Genealogi Terma Fikih Klasik
Adanya ayat Al Quran yang meggunakan redaksi
fikih dengan berbagai varian derivasinya mengindikasikan bahwa terma fikih
sudah ada sejak zaman pra Islam. Kita bisa mengutip surat Thaha ayat 27-28, wahlul
‘uqdatan min lisani yafqahu qaauli yang artinya “Dan lepaskanlah kekakuan
dari lidahku, Supaya mereka mengerti perkataanku”. Dalam ilmu morfologi
Arab, kata yafqahu adalah derivasi dari bentuk asli (mashdar), fikih.
Akan tetapi penggunaan kata fikih pada masa pra
Islam tak mempunyai makna yang sama seperti makna terminologis yang sekarang
kita kenal sebagai hukum Islam atau pengetahuan seputar hukum Islam. Kata fikih
dalam ayat itu mempunyai arti mengerti (al ‘ilm) dan memahami (al fahm) sampai
kepada batas yang mendalam. Maka bisa kita pahami jika pada masa itu tidak
dikenal terma fuqaha; “mereka yang mempunyai kepakaran di bidang hukum”.
Al Amidi dalam bukunya Al Ihkam, (1/7)
membedakan antara al ‘ilm dan al fahm. Keduanya merupakan makna fikih.
Menurutnya, Al fahm adalah kecerdasan nalar, meskipun orang yang bersangkutan
tidak mempunyai pengetahuan (al ‘ilm) laiknya orang yang tidak tahu tapi
sejatinya ia brilian. Masih terkait makna al fahm, Ibn Al Qayyim dalam I’lam Al
Mauqi’in (1/264) menganggap al fikih lebih istimewa dari al fahm. Ia menuliskan
“Fikih lebih istimewa karena ia adalah kekuatan daya tangkap seseorang atas
pihak yang berbicara (mutakallim). Sedangkan al fahm adalah memahami apa yang
tertulis. Karena perbedaan daya tangkap ini lah, berbeda tingkat pemahaman dan
pengetahuan mereka”.
Sepertinya, terma fikih kemudian mengalami
spesifikasi ketika masuk ke dataran makna terminologis. Ia dimaknai sebagai
pengetahuan seputar hukum-hukum syar’i setelah melakukan penelitian dan
penyimpulan hukum. Pengertian terminologis ini menjadikan fikih mempunyai kesan
makna yang lebih serius dan ilmiah. Akan tetapi pada prakteknya, ketika kita
mengatakan “sesungguhnya fikih mempunyai karakter yang lengkap dan fleksibel”
arti yang dimaksud sesungguhnya adalah kumpulan hukum-hukum yang dipraktekkan”
(Al Zarqa’, Al Madkhal Al Fikihi Al ‘Amm, 24-25). Citra atau kesan ilmiah itu
berkurang.
Laiknya fenomena bahasa secara general. Cakupan
dan perubahan makna fikih selalu dipengaruhi perkembangan lingkungan di luar
dirinya. Kekayaan kosa kata dalam semua bahasa sangat dipengaruhi oleh
interaksi bahasa itu dengan budaya di luar budaya yang membentuk dan
memilikinya. Bangsa Arab ketika mengalami futuhat ke wilayah-wilayah Yunani dan
Persi harus melahirkan bahasa-bahasa baru. Muncul lah terma al arudl, al bahr
al thawil, al madid, al nahw, al fa’il, al maf’ul, al qadliyyah, al qiyas, al
istihsan dst. sebagai konsekwensi bagi proses akulturasi dan adaptasi budaya.
Dalam sejarah bahasa Arab, para pakar
linguistik seperti Abu Al Aswad, Sibawaih, Al Khalil, Al Farra’, Al Akhfasy dan
para pakar lain waktu itu yang terpolarisasi dalam madzhab Basrah atau Kufah
terdorong untuk merumuskan tata bahasa Arab yang sanggup melindungi otentisitas
bahasa dari perkembangan yang liar, tak terkontrol dan mendistorsi akibat
persentuhan budaya.
Terma fikih juga mengalami perkembangan serupa.
Meski perkembangan itu tak terjadi secara radikal akan tetapi melalui proses
evolusi dalam beberapa fase waktu dan sejarah. Bahkan fikih pernah mempunyai
makna yang sama sekali berbeda. Para alim abad I dan II H menggunakan terma
fikih mencakup tema-tema tasawwuf dan ilmu kalam. Dalam sebuah cerita Imran Al
Munqiri, Hasan (Abu Said) mengatakan bahwa al faqih adalah al zahid fi al
dunya, al raghib fi al akhirah, al bashir bi amri dinihi al mudawim ala ibadati
rabbihi (Faqih adalah orang yang zuhud di dunia, menyukai akhirat, mengerti
perkara agama dan selalu beribadah kepada Tuhannya). Riwayat ini bisa kita
temukan dalam Sunan Al Darimi.
Banyak terma fikih tersebut dalam khazanah
pengetahuan Islam abad I dan II H yang berbeda sama sekali dengan pemaknaannya
pada masa sekarang. Catat saja, Ali Ibn Abi Thalib pernah menggunakan terma
fikih yang justru merujuk kepada tema-tema moralistik. Ia mengatakan “Faqih,
sebenar-benar faqih, adalah orang yang tidak menjauhkan manusia dari kasih
sayang Allah, tidak membiarkan mereka dalam kemaksiatan, tidak mengajak mereka
kepada siksa Allah dan tidak meninggalkan Al Quran demi perkara lain…”. Tidak
adanya spesifikasi yang khusus atas terma fikih ini terjadi sampai pertengahan
abad ke dua. Maka kita masih bisa memahami jika Abu Hanifah menuliskan Al Fikih
Al Akbar yang nota bene berbicara bukan fikih, melainkan akidah.
Setelah terma fikih melewati abad ke dua,
terutama setelah cabang pengetahuan hukum Islam mekar dan berkembang sedemikan
rupa, ia mulai mengalami spesifikasi makna. Yaitu ketika karya-karya induk
dalam disiplin ini cukup merata di seentareo wilayah Islam dan diikuti tradisi
pengembangan literatur-literatur induk berupa syarkh (komentar), ikhtishar,
khulasah (resume) syarkh-syarkh (komentar atas komentar) yang membuncah. Wacana
fikih mulai menghegemoni. Bahkan kemudian sampai bisa disimpulkan bahwa teori
hukum Islam yang mulanya disistematiasikan Al Syafi’i di abad II menjadi
laiknya the queen of Islamic science.
Pada saat itu, fikih mengalami spesifikasi
makna seperti sekarang kita pahami. Meski kita tidak bisa menutup mata,
penggunaan fikih dengan makna lain masih seringkali terjadi. Meski bukan
mainstream. Al Ghazali, yang hidup di abad V H, masih menggunakan terma fikih
dengan makna yang bersifat moralistik. Meski ia seringkali harus memberikan
klarifikasi. Tepatnya jika Anda mencermati ulasan yang ia berikan dalam buku
fikih-tasawwuf-nya, Ihya Ulumudin (1/21-28).
Maka kemudian banyak alim yang tak nyaman
dengan penggunaan terma fikih yang tak terspesifikasi. Mereka memberikan
definisi yang bisa mencakup berbagai penggunaan dimaksud. Fikih adalah
mengetahui sesuatu yang bermanfaat dan merugikan diri seseorang. Definisi ini
mencakup tema-tema akidah dan tasawwuf. Tapi jika Anda menambahkan redaksi
“’amalan” (perbuatan) maka secara otomatis definisi itu akan mengeklusi akidah
dan tasawwuf. Dan tinggal lah tema-tema terkait hukum. Itu lah fikih yang
sekarang kita pahami.
Komentar
Posting Komentar