MATERI KULIAH KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER STAIN PONOROGO 2011-2012
KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Khoirul Anwar
I.
Pendahuluan
Kesetaraan
dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah
menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh
negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut.Upaya
mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam
kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004,
dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu
strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
Disamping
itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari empat key cross
cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan PUG diisntruksikan kepada seluruh
departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di pemerintah nasional,
propinsi maupun di kabupaten/kota, untuk melakukan penyusunan program dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan
permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan,
program/proyek dan kegiatan.Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di
Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat
sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan
pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta
kaum perempuan belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan
perempuan telah menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.
Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9%
(102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk
2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif
wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya
tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses
pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.
Kenyataannya dalam beberapa aspek
pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena
kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti
peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya
pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang
rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.
Berbagai upaya pembangunan nasional yang
selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik
perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara
bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil
kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat
secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai
hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya
manusia secara penuh.
Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu
Tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki
daripada perempuan (ideology patriarki); Peraturan perundang-undangan masih
berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan
kesetaraan gender; Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung
tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik;
Kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara
konsisten dan konsekwen; Rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di
eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan
yang responsif gender.
Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi
laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja
aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik
yang diarahkan pada pemerataan pembangunan.Selain itu rendahnya kualitas
perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka
mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya
manusia masa depan.
II.
Kondisi Perempuan
Indonesia
Secara keseluruhan indeks kualitas hidup
manusia digambarkan melalui Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index
(HDI) yang berada pada peringkat ke-96 pada tahun 1995 yang kemudian menurun ke
peringkat 109 pada tahun 1998 dari 174 negara. Tahun 1999 berada pada peringkat 102
dari 162 negara dan
tahun 2002, 110 dari 173 negara. Berdasarkan Human Development Report 2003, HDI
Indonesia menempati urutan ke-112 dari 175 negara, dibandingkan
Negara-negara ASEAN lainnya seperti
HDI Malaysia, Thailand, Philippina yang menempati urutan 59, 70 dan
77.Sedangkan Gender related Development Index (GDI) berada pada peringkat ke-88
pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 (1998) dan peringkat 92 (1999
dari 146 negara). Kemudian pada tahun 2002 pada peringkat 91 dari 144 negara
GDI inipun masih tertinggal dibandingkan dengan-negara di ASEAN seperti
Malaysia, Thailand, Philippina yang masing-masing berada pada peringkat 54, 60,
63.Berdasarkan hasil Survey Penduduk 2000 (BPS) diketahui jumlah
penduduk Indonesia sebesar 206.264.595 orang. Jumlah laki-laki sedikit lebih
banyak dibandingkan perempuan, (50,1% diantaranya laki-laki dan 49,9%
perempuan).Indeks pembangunan manusia skala internasional dan nasional dilihat
dri tiga aspek yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kondisi dan posisi
perempuan meliputi 3 (tiga) aspek tersebut di atas sebagai berikut:
1.
Pendidikan
Di
bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki.
Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang
mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada
perempuan.Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin dari
presentase perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001) lebih besar dibandingkan
laki-laki (6,87%), dengan kecenderungan meningkat selama tahun 1999-2000.
Tetapi pada tahun 2002 terjadi penurunan angka buta huruf yang cukup
signifikan. Namun angka buta huruf perempuan tetap lebih besar dari laki-laki,
khususnya perempuan kepala rumah tangga. Angka buta huruf perempuan pada
kelompok 10 tahun ke atas secara nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi
laki-laki 5,85% dan perempuan 12,69% (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan
Rakyat 1999-2002). Menurut Satatistik Kesejahteraan Rakyat 2003. Angka buta
huruf perempuan 12,28% sedangkan laki-laki 5,84%.
2.
Kesehatan
Menurut
Gender Statistics and indicators 2000 (BPS), kemajuan di bidang kesehatan
ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian bayi (dari 49 bayi per 1000 kelahiran
pada tahun 1998 menjadi 36 tahun 2000, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan
Rakyat 1999-2001). Menurunnya angka kematian anak serta meningkatnya angka
harapan hidup dari 64,8 tahun (1998) menjadi 67,9 tahun (2000), Berdasarkan
estimasi parameter demografi 1998 yang dikeluarkan BPS, angka harapan hidup
(eo) pada periode 1998-2000 cenderung meningkat. Usia harapan hidup (life
expectancy rate) perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 69,7
tahun berbanding 65,9 tahun. (Sumber: BPS, Estimasi Parameter Demografi,
1998).Dibidang kesehatan, selama periode 1998-2000 ada penurunan angka kematian
bayi, Infant Mortality Rate (IMR). Namun angka kematian bayi laki-laki lebih
tinggi dibandingkan angka kematian bayi perempuan. Laki-laki 41, perempuan 31,
(Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001).
Sejalan
dengan semakin meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat, angka kematian anak,
Child Mortality Rate (CMR) periode ini juga menunjukkan penurunan, namun
demikian angka kematian anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan kematian anak
perempuan laki-laki 9,8 sedangkan perempuan 7,9. (Sumber: BPS, Statistik
Kesejahteraan Rakyat 1999-2001).Dibidang kesehatan dan status gizi perempuan
masih merupakan masalah utama, yang ditunjukkan dengan masih tingginya angka
kematian ibu (AKI) 390/100.000 (SDKI 1994), 337/100.000 (SDKI 1997), dan
menurun 307/100.000 (SDKI 2002).
3.
Ekonomi
Di
bidang ekonomi, secara umum partisipasi perempuan masih rendah, kemampuan
perempuan memperoleh peluang kerja dan berusaha masih rendah, demikian juga
dengan akses terhadap sumber daya ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang masih jauh lebih rendah dibandingkan
laki-laki, yaitu 45% (2002) sedangkan laki-laki 75,34%, (Sumber: BPS, Statistik
Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Sedangkan ditahun 2003TPAK laki-laki lebih
besar dibanding TPAK perempuan yakni 76,12% berbanding 44,81%. (BPS, Statistik
Kesejahteraan Rakya, 2003).
III. Faktor
Kesenjangan di Bidang Hukum dan Politik
Faktor penyebab kesenjangan
kondisi dan posisi perempuan dan laki-laki dipengaruhi oleh peraturan
perundang-undangan yang bias gender karena dalam bidang hukum masih banyak
dijumpai substansi, struktur, dan budaya hukum yang diskriminatif gender.
Jumlah peraturan perundang-undangan yang diskrimintaif terhadap perempuan
berjumlah kurang lebih 32 buah.
Faktor penyebab kesenjangan
gender pada aspek lain misalnya politik sebagai berikut: hasil Pemilu tahun
1999 yang menyertakan 57% pemilih perempuan hanya terwakili 8,8% dari seluruh anggota
DPR, lebih rendah dari hasil pemilu 1997 yang berjumlah 11,2% dari jumlah
pemilih 51%, (Sumber: Statistik dan Indikator Gender Indonesia 2002). Pemilu
2004 perempuan hanya terwakili 11%.
Jumlah
perempuan yang menjabat sebagai Hakim Agung dan Hakim Yustisial Non Struktural
di Mahkamah Agung juga menunjukkan penurunan dari 36 pada tahun 1998 menjadi 34
pada tahun 1999, dan 28 pada tahun 2002, (Sumber: Statistik dan Indikator
Gender Indonesia 2002-Bab7).Pada tahun 1999 jumlah PNS perempuan adalah 36,9%,
laki-laki sebesar 63,1% dari jumlah seluruh PNS (4.005.861), dan dari jumlah
tersebut hanya 15,2% PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural, sedangkan
PNS laki-laki sebesar 84,8%. Sedangkan tahun 2000 terjadi sedikit perubahan
dimana jumlah PNS perempuan adalah 37,6%, laki-laki sebesar 62,4% dari jumlah
seluruh PNS (3.927.146), dan dari jumlah tersebut hanya 15,7% yang menduduki
jabatan struktural, sedangkan PNS laki-laki sebesar 84,3%. (Statitik dan
Indikator Gender, BPS, 2000).
Masalah
HAM bagi perempuan termasuk isu gender yang menuntut perhatian khusus adalah
masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam
keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan
perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang
saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif
tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat
pendidikan.
IV.
Pengertian Gender dan Seks
Gender adalah perbedaan dan fungsi peran
sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan
perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat
berubah dari waktu ke waktu. Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari
perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau
diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku
selamanya.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan
Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana
seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata
nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada.
Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab
antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya
dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
Dengan demikian perbedaan gender dan jenis
kelamin (seks) adalah Gender: dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung
waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan
manusia.Lain halnya dengan seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat
dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja,di belahan dunia
manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.
V. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi
bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta
hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan
keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan
tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak
adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan
adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan
peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan
maupun laki-laki.Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan
tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian
mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan
serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses
dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan
sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara
penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan
penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga
memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan
VI.
Permasalah
Ketidakadilan Gender
Ketertinggalan perempuan mencerminkan
masih adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan
di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di
Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan
posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan.
Namun pada kenyataannya perbedaan gender
telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan,
tetapi juga bagi kaum laki-laki.Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan
tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung
maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun
kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam
adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat
sebagai perbedaan jenis kelamin.
Masyarakat belum memahami bahwa gender
adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial
antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan
peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap
laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap
perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.
Faqih dalam Achmad M. menyatakan, ketidak
adilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki
maupun perempuan sebagai korban dari sistem (Faqih, 1998a; 1997). Selanjutnya
Achmad M. menyatakan, ketidak adilan gender termanifestasikan dalam berbagai
bentuk ketidakadilan, terutama pada perempuan; misalnya marginalisasi, subordinasi,
stereotipe/pelabelan negatif sekaligus perlakuan diskriminatif (Bhasin, 1996;
Mosse, 1996), kekerasan terhadap perempuan (Prasetyo dan Marzuki, 1997), beban
kerja lebih banyak dan panjang (Ihromi, 1990). Manisfestasi ketidakadilan
gender tersebut masing-masing tidak bisa dipisah-pisahkan, saling terkait dan
berpengaruh secara dialektis (Achmad M. hal. 33, 2001).
VII.Bentuk-Bentuk
Ketidakadilan Akibat Diskriminasi Gender
1.
Marginalisasi Perempuan Sebagai Salah Satu
Bentuk Ketidakadilan Gender
Proses marginalisasi
(peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam
masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran
dari kampong halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki
yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang
disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan
menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian
yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai
jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang
biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki.Selain itu perkembangan teknologi
telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan
diambil alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
Beberapa studi dilakukan untuk membahas
bagaimana program pembangunan telah meminggirkan sekaligus memiskinkan
perempuan (Shiva, 1997; Mosse, 1996). Seperti Program revolusi hijau yang
memiskinkan perempuan dari pekerjaan di sawah yang menggunakan ani-ani. Di Jawa
misalnya revolusi hijau memperkenalkan jenis padi unggul yang panennya
menggunakan sabit. Contoh-contoh marginalisasi: laki-laki;
·
Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi
baru yang dikerjakan hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki,
·
Pemotongan padi dengan peralatan sabit,
mesin yang diasumsikan menggantikan tangan perempuan dengan alat panen ani-ani;
tenaga perempuan;
·
Usaha konveksi lebih suka menyerap perempuan;
·
Peluang menjadi pembantu rumah tangga
lebih banyak seperti “guru taman kanak-kanak” atau “sekretaris” dan
·
Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai
pekerjaan perempuan “perawat”.
2.
Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan
bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama
dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang
menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak
kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang
meletakan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan
memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang
gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang isteri
yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri
harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin
dari isteri.
3.
Pandangan Stereotipe
Setereotipe dimaksud adalah citra baku
tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang
ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu
stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi
terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan),Hal ini mengakibatkan terjadinya
diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya
pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan
pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal
ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di
tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.Apabila
seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau
tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai
terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut
banyak menghakimi dan merugikan perempuan.Label kaum perempuan sebagai “ibu
rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti
berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari
nakah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh
perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.
4.
Kekerasan
Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap
perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk. Kata kekerasan
merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik
maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak
hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan
penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual
sehingga secara emosional terusik.Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang
bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum,
ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah,
keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, majikan.
5.
Beban Ganda
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak
adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis
kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya
beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh
perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90%
dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain
bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah
tangga.Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya
insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang
publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang
dialami kaum laki-laki di satu sisi.
VIII. Peran Perempuan di Domestik dan Publik
Women have a vital role to play in
the promotion of peace in all sphares of life, in the family, the community,
the nation, and the world. Women must participate equally with men in the
decision making process which help to promote peace at all the levels (Deklarasi
Konferensi Mexico, 1975) Kelebihan/potensi perempuan:
· Rasa sosial, toleransi, ikatan kelompok
· Jiwa interpreneur (keseimbangan
pendapatan-pengeluaran)
· Perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
keluarga, terutama bagi anak-anaknya
· Perajut persatuan dan kesatuan hidup
masyarakat, bangsa, dan Negara
· Pendidik pertama dan utama bagi generasi
penerus keluarga, bangsa, dan Negara
Perjuangan
Kesetaraan laki-laki dan perempuan (internasional);
· Deklarasi HAM, PBB (1948) memberi aspirasi bagi
gerakan feminis untuk memperjuangkan hak-hak perempuan (all human beings are
born free and equal in dignity and rights), 1952 hak politik dan ekonomi
perempuan diadopsi PBB.
· 1963, gerakan global emasipasi masuk dalam
agenda PBB (ECOSOC) untuk diakomodasi Negara anggota, Commission on the Status
of Women (1967) memberi aspirasi pada lahirnya PKK.
· Konferensi di Mexico, 1975 menyetujui program
WID (Women in Development) sebagai strategi meningkatkan peran wanita.
· Konferensi di Nairobi, 1985 setujui pembentukan
UNIFEM lembaga PBB untuk perempuan dengan program WAD (Women and Development)
1979 CEDAW-PBB, melalui UU No. 7 tahun 1984, Indonesia meratifikasi CEDAW.
· Pertemuan di Vienna, 1990 menyetujui program
GAD (Gender and Development) dengan strategi Pengarustuaamaan Gender, melalui
Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990, Indonesia meratifikasi CRC (Convention
Rights of Children).
· Konferensi ICPD, Cairo 1994 mengagendakan
perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan dalam pembangunan yang
berkelanjutan.
· Konferensi di Beijing, 1995 merinci 12
keprihatinan terhadap perempuan yang dikenal dengan 12 critical issues.Secara
Nasional antara lain:
o
Adanya
UUD 1945 yang sudah empat kali diamandemen tentang Propenas
o
UU
No. 25 tahun 2000
o
UU
No. 12 tahun 2000 tentang Pemilu Presiden No. 9 Thn 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
o
IInstruksiPrinsip
dasar membangun kesetaran gender di Indonesia
· Menghargai pluralistic
· Pendekatan sosio-kultural• Peningaktan ekonomi
dan kesejahteraan rakyat
· Penegakan HAM dan supremasi hokum
· Penghapusan kekerasan dan diskriminasi
· Penyadaran pilar pembangunan
· Pemerintah: sosialisasi dan advokasi
· Masyarkat: sensitisasi dan advokasi
· Dunia usaha, penyadaran dan advokasi
· Penyatuan persepsi, pemahman, dan penyadaran
kepada semua pihak untuk mewujudkan kesetaran gender dan perlindungan anak
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
IX.
Upaya-upaya dan Usaha yang Dilakukan Pemerintah dalam Rangka KKG
Upaya mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender sebagai visi Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI sebenarnya
merupakan bentuk pembaruan pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga
dasa warsa telah memberikan manfaat yang cukup besar.
Berbagai
peningkatan pemberdayaan perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas
hidup perempuan dari berbagai aspek , meskipun masih belum optimal.Untuk
meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan namun hasilnya
masih belum memadai, ini terlihat dari kesempatan kerja perempuan belum
membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah.
Di lain
pihak, pada saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan
yang belum peka gender, yang mana belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman,
aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan
kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan.
Penyebabnya
antara lain belum adanya kesadaran gender terutama di kalangan para perencana
dan pembuat keputusan; ketidak lengkapan data dan informasi gender yang
dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya hubungan
kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga-lembaga yang
memiliki visi pemberdayaan perempuan yaitu dalam tahap-tahap perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan.
Bergesernya
proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah industri,
meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi domestik maupun internasional
serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga, masyarakat dan
berbangsa serta bernegara merupakan indikator keberhasilan pemberdayaan
perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan gender mulai dapat dirasakan.
Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran masyarakat
yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas).
Sebaliknya
pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering dijumpai
ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam memperoleh peluang,
kesempatan dan akses serta kontrol dalam pembangunan, serta perolehan manfaat
atas hasil pembangunan. Hal ini tidak lain karena masalah struktural utamanya.
Selain nilai-nilai budaya patriarkhi yang dilegitimasi dengan (atas nama) agama
dan sistem sosial yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan dan
peran yang berbeda dan dibeda-bedakan. (Zaitunah Subhan, hal. 17-18, 2001).
Dalam
GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan perempuan yakni
pertama meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu
memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Kedua meningkatkan
kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan
nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan perempuan dalam rangka
melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan
masyarakat.
Dengan
demikian, pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG merupakan komitmen
bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak
eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara
keseluruhan.Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggung
jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat
nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan.
Berdasarkan
arah kebijakan yang dimandatkan oleh GBHN 1999-2004 untuk butir pemberdayaan
perempuan, Propenas 2000-2004 telah melakukan mainstreaming kebijakan dan
program pembangunan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya Propenas telah
dirumusakan secara lebih rinci setiap tahunnya ke dalam Rencana Pembangunan
tahunan (Repeta), untuk tahun 2001 (Repeta 2001).
Selanjutnya
dalam Rencana Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2001-2004, program
yang disusun terdiri dari program dalam rangka pembangunan pemberdayaan
perempuan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan upaya
peningkatan kemampuan. Mencakup Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan
Pemberdayaan Perempuan;
Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan; Program Peningkatan Peran Masyarakat Pemampuan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender; Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak; Program Sumber Daya, Sarana dan Prasarana. Mengingat produk tersebut merupakan undang-undang, maka untuk mewujudkan kesetaran dan keadilan gender harus menjadi komitmen bersama.
Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan; Program Peningkatan Peran Masyarakat Pemampuan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender; Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak; Program Sumber Daya, Sarana dan Prasarana. Mengingat produk tersebut merupakan undang-undang, maka untuk mewujudkan kesetaran dan keadilan gender harus menjadi komitmen bersama.
Dalam
rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melaui program yang peka akan
permasalahan gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah bekerjasama
dengan UNFPA dalam melaksanakan serangkaian kegiatan Mainstreaming Gender
Issues in Reproductive Health and Population Policies and Programmes.
Tujuan
utama program ini adalah tercapainya perbaikan status kesehatan reproduksi kaum
perempuan dan laki-laki melalui kebijakan program kesehatan reproduksi dan
kependudukan yang sensitif gender. Hal ini akan dicapai melalui penguatan
kapasitas nasional untuk melakukan pengarusutamaan gender, serta melalui aplikasi
konsep gender dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan dan program untuk
kesehatan reproduksi dan kependudukan.
Upaya
mengaktualisasikan dan memanifestasikan dan mengakselerasi-kan PUG di sektor
strategis, propinsi dan kabupaten/kota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga
telah melaksanakan program dan langkah konkrit antara lain:
· Program Pengembangan dan keserasian kebijakan
pemberdayaan perempuan, serta
serangkaian koordinasi telah dilakukan dalam upaya perbaikan undang-undang yang
masih bias gender seperti UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 62
tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.
· Program Peningkatan Peranserta masyarakat dan
penguatan kelembagaan PUG dilakukan dengan melalui: sosialisasi, advokasi, dan
pelatihan analisis gender baik di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota;
· Pengembangan modul sosialisasi/advokasi gender;
· Pengembangan alat untuk analisis gender yang
digunakan dalam perencanaan program dan dikenal dengan Gender Analysis Pathway
(GAP); dan Problem Base Analysis (PROBA).
· Pengembanagan Homepage untuk penyediaan data
dan informasi program pembangunan pemberdayaan perempuan, konsep kesetaraan dan
keadilan gender dan jaringan informasi dengan website;
· Penyusunan Profil Gender untuk 26 propinsi;
· Fasilitasi bantuan teknis kepada daerah
propinsi, kabupaten dan kota;
· Tersedianya data dan informasi yang terpilah
menurut jenis kelamin secara berkala dan berkesinambungan dari propinsi dan
kabupaten/kota mengenai pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah.
X.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas menunjukkan bahwa diskriminasi gender telah melahirkan
ketimpangan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, selain itu ketimpangan lebih banyak dialami perempuan dari pada
laki-laki.
Akibat
diskriminasi gender yang telah berlaku sejak lama, kondisi perempuan di bidang
ekonomi, sosial, dan budaya, politik, hankam dan HAM berada pada posisi yang
tidak menguntungkan. Kondisi yang tidak menguntungkan ini apabila tidak
diatasi, maka ketimpangan atau kesenjangan pada kondisi dan posisi perempuan
tetap saja akan terjadi.Bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial dalam
banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui.
Kondisi
ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di
pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan,
pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan
permasalahan tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, dimana diharapkan
perempuan memiliki peranan yang lebih kuat dalam proses pembangunan. Kurangnya
keikutsertaan perempuan dalam memberikan konstribusi terhadap program
pembangunan menyebabkan kesenjangan yang ada terus saja terjadi.
XI. Saran dan Pesan
Pada
kesempatan ini dihimbau kepada para kandidat puteri Indonesia yang dibanggakan
untuk berperan aktif dalam memajukan posisi dan kondisi perempuan Indonesia
dalam segala aspek/bidang pembangunan, misalnya melalui aktifitas peningkatan
pengetahuan dan penyebarluasan seluruh informasi sebagaimana telah dipaparkan
tersebut di atas, baik pada kalangan sendiri, dalam keluarga, serta lingkungan
masyarakat luas. Mudah-mudahan apa yang telah disampaikan dapat memberi manfaat
yang sebesar-besar bagi diri sendiri, masyarakat bangsa dan Negara.
Pesan
khusus untuk semua kandidat adalah menjaga jatidiri puteri Indonesia yang
bermoral karena kita mempunyai macam-macam agama yang diakui dan ragam budaya
yang dapat dijalankan dan dijaga kelestariannya. Sekaligus saya tekankan semoga
semua kandidat puteri Indonesia dapat menjunjung tinggi agamanya dan
jatidirinya sebagai Bangsa Indonesia yang aman dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Muthali’in, Bias Gender dalam
Pendidikan, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2001.
BPS, United Nations Developmen Fund for
Women. Gender Statistics and Indicators 2000.
BPS, Kementerian Pemberdayaan Perempuan,
JICA dan UNFPA, Buku Referensi Pelatihan: Fakta dan Indikator Gender, Tingkat
Nasional, 4 Propinsi dan 16 Kabupaten/Kota Terpilih, 2003.
BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat,
2003.
Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, et all, Dr. H.
Abdul Djamil, MA. (Pengantar), Dra. Hj. Sri Suhandjati Sukri (Editor), Bias
Jender dalam Pemahaman Islam, Jilid I Penerbit IAIN Walisongo dengan Gama
Media, 2002.
Julia Cleves Mosse, Gender dan
Pembangunan, Diterbitkan atas kerjasama RIFKA ANNISA Women’s Crisis Centre
dengan Pustaka Pelajar, 1996.
Kantor Menteri Negara Peranan Wanita,
1998, Profil Wanita Indonesia.
Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, Pedoman
Teknis Perencanaan Pembangunan Berperspektif Gender.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan, Deputi Bidang Kesetaraan Gender bekerjasama dengan Bangun Mitra
Sejati, 2001, Modul Pelatihan, Keadilan dan Kesetaraan Gender untuk
BUMN/BUMD dan Perusahaan Swasata.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan RI, 2002, Panduan Gender dalam Perencanaan Partisipatif.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 1, Bahan
Informasi Pengarusutamaan Gender, Edisi ke-2, Apa Itu Gender.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 2, Bahan
Informasi Pengarusutamaan Gender, Edisi ke-2, Bagaimana Mengatasi Kesenjangan
Gender.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 3, Bahan
Informasi Pengarusutamaan Gender, Ediisi ke-2, Perencanaan Erperspektif Gender.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 4, Bahan
Informasi Pengarusutamaan Gender, Edisi ke-2, Pemantauan dan Penilaian.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Bahan Informasi Gender, Modul 1: Apa
itu Gender?
UNIFEM and NCRFW, 1994, Gender and
Development Making the Bureaucracy gender-responsive, a sourcebook for
advocates, planners, and implementors, (developed by dr. amaryllis t. tores
and professor rosario s. del rosario with the assistance of professor rosalinda
pineda-ofreneo for Unifem and NCRFW).
UNFPA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan,
BKKBN, 2003, Bunga Rampai “Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan
Gender dan Program Pembangunan Nasional”.
Zaitunah Subhan, Peningkatan Kesetaraan
dan Keadilan Jender, dalam membangun Good Governance.
Komentar
Posting Komentar