AL-QIYAS IMAM SYAFI’I DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
AL-QIYAS IMAM SYAFI’I
DALAM
PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM
ISLAM
Drs. KH. Muh. Muhsin
A.
Pendahuluan
Sebagaimana
diketahui, para ulama Islam sepakat bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan
sumber ajaran yang asasi. Al-Qur’an sebagai salah satu Kitab Suci mengandung
pokok-pokok ajaran Islam, termasuk hukum-hukum yang mengatur tata kehidupan .
Akan tetapi kandungan al-qur’an tidak semuanya dapat dipahami oleh
pemangkunya dengan baik. Oleh sebab itu, diperlukan keterangan yang memperjelas
kandungan Kitab Suci itu, supaya dapat dipahami segenap umat, sehingga dia
dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan al-Syari’
(Tuhan pencipta syariat) yang menurunkannya. Untuk itu, Nabi saw, berupaya
dengan sesungguhnya untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an melalui ucapan,
perbuatan, dan taqrir (ketetapan)-nya.
Bila
kita melihat sejarah, sejak semula hukum Islam telah dihadapkan kepada proses
perkembangan dan perubahan sosio-kultural yang senantiasa bergerak maju sejalan
dengan perkembangan pemikiran manusia, lebih-lebih setelah penganut Islam
meluas keluar Semenanjung Arabia, sekitar Laut Tengah sampai ke daerah seberang
sungai (Ma’wara’ al-nahr) Amu Darya dan sir Darya, yang masyarakatnya mempunyai
latar belakang budaya berbeda. Keadaan seperti ini senantiasa berlanjut sampai
sekarang, ketika kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang demikian
pesat, yang berdampak pula pada akselerasi perkembangan dan perubahan sosial
budaya.
Melihat
keadaan demikian, wajarlah kalau muncul aliran penggalian hukum Islam, yang
diantaranya al-ra’y yang berkembang di Lembah Mesopotamia, yang
dipelopori oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H/767 M) adalah seorang ulama yang
dikenal paling banyak menggunakan rasio dalam ijtihad, disamping tetap
memegang hadis. Beliau dipandang sebagai pendiri mazhab Hanafi yang paling
banyak menggunakan rasio.
Hampir
bersmaan dengan itu, perhatian pada hadis tetap kelihatan pada penduduk
Madinah, yang momentumnya diperlihatkan oleh Imam Malik ibn Anas (w. 179 H/ 795
M). Dengan demikian, Imam Malik dipandang sebagai pemuka aliran (mazhab) ahli
hadis.Al-Muwatta’ adalah karya monumentalnya dibidang hadis.
Di
tengah-tengah aliran tersebut (Ahl al-ra’y dan ahl al-hadis) tampillah
Imam Syafi’i (150-204 H/ 767-812 M), yang pernah berguru kepada Imam Malik dan
murid Abu Hanifah, yakni al-Syaibani. Pengalaman berguru kepada ulama kedua
aliran tersebut memberikan inspirasi kepada Imam Syafi’i untuk mengambil segi
positif dari kedua aliran yang berbeda.
Diakui
telah adanya metode-metode istinbat (penggalian ) hukum yang digunakan pada
masa itu, antara lain, istihsan yang populer digunakan oleh Abu
Hanifah dan istislah yang populer dipakai oleh Imam Malik, yang
keduanya membuka peluang berpikir liberal tanpa kontrol. Lebih-lebih lagi
metode penggalian hukum tersebut belum dibukukan, sehingga tidak diketahui
dengan pasti aturan-aturannya. Ketika itulah Imam Syafi’i tampil mengemukakan
metode ijtihadnya yang disebut Qiyas.
Metode
qiyas yang dikemukan Imam Syafi’i ini merupakan bagian dari
keseluruhan kajian usul fikihnya, yang meliputi dalil-dalil hukum,
cara-cara istidlal dengan lafal, yang berwenang melakukan ijtihad, dan
lain-lain, yang masing-masing dibuatkan kerangka teoritisnya secara logis,
dalam bentuk kaidah-kaidah rasional, namun tetap praktis. Dengan demikian,
lahirlah ilmu usul fikih, yang merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya
dari Imam Syafi’i.
Kitab
yang pertama ditulis Imam Syafi’i tentang usul fikih ialah al-Rislah.
Sesudah itu barulah ia menulis buku-bukunya Ikhtilaf al-Hadis, Ibtal
al-Istihsan, Kitab Jama’i al-‘Ilmi. Atas dasar inilah Imam Syafi’i disebut
sebagai “Bapak pendiri usul fikih” dan peletakan metodologi al-qiyas.[1]
B.
Pembahasan : Perubahan
Sosial, Pembaharuan, Pembangunan, dan Hukum
a.
Perubahan Sosial
Perubahan
sosial, pembangunan dan pembaharuan berhubungan satu sama kain dengan erat,
seperi yang terjadi di Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang.
Perubahan sosial atau struktur dari komponen-komponennya, menimbulkan daya
adaptasi yang lebih besar untuk memanfaatkan sumber-sumber daya yang berasal
dari lingkungan fisik organismenya (fungsinya adalah adaptasi, yang mewujudkan
diri dalam bentuk teknik-teknik untuk memanfaatkan lingkungan bagi kelangsungan
hidup manusia seperti pemanfaatan teknologi dan aktivitas ekonomi).[2]
Perubahan
sosial secara umum menampakkan diri dalam bentuk perubahan yang menimbulkan
akibat sosial yang sedemikian rupa, sehingga terjadi dalam bentuk, susunan
serta hubungan yang berbeda dari yang semula ada. Dalam suasana perubahan
sosial maka bagian-bagian atau sektor-sektor dalam masyarakat itu tidak sama
cepatnya. Oleh karena adanya saling ketergantungan (interdependen) antara
bagian-bagian itu, maka perubahan disaty bidang menimbulkan keharusan bagi
dilakukannya penyesuaian oleh bagian yang lain, sehingga keadaan kembali
bersesuian.
Masalah
hukum bisa dilihat sebagai suatu problem sosial, karena itu ia interpenden
dengan problem perubahan sosial. Ini menunjukkan bahwa betapa problem perubahan
sosial itu memberikan tekanan pengaruhnya terhadap hukum, dalam arti bahwa
hukum harus senantiasa menanggapi problem tersebut.[3]
Faktor
yang bisa dikenali dalam hubungannya dengan awal perubahan sosial adalah :
1)
Kependudukan
2)
Habitat fisik
3)
Teknologi
4)
Struktur masyarakat serta kebudayaan.
b.
Perubahan Hukum
Tuntutan
bagi terjadinya perubahan hukum mulai timbul ketika adanya kesenjangan di
antara keadaan, hubungan, dan peristiwa dalam masyarakat dengan pengaturan
hukum yang ada. Manakala kesenjangan tersebut telah mencapai tingkatnya
yang sedemikian rupa, maka tuntunan perubahan hukum semakin mendesak.
Ada
beberapa kemungkinan untuk menafsirkan apa yang dimaksud dengan perubahan hukum
ini :
1)
Perubahan dalam bentuk pemberia kongkrit
terhadap norma yang abstrak, karena memang fisik khas hukum untuk
memberikan bentuk abstrak dan umum hal yang diatunya, sehingga terjadi
pengaturannya bisa bertahan lama.
2)
Perubahan peraturannya secara formal.
Dalam bentuknya yang demikian, maka perubahan hukum itu merupakan fungsi
bekerjanya berbagai faktor perubahan yang membebani hukum dengan berbagai
permintaan.[4]
3)
Ringkasnya , perubahan hukum menurut konsep
ini dapat dibedakan dalam dua bentuk :
a.
Perubahan penerapan tanpa mengubah
ketentuan formalnya, karena tuntutan perubahan sosial, maka hukum dapat
dipandang berfungsi sebagai Social control.
4)
Perubahan peraturan secara formal untuk
mengubah struktur sosial, maka hukum dapat dipandang berfungsi sebagai social
engeneering.
c.
Perubahan/Pembaharuan Hukum Iskam
Dilihat
dari sisi awal pertumbuhannya, maka kedatangan hukum Islam dapat dikata gorikan
pada social engeneering dan social control, karena hukum Islam itu memberikan
maknat terhadap tatanan yang masih dianggap relevan dengan nilai-nilai
kemanusia (fitrah), mengubah tatanan lama jadi mapan, dan memproklamirkan
tatanan baru bagi masyarakat yang dikehendakinya. Dalam proses pertunbuhannya
(Masa Nabi) sering pula terjadi perubahan yang dikategorikan pada nasikh-mansukh,
(jadi, hukum berfungsi sebgai social engeneering) yang sedikit banyak
berkaitan dengan perubahan sosial.
Perubahan
ketentuan hukum terhadap sesuatu peristiwa hukum, juga dimungkinkan
karena terjadi perubahan pada unsur maddi (material, obyek hukum). Contohnya,
Pada tahun 1962 ditemukan ikan-ikan (unsur material) di sepanjang sungau batang
hari Jambi mengandung cacing/virus beracun yang membahayakan kehidupan manusia
pemakannya, maka dihukumkan haram memakanny. Setelah memasuku tahun 1963,
cacing virus tersebu hilang kembali, maka ikan sungai Batang Hari kembali halal
dimakan, karena manat al hukm keharaman telah hilang.
Perubahan
hukum bisa pula terjadi, apabila perubahan pada unsur adabi (unsur moril,
subjek hukum). Contohnya, setiap orang mrslim laki-laki yang dewasa boleh
diinjeksi dengan obat anti biotik. Apabila salah seorang tudak tahan dengan
obat itu (alergi) yang membahayakan jiwanya, maka diharamkan baginya menerima
injeksi anti biotik. Tetapi ini tidak termasuk kategori perubahan hukuum,
karena sifatnya merupakan pengecualian dari ketentua umum.
Dengan
memperhatikan awal pembangunan hukum Islam seperti dikemukakan itu, maka
terlihat tiga dimensi dan wawasan pengembangan hukum Islam. Pertama
dimensi pemeliharaan, yaitu dimensi untuk memelihara tatanan hukum yang
dipandang relevan dengan nilai-nulai kemanusian. Kedua diemesi pembaharuan,
yaitu dimensi yang merupakanperubahan hukum lama untuk ditingkatkan dan
disempurnakan. Ketiga dimensi proklamasi (penciptaan) hukum baru yang
dikendaki untuk mewujudkan kemaslahatan.
Dalam
proses perubahan dan pembaharuan hukum Islam, perlu diperhatikan apa yang
dikemukakan oleh Abd al-Wahab Khallaf[5]
dan Muhammad Ali al-Sayis,[6]
yaitu:
1)
Hukum yang bersumber dari nas yang sarih
(tegas) dan qat’i terhadap objeknya (unsur material) yang tidak memberi
peluang akal untuk menemukan hukumnya, selain dari hukum yang ditegaskan nas
secara tertentu atau karena illatnya qasirah (terbatas pada hukum
asl), maka tidak boleh dilakukan ijtihad (sehingga tidak mungkin berubah),
tetapi harus mengikuti ketentuan nas, seperti ketentuan tentang beberapa
kewajiban dasar: salat, zakat, puasa dan haji.[7]
2)
Hukum yang sumbernya nas yang zanni
al-dalalah terhadap objek hukum dan terdapat peluang bagi akal untuk
berijtihad (mencari objek lain yang ditunjuki juga oleh nas itu), maka
dibolehkan berijtihad untuk mencari sasarannya yang tepat, tetapi terbatas pada
pemahaman nas dan tidak boleh keluar dari jangkauannya, seperti kebanyakan
hukum tentang muamalah.
3)
Hukum yang sumbernya bukan nas tetapi
telah terjadi kesepakatan tentang hukum sesuatu objek tertentu (ijmak), maka di
sini pun tidak terdapat peluang berijtihad selain mengkaji kebenaran terjadinya
ijmak itu, seperti memberi hak warisan 1/6 (satu per enam) kepada nenek.
4)
Hukum yang sumbernya bukan nas tertentu
terhadap sesuatu objek hukum tertentu, seperti kebanyakan dari hukum fiqiyah
dalam berbagai aliran/mazhab, maka di sini terbuka peluang berijtihad mengkaji
ulang dimana terbuka kemungkinan terjadinya perubahan hukum sejalan perubahan
sosial. Dalam kelompok ini peristiwa-peristiwa baru yang belum terjamah oleh
ijtihad ulama masa lalu, contohnya: menetapkan hukum haram pemakaian
alatkontrasepsi vasektomi dan tubektomi yang mengakibatkan kemandulan abadi (ta’di
al-nasl) dan mengubahnya menjadi halal apabila alat tersebut tidak lagi
mengakibatkan kemandulan.
Dalam
perspektif sejarah, pembaharuan hukum Islam menurut Noel J. Coulson,
menampakkan diri dalam empat bentuk:
1)
Dikodifikasikannya (yaitu pengelompokan
hukum yang seejenis ke dalam kitab undang-undang) hukum Islam yang menjadi
perundang-undangan negara, yang disebut sebagai doktrin siasah;
2)
Tidak terikatnya umat Islam pada hanya
satu mazhab hukum tertentu, yang disebutnya doktrin takhayyur (seleksi)
pendapat mana yang paling dominan dalam masyarakat;
3)
Perkembangan hukum dalam mengatisipasi
perkembangan peristiwa hukum yang baru timbul, yang disebut doktrin tatbiq
(penetapan hukum terhadap peristiwa baru);
4)
Perubahan hukum dari yang lama kepada yang
baru yang disebut doktrin tajdid (reinterpretasi).[8]
C.
Peranan al-Qiyas Konsep
Imam Syafi’i terhadap pembaharuan Hukum Islam
1.
Peran al-qiyas
Peran
al-qiyas dalam mengungkapkan hukum dari sumbernya, al-Qur’an dan al-Hadis,
sangat besar, mengingat bahwa:
a.
nas (al-Qur’an dan al-Hadis) terbatas dan
berakhir, sementara peristiwa yang dihadapi manusia (yang pasti ada hukumannya)
tidak terbatas dan berlanjut terus.
b.
Al-Qur’an dan al-Hadis sebenarnya
berpotensi menampung (memiliki daya tampung terhadap) berbagai peristiwa yang
tumbuh dan berkembang melalui kaidah umumnya sehingga mujtahid dapat menggali/
mengungkapkan hukum dari padanya melalui ijtihad dengan berbagai metodenya.
Metode yang amat jelas, tepat dan kuat adalah al-qiyas. Kaidah
umum itu, misalnya larangan menimbulkan kerusakan dimuka bumi. Ini berartu para
pakar terutama instansi berwenang membuat aturan preventif bagi terjadinya
kerusakan, yang bentuknya disesuaikan dengan kondisi setempat. Contohnya untuk
menghindari terjadinya kecelakaan di jalan raya perlu dibuat peraturan yang
bersifat teknis mengenai penggunaan jalan raya, apakah berjalan sebelah kiri,
berjalan sebelah kanan, berjalan sebelah atas atau bawah sesuai dengan kondisi
masing-masing.
c.
Dengan demikian, al-qiyas berperan
menggali hukum yang dikandung nas, sebagai perpanjangan tangan nas dalam
mengungkapkan dan menjabarkan hukum yang dikandungnya.
2.
Peran al-Qiyas Imam Syafi’i
Konsep
al-qiyas Imam Syafi’i diuraikan dalam kitabnya al-Risalah sebagai berikut :
a.
“Semua peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan seseorang muslim, tentu ada hukumnya yang
pasti, atau menurut jalan yang benar terdapat petunjuk tentang hukumnya. Berdasarkan
hal itu, apabila terdapat ketentuan hukumnya dengan kongkrit maka haruslah
diikuti; dan apabila ketentuan hukumnya tidak terdapat secara kongkrit,
haruslah dicari petunjuk yang benar tentang hukumnya dengan ijtihad itu adalah al-qiyas.”[9]
b.
“Maka tidaklah terjadi suatu peristiwa
yang dihadapi penganut agama Allah, melainkan di dalam al-Qur’an terdapat
petunjuknya tentang pemecahannya.”[10]
c.
“Dan al-qiyas itu ditinjau dari dua
segi: pertama bahwa suatu peristiwa baru (far’) sama betul
dengan makna asl, maka dalam hal ini al-qiyas tidak akan
berbeda; kedua bahwa sesuatu peristiwa mempunyai suatu kemiripan dengan
beberapa makna pada beberapa asl, maka peristiwa itu dihubungkan dengan asl
yang paling utama dan lebih banyak kemiripannya. Dalam segi yang kedua ini
sering terjadi perbedaan pendapat para pelaku al-qiyas.”[11]
Dari
ungkapan a, dapat disimpulkan bahwa setiap peristiwa yang terjadi ada ketentuan
hukumnya. Ketentuan hukum ada yang sarih dan ada pula yang tidak sarih
yang harus dicari dengan ijtihad yaitu al-qiyas. Jadi al-qiyas berperan
mencari hukum peristiwa yang baru terjadi. Ini menunjukkan bahwa al-qiyas Imam
Syafi’i berperan besar mencari hukum peristiwa baru yang senantiasa berkembang.
Dari
ungkapan b, dapat disimpulkan bahwa dalil hukum adalah al-Qur’an. Ini
menegaskan bahwa rujukan pencarian hukum oleh al-qiyas tidak boleh
keluar kaitannya dari nas. Sedangkan ungkapan c membuka kemungkinan berbedanya
hasil hukum yang dicari mujtahid dengan al-qiyas.
a.
antara dua orang mujtahid terhadap hukum
satu peristiwa far’, disebabkan perbedaan persepsi dalam memilih ma’ni
(illah) yang lebih mirip atau dalam menentukan illahnya.
b.
Berubah pendapat seorang mujtahid
disebabkan ma’na yang paling mirip menurut persepsinya semula terjadi
pergeseran atau perubahan pada far’.
Jadi
konsep al-qiyas Imam Syafi’i berperan dalam :
a.
Mengadakan pembaharuan hukum dalam arti
mencari hukum peristiwa yang baru muncul yang belum ada hukumnya;
b.
Mengadakan perubahan hukum ijtihadi yang
telah ada karena terjadi perubahan objek hukum;
c.
Dengan menggalinya pada nas (al-Qur’an dan
al-Hadis al-sahih).
d.
Karena terdapat persamaan makna yang
terdapat pada peristiwa baru (far’) atau mirip ma’nanya dengan ma’na
yang terdapat pada asl (peristiwa yang disebutkan pada nas).
Al-qiyas menurut konsep Imam
Syafi’i lebih luas dari konsep al-qiyas mujtahid lainnya. Al-qiyas
Imam Syafi’i (seperti al-qiyas ulama lain) menjadikan ma’na (illah)
sebagai manat al-hukm yang menghubungkan hukum far’ dengan hukum asl,
memandang bahwa ma’na itu ada yang terdapat dari satu asl tertentu (al-nas
al-khas) dan ada pula yang terdapat pada beberapa asl lalu
dipersamakan salah satunya yang lebih mirip dengan ma’na yang ada pada far’.
Al-qiyas yang ma’nanya terdapat
pada satu asl tertentu, dibaginya kepada:
1)
Ma’na pada asl lebih lemah dari ma’na
pada far’ disebutnya al-qiyas al-awlawi.
2)
Ma’na pada asl sama dengan ma’na
pada far’ disebutnya al-qiyas al-musawi. Al-qiyas al-awlawi
dan al-qiyas al-musawi, tidak dipandang ulama lain sebagai al-qiyas,
melainkan sebagai dalalah al-nas (Hanafiah) atau mafhum
(Syafi’iah).
3)
Ma’na pada asl lebih kuat dari ma’na
pada far’ disebutnya qiyas al-adna. Ini disepakati ulama
memandangnya sebagai al-qiyas.
Al-qiyas yang maknanya terdapat
pada beberapa asl lalu diambil ma’na yang mirip dengan ma’na
dan far’ atau ma’na asl yang dijadikan syar’i sebagai jins
al-ma’na yang masuk pada jins al-hukm, dibaginya kepada:
1.
Diambil ma’na asl yang paling mirip
dengan ma’na far’ disebutnya qiyas al-syabah. Ini disepakati
ulama dalam memandangnya sebagai al-qiyas.
2.
Diambil jins ma’na al-asl yang
masuk dalam jins al-hukm, kemudian ternyata bahwa ma’na pada far’
merupakan nau’ dari jins ma’na asl, maka dihubungkanlah hukum far’
ke dalam jins hukm al-asl.
Ini
dipandang ulama lain bukan al-qiyas, melainkan maslahah mursalah
(Malikiah) atau mursal mula’im (Hanafiah) atau maslahah mula’imah
(Syafi’iah dan Hanabilah). Dalam bentuk ini, wasf yang menjadi ‘illah/ma’na
merupakan wasf yang munasib mula’im/menerbitkan hukum.
Dengan
demikian al-qiyas Imam Syafi’i mencakup:
a.
qiyas al-adna (seperti al-qiyas
yang dipergunakan ulama lain);
b.
qiyas al-syabah (dipergunakan juga oleh
ulama lain);
c.
mafhum muwafaqah;
1) awlawi
2) musawi
D.
Penerapan al-Qiyas Imam
Syafi’i terhadap Pembaharuan Hukum Islam
1.
Perlunya Pembaharuan Hukum
Perlunya
pembaharuan hukum atau perubahan hukum adalah untuk menanggapi peristiwa
baru yang bermunculan atau menanggapi perubahan peristiwa hukum ijtihadi
yang disebabkan perubahan makna. Seperti telah disebutkan bahwa kemajuan
teknologi merupakan faktor yang kuat timbulnya peristiwa baru yang pasti ada
hukumnya ataupun perubahan teknologi merupakan faktor pendorong kuat bagi
timbulnyaperistiwa baru dan perubahan peristiwa lama.
Diantara
peristiwa-peristiwa baru adalah:
a.
Transplantasi organ tubuh manusia;
b.
Transektual (penggantian kelamin);
c.
Bayi tabung meminjam rahim wanita lain;
d.
Vasektomi dan tubektomi dalam ber-KB.
e.
Penggunaan alat tekno;ogi canggih
menggantikan tenaga manusia.
2.
Penerapan Al-qiyas
a.
Penerapan al-qiyas Imam Syafi’i menanggapi
peristiwa baru tersebut diatas (pembaharuan hukum) dikemukakan dibawah ini secara
berurutan:
1)
Transplantasi organ tubuh sebenarnya
termasuk kategori jinayah qisas yang sudah ada hukum larangannya, firman Allah:
Dan
kami tetapkan terhadap mereka didalamnya (al-Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan
jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi
dengan gigi, dan luka-luk (pun) ada qisassnya.[13]
Ketetapan tersebut
kendatipun ditujukan kepada Bani Israil, tetapi terdapat pengakuan Nabi
tentang disyari’atkannya juga kepada umat Islam seperti yang diriwayatkan
al-Bukhari dari Anas bin Malik bahwa al-Rabi’ ibn al-Nadar memecahkan gigi seri
seorang pembantu rumah tangga, maka mereka mewajibkan al-Rabi’ membayar diyah,
tetapi pihak pembantu meminta qisas. Lalu pembantu itu mendatangi Anas ibn
Malik untuk bertanya kepada Nabi dengan katanya, “Ya Rasulullah apakah seri
al-Rabi’ dipatahkan juga? (qisas) lalu Rasulullah menjawab:
“Hai
anas, menurut Kitabullah adalah qisas”.[14]
Ini menunjukkan bahwa qisas
yang yang tersebut dalam Kitabullah ayat 45 surat al-Maidah tadi diberlakukan
juga kepada al-Rabi’, yang mematahkan gigi pembantu rumah tangga tersebut.
Dikenakan sanksi qisas
terhadap perusak organ tubuh itu, adalah karena (‘illahnya) intihak karamah
al-insani (merusak kemuliaan manusia). Karena dalam kasus pemindahan organ
tubuh manusia ini (far’) terdapat pula ‘illah hukum haram merusak
organ tubuh yaitu merusak kemuliaan manusia, maka hukum pemindahan organ tubuh
ini dilarang juga, kecuali dalam keadaan darurat yang merupakan kaidah umum
dalam membolehkan yang dilarang.
2)
Transeksual yaitu lelaki mengganti
kelaminnya menjadi bentuk kelamin wanita atau sebaliknya wanita mengganti
kelaminnya menjadi kelamin lelaki, merupakan peristiwa baru (far’).
Hadis Nabi melarang seorang lelaki menyaru (menyerupai) wanita dan sebaliknya,
dengan alasan (‘illah/makna dilarangnya) karena menyulitkan penentuan
hukumnya. Hadis Nabi yang melarang lelaki menyaru wanita atau sebaliknya antara
lain ialah yang diriwayatkan al-Bukhari dari Abdullah ibn ‘Abbas, katanya:
Rasullah
mengutuk lelaki yang bertingkah laku wanita dan wanita yang bertingkah laku
lelaki. Dalam riwayat lain Rasulullah mengutuk lelaki yang menyaru wanita dan
wanita menyaru lelaki.[15]
Hadis Nabi saw yang
melarang merusak/mengubah ciptaan Tuhan, diriwayatkan oleh Imam al-Hadis yang
lima, selai al-Tarmizi, dari Abdullah ibn Mas’ud, katanya:
“Rasulullah Saw., mengutuk wanita yang
menyambung dan yang minta sambungkan rambut (cemara); mengutuk wanita yang
mencukur dan yang minta cukur rambutnya menjadi turun ke mukanya; mengutuk
wanita membuat celah antara gigi serinya atau mengasah gigi untuk kecantikan
yang mengubah ciptaan Tuhan.”[16]
Dikutuknya perbuatan
menyaru lelaki-wanita (asl) ialah karena (‘illahnya) sulit
membedakan dan menentukan apakah lelaki atau wanita dalam status hukumnya.
Karena dalam kasus penggantian kelamin terdapat juga ‘illah/makna
dikutuknya menyaru lelaki-wanita yaitu sulit menentukannya apakah lelaki atau
wanita dalam status hukumnya, maka ia dihukum terkutuk juga . Mengingat ‘illah
hukum pada far’ lebih kuat lebih kuat dari ‘illah hukum pada asl,
maka mengganti kelamin lebih terkutuk (al-qiyas al-awlawi).
Dikutuknya perbuatan
membuat celah antara gigi seri dan mengasahnya (asl) oleh karena (‘illahnya)
mengubah ciptaan Tuhan. Karena dalam kasus penggantian kelamin (far’)
terdapat juga ‘illah dikutuknya membuat celah atau mengasah gigi yaitu
mengubah ciptaan Tuhan, maka hukum mengganti kelamin terkutuk juga.
Mengingat ‘illah
hukum pada far’ lebih kuat dari ‘illah hukum pada asl,
maka mengganti kelamin lebih terkutuk (al-qiyas al-awlawi).
3)
Bayi tabung dengan menitipkan sperma dan
ovum antara suami-istri sah ke dalam rahim wanita lain (far’). Allah melarang
zina (asl) dan Nabi melarang memasukkan sperma ke rahim wanita yang
tidak halal bagi pemilik sperma (asl). Ayat yang menerangkan keharaman
zina (asl) ialah firman Allah:
dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.[17]
Dilarangnya menghampiri
zina (asl) karena (‘illat) zina itu perbuatan keji, dan cara yang
buruk. Secara mafhum (al-qiyas al-awlawi) melakukan zina tentulah lebih
keji. Karena ‘illah keji itu terdapat juga pada memasukkan sperma dan
ovum suami istri ke dalam rahim yang tidak halal baginya, maka hukum melakukan
bayi tabung dengan meminjam rahim wanita lain disamakan dengan hukum mendekati
zina karena sama-sama keji dan buruk.
Lebih lanjut hadis Nabi
Saw, secara sarih yaitu hadis riwayat Abu Daud, al Turmizi yang dipandang sahih
oleh Ibnu Hibban dari Ruaibi’ibn Sabit dari Nabi Saw.;[18]
Menyatakan bahwa
memasukkan sperma ke dalam rahim istri orang lain, diharamkan, sedang pada bayi
tabung prosesnya sama dengan yang dilarang Nabi Saw, sehingga dilarang
melakukan bayi tabung dengan meminjam rahim wanita lain sama dengan hukum
memasukkan sperma ke dalam rahim wanita lain, yang dilarang Nabi. Mempersamakan
hukum praltek bayi tabung dengan cara memasukkan sperma ke dalam rahim wanita
lain, adalah dengan jalan al-qiyas al-masawi, atau dalalah al-nas
atau mafhum muwafaqah.
4)
Vasektomi dan Tubektomi dalam upaya
Keluarga Berencana, membuat istri tidak melahirkan anak lagi (pemandulan
permanen).
Nabi Saw, melarang tabattul
dan ihtisa. Larangan tersebut terdapat dalam Hadis riwayat
al-Bukhari dari Saad Ibn Abi Waqas katanya:[19]
Ditemui ‘illah/ma’na
dilarangnya karena dengan perbuatan tersebut lelaki/wanita mandul (tindakan
meniadakan kelahiran). Pada kasus vasektomi dan tubektomi (sterlisasi) (far’),
‘illah/ma’na tersebut terdapat pula. Maka hukum vasektomi dan tubektomi
sama dengan hukum tabbatul dan ihtisa yang dilarang.
5)
Sewaktu memasuki era pembangunan nasional,
dipersualkan apakah memacu lajunya pembangunan digunakan teknologi padat modal
yang mengurangi jumlah tenaga kerja atau teknologi pada karya (far’).
Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya kemafsadatan berupa pengangguran yang
pada gilirannya melakukan pekerjaan terlarang, seperti mencuri, menipu,
merampok, melacur dan lain-lain. Semua akibat tersebut terdapat larangannya
dalam nas (asl). Sesuatu yang dijadikan sarana (zari’ah) yang
berakibat terjadinya yang dilarang Allah, maka hukumnya dilarang untuk sadd
al-zari’ah.
Karena itu , menggunakan alat teknologi
canggih dalam kondisi tenaga kerja berlebihan (sarana) yang mengakibatkan
terjadinya berbagai mafsadat, maka penggunaan alat teknologi canggih yang
menimbulkan mafsadat itu dilarang berdasarkan zari’ah.
E.
Penerapan al-Qiyas Imam
Syafi’i dalam Perubahan Hukum.
Al-Qiyas
Imam Syafi’i pun mampu berperan menanggapi perubahan hukum yang disebabkan
terjadinya perubahan ‘illah/ma’na yang terdapat pada peristiwa/kasus baru. Dalam
hubungan dengan kasus-kasus yang sudah dikemukakan diatas, maka penerapan
al-qiyas Imam Syafi’i dalam penerapan hukum sebagai berikut:
1.
Apabila alat kopnstrasepsi vasektomi dan
tubektomi dapat diubah fungsinya berkat ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran baru, sehingga tidak mengakibatkan mandul abadi, maka ‘illah/ma’na
“meniadakan kelahiran” sudah hilang pula; dengan demikian tidak terdapat lagi ’illah
keharamannya. Ia dibolehkan kembali bagi mereka yang berhajat mengatur
kelahiran.
2.
b). Apabila hasil program keluarga
Berencana mampu menekan jumlah kelahiran dan hasil pembangunan ekonomi
mampu memakmurkan, lalu terjadi perluasan lapangan kerja dan kurangnya jumlah
tenaga kerja, (tidak ada lagi pengangguran yang mengakibatkan mafsadat yang
dilarang), maka berdasar zari’ah dibolehkan mempergunakan alat teknologi
canggih, yaitu fath al-zari’ah karena mengakibatkan kemaslahatan yang
dibolehkan, yaitu terhindarnya mafsadat yang dilarang nanti.
F.
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai barikut:
Pertama, faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi perubahan dan pembaharuan hukum diawali dengan adanya perubahan
sosial, yang meliputi; a. Kependudukan, b. Habitat fisik, c. Teknologi, d.
Stuktur masyarakat dan budaya.
Kedua, Perubahan Hukum di
Indonesia dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: a. Perubahan penerapan
tanpa mengubah ketentuan formalnya, karena tuntutan perubahan sosial, maka
hukum dapat dipandang berfungsi sebagai Social control, b. Perubahan
peraturannya secara formal untuk merubah struktur sosial, maka hukum dapat
dipandang berfungsi sebagai sosial engeineering.
Ketiga, dalam proses perubahan
dan pembaharuan hukum Islam, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Hukum yang bersumber dari nas yang sarih
(tegas) dan qath’i terhadap obyeknya (unsur material) yang tidak memberi
peluang akal untuk menemukan hukumnya, selain hukum yang ditegaskan nas secara
tertentu, maka tidak boleh dilakukan ijtihad, tetapi harus mengikuti ketentuan
nas, seperti ketentuan tentang beberapa kewajiban dasar; salat, zakat puasa dan
haji.
2.
Hukum yang sumbernya nas yang zanni
al-dalalah terhadap obyek hukum dan terdapat peluang bagi akal untuk
berijtihad, maka dibolehkan berijtihad untuk mencari sasarannya yang tepat,
tetapi terbatas pada pemahaman nas dan tidak boleh keluar dari jangkauannya
seperti kebanyakan hukum muamalah.
3.
Hukum yang sumbernya bukan nas tetapi
telah terjadi kesepakatan tentang hukum sesuatu objek tertentu (ijmak), maka
disinipun terdapat peluang berijtihad selain mengkaji kebenaran terjadinya
ijmak itu seperti memberi warisan 1/6 kepada nenek.
4.
Hukum yang sumbernya bukan nas tertentu
terhadap sesuatu objek hukum tertentu, seperti kebanyakan dari hukum fiqhiyah
dalam berbagai aliran/mazhab, maka disini terbuka peluang ijtihad mengkaji
ulang dimana terbuka kemungkinan terjadinya perubahan hukum sejalan
dengan perubahan sosial.
Keempat, konsep al-qiyas Imam
Syafi’i dalam proses perubahan dan pembaharuan hukum Islam sebagai berikut:
1.
Semua peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan seseorang muslim, tentu ada hukumnya yang pasti, atau menurut jalan
yang benar terdapat petunjuk tentang hukumnya.
2.
Maka tidaklah terjadi sesuatu peristiwa
yang dihadapi penganut agama Allah, melainkan di dalam Al-Qur’an terdapat
petunjuk tentang pemecahannya.
3.
Dan al-qiyas itu ditinjau dari dua segi: pertama,
bahwa sesuatu peristiwa baru (far’) sama betul dengan ma’na asl, maka
dalam hal ini al-qiyas tidak akan berbeda; kedua, bahwa sesuatu peristiwa
mempunyai kemiripan dengan beberapa ma’na pada asl, maka peristiwa itu
dihubungkan dengan asl yang paling utama dan lebih banyak kemiripannya.
Wallohu a’lam bi al- shawab
Komentar
Posting Komentar