barang
cetakan terbit, sudah menetap diluar Indonesia.
DELIK
PERBARENGAN PIDANA
DALAM KUHP
(Concursus/Samenloop)
Oleh : IRAWAN JATI MUSTIKO, SH, MH
PERBARENGAN PIDANA
DALAM KUHP
(Concursus/Samenloop)
Oleh : IRAWAN JATI MUSTIKO, SH, MH
Delik perbarengan
disebut pula dengan istilah “Concursus Delicten”, merupakan delik / perbuatan pidana
yang berbentuk khusus, karena dalam delik ini seseorang melakukan lebih dari 1
kali perbuatan pidana ( Tatermenhreit ) & semuanya belum pernah diadili ( diproses perkaranya
secara hukum ). Pemidanaan yang dijatuhkan tidak dengan menjumlah keseluruhan ancaman
sanksi pidana yang terdapat dalam seluruh pasal yang dilanggar.
Menurut Lamintang, gabungan
tindak pidana itu disebut Samenloop van Strafbare Feiten. Sebagai contoh, bila
seseorang melakukan penganiayaan terhadap seorang korban, setelah itu memperkosanya
& kemudian membunuhnya, sehingga dia melakukan 3 tindak pidana, maka
menurut KUHP hukuman dari tindak pidana tersebut adalah 10 tahun + 12 tahun +
20 tahun, total 42 tahun.
Perhitungan
pemidanaan untuk menyelesaikan kasus perbarengan inilah yang kemudian populer
disebut dengan istilah ajaran tentang ”Concursus”.
Gabungan Tindak Pidana
merupakan perbuatan pidana yang merugikan kepentingan hukum, dimana tindak
pidana pelakunya harus dihukum lebih berat dari pelaku yang hanya melakukan
satu Tindak Pidana. Perbedaan
concursus dengan recidive ialah, dalam concursus antara Tindak Pidana yang
dilakukan si pembuat tidak ada putusan hakim, sedang pada recidive ada.
Oleh pembentuk UU, delik
ini telah diatur dalam Bab IV dari Buku ke-I KUHP, mulai Pasal 63 s/d Pasal 71,
berkenaan dengan pengaturan mengenai berat ringannya hukuman yang dapat
dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap seorang terdakwa yang telah melakukan
lebih dari satu perilaku terlarang, yang perkaranya telah diserahkan kepadanya
untuk diadili secara bersama-sama.
Secara
keseluruhan, konsepsi pemidanaan berkait dengan Concursus Delicten ini terdiri
atas 3 hal, yaitu:
1.
Concursus Idealis / Perbarengan
Aturana / Gabungan Dalam 1 Perbuatan)
Yaitu seseorang yang dalam kenyataan sebenarnya hanya melakukan satu perbuatan pidana saja, tetapi satu perbuatan pidana yang dilakukannya tersebut jika dilihat dari sudut yuridis ternyata dapat dipandang sama dengan telah melanggar dua / lebih aturan hukum pidana.
Yaitu seseorang yang dalam kenyataan sebenarnya hanya melakukan satu perbuatan pidana saja, tetapi satu perbuatan pidana yang dilakukannya tersebut jika dilihat dari sudut yuridis ternyata dapat dipandang sama dengan telah melanggar dua / lebih aturan hukum pidana.
Perbarengan ini diatur dalam Pasal 63 KUHP.
Psl 63
1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, yang
dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2. Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula
dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Berdasarkan Pasal 63 KUHP tersebut, cara
pemidanaan yang diterapkan dalam menyelesaikan kasus concursus idealis adalah dengan
menggunakan sistem yang disebut “System Absorbsi”, dengan 3 model, yaitu:
a. Jika sanksi pidana yang
terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa adalah
sama bobot & jenisnya ( misalnya sama-sama maksimum 5 tahun penjara ), maka
cukup dikenakan salah satunya saja, jadi tidak dijumlahkan totalitasnya sehingga
menjadi 10 tahun penjara / lebih.
b. Jika sanksi pidana yang
terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa tersebut
adalah berbeda baik bobot maupun jenisnya, maka bobot & jenis pidana yang
paling beratlah yang harus dijatuhkan.
c. Jika sanksi yang terdapat
dalam beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa tersebut, di satu
sisi ada yang tercantum dalam hukum pidana umum & disisi lain ada yang
tercantum dalam hukum pidana khusus, maka sanksi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa
adalah yang tercantum dalam aturan hukum pidana khusus.
2.
Concursus Realis ( Perbarengan Perbuatan / Gabungan
beberapa perbuatan)
Yaitu seseorang yang dalam kenyataan sebenarnya telah melakukan 2 / lebih perbuatan pidana yang tidak ada hubungannya satu sama lain & yang masing-masing merupakan Tindak Pidana, shg oleh karena itu secara hukumpun ia dipandang telah melanggar 2 / lebih aturan hukum pidana yang ada.
Yaitu seseorang yang dalam kenyataan sebenarnya telah melakukan 2 / lebih perbuatan pidana yang tidak ada hubungannya satu sama lain & yang masing-masing merupakan Tindak Pidana, shg oleh karena itu secara hukumpun ia dipandang telah melanggar 2 / lebih aturan hukum pidana yang ada.
Dalam kasus
demikian, setidaknya ada 3 sistem pemidanaan sebagai model penyelesainnya,
yaitu:
a.
Sistem Absorbsi Dipertajam (Pasal 65 KUHP).
Pasal 65
1)
Dalam hal perbarengan beberapa
perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga
merupakan beberapa kejahatan, yaang diancam dengan pidana pokok yang sejenis,
maka dijatuhkan hanya 1 pidana.
2)
Maksimum pidana yang dijatuhkan
ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih
dari maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3.
Berdasarkan ketentuan Pasal
65 KUHP, sistem pemidanaan absorbsi dipertajam ini diterapkan, apabila
seseorang yang terlibat concursus realis pada prinsipnya akan dikenai sanksi
pidana terberat yang terdpt dalam beberapa aturan hukum yang dilanggar ditambah
sepertiganya. Syarat dapat diterapkannya sistem absorbsi dipertajam ini adalah
jika beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh pelaku concursus realis
tersebut semuanya mencantumkan sanksi pidana pokok yang sejenis.
b.
Sistem Kumulasi Terbatas (Pasal 66-69 KUHP)
Pasal 66
1)
Dalam hal perbarengan
beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang
berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan
pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap
kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat
ditambah 1/3.
2)
Pidana denda adalah hal
itu dihitung menurut lamanya maksimum pidana kurungan pengganti yang ditentukan
untuk perbuatan itu.
Pasal 67
Jika
orang dijatuhi pidana mati / pidana penjara seumur hidup, disamping itu tidak
boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu &
pengumuman putusan hakim.
Pasal 68
1.
Berdasarkan hal-hal dalam
Pasal 65 & 66, tentang pidana tambahan berlaku aturan sebagai berikut:
(1) Pidana-pidana pencabutan hak yang sama dijadikan 1, yang lamanya paling
sedikit 2 tahun & paling banyak 5 tahun melebihi pidana pokok / pidana-pidana
pokok yang dijatuhkan. Jika pidana pokok hanya pidana denda saja, maka lamanya
pencabutan hak paling sedikit 2 tahun & paling lama 5 tahun.
(2) Pidana-pidana pencabutan hak yang berlainan dijatuhkan sendiri-sendiri
tanpa dikurangi.
2.
Pidana-pidana perampasan
barang-barang tertentu, begitu pula halnya dengan pidana kurungan pengganti karena
barang-barang tidak diserahkan, dijatuhkan sendiri-sendiri tanpa dikurangi. Pidana
kurungan-kurungan pengganti jumlahnya tidak boleh melebihi 8 bulan.
Pasal 69
1. Perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urut-urutan
dalam Pasal 10.
2. Jika hakim memilih antara beberapa pidana pokok maka dalam perbandingan
hanya terberatlah yang dipakai.
3. Perbandingan beratnya pidana-pidana pokok yang sejenis ditentukan menurut
maksimumnya masing-masing.
4. Perbandingan lamanya pidana-pidana pokok yang sejenis ditentukan menurut
maksimumnya masing-masing.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal
tersebut, sistem kumulasi terbatas ini pada prinsipnya mengajarkan bahwa jika
ancaman sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum yang dilanggar
oleh pelaku concursus realis adalah tidak sejenis, maka cara pemidanaannya
ialah dengan menjatuhkan totalitas / jumlah sanksi pidana yang ada dalam
seluruh aturan hukum yang dilanggar, tetapi total akhir tidak boleh melebihi dari
jumlah maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3 nya.
c.
Sistem Kumulasi Murni (Pasal 70 Ayat 1 KUHP).
Pasal 70
Pasal 70
1) Jika ada perbarengan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 65 & 66, baik
perbarengan pelanggaran dengan kejahatan, maupun pelanggaran dengan
pelanggaran, maka untuk tiap-tiap pelanggaran dijatuhkan pidana sendiri-sendiri
tanpa dikurangi.
2) Mengenai pelanggaran, jumlah lamanya pidana kurungan & pidana kurungan
pengganti paling banyak 1 tahun 4 bulan, sedangkan jumlah lamanya pidana kurungan
pengganti, paling banyak 8 bulan.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, sistem kumulasi murni diterapkan jika wujud & status dari
masing-masing perbuatan pidana yang dilakukan berbeda-beda. Jika concursus
realis terdiri atas delik pelanggaran semua / delik kejahatan ringan &
delik pelanggaran, maka sistem pemidanaannya ialah dengan cara menjatuhkan
seluruh sanksi pidana yang terdapat dalam semua aturan hukum yang dilanggar.
Jadi semua pidana dijumlah / dikumulasikan.
3. Voortgezette Handeling ( Perbuatan berlanjut )
Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan TP, tetapi
dengan adanya hubungan antara 1 dengan yang lain, maka dianggap sebagai satu
perbuatan yang dilanjutkan.
Dasar hukum tentang perbarengan tindakan berlanjut terdapat dalam Pasal 64
KUHP, yang rumusannya sbb:
a) Beberapa perbuatan yang berhubungan, sehingga harus dipandang sebagai 1
perbuatan yang diteruskan, maka hanya 1 ketentuan pidana saja yang digunakan
walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan / pelanggaran. Jika
hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukuman
utamanya.
b) Begitu juga hanya digunakan satu ketentuan pidana saja, bila orang dipersalahkan
memalsu / merusakkan uang & memakai benda untuk melakukan perbuatan memalsu
/ merusakkan uang.
Mengenai perbuatan ini,
ada 2 pendapat yaitu:
a. Perbuatan berlanjut dipandang sebagai satu delik kesatuan ( delik yang
bulat ). Perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu dapat dikatakan sebagai bagian-bagian
dari satu delik. Pendirian ini mempunyai konsekuensi mengenai tempat,
waktu serta tenggang waktu ( daluwarsa ) dari delik itu.
b. Perbuatan berlanjut dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri seperti pada
concursus realis & diantara perbuatan-perbuatan itu ada hubungannya. Masing-masing mempunyai
tempat & tenggang waktu ( daluwarsa )
sendiri-sendiri.
SEKIAN
TERIMA KASIH
TERIMA KASIH
HAL-HAL
YANG MENYERTAI DELIK PIDANA
DaLaM KUHP
Oleh : IRAWAN JATI MUSTIKO, SH, MH
YANG MENYERTAI DELIK PIDANA
DaLaM KUHP
Oleh : IRAWAN JATI MUSTIKO, SH, MH
I.
Delik Dolus ( Kesengajaan
)
Tercantum dalam pasal
18 KUHP, yang berbunyi
“Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui & menghendakinya maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.
“Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui & menghendakinya maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.
Pengertian “kesengajaan”
tidak terdapat dalam KUHP, tetapi ditemukan dalam Memorie van
Toelicting (M.v.T), yang dikenal dengan 2 teori, yaitu:
1.
Teori Pengetahuan /
Voorstellings Theorie.
Yaitu, keadaan batin pelaku terhadap perbuatan pidana
yang dilakukannya, yang secara psikis memang telah ia sadari / ketahui bahwa
perbuatan tersebut adalah terlarang. Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan pidana
seseorang sudah dapat dikatakan sengaja dilakukan jika saat berbuat pelaku tersebut
mengetahuia / amenyadari bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang dilarang
oleh hukum.
2. Teori Kehendak / Wills Theorie.
Yaitu, keadaaan batin pelaku terhadap perbuatan pidana
yang dilakukannya yang tidak saja ia sadari bahwa perbuatan itu dilarang oleh
hukum, tetapi juga memang dikehendaki terjadinya oleh pelaku tersebut. Teori
ini mengajarkan bahwa perbuatan pidana seseorang baru dapat dikatakan sengaja
dilakukan jika saat berbuat pelaku tersebut tidak saja mengetahui / menyadari
terlarangnya perbuatan, tetapi juga memang menghendaki terjadinya perbuatan.
Berdasarkan kedua
ajaran teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian sengaja (dolus) ialah
orang yang:
1. Mengetahui / menyadari perbuatannya.
2. Menghendaki terjadinya perbuatan tersebut.
Kesengajaan itu sendiri
dibedakan lagi menjadi:
1. Sengaja yang bersifat pasti / tertentu ( Dolus Malus ).
Kesengajaan inilah yang biasa dipahami sebagai arti
sengaja dalam makna yang sebenar-benarnya, artinya pelaku dianggap telah melakukan
kesengajaan, karena dia tahu akibat hukum perbuatannya & mau akibat itu
terjadi.
2. Sengaja yang bersifat kemungkinan / tak tentu ( Dolus Evantualis ).
Artinya pelaku perbuatan pidana menyadari bahwa
perbuatannya itu sangat mungkin akan menimbulkan akibat tertentu yang dilarang
hukum. Namun meski ia menyadari hal itu, sikap yang muncul pada dirinya
bukannya menjauhi perbuatan tersebut, melainkan justru tetap melakukannya dgn
berpandangan kalaupun akibat tertentu yang dilarang hukum tersebut akan
terjadi, ya apa boleh buat. Oleh karenanya, kategori / bentuk sengaja ini
sering disebut dengan “Inklauf Nehmen Theorie” / “Teori Apa Boleh Buat”.
Dalam hubungan ini
perlu dipahami pula bahwa sekalipun menurut teori, bentuk kesengajaan dapat
dibedakan secara gradual antara dolus malus dengan dolus evantualis namun
sesungguhnya dalam praktek peradilan antara keduanya tidak ada perbedaan sama
sekali, dalam peradilan keduanya dipandang sama, yakni merupakan bentuk sikap
batin sengaja yang ada pada diri pelaku saat ia berbuat suatu tindak pidana.
II. Delik Culpa ( Kealpaan / Kelalaian / Kesalahan )
Kealpaan/Kelalaian/Kesalahan
diartikan sebagai keadaan batin pelaku perbuatan pidana yang bersifat ceroboh/
teledor / kurang hati-hati sehingga pebuatan & akibat yang dilarang hukum
itu terjadi. Dalam keadaan ini, pelaku sama sekali tidak berniat untuk
melakukan tindak pidana, akan tetapi ia tetap patut dipersalahkan / dicela karena
sikapnya yang ceroboh / teledor, mengingat nilai-nilai dalam masyarakat
menghrskan setiap orang memiliki sikap hati-hati dalam bertindak, alias tidak
ceroboh/teledor.
Kealpaan dapat
dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1. On Bewuste Culpa: Yaitu sikap batin pelaku perbuatan pidana yang tidak
memiliki dugaan / pikiran bahwa perbuatannya dapat menimbulkan akibat tertentu
yang dilarang hukum. Sikap tidak mau berpikir / menduga tentang akibat dari
perbuatannya itulah yang patut dipersalahkan.
Contohnya, Budi baru mulai belajar naik sepeda motor,
tetapi ia sudah mulai mengendarainya dengan kecepatan 100 km/jam dijalanan
kampung, yang berakibat tertabraknya seorang pejalan kaki dipinggir jalan. Dalam
fakta kejadian kasus, Budi patut dipersalahkan, karena ia mengendarai dengan
kecepatan tinggi dijalan kampung walaupun ia belum mahir mengendarai sepeda
motor. Oleh karena itu ia patut dipertanggungjawabkan secara pidana.
2. Bewuste Culpa: Yaitu sikap batin pelaku perbuatan pidana, dimana pada
dasarnya ia telah memiliki dugaan / pikiran bahwa perbuatannya mungkin saja dapat
menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum, akan tetapi pada saat yang
sama ( disebabkan karena terlalu yakin ) ia juga berpikir bahwa akibat tertentu
yang dilarang hukum yang mungkin terjadi itu pasti akan dapat dihindarinya.
Contoh kasus, Seorang sopir bus mengendarai busnya dengan
kecepatan 100 km/jam di jalan Malioboro. Dia menyadari bahwa perbuatannya itu
sangatlah berbahaya, akan tetapi ia yakin bahwa ia dapat menghindari terjadinya
kecelakaan. Tapi ternyata dugaannya itu meleset & mengakibatkan
tertabraknya seorang pejalan kaki yang sedang melintas. Yang patut dipersalahkan
adalah perbuatannya menganggap enteng kemungkinan timbulnya akibat. Seharusnya
menurut nilai kepatutan di masyarakat ia berusaha mencegah / menghindari
kemungkinan terjadinya kecelakaan.
III. Over Macht ( Daya Paksa )
Daya paksa ini diatur
dalam Pasal 48 KUHP, dimana ditegaskan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan
pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.
Secara teoritik daya
paksa dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu:
1. Via Absolute: Yaitu suatu kekuatan fisik yang bersifat mutlak yang mengenai
& mengkondisikan seseorang sehingga ia tidak dapat menghindar sama sekali untuk
berbuat lain kecuali terpaksa melakukan perbuatan pidana yang dilarang hukum. Dalam hal
ini, pelaku hanya merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu
ia tidak dikenai pidana karena hakekat alat adalah benda mati & hukum
tidaklah membicarakan / mengatur benda mati sebagai obyek. Contoh kasus, A
menculik anak B, kemudian A menyuruh B untuk membunuh C, kalau A tidak mau maka
anaknya akan dibunuh. Dalam kasus demikian, terjadinya perbuatan pidana yang
dilakukan B adalah karena ia berada dalam suatu kondisi sangat terpaksa akibat
kekuatan fisik ( berupa ditawannya anak oleh A ).
2. Via Compulsiva: Yaitu suatu kekuatan psikis yang mengkondisikan
seseorang sehingga berada dalam keadaan terpaksa melakukan suatu perbuatan pidana
yang dilarang hukum. Secara teoritik, sumber datangnya kekuatan psikis tersebut
adakalanya berasal dari kekuatan yang mempengaruhi jiwanya yang dilancarkan
seseorang sehingga yang terkena secara psikis tidak lagi memiliki kehendak
apa-apa selain mengikuti kemauan pihak yang melancarkan pengaruh jiwa tadi,
misalnya hipnotis & gendam. Selain itu adakalanya bersumber dari suatu
keadaan tertentu yang sering disebut dengan “keadaan darurat” ( suatu keadaan
yang sedemikian rupa benar-benar mengkondisikan seseorang hingga tidak memiliki
kebebasan sama sekali untuk menentukan pilihannya antara melakukan / tidak
melakukan perbuatan pidana ).
Keadaan darurat dapat
dibedakan menjadi 3 jenis:
a.
Keadaan yang
mengakibatkan seseorang berada diantara kehrsan melaksanakan 2 kewajiban
sekaligus. Contoh, A harus menjadi saksi di 2 pengadilan diwaktu & hari yang sama.
Sikap A yang tidak menghadiri salah 1 pengadilan dapat dibenarkan / dimaafkan sehingga
tidak dikenai pidana.
b. Keadaan yang mengakibatkan seseorang berada diantara kehrsan melindungi 2
kepentingan sekaligus. Contoh, A & B sedang tersesat digurun padang pasir
& tinggal tersisa seteguk air yang cukup untuk 1 orang saja. Sikap A yang
meminum air tersebutb hingga B mengalami kematian karena dehidrasi dapat
dibenarkan / dimaafkan.
c. Keadaan yang mengakibatkan seseorang berada diantara keharusan
melindungi suatu kepentingan dengsn keharusan melaksanakan suatu kewajiban. Contoh, seorang
pengemis yang mencuri makanan dikrnkan sudah tiga hari tidak makan. Dalam
kasus tersebut pengemis tersebut dihadapkan pada dua sisi yaitu kepentingan
mempertahankan hidup & kewajiban untuk tidak mencuri. Oleh karena itu
perbuatan tersebut tidak dapat dikenai ancaman pidana.
IV. Noodweer ( Pembelaan Terpaksa )
Pembelaan terpaksa ini diatur dalam Pasal 49 Ayat 1, yang
berbunyi:
”Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan / ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan ( eerbaarheid ) / harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.
”Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan / ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan ( eerbaarheid ) / harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.
Yang perlu dijelaskan dalam keadaan ini adalah, kapan
saat dimulainya serangan & kapan saat berhentinya serangan.
Saat dimulainya serangan dalam pasal tersebut ditentukan harus “seketika itu”, yaitu saat melihat adanya serangan, saat itulah dia boleh mengadakan pembelaan. Ketentuan ini juga dianut di Nederland.
Saat dimulainya serangan dalam pasal tersebut ditentukan harus “seketika itu”, yaitu saat melihat adanya serangan, saat itulah dia boleh mengadakan pembelaan. Ketentuan ini juga dianut di Nederland.
Di Indonesia saat dimulainya ancaman lebih diajukan lagi,
yaitu dengan menambah kata “ancaman”. Jadi saat dimana orang sudah boleh
mengadakan pembelaan bukannya ketika sudah ada serangan, tapi baru ada ancaman
akan adanya serangan saja orang sudah boleh melakukan pembelaan. Mengenai akhir
serangan, hendaknya jangan diartikan kalau sudah tidak ada serangan lagi saja.
Jika pengertiannya demikian, maka kalau orang melihat barangnya telah diambil
oleh pencuri, dia tidak boleh lagi mengadakan pembelaan meskipun pencurinya
masih dekat.
Dalam praktek saat sesudah adanya serangan dipandang juga
sebagai masih ada serangan.
Noodweer : adalah pembelaan yang diberikan karena sangat
mendesak terhadap serangan yang mendesak & tiba-tiba serta mengancam &
melawan hukum. Unsur-unsur dari
serangan adalah:
1. Serangan yang nyata:
a. Melawan hukum.
b. Mendesak & tiba-tiba mengancam.
2. Serangan itu harus dilakukan terhadap:
a.
Badan sendiri / orang
lain.
b.
Kehormatan kesusilaan.
c. Barang milik sendiri / orang lain.
V.
Delik Perintah Atasan
Delik Perintah Atasan ini diatur dalam Pasal 51 Ayat 1
KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak dipidana”.
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak dipidana”.
Pasal 51 Ayat 2 KUHP berbunyi:
“Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan
hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan i’tikad baik mengira bahwa
perintah diberikan dengan wewenang & pelaksanaanya termasuk dalam
lingkungan pekerjaannya”.
Untuk dapat lepas dari tanggungjawab atas perbuatannya
orang yang diperintah, menurut ayat tersebut ada 2 syarat:
1. Secara subyektif, dalam batin orang yang diperintah harus mengira bahwa
perintahnya adalah sah, baik dilihat dari segi pejabat yang mengeluarkan
perintah, maupun dari segi macamnya perintah. Kesimpulan kearah ini harus berdasar
atas fakta-fakta yang ada.
2. Dari fakta yang ada, adalah masuk akal jika terdakwa mengira bahwa perintah
adalah sah dari yang berwenang, maka apa yang diperintahkan itu secara
obyektif, dalam kenyataannya, harus masuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Demikian
paparan kami
TERIMA KASIH
TERIMA KASIH
Komentar
Posting Komentar