DELIK PERCOBAAN, PENYERTAAN, DAN PERBARENGANAN PIDANA DALAM KUHP



DELIK
PERCOBAAN PIDANA DALAM KUHP

Oleh : IRAWAN JATI MUSTIKO, SH, MH
A.  Percobaan (POGING)
Merupakan perluasan pertanggungjawaban pidana terhadap suatu perbuatan pidana, dia bukan merupakan delik mandiri, sehingga harus dilengkapi dengan delik pokok. Selanjutnya karena hanya merupakan perluasan pertanggungjawaban pidana maka ancamannya tidak maksimum tetapi dikurangi 1/3 dari pidana pokok maksimum. Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat / melakukan sesuatu, Percobaan dapat dikatakan pula sebagai perbuatan pidana yang belum selesai. Delik percobaan diatur dalam:
Bab IV KUHP
Psl 53
1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah  ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan & tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati/pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Syarat untuk dapat tidak dipidana dalam rumusan pasal tersebut, dapat dibedakan menjadi dua bagian:
a. Dalam rumusan delik yaitu;
1.  Adanya niat / suatu maksud / voornemen, untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.
2.  Adanya suatu permulaan pelaksanaan / suatu begin van uitvoering, dalam arti bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki.
3.  Tidak selesainya pelaksanaan, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri tetapi kehendak dari luar dirinya.
b. Diluar rumusan delik yaitu ;   Perbuatan itu harus mengandung unsur melawan hukum, dilarang oleh Undang-Undang sebagaigmana telah menjadi unsur mutlak dalam rumusan perbuatan pidana (delik).
Dilihat dari terpenuhinya delik, maka percobaan dapat dibedakan menjadi ;
1.  Perbuatan yang delik pidana dan tujuannnya belum selesai (Delik Percobaan Tentatif).
Misalnya ada seorang pencuri sedang melakukan pencurian, namun sebelum barang curian berhasil dibawa, perbuatan tersebut diketahui oleh pemilik barang.
2.  Perbuatan yang delik pidananya telah selesai namun tujuannya tidak selesai ( Delik Percobaan Manque ).
Misalnya A berniat membunuh X dengan memasukkan racun kedalam minuman X. Minuman tersebut kemudian diminum X, lalu X kejang-kejang & dibawa kerumah sakit, namun dengan penanganan medis yang cepat, racun dapat dikeluarkan dari tubuh X, & X kembali sehat lagi.
Kedua Pasal diatas tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging). Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang Pasal 53 Ayat 1 KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan, “Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen”. ( Percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, /pun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan ).
Namun demikian ada juga beberapa macam kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya;
1. Percobaan menganiaya (Pasal 351 Ayat 5 KUHP),
2. Percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 Ayat 3 KUHP), dan
3. Percobaan perang tanding (Pasal 184 Ayat 5 KUHP).
Dalam beberapa kasus ditemukan adanya kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela / kehendak diluar pelaku. Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu.
Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat didalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu / karena ada faktor lain diluar diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan / perkiraannya dapat membahayakan dirinya sehibgga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.
Loebby Loqman memberikan contoh;
1.  Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. NJ. 1952 No. 670 tentang percobaan pembunuhan.
A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu dengan membawa pisau yang telah dipersiapkan, A memasuki ruangan dimana B berada, dengan berjalan membungkuk menuju kearah B berada. Akan tetapi perbuatan A ditahan oleh beberapa orang yang berada diruangan, sedangkan B lari meninggalkan ruangan. Terdakwa dalam kasus diatas dituduh melakukan percobaan pembunuhan & subsidair melakukan percobaan penganiayaan berat. Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak selesainya pembunuhan / penganiayaan berat itu disebabkan “setidak-tidaknya karena 1 / lebih keadaan diluar kehendaknya”. Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang hadir pada saat perbuatan dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang semula dikehendakinya. Akan tetapi yang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena A melihat adanya perubahan wajah B pada saat itu & karena jeritan orang banyak sehingga A tidak “tega” meneruskan perbuatan yang dikehendaki semula. Meskipun demikian Pengadilan Arnhem dalam pertimbangannya memberikan putusan bahwa kasus tersebut tetap sebagai percobaan. Pengunduran diri dalam kasus diatas meskipun ada faktor yang datang dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari luar memaksanya untuk mengundurkan diri.
2.  Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengundurkan diri dari niatnya secara sukarela. Percobaan seperti ini disebut sebagai voltooide artinya meskipun seseorang telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul niatnya untuk secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula tidak dapat lagi dilakukan.
Sebagai contoh, seseorang dalam suatu pemeriksaan dipengadilan sedang memberikan keterangannya. Karena dianggap memberikan kesaksian yang tidak benar, Hakim memperingatkan bahwa seseorang dapat dipidana bila  memberikan keterangan yang tidak benar berdasarkan delik “kesaksian palsu”. Dalam hal demikian dianggap orang tersebut telah melakukan delik, yaitu delik kesaksian palsu terhadap keterangan sebelumnya yang telah diberikan dalam sidang itu.
Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus diatas, menganggap sebagai pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena dengan sukarela orang tersebut  menarik kembali keterangan yang tidak benar, akan tetapi putusan Hoge Raad tahun 1952 memutuskan bahwa kasus diatas merupakan delik selesai ( delik kesaksian palsu ) terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya setelah penundaan sidang.
3.  Disamping peristiwa yang diuraikan diatas terdapat pula suatu keadaan dimana seorang melakukan percobaan kejahatan, sementara itu terjadi delik lain yang telah selesai. Peristiwa ini disebut dengan guequalificeerde poging ( percobaan yang dikwalifikasi ).
Sebagai contoh, seorang yang berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam sebuah rumah. Untuk itu orang tersebut telah memasuki halaman rumah, akan tetapi sebelum memasuki rumah sudah tertangkap. Dalam hal ini orang tersebut disamping dianggap melakukan percobaan pencurian ( jika dilihat dari teori subjektif ) juga telah melakukan delik yang selesai, yaitu delik memasuki halaman tanpa izin ( Huisvredebruik )seperti yang diatur dalam Pasal 167 KUHP.
B.  Teori Tidak Selesainya Suatu Perbuatan.
Menurut Barda Nawawi Arief, tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
a.  Adanya penghalang fisik.
Contoh, tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakannya menyimpang / pistolnya terlepas. Termasuk dalam pengertian ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang digunakan misal pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.
Contoh, takut ditangkap karena gerak-geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada objek yang menjadi sasaran.
Contoh, Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati / yang tertembak bagian yang tidak membahayakan, barang yang akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.
Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Pengunduran diri secara sukarela terjadi jika pelaku masih dapat meneruskan perbuatannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat dibedakan.
b.  Pengunduran diri secara sukarela ( rucktritt ) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan.
c.  Penyesalan ( tatiger reue ) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut. Misal, orang memberi racun pada minuman si korban, tetapi setelah racun diminum ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.
SEKIAN
TERIMA KASIH
DELIK PENYERTAAN PIDANA
(
DEELNEMING ) DALAM KUHP

Oleh : IRAWAN JATI MUSTIKO, SH, MH
A.     DELIK PENYERTAAN
1.  Delik Penyertaan Pidana ; adalah perbuatan pidana yang berbentuk khusus karena jumlah pelakunya lebih dari 1 ( satu ) orang. Padahal subjek hukum yang disebutkan & dimaksudkan dalam rumusan Tindak Pidana adalah hanya untuk 1 orang saja, bukan untuk beberapa orang. Sebagai contoh rumusan yang terdapat dalam Pasal 338 KUHP yang menyatakan bahwa, ”Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara setinggi-tingginya lima belas tahun”. Jelas yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah 1 orang, & bukan banyak orang / beberapa orang.
Sehingga apabila ada kasus si A membunuh si B, dimana si C memegangi tangan si B, maka berdasarkan rumusan Pasal tersebut, hanya si A-lah yang dapat dikenai pidana, sedangkan si C tidak dapat, padahal si C juga ikut andil atas pembunuhan terhadap si B. Keadaan seperti inilah yang diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP tentang penyertaan.
2.  Menurut doktrin para pakar hukum pidana, delik penyertaan berdasarkan sifatnya dibedakan atas:
a.  Yang berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari setiap peserta dihargai sendiri-sendiri, dan
b.  Yang tidak berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan dari perbuatan peserta yang lain.
3.  Menurut Adami Chazawi, persoalan pokok didalam ajaran delik penyertaan, ialah meliputi hal-hal sebagai berikut;
a.  Mengenai diri orangnya, yaitu orang yang mewujudkan perbuatan yang bagaimana & yang bersikap batin bagaimana yang dapat dipertimbangkan & ditentukan sebagai terlibat / tersangkut dengan tindak pidana yang diwujudkan oleh kerjasama lebih dari 1 orang, sehingga dia patut dibebani tanggung jawab pidana & dipidana.
b.  Mengenai tanggung jawab pidana yang dibebankan kepada masing-masing, yaitu apakah mereka para peserta yang terlibat itu akan dipertanggungjawabkan sama ataukah berbeda sesuai dengan keterlibatan / andil dari perbuatan yang mereka lakukan terhadap terwujudnya Tindak Pidana.
4.  Dapatnya perbuatan seseorang dianggap terlibat bersama peserta lainnya dalam mewujudkan Tindak Pidana, disyaratkan sebagai berikut”
a.  Dari sudut subjektif ada 2 syarat, yaitu :
1)  Adanya hubungan batin ( kesengajaan ) antara pelakuengangn Tindak Pidana yang hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya Tindak Pidana. Disini, ada kepentingan untuk terwujudnya Tindak Pidana.
2)  Adanya hubungan batin ( kesengajaan, seperti mengetahui ) antara pelaku dengan peserta lainnya & bahkan dengan apa yang diperbuat peserta lainnya.
b.  Dari sudut objektif, ialah bahwa perbuatan orang itu ada hubungannya dengan terwujudnya Tindak Pidana / wujud perbuatan orang itu secara objektif ada perannya terhadap terwujudnya Tindak Pidana.
5.  Sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana pada penyertaan, yaitu ;
a.  Yang mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama dalam suatu Tindak Pidana dipandang & dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian ( Dader ) melakukan tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa yang ada dalam sikap batinnya.
b.  Masing-masing orang yang bersama-sama terlibat kedalam suatu Tindak Pidana dipandang & dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang berat ringannya sesuai dengan bentuk & luasnya wujud perbuatan masing-masing orang dalam mewujudkan tindak pidana.

B.     PENYERTAAN
Dalam KUHP indonesia diatur dalam bab v, dikenal ada 2 bentuk, yaitu,
1.  Pembuat ( Dader ) dalam Pasal 55 KUHP.
2.  Pembantu dalam Pasal 56 KUHP.
Pasal 55
1.  Dipidana sebagai pelaku TP,
a)  Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan & yang turut serta melakukan perbuatan.
b)  Mereka yang dengan memberi / menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan / martabat, dengan kekerasan, ancaman / penyesatan / dengan memberi kesempatan, sarana / keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
2.  Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56
Dipidana sebagai pembantu kejahatan,
1.  Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan,
2.  Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana / keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dalam KUHP Jerman pelaku penyertaan dikenal dengan istilah, Pelaku sebagai Tater, Penganjur sebagai Anstifter & Pembantu sebagai Gehilfe. Titik berat diletakkan pada sikap batin para peserta.  Dalam teori hukum pidana perbedaan antara ketiga bentuk penyertaan yang dititik beratkan kepada sikap batin masing-masing peserta dinamakan ajaran penyertaan yang subyektif ( subjectieve deelnemingsleer ). Orang yang digolongkan sebagai Tater harus mempunyai Taterwille ( niat ) untuk melakukan perbuatan sebagai perbuatan sendiri.
Berdasarkan Pasal 55 & 56 KUHP tersebut, para pelaku kejahatan dibedakan dalam:
a.  Pelaku utama yang dikualifikasikan sebagai pelaku materiel / pembuat delik ( Dader / Plegen ) &
b.  Pelaku pembantu yang dikualifikasikan sebagai membantu melakukan secara sengaja / pembantu pembuat delik ( Medeplegen / Medeplichtiger ).
Berdasarkan rumusan Pasal 55 & 56 KUHP maka terdapat 5 peranan pelaku Tindak Pidana / Dader, yaitu:
a.  Orang yang melakukan Tindak Pidana ( Dader / Pleger )
Orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana dirumuskan oleh Undang-Undang, baik unsur subjektif maupun objektif / sebagai pelaku nyata / langsung dari Tindak Pidana ).
b.  Orang yang menyuruh Pleger untuk melakukan Tindak Pidana ( Doenpleger / Doen Plegen )
Seseorang berkehendak melakukan suatu delik tapi tidak melakukannya sendiri, melainkan menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena berdasarkan Pasal 44 KUHP.
Ciri pokok perbuatan menyuruh-lakukan, terletak pada alat yang dipakai, yaitu orang yang disuruh tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan pidana yang dilakukan, sedangkan unsur lainnya harus ada alat yang dipakai berupa orang lain yang berbuat & tidak ditentukan daya upaya / cara-cara menyuruh orang lain itu.
Untuk terjadinya suatu doen plegen seperti yang dimaksud dalam Pasal 55 Ayat 1 KUHP, orang yang disuruh melakukan haruslah memenuhi syarat tertentu, yang menurut Profesor SIMON berupa:
1)  Orang yang disuruh adalah orang yang ontoerekenings vatbaar / tidak sehat akal seperti yang dimaksud dalam Pasal 44 KUHP.
2)  Orang yang disuruh mempunyai dwaling / kesalahpahaman mengenai salah 1 unsur dari TP yang bersangkutan.
3)  Orang yang disuruh sama sekali tidak mempunyai unsur schuld / kesalahan, baik dolus / kesengajaan maupun culpa / kelalaian, maupun unsur opzet/ keterkaitan seperti yang disyaratkan Undang-Undang bagi Tindak Pidana  tersebut.
4)  Orang yang disuruh itu tidak memenuhi unsur oogmerk / alasan, seperti yang disyaratkan UU mengenai Tindak Pidana tersebut.
5)  Orang yang disuruh itu telah melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht / daya paksa, & terhadap paksaan tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan.
6)  Orang yang disuruh itu dengan itikad baik telah melaksanakan perintah jabatan, padahal perintah tersebut diberikan oleh atasan yang tidak berwenang.
7)  Orang yang disuruh itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid / suatu sifat tertentu, seperti yang disyaratkan UU, yakni sebagai suatu sifat yg dimiliki oleh pelakunya sendiri.
8)  Perbuatan tersebut telah diputuskan HOGE RAAD dalam arrest-nya tanggal 10 Juni 1912, W. 9355 yang mengatakan antara lain, “Menyuruh melakukan itu sifatnya tidaklah terbatas, ditinjau dari cara bagaimana suatu perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang disuruh melakukan. Ia dapat berupa suatu perbuatan, yang oleh orang yang telah disuruh melakukan itu tidak diketahui, bahwa perbuatan tersebut sebenarnya merupakan suatu Tindak Pidana.
Dalam hal ini isteri seorang penjual susu yang telah menambah sejumlah air kedalam susu yang telah siap diantarkan kerumah para langganan suaminya, yang tidak mengetahui bahwa susu tersebut telah dipalsukan“.
Untuk terjadinya suatu doen plegen itu, suruhan untuk melakukan Tindak Pidana tidak perlu harus diberikan secara langsung oleh mide dader kepada seorang materieele dader, melainkan dapat juga diberikan dengan perantaraan orang lain, seperti yang telah diputuskan HOGE RAAD dalam arrrest masing-masing tanggal 15 Januari 1912, W.9278 & tanggal 25 Juni 1917, NJ. 1917 halaman 818, 10145, dimana HOGE RAAD mengatakan antara lain: “Pada doen plegen itu, perintah untuk melakukan suatu perbuatan dapat diberikan kepada orang yang disuruh melakukannya melalui seorang perantara“.
Pertanggungjawaban orang yang menyuruh dibatasi sampai,
a.  Pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh, walaupun maksud orang yang menyuruh lebih jauh daripada perbuatan yang terjadi &
b.  Tidak lebih dari yang memang disuruh-lakukan, walaupun orang yang disuruh itu melakukan perbuatan lebih jauh.
Keadaan orang yang disuruh tidak dapat dipertanggungjawabkan itu, disebabkan banyak kemungkinan, antara lain karena pasal 44, pasal 48, pasal 51 ayat 2 KUHP, sedangkan unsur kwalitas orang yang disuruh sebagaimana disyaratkan delik pasal 413, 419, 437 KUHP & lain-lainnya.
c.  Orang yang turut melakukan / turut serta dengan Pleger dalam melakukan Tindak Pidana (Mededader), dimana syarat Mededader ada 2, yaitu
a.  Harus ada kerja sama secara fisik.
b.  Harus ada kesadaran kerja sama.
Dalam doktrin ada 3 pendapat kemungkinan untuk terwujudnya turut serta, yaitu,
1.  Pelaku bersama-sama melaksanakan delik, / setidak-tidaknya memenuhi unsur delik,
2.  Salah 1 pelaku memenuhi rumusan unsur delik, sedangkan yang lain tidak memenuhi tetapi sangat penting untuk terjadinya delik,
3.  Masing-masing pelaku tidak memenuhi unsur delik secara keseluruhan, saat mereka bersama-sama mewujudkan suatu delik, sebab dalam praktik sulit untuk membuat ukuran seberapa jauh seseorang dianggap ikut dalam pelaksanaan delik.
Inti perbuatan turut serta melakukan, ditentukan adanya “kerjasama yang erat diantara peserta” sbgmana yang ternyata dari kesepakatan perbuatan pembagian hasil kejahatan.
d.  Orang yang sengaja membujuk / menganjurkan Pleger untuk melakukan Tindak Pidana ( Uitlokker ), diatur dalam Pasal 55 Ayat 1 ke 2 KUHP yang berbunyi, Mereka yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan / derajat ( martabat ) dengan paksaan, ancaman / tipuan / dengan memberikan kesempatan, ikhtiar / keterangan dengan sengaja membujuk supaya perbuatan itu dilakukan.
Menurut doktrin, orang yang menggerakkan orang lain disebut actor intelectualis / intelektual dader / provocateur / uitlokker. Sedangkan
orang lain yang menjadi perantara untuk melakukan perbuatan pidana disebut materiale dader.
Menurut peraturan KUHP, bentuk penganjuran itu terdapat 4 isi ketentuan sebagai syarat, yaitu:
1)   Ada orang yang menggerakkan orang lain,
2)   Ada orang yang dapat digerakkan,
3)   Cara menggerakkan harus dengan salah 1 upaya tertentu &
4)   Orang yang digerakkan harus benar-benar melakukan perbuatan pidana.
Perbuatan penganjuran seluruhnya hrs memenuhi 5 syarat, yang mencakup:
a) Untuk Penganjur / Dader harus memenuhi 2 syarat, yaitu,
1. Ada kesengajaan menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan pidana, &
2. Cara menggerakkan dilakukan dengan upaya tertentu yang di tentukan oleh UU,
b. Sedangkan Orang Yg Dianjurkan / Material Dader harus memenuhi 3 syarat, yaitu:
1. Harus melakukan perbuatan pidana yang dianjurkan atau percobaan pidana yang dianjurkan,
2. Harus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, &
3. Harus ada hubungan kausal dengan upaya-upaya tertentu yang dipergunakan oleh Dader.
c. Daya upaya yang dilakukan oleh penganjur, menurut UU harus berupa:
1. Memberikan / menjanjikan sesuatu berupa barang, uang & segala keuntungan yang akan diterima oleh orang yang dianjurkan.
2. Menyalahgunakan kekuasaan / martabat, yaitu pada saat dilakukannya perbuatan, sungguh-sungguh ada kekuasaan martabat yang berdasarkan hukum publik, maupun hukum privat.
3. Memakai kekerasan, artinya orang yang dianjurkan tidak dapat berbuat lain seperti daya paksa.
4. Memakai ancaman atau penyesatan, maksudnya dapat menimbulkan perasaan pada orang lain dalam keadaan bahaya / berbuat yang tidak semestinya.
5. Memberikan kesempatan, sarana / keterangan, yaitu menyediakan kemudahan untuk melakukan perbuatan pidana, alat-alat yang dapat dipergunakan & petunjuk-petunjuk untuk menggerakkan.
Pertanggungjawaban terhadap si penganjur, hanya sebatas perbuatan yang sengaja dianjurkan saja beserta akibat-akibatnya. Namun dalam kejadian yang nyata penentuan pertanggungjawaban itu tidak mudah, berhubung dengan adanya unsur kesengajaan / kealpaan yang dilakukan oleh orang yang dianjurkan.
Prof. van HAMEL merumuskan uitlokking itu sebagai suatu bentuk deelneming / keikutsertaan berupa, “Het opzettelijk bewegen, met door de wet aangedide middelen, van een zelfverantwoordelijk persoon tot een strafbaar feit, dat deze aldus bewogen, opzettelijk pleegt”. Yang artinya, “Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu Tindak Pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh UU, orang yang digerakkan tersebut kemudian dengan sengaja melakukan TP yang bersangkutan”.
e.  Orang yang membantu melakukan (Medeplichtige)
   Mengenai pembantuan diatur dlm 3 Pasal yaitu Pasal 56, 57 & 60 KUHP.
- Pasal 56 KUHP merumuskan tentang unsur subjektif & objektif,
- Pasal 57 KUHP memuat tentang batas luasnya pertanggungjawaban bagi pembuat pembantu,
- Pasal 60 KUHP mengenai penegasan pertanggungjawaban pembantuan itu hanyalah pada pembantuan dalam hal kejahatan tidak dalam hal pelanggaran.
Psl 57
1.   Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi 1/3.
2.   Jika kejahatan diancam dengan pidana mati / pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
3.   Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
4.   Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah / diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Psl 58
Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang, yang menghapuskan, mengurangi / memberatkan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan terhadap pembuat / pembantu yang bersangkutan itu sendiri.
Psl 59
Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus / komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus / komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Psl 60
Membantu melakukan pelanggaran tidak dipidana.
pasal 61
1. Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, penertiban selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakkan disebut nama & tempat tinggalnya, sedangkan pembuatnya dikenal, / setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan kepada penerbit.
2. Aturan ini tidak berlaku jika pelaku pada saat barang cetakan terbit sudah menetap diluar Indonesia.
Psl 62
1.  Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, pencetaknya selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakan disebut nama & tempat tinggalnya, sedangkan orang yang menyuruh mencetak dikenal, / setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan oleh pencetak.
2.  Aturan ini tidak berlaku, jika orang yang menyuruh mencetak pada saat barang cetakan terbit, sudah menetap diluar Indonesia.


















DELIK
PERBARENGAN PIDANA
DALAM KUHP
(Concursus/Samenloop)

Oleh : IRAWAN JATI MUSTIKO, SH, MH
Delik perbarengan disebut pula dengan istilah “Concursus Delicten”, merupakan delik / perbuatan pidana yang berbentuk khusus, karena dalam delik ini seseorang melakukan lebih dari 1 kali perbuatan pidana ( Tatermenhreit ) & semuanya belum pernah diadili ( diproses perkaranya secara hukum ). Pemidanaan yang dijatuhkan tidak dengan menjumlah keseluruhan ancaman sanksi pidana yang terdapat dalam seluruh pasal yang dilanggar.
Menurut Lamintang, gabungan tindak pidana itu disebut Samenloop van Strafbare Feiten. Sebagai contoh, bila seseorang melakukan penganiayaan terhadap seorang korban, setelah itu memperkosanya & kemudian membunuhnya, sehingga dia melakukan 3 tindak pidana, maka menurut KUHP hukuman dari tindak pidana tersebut adalah 10 tahun + 12 tahun + 20 tahun, total 42 tahun. Perhitungan pemidanaan untuk menyelesaikan kasus perbarengan inilah yang kemudian populer disebut dengan istilah ajaran tentang ”Concursus”.
Gabungan Tindak Pidana merupakan perbuatan pidana yang merugikan kepentingan hukum, dimana tindak pidana pelakunya harus dihukum lebih berat dari pelaku yang hanya melakukan satu Tindak Pidana. Perbedaan concursus dengan recidive ialah, dalam concursus antara Tindak Pidana yang dilakukan si pembuat tidak ada putusan hakim, sedang pada recidive ada.
Oleh pembentuk UU, delik ini telah diatur dalam Bab IV dari Buku ke-I KUHP, mulai Pasal 63 s/d Pasal 71, berkenaan dengan pengaturan mengenai berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap seorang terdakwa yang telah melakukan lebih dari satu perilaku terlarang, yang perkaranya telah diserahkan kepadanya untuk diadili secara bersama-sama.
Secara keseluruhan, konsepsi pemidanaan berkait dengan Concursus Delicten ini terdiri atas 3 hal, yaitu:
1.   Concursus Idealis / Perbarengan Aturana / Gabungan Dalam 1 Perbuatan)
Yaitu seseorang yang dalam kenyataan sebenarnya hanya melakukan satu perbuatan pidana saja, tetapi satu perbuatan pidana yang dilakukannya tersebut jika dilihat dari sudut yuridis ternyata dapat dipandang sama dengan telah melanggar dua / lebih aturan hukum pidana.
Perbarengan ini diatur dalam Pasal 63 KUHP.
Psl 63
1.  Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2.  Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Berdasarkan Pasal 63 KUHP tersebut, cara pemidanaan yang diterapkan dalam menyelesaikan kasus concursus idealis adalah dengan menggunakan sistem yang disebut “System Absorbsi”, dengan 3 model, yaitu:
a.   Jika sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa adalah sama bobot & jenisnya ( misalnya sama-sama maksimum 5 tahun penjara ), maka cukup dikenakan salah satunya saja, jadi tidak dijumlahkan totalitasnya sehingga menjadi 10 tahun penjara / lebih.
b.   Jika sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa tersebut adalah berbeda baik bobot maupun jenisnya, maka bobot & jenis pidana yang paling beratlah yang harus dijatuhkan.
c.   Jika sanksi yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa tersebut, di satu sisi ada yang tercantum dalam hukum pidana umum & disisi lain ada yang tercantum dalam hukum pidana khusus, maka sanksi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa adalah yang tercantum dalam aturan hukum pidana khusus.
2.   Concursus Realis ( Perbarengan Perbuatan / Gabungan beberapa perbuatan)
Yaitu seseorang yang dalam kenyataan sebenarnya telah melakukan 2 / lebih perbuatan pidana
yang tidak ada hubungannya satu sama lain & yang masing-masing merupakan Tindak Pidana, shg oleh karena itu secara hukumpun ia dipandang telah melanggar 2 / lebih aturan hukum pidana yang ada.
Dalam kasus demikian, setidaknya ada 3 sistem pemidanaan sebagai model penyelesainnya, yaitu:
a.   Sistem Absorbsi Dipertajam (Pasal 65 KUHP).
Pasal 65
1)  Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yaang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya 1 pidana.
2)  Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3.
Berdasarkan ketentuan Pasal 65 KUHP, sistem pemidanaan absorbsi dipertajam ini diterapkan, apabila seseorang yang terlibat concursus realis pada prinsipnya akan dikenai sanksi pidana terberat yang terdpt dalam beberapa aturan hukum yang dilanggar ditambah sepertiganya. Syarat dapat diterapkannya sistem absorbsi dipertajam ini adalah jika beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh pelaku concursus realis tersebut semuanya mencantumkan sanksi pidana pokok yang sejenis.
b.   Sistem Kumulasi Terbatas (Pasal 66-69 KUHP)
Pasal 66
1)  Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3.
2)  Pidana denda adalah hal itu dihitung menurut lamanya maksimum pidana kurungan pengganti yang ditentukan untuk perbuatan itu.
Pasal 67
Jika orang dijatuhi pidana mati / pidana penjara seumur hidup, disamping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu & pengumuman putusan hakim.
Pasal 68
1.  Berdasarkan hal-hal dalam Pasal 65 & 66, tentang pidana tambahan berlaku aturan sebagai berikut:
                    (1)  Pidana-pidana pencabutan hak yang sama dijadikan 1, yang lamanya paling sedikit 2 tahun & paling banyak 5 tahun melebihi pidana pokok / pidana-pidana pokok yang dijatuhkan. Jika pidana pokok hanya pidana denda saja, maka lamanya pencabutan hak paling sedikit 2 tahun & paling lama 5 tahun.
                    (2)  Pidana-pidana pencabutan hak yang berlainan dijatuhkan sendiri-sendiri tanpa dikurangi.
2.  Pidana-pidana perampasan barang-barang tertentu, begitu pula halnya dengan pidana kurungan pengganti karena barang-barang tidak diserahkan, dijatuhkan sendiri-sendiri tanpa dikurangi. Pidana kurungan-kurungan pengganti jumlahnya tidak boleh melebihi 8 bulan.
Pasal 69
1.  Perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urut-urutan dalam Pasal 10.
2.  Jika hakim memilih antara beberapa pidana pokok maka dalam perbandingan hanya terberatlah yang dipakai.
3.  Perbandingan beratnya pidana-pidana pokok yang sejenis ditentukan menurut maksimumnya masing-masing.
4.  Perbandingan lamanya pidana-pidana pokok yang sejenis ditentukan menurut maksimumnya masing-masing.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, sistem kumulasi terbatas ini pada prinsipnya mengajarkan bahwa jika ancaman sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum yang dilanggar oleh pelaku concursus realis adalah tidak sejenis, maka cara pemidanaannya ialah dengan menjatuhkan totalitas / jumlah sanksi pidana yang ada dalam seluruh aturan hukum yang dilanggar, tetapi total akhir tidak boleh melebihi dari jumlah maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3 nya.
c.   Sistem Kumulasi Murni (Pasal 70 Ayat 1 KUHP).
Pasal 70
1)  Jika ada perbarengan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 65 & 66, baik perbarengan pelanggaran dengan kejahatan, maupun pelanggaran dengan pelanggaran, maka untuk tiap-tiap pelanggaran dijatuhkan pidana sendiri-sendiri tanpa dikurangi.
2)  Mengenai pelanggaran, jumlah lamanya pidana kurungan & pidana kurungan pengganti paling banyak 1 tahun 4 bulan, sedangkan jumlah lamanya pidana kurungan pengganti, paling banyak 8 bulan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, sistem kumulasi murni diterapkan jika wujud & status dari masing-masing perbuatan pidana yang dilakukan berbeda-beda. Jika concursus realis terdiri atas delik pelanggaran semua / delik kejahatan ringan & delik pelanggaran, maka sistem pemidanaannya ialah dengan cara menjatuhkan seluruh sanksi pidana yang terdapat dalam semua aturan hukum yang dilanggar. Jadi semua pidana dijumlah / dikumulasikan.
3.   Voortgezette Handeling ( Perbuatan berlanjut )
Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan TP, tetapi dengan adanya hubungan antara 1 dengan yang lain, maka dianggap sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan.
Dasar hukum tentang perbarengan tindakan berlanjut terdapat dalam Pasal 64 KUHP, yang rumusannya sbb:
a)  Beberapa perbuatan yang berhubungan, sehingga harus dipandang sebagai 1 perbuatan yang diteruskan, maka hanya 1 ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan / pelanggaran. Jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya.
b)  Begitu juga hanya digunakan satu ketentuan pidana saja, bila orang dipersalahkan memalsu / merusakkan uang & memakai benda untuk melakukan perbuatan memalsu / merusakkan uang.
Mengenai perbuatan ini, ada 2 pendapat yaitu:
a.  Perbuatan berlanjut dipandang sebagai satu delik kesatuan ( delik yang bulat ). Perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu dapat dikatakan sebagai bagian-bagian dari satu delik. Pendirian ini mempunyai konsekuensi mengenai tempat, waktu serta tenggang waktu ( daluwarsa ) dari delik itu.
b.  Perbuatan berlanjut dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri seperti pada concursus realis & diantara perbuatan-perbuatan itu ada hubungannya. Masing-masing mempunyai tempat & tenggang waktu  ( daluwarsa ) sendiri-sendiri.
SEKIAN
TERIMA KASIH












HAL-HAL
YANG MENYERTAI DELIK PIDANA
DaLaM KUHP


Oleh : IRAWAN JATI MUSTIKO, SH, MH
I.   Delik Dolus ( Kesengajaan )
Tercantum dalam pasal 18 KUHP, yang berbunyi
“Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui & menghendakinya maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.
Pengertian “kesengajaan” tidak terdapat dalam KUHP, tetapi ditemukan dalam Memorie van Toelicting (M.v.T), yang dikenal dengan 2 teori, yaitu:
1.  Teori Pengetahuan / Voorstellings Theorie.
Yaitu, keadaan batin pelaku terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya, yang secara psikis memang telah ia sadari / ketahui bahwa perbuatan tersebut adalah terlarang. Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan pidana seseorang sudah dapat dikatakan sengaja dilakukan jika saat berbuat pelaku tersebut mengetahuia / amenyadari bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum.
2.  Teori Kehendak / Wills Theorie.
Yaitu, keadaaan batin pelaku terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya yang tidak saja ia sadari bahwa perbuatan itu dilarang oleh hukum, tetapi juga memang dikehendaki terjadinya oleh pelaku tersebut. Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan pidana seseorang baru dapat dikatakan sengaja dilakukan jika saat berbuat pelaku tersebut tidak saja mengetahui / menyadari terlarangnya perbuatan, tetapi juga memang menghendaki terjadinya perbuatan.
Berdasarkan kedua ajaran teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian sengaja (dolus) ialah orang yang:
1.  Mengetahui / menyadari perbuatannya.
2.  Menghendaki terjadinya perbuatan tersebut.
Kesengajaan itu sendiri dibedakan lagi menjadi:
1.  Sengaja yang bersifat pasti / tertentu ( Dolus Malus ).
Kesengajaan inilah yang biasa dipahami sebagai arti sengaja dalam makna yang sebenar-benarnya, artinya pelaku dianggap telah melakukan kesengajaan, karena dia tahu akibat hukum perbuatannya & mau akibat itu terjadi.
2.  Sengaja yang bersifat kemungkinan / tak tentu ( Dolus Evantualis ).
Artinya pelaku perbuatan pidana menyadari bahwa perbuatannya itu sangat mungkin akan menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum. Namun meski ia menyadari hal itu, sikap yang muncul pada dirinya bukannya menjauhi perbuatan tersebut, melainkan justru tetap melakukannya dgn berpandangan kalaupun akibat tertentu yang dilarang hukum tersebut akan terjadi, ya apa boleh buat. Oleh karenanya, kategori / bentuk sengaja ini sering disebut dengan “Inklauf Nehmen Theorie” / “Teori Apa Boleh Buat”.
Dalam hubungan ini perlu dipahami pula bahwa sekalipun menurut teori, bentuk kesengajaan dapat dibedakan secara gradual antara dolus malus dengan dolus evantualis namun sesungguhnya dalam praktek peradilan antara keduanya tidak ada perbedaan sama sekali, dalam peradilan keduanya dipandang sama, yakni merupakan bentuk sikap batin sengaja yang ada pada diri pelaku saat ia berbuat suatu tindak pidana.

II. Delik Culpa ( Kealpaan / Kelalaian / Kesalahan )
Kealpaan/Kelalaian/Kesalahan diartikan sebagai keadaan batin pelaku perbuatan pidana yang bersifat ceroboh/ teledor / kurang hati-hati sehingga pebuatan & akibat yang dilarang hukum itu terjadi. Dalam keadaan ini, pelaku sama sekali tidak berniat untuk melakukan tindak pidana, akan tetapi ia tetap patut dipersalahkan / dicela karena sikapnya yang ceroboh / teledor, mengingat nilai-nilai dalam masyarakat menghrskan setiap orang memiliki sikap hati-hati dalam bertindak, alias tidak ceroboh/teledor.
Kealpaan dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1.  On Bewuste Culpa: Yaitu sikap batin pelaku perbuatan pidana yang tidak memiliki dugaan / pikiran bahwa perbuatannya dapat menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum. Sikap tidak mau berpikir / menduga tentang akibat dari perbuatannya itulah yang patut dipersalahkan.
Contohnya, Budi baru mulai belajar naik sepeda motor, tetapi ia sudah mulai mengendarainya dengan kecepatan 100 km/jam dijalanan kampung, yang berakibat tertabraknya seorang pejalan kaki dipinggir jalan. Dalam fakta kejadian kasus, Budi patut dipersalahkan, karena ia mengendarai dengan kecepatan tinggi dijalan kampung walaupun ia belum mahir mengendarai sepeda motor. Oleh karena itu ia patut dipertanggungjawabkan secara pidana.
2.  Bewuste Culpa: Yaitu sikap batin pelaku perbuatan pidana, dimana pada dasarnya ia telah memiliki dugaan / pikiran bahwa perbuatannya mungkin saja dapat menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum, akan tetapi pada saat yang sama ( disebabkan karena terlalu yakin ) ia juga berpikir bahwa akibat tertentu yang dilarang hukum yang mungkin terjadi itu pasti akan dapat dihindarinya.
Contoh kasus, Seorang sopir bus mengendarai busnya dengan kecepatan 100 km/jam di jalan Malioboro. Dia menyadari bahwa perbuatannya itu sangatlah berbahaya, akan tetapi ia yakin bahwa ia dapat menghindari terjadinya kecelakaan. Tapi ternyata dugaannya itu meleset & mengakibatkan tertabraknya seorang pejalan kaki yang sedang melintas. Yang patut dipersalahkan adalah perbuatannya menganggap enteng kemungkinan timbulnya akibat. Seharusnya menurut nilai kepatutan di masyarakat ia berusaha mencegah / menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan.
III. Over Macht ( Daya Paksa )
Daya paksa ini diatur dalam Pasal 48 KUHP, dimana ditegaskan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.
Secara teoritik daya paksa dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu:
1.  Via Absolute: Yaitu suatu kekuatan fisik yang bersifat mutlak yang mengenai & mengkondisikan seseorang sehingga ia tidak dapat menghindar sama sekali untuk berbuat lain kecuali terpaksa melakukan perbuatan pidana yang dilarang hukum. Dalam hal ini, pelaku hanya merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu ia tidak dikenai pidana karena hakekat alat adalah benda mati & hukum tidaklah membicarakan / mengatur benda mati sebagai obyek. Contoh kasus, A menculik anak B, kemudian A menyuruh B untuk membunuh C, kalau A tidak mau maka anaknya akan dibunuh. Dalam kasus demikian, terjadinya perbuatan pidana yang dilakukan B adalah karena ia berada dalam suatu kondisi sangat terpaksa akibat kekuatan fisik ( berupa ditawannya anak oleh A ).
2.  Via Compulsiva: Yaitu suatu kekuatan psikis yang mengkondisikan seseorang sehingga berada dalam keadaan terpaksa melakukan suatu perbuatan pidana yang dilarang hukum. Secara teoritik, sumber datangnya kekuatan psikis tersebut adakalanya berasal dari kekuatan yang mempengaruhi jiwanya yang dilancarkan seseorang sehingga yang terkena secara psikis tidak lagi memiliki kehendak apa-apa selain mengikuti kemauan pihak yang melancarkan pengaruh jiwa tadi, misalnya hipnotis & gendam. Selain itu adakalanya bersumber dari suatu keadaan tertentu yang sering disebut dengan “keadaan darurat” ( suatu keadaan yang sedemikian rupa benar-benar mengkondisikan seseorang hingga tidak memiliki kebebasan sama sekali untuk menentukan pilihannya antara melakukan / tidak melakukan perbuatan pidana ).
Keadaan darurat dapat dibedakan menjadi 3 jenis:
a.  Keadaan yang mengakibatkan seseorang berada diantara kehrsan melaksanakan 2 kewajiban sekaligus. Contoh, A harus menjadi saksi di 2 pengadilan diwaktu & hari yang sama. Sikap A yang tidak menghadiri salah 1 pengadilan dapat dibenarkan / dimaafkan sehingga tidak dikenai pidana.
b.  Keadaan yang mengakibatkan seseorang berada diantara kehrsan melindungi 2 kepentingan sekaligus. Contoh, A & B sedang tersesat digurun padang pasir & tinggal tersisa seteguk air yang cukup untuk 1 orang saja. Sikap A yang meminum air tersebutb hingga B mengalami kematian karena dehidrasi dapat dibenarkan / dimaafkan.
c.  Keadaan yang mengakibatkan seseorang berada diantara keharusan melindungi suatu kepentingan dengsn keharusan melaksanakan suatu kewajiban. Contoh, seorang pengemis yang mencuri makanan dikrnkan sudah tiga hari tidak makan. Dalam kasus tersebut pengemis tersebut dihadapkan pada dua sisi yaitu kepentingan mempertahankan hidup & kewajiban untuk tidak mencuri. Oleh karena itu perbuatan tersebut tidak dapat dikenai ancaman pidana.

IV. Noodweer ( Pembelaan Terpaksa )
Pembelaan terpaksa ini diatur dalam Pasal 49 Ayat 1, yang berbunyi:
”Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan / ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan ( eerbaarheid ) / harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.
Yang perlu dijelaskan dalam keadaan ini adalah, kapan saat dimulainya serangan & kapan saat berhentinya serangan.
Saat dimulainya serangan dalam pasal tersebut ditentukan harus “seketika itu”, yaitu saat melihat adanya serangan, saat itulah dia boleh mengadakan pembelaan. Ketentuan ini juga dianut di Nederland.
Di Indonesia saat dimulainya ancaman lebih diajukan lagi, yaitu dengan menambah kata “ancaman”. Jadi saat dimana orang sudah boleh mengadakan pembelaan bukannya ketika sudah ada serangan, tapi baru ada ancaman akan adanya serangan saja orang sudah boleh melakukan pembelaan. Mengenai akhir serangan, hendaknya jangan diartikan kalau sudah tidak ada serangan lagi saja. Jika pengertiannya demikian, maka kalau orang melihat barangnya telah diambil oleh pencuri, dia tidak boleh lagi mengadakan pembelaan meskipun pencurinya masih dekat.
Dalam praktek saat sesudah adanya serangan dipandang juga sebagai masih ada serangan.
Noodweer : adalah pembelaan yang diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang mendesak & tiba-tiba serta mengancam & melawan hukum. Unsur-unsur dari serangan adalah:
1.  Serangan yang nyata:
a.  Melawan hukum.
b.  Mendesak & tiba-tiba mengancam.
2.  Serangan itu harus dilakukan terhadap:
a.  Badan sendiri / orang lain.
b.  Kehormatan kesusilaan.
c.  Barang milik sendiri / orang lain.

V.   Delik Perintah Atasan
Delik Perintah Atasan ini diatur dalam Pasal 51 Ayat 1 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak dipidana”.
Pasal 51 Ayat 2 KUHP berbunyi:
“Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan i’tikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang & pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.
Untuk dapat lepas dari tanggungjawab atas perbuatannya orang yang diperintah, menurut ayat tersebut ada 2 syarat:
1.  Secara subyektif, dalam batin orang yang diperintah harus mengira bahwa perintahnya adalah sah, baik dilihat dari segi pejabat yang mengeluarkan perintah, maupun dari segi macamnya perintah. Kesimpulan kearah ini harus berdasar atas fakta-fakta yang ada.
2.  Dari fakta yang ada, adalah masuk akal jika terdakwa mengira bahwa perintah adalah sah dari yang berwenang, maka apa yang diperintahkan itu secara obyektif, dalam kenyataannya, harus masuk dalam lingkungan pekerjaannya.


Demikian paparan kami
TERIMA KASIH

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AMALIYAH NAHDLIYAH (Nahdlotul Ulama')

MAKALAH PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA DEWASA