Fikih Pra Islam
Masyarakat Arab Pra Islam terbagi menjadi dua;
kota dan badui. Masyarakat kota hidup menetap dan menciptakan budaya. Bercocok
tanam dan bedagang. Suku Quraisy sudah mempunyai musim ekpedisi dagang. Di
musim panas mereka berdagang ke Syam. Di musim dingin mereka ke Yaman.
Masyarakat badui hidup nomaden. Mencari air dan wilayah hijau. Mereka adalah
penggembala dan kebanyakan tak bisa baca tulis. Hidup di padang pasir yang
berjarak, terpencar di setiap pojok dan ujung wilayah sahara. Tidak jarang
bertengkar dan bermusuhan. Karakter mereka suka merampas, merampok dan
berperang.
Ada karakter yang menyatukan kedua tipe
masyarakat ini. Orang Arab adalah pemberani. Tak betah direndahkan. Tak pernah
takut dan pembalas dendam sejati. Mereka umumnya penyabar dengan kerasnya
kehidupan. Mempunyai pikiran yang tajam dan penalaran yang lurus. Mereka tidak
menyukai pamer dan anti pengekangan. Setiap anggota kabilah bersikap loyal
kooperatif dalam kebaikan maupun keburukan. Menolong saudaranya, baik ia dlalim
atau didlalimi. Jika ada yang tak membela, para penyair dengan lantunan puisi
yang keras dan tajam, meruntuhkan martabat dan kehormatannya.
Tradisi balas dendam adalah misi dan kewajiban
suci orang Arab. Mereka menyakini darah harus dibalas darah. Waktu itu tidak
ada otoritas yang berhak menyelesaikan perkara dan tidak pula pihak keamanan
yang menjamin stabilitas. Yang terjadi adalah, setiap orang yang berselisih
menyelesaikan perkara. Rekonsiliasi terjadi jika pembalas dendam merasa ciut
dengan kekuatan kabilah yang membuat masalah.
Makkah adalah pusat aktifitas di beberapa musim
dan di waktu pelaksanaan haji. Di sana mereka membanggakan keturunan, memuliakan
nenek moyang terutama di pentas Suq Ukaz. Mendendangkan puisi pujian dan
cercaan. Makkah menjadi komunitas keilmuan yang cukup diskursif, pusat
elaborasi dan ekpresi sastra, pun sentral pergerakan ekonomi di negera-negara
Hijaz.
Mayosiras Arab menyembah berhala. Sebagian
mereka yang tercerahkan ajaran-ajaran Yahudi dan Nasrani percaya hari
kebangkitan, tauhid dan melarang mengubur anak perempuan. Mereka tidak pula
minum arak dan berjudi. Salah satu dari pemimpin mereka bernama Qas ibn Saidah
Al Ayadi. Ia pernah menuliskan “Al Bayyinah ala man idda’a wa al yaminu ala man
ankara” (Saksi bagi penggugat dan sumpat bagi tergugat)
Tidak ada hukum yang dicoba-kontruksi secara
definitif dan sistematis. Mereka mengikuti saja tradisi kabilah-kabilah. Banyak
hukum dipengaruhi ajaran-ajaran Kristen. Ayah adalah pemimpin keluarga. Ia
ditataati. Anggota keluarga mengambil nasehat-nasehatnya. Individu keluarga
mempunyai kebebasan dan independensi diri dan keuangan. Di sisi lain
puisi-puisi Arab mencerminkan perempuan-perempuan yang dihormati. Laki-laki
bangga dengan garis nasab perempuan dan laki-laki. Perempuan juga berperan
menasehati laki-laki. Mereka bercampur laki-laki menekuni segala aktifitas.
Dalam wilayah domestik keluarga, seorang bapak
akan bermusyawarah dengan anak-anak perempuannya prihal siapa pasangan mereka.
Banyak model pernikahan mereka kenal; Muqt, Mut’ah, Syighar, Isytibdla’,
Akhdzan dan Baghaya. Meskipun begitu, pernikahan Muqt, seabagai salah satu
model pernikahan pra Islam, sangat dibenci berbagai kabilah. Maka muncul terma
nyinyir “walad muqti” (anak yang dibenci). “Al muqt” sendiri sinonim dengan “Al
baghdlu al syadid” (kebencian yang sangat). Tradisi mengubur anak perempuan
hanya dilakukan sebagian Bani Tamim dan Bani Asad. Itu pun terbatas pada
komunitas miskin.
Tesis sebagian pengamat yang menyamakan kultur
patriarkis (patria potetsas) Arab dengan Romawi, dihadapakan pada realitas ini
menjadi ahistoris. Masyarakat romawi mamandang figur orang tua dengan kultus.
Keturunan tidak mempunyai independensi harta bahkan dirinya sendiri. Pun, tidak
ada bukti yang mendiskripsikan perempuan Romawi sebegitu dihormati ketika
puisi-puisi Arab menggambarkan tingginya martabat perempuan.
Tradisi khitbah dan pernikahan yang lazim pada
masa sekarang juga merupakan bagian dari tradisi mereka. Dalam masyarakat Arab
menikahi dua perempuan bersaudara dibolehkan. Mereka pun mengenal banyak
mekanisme talak; dlihar, ila dan talak seperti kita ketahui sekarang.
Masyarakat Arab kebanyakan, tak mengenal batas hitungan talak. Setiap saja
mentalak, mereka akan merujuknya kembali sebelum masa ‘idah (penantian). Jika
terjadi setelah masa ‘idah, mereka tidak bisa mengawininya kembali kecuali atas
persetujuan pihak perempuan.
Masih dalam wilayah domestik, mereka mengenal
tiga bentuk warisan; Al Qarabah, Tabanni dan Al Half wa Al ‘Ahd. Yang terakhir
dikenal dalam Islam dengan Al Muwalah. Dalam masalah kepemilikan mereka
menyakini sebab-sebab kepemilikan; paksaan, waris, wasiat, hibah, jual beli
dengan unsur judi dan hasil penipuan. Mereka juga tak merelakan uangnya untuk
orang lain kecuali dengan kesepakatan riba (pelebihan). Ketika masa pinjaman
sudah berlalu, pihak yang meminjami akan memberikan pilihan kepada si peminjam
untuk memilih antara mengembalikan utuh atau melebihkan pinjaman. Mereka biasa
mengatakan “Addi au arrib” (Lunasi atau lebihkan).
Di Madinah, kehidupan masyarakat Arab
sebetulnya lebih berbudaya. Hasil interaksi yang lebih halus, terbuka dan
mendalam dengan penganut Yahudi dan Nasrani menjadikan ebih banyak dasar-dasar
agama dan hukum mereka yang diserap.
Dalam mekanisme penentuan keturuan ketika
terjadi sengketa mereka mengenal qiyafah. Tidak hanya itu, qiyafah juga
berfungsi dalam keputusan tindak kriminal. Orang Arab bisa mengenali siapa
pelaku dengan meneliti jejak-jejak kaki. Farrasah juga merupakan bagian dari
keahlian orang Arab menentukan siapa pelaku kriminal dengan memperhatikan
suara, raut wajah dan gerak orang yang berbicara. Cara lain adalah Qassamah dan
Qur’ah.
Seperti yang sudah penulis ilustrasikan,
masyarakat Arab merasa bisa hidup tenang jika dendam sudah terbayarkan. Darah
harus dibalas dengan darah dan nyawa harus ditebus dengan nyawa. Mereka tidak
mengenal klasifkasi kriminal atas dasar rekayasa atau kekeliruan sebagaimana
Islam. Hanya saja mereka mengenal praktek kompenasasi material yaitu mekanisme
diyat yang kemudian dimodifikasi Islam.
Begitu juga Arab sudah mengenal etika-etika
kehidupan tersendiri. Etika perjamuan, berpakaian, pesta pernikahan, hari-hari
besar sudah ada dan dipraktekkan oleh bebagai kalangan kabilah.
Dalam tradisi politik, mereka mengenal syura.
Dalam hal peribadatan, kepercayaan dan ritual mereka melakukan penghormatan
Ka`bah dan Tanah Suci Makkah, prosesi Haji dan Umrah, mensucikan Bulan
Ramadhan, memuliakan bulan Dzul Qa`dah, Dzul Hijjah, Muharram, Rajab yang
sering disebut “Al Asyhur Al Haram” dan berkumpul di hari Jum`at.
Komentar
Posting Komentar