WALI ANAK ZINA 1 (Tim Pembukuan Bahtsul Masa-iel, Santri Lirboyo Menjawab: Majmu’ah Keputusan Bahtsul Masa-iel, 2010), 217
WALI ANAK ZINA 1
(Tim Pembukuan Bahtsul Masa-iel, Santri Lirboyo Menjawab: Majmu’ah
Keputusan Bahtsul Masa-iel, 2010), 217
a.
Siapaka Wali Dari nak Zina Tersebut?
Syara’
memberlakukan perwalian dalam pernikahan sebagai wujud antisipasi tercorengnya
nama baik keluarga. Oleh karena itu, seorang wali disunnahkan menawarkan
putrinya pada pria-pria shaleh, seperti yang telah dilakukan oleh sahabat Umar
bin Khattab yang menawarkan putrinya Hafsah pada para sahabat dan akhirnya
dinikahi oleh Rosululloh SAW. Bahkan Nabi Syu’aib juga menawarkan putrinya pada
Nabi Musa sebagaimana yang dijelaskan dalam al- qur’an surat al- qashash: 27
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ
أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ
حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ
عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ (27)
“Berkatalah Dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan
enkau dengan salah satu dari dua anak perempuanku ini, atas dasar bahwa kamu
bekerja denganku selama delapan tahun dan jika kamu cukupkan (genapkan) sepuluh
tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu. Maka aku tidak hendak
memberati kamu dan kamu insyaalloh akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
baik.”
Secara global,
hak perwalian nikah ditetapkan dengan dua hal; pertama melalui jalur nasab
seperti ayah, kakek dan lain-lain. Kedua melalui jalur hukum, seperri wali
hakim (penghulu) dan muhakkam (seorang laki-laki yang ‘adil yang diminta
menjadi wali nikah).
Seperti dalam penjelasan-penjelasan
sebelumnya, bahwa perwalian bagi seorang wanita merupakan sesuatu yang telah
ditetapkan dalamhadits, seperti yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Hibban:
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَمَاكَانَ
مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَالِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ
“Tidak ada pernikahan (yang sah) kecuali dengan seorang wali dan
dua orang saksi yang ‘adil, pernikahan yang tidak semacam itu maka
pernikahannya batal.”
(HR. Ibnu Hibban)
Perwalian
melalui jalur nasab merupakan perwalian primer dalam pernikahan, sedangkan
perwalian melelui jalur hukum adalah perwalian yang dilakukan ketika tidak ada
wali nasab atau karena wali nasab tidak mau menikahkan (‘adhol). Prosedur
perwalian melali jalur nasab dapat dilakukan ketika secara syara’ seorang perempuan
nasabnya mengikuti sang ayah. Jika nasab anak tidak tersambung dengan sang
ayah-seperti anak zina-, maka ia tidak memiliki wali dari nasab. Dengan
demikian wali yang dapat menikahkannya adalah hakim (penghulu) atau muhakkam.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits;
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ والسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ
لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Tidak ada nikah yang sah kecuali dengan wali, dan sulthon
(penghulu) adalah wali bagi orang yang tisak memiliki wali”. (HR. Al- Baihaqi)
Maka, wali anak zina tersebut adalah hakim (penghulu) atau muhakkam
(seorang laki-laki yang ‘adil dan diminta menjadi wali nikah)
Referensi:
1)
Al- Hawy Al- Kabir juz 8 halaman 446
2)
Al- Hawy Al- Kabir Juz 11 Halaman 74
3)
Tausyih ‘Ala Ibni Qasim Halaman 201
4)
Hasyiyah Al- Jamal Juz 4 Halaman 176
5)
I’anat Ath- Tholibin Juz 3 Halaman 308
6)
Al- Fiqh Al- Islamy Juz 9 Halaman 694
b.
Salahkah suami menerima kehadiran anak tersebut untuk
tingal bersamanya?
Agama islam mensyari’atkan pernikahan dengan berbagai syarat dan
ketentuan sebagai wujud kepedulian syara’ atas nasab seseorang. Sebab,
persoalan nasab (jalur keturunan) adlah aspek yang sangat urgendalam tatanan
syari’at. Persoalan nasab sangat berkaitan dengan problematika waris, wali
nikah dan lain-lain.
Ditetapkan dalam syari’at islam bahwa ikatan nasab seorang anakdapat
menyatu dengan ayahnya jika ia terlahir dari hasil hubungan yang tercover dalam
bingkai pernikahan yang sah, atau karena terjadinya wathi syubhat (hubungan
badan karena kekeliruan, seperti seorang laki-laki menyetubuhi wanita yang dikira
istrinya).
Nasab seorang anak yang terlahir dari rahim ibunya otomatis akan
menyambung kepada ayahnya jika tidak ada sesuatu yang mengarahkan untuk
menentangnya. Akan tetapi jika yerdapat sesuatu yang memicu bahwa anak tersebut
diyakini bukan merupakan hasil hubungan pernikahan antara suami-istri, maka
suami wajib untuk mengelak bahwa anak tersebut adalah anaknya, seperti anak
yang terlahir dari hasil perselingkuhan istri.
Seorang anak yang terlahir dapat dipastikan anak suami atau bukan
melalui 4 golongan:
a)
Anak yang dinyatakan bukan anak suami secara dhahir
dan bathin tanpa membutuhkan sumpah li’an, yakni anak yang terlahir kurang dari
6 bulan dihitung mulai memungkinkan untuk terjadinya hubungan intim, atau
terlahir setelah lebih dari 4 tahun dihitung dari akhir memungkinkan terjadinya
hubungan intim
b)
Mengikuti nasab suami secara dhahir, baik hokum waris
atau yang lainnya. Namun suami wajib untuk mengelaknya melalui sumpah li’an,
yakni anak yang terlahir lebih dari 6 bulan atau kurang dari 4 tahun. Namun
suami yakin atau mempunyai prasangka yang kuat bahwa anak tersebut bukan
anaknya, seperti ketika ia belum berhubungan intim dengan istrinya, atau
terlahir kurang dari 6 bulan dari hubungan badan, atau terlahir setelah lebih
dari 4 tahunb pasca hubungan intim, atau terlahir setelah 6 bulan namun setelah
terjadi pensterilan dengan kurun waktu satu kali masa haidh serta terdapat
tanda-tanda sang istri telah berselingkuh. Sang suami dihukumi berdosa ketika
tidak mengelak bahwa anak tersebut bukanlah anaknya
c)
Mengikuti nasab suami secara dhahir, namun suami wajib untuk
mengelaknya, yakni ketiak sang suami tidak mempunyai prasangka yang kuat bahwa
anak tersebut bukanlah anaknya, karena terdapat beberapa ketentuan:
·
Suami telah melakukan pensterilan dengan kurun waktu
satu kali haidh
·
Sang anak terlahir setelah 6 bulan
·
Tidak terdapat tanda-tanda sang istri telah
berselingkuh
d)
Mengikuti nasab suami dan haram untuk mengelaknya bahkan tardapat
hadits yang mengatakan kufur terhadap pel;akunya, yakni ketika ia mempunyai
prasangka kuat bahwa sang anak ialah anaknya atau ia masih bimbang karena sang
anak terlahir setelah 6 bulan atau lebih dari 4 tahun dan ia belum mensterilkan
sang istri setelah berhubungan intim.
Kewajiban untuk mengelak atau mengakui bahwa sang anak berlandaskan
hadits Abu Hurairah:
اَيُّمَا امْرَأَةٍ اَدْخَلَتْ
عَلَى قَوْمٍ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ فَلَيْسَتْ مِنَ اللَّهِ فِيْ شَيْئٍ وَلَنْ
يُدْخِلَهَا اللهُ جَنَّتَهُ وَاَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ وَلَدَهُ وَهُوَيَنْظُرُ
اِلَيْهِ اِحْتَجَبَ اللهُ مِنْهُ وَفَضَّحَهُ عَلَى رُؤُسِ الأَوَّلِيْنَ
وَالْأَخِرِيْنَ
“Perempuan manapun yang menggolongkan
seorang anak pada sebuah komunitas (suku/kabilah/klan/marga) yang bukan
golongannya, maka alloh tidak akan memberkatinya serta tidak akan memasukkannya
ke dalam surga-Nya. Laki-laki manapun yang mengelak anaknya namun ia tetap
memandangnya (mengakui sebagai anaknya) maka alloh akan menghilanginya dan
mencelanya dihadapan pendahulu-pendahulu dan orang-orang (keturunan)
setelahnya.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majjah, Ibnu Hibban, Al- Hakim, dan Al- Baihaqi)
Perincian diatas dapat menyimpulkan dan menjawab permasalahan
sebelumnya, dengan perincian jika dimaksudkan menerima adalah tinggal bersama,
maka boleh dan tidak bersalah bila tidak menimbulkan persepsi nasab anak zina
mengikutinya. Namun jika maksud menerima adalah istilhaq (pengakuan nasab) maka
tidak boleh/ haram, jika yakin anak tersebut adalah anak zina, atau prasangka
yang kuat bahwa anak tersebut adalah anak zina.
Jika maksud menerima adalah tinggal bersama, maka boleh dan bersalah
bila tidak menimbulkan persepsi nasab anak zina mengikutinya. Namun jika maksud
menerima adalah istilhaq (pengakuan nasab) maka tidak boleh/ haram, jika yakin
anak tersebut adalah anak zina, atau prasangka yang kuat bahwa anak tersebut
adalah anak zina.
Referensi:
1) Al- Majmu’ Juz 21 Halaman 312
2) Al- Majmu’ Juz 17 Halaman 411
3) Anwar Al- Masalik Halaman 245
4) Al- Bajuri Juz 2 Halaman 165
5) Kifayat al- Ahyar Juz 2 Halaman 121
6) Al- Bujayramy ‘Ala Al- Khatib Juz 4 Halaman
32
7) Bughyat Al- Mustarsyidin Ba’lawy Al-
Hadlramy Halaman 235-236
Komentar
Posting Komentar