BUKU III KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
BUKU III KUHPERDATA
Perjanjian
(Kontrak)
Perjanjian
(overeenkomst) merupakan hukum dasar
dalam perjanjian asuransi. Perjanjian itu sendiri merupakan sumber terpenting
dari perikatan (verbintenis) yang
diatur dalam Buku III KUH Perdata. Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa,
“Tiap-tiap perikatan itu terjadi karena persetijuan atau karena Undang-Undang.”
Perjanjian
berasal dari kata janji yang mempunyai arti persetujuan antara dua pihak
(masing-masing menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu).
Defenisi perjanjian seperti terdapat pada pasal 1313 KUH Perdata yaitu: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”. Subekti memberikan pengertian perjanjian sebagai berikut:
suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.[1]
Hal yang diperjanjikan untuk dilakukan
itu dikenal dengan istilah prestasi. Prestasi tersebut dapat berupa : memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu dan atau tidak
berbuat sesuatu.
Secara
umum, hukum perjanjian mengatur hubungan pihak-pihak dalam perjanjian,
akibat-akibat hukumnya, dan menetapkan bila pelaksanaan perjanjian dapat
dituntut secara hukum. Sedangkan perikatan menurut Subekti10, perikatan adalah: “Suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.
Perikatan
adalah suatu bentuk hubungan hukum, yang berarti bahwa hubungan tersebut diatur
dan diakui oleh hukum. Segala sesuatu yang menjadi akibat atau konsekuensi dari
timbulnya perikatan itu mendapatkan jaminan atas adanya kepastian hukum . Contoh,
ketidakterlaksananya apa yang menjadi tuntutan atau dalam hal terjadinya
wanprestasi terhadap isi perjanjian, maka suatu transanksi hukum dapat
dikenakan sanksi. Sanksi tersebut berupa pembayaran ganti kerugian oleh pihak
yang melakukan wanprestasi atas kerugian yang diderita oleh pihak lawannya.
Perjanjian
yang terjadi diantara dua belah pihak mempunyai kekuatan mengikat bagi para
pihak yang membuat perjanjian itu, seperti yang telah diatur dalam ketentuan
pasal 1338 KUH Perdata. Munculnya kekuatan mengikat yang dari suatu perjanjian
menunjukan adanya hubungan antara perikatan dan perjanjian, dimana perjanjian
itu menimbulkan suatu perikatan. Jadi dapat dikatakan bahwa perjanjian adalah sumber perikatan.[2]
Perikatan
juga bisa lahir dari Undang-Undang. Perbedaan diantara perikatan yang lahir
dari perjanjian dengan perikatan yang lahir dari Undang-Undang adalah perikatan
yang lahir dari perjanjian ini memang dikehendaki oleh kedua belah pihak
sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang tidak berdasar atas inisiatif pihak-pihak yang bersangkutan.
Sistem
hukum Indonesia tentang perjanjian diatur dalam pasal-pasal buku III KUH
Perdata tentang perikatan. J. Satrio menjelaskan, bahwa perjanjian dapat dibedakan
menurut sifat perjanjiannya yaitu[3]
:
1. Perjanjian
Konsensuil
Perjanjian
Konsensuil adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja,
sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
2. Perjanjian
Riil
Perjanjian
Riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok
perjanjian telah diserahkan.
3. Perjanjian
Formil
Adakalanya
perjanjian yang konsensuil, adapula yang disaratkan oleh Undang Undang, di
samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas
tertentu.
Adakalanya
perjanjian yang konsensuil, adapula yang disaratkan oleh Undang-Undang, di
samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas
tertentu.[4]
Namun demikian adapula kaidah atau prinsip hukum yang seringkali dimasukan
dalam berbagai perjanjian Internasional berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi
dan perdagangan yang acap kali juga dianggap sebagai fundamental atau sentral
dalam pembahasan pembahasan diantara subyek-subyek hukum Internasional.
Beberapa kaidah ini sifatnya bisa lebih fundamental dari pada kaidah-kaidah
lainnya. Namun demikian ada gambaran sedikit dari kaidah-kaidah yang dapat
membantu dalam memahami beberapa kecenderungan umum dalam hukum ekonomi
internasional yaitu kesepakatan antara para pihak (Contract) yang
tertuang dalam berbagai bentuk perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi
internasional.
Kegiatan
perdagangan adalah masuk dalam aspek hukum perdata dan sumbernya diatur dalam
buku III KUH Perdata yaitu tentang perikatan yang secara umum dapat dijelaskan
bahwa perdagangan terjadi karena adanya suatu kesepakatan antara para pihak dan
kesepakatan tersebut diwujudkan dalam suatu perjanjian dan menjadi dasar
perikatan bagi para pihak, walaupun perikatan seperti yang tercantum dalam
pasal 1233 KUHPerdata disebutkan bahwa perikatan lahir dari perjanjian atau
dari undang-undang. Namun menurut Pitlo kata undang-undang membuat maknanya
lebih sempit bagi sebuah sumber perikatan, atas dasar itu diusulkan agar kata
undang undang diganti dengan kata “hukum” dengan kata lain bahwa sumber
perikatan adalah hukum para pihak.[5]
Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam perspektif hukum, suatu perikatan adalah suatu hubungan
hukum antara subyek hukum, berdasarkan mana satu pihak berkewajiban atas suatu
prestasi sedangkan pihak yang lain berhak atas prestasi tersebut. Perjanjian
sebagai sumber perikatan maka sahnya perjanjian menjadi sangat penting bagi
para pihak yang melakukan kegiatan perdagangan. Menurut pasal 1320 KUH Perdata
sahnya suatu perjanjian meliputi syarat subyektif dan syarat obyektif.
Berdasarkan ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal
tertentu.
4. Suatu sebab
yang halal.
Untuk dua syarat yang
pertama, dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai
orang-orangnya atau subyek hukum yang melakukan perjanjian. Dua syarat yang
terakhir dinamakan syarat objektif karena keduanya berkaitan dengan
perjanjiannya itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Ad.
1. Sepakat
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, dimaksudkan bahwa
para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia
sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang
menjadi kehendak pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka
menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.
Ad.
2. Kecakapan
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, hal ini mempunyai
arti bahwa orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada
asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap
menurut hukum. Ketentuan mengenai kecakapan seseorang diatur dalam pasal 1329
sampai dengan pasal 1331 KUHPerdata. Bila dipandang dari sudut rasa keadilan,
perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian yang pada akhirnya akan
terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari
benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu.[6]
Orang yang tidak sehat pikirannya tentu tidak mampu untuk
menerima tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu
perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak dapat
berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
Seseorang yang berada di bawah pengampuan kedudukannya sama dengan
seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang belum dewasa harus diwakili oleh
orang tua atau walinya maka seorang dewasa yang telah ditaruh dibawah
pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya. [7]
Ad.3.
Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya
suatu perjanjian. Suatu hal tertentu ini mengacu kepada apa (objek) yanng
diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Barang atau objek tersebut paling
sedikit harus ditentukan jenisnya. bahwa barang tersebut sudah ada atau sudah
berada ditangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan
oleh undang-undang.
Ad.
4. Sebab yang halal
Suatu
sebab yang halal, perlu untuk dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sebab
disini tiada lain adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Yang dimaksud kan
dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri
sebagai ilustrasi : dalam suatu perjanjian jual beli isinya adalah pihak yang
satu menghendaki uang dan pihak yang lain menginginkan hak milik atas barang
tersebut. Dan sebab tersebut merupakan sebab yang halal yang mempunyai arti
bahwa isi yang menjadi perjanjian tersebut tidak menyimpan dari
ketentuan-ketentuan perundangundangan yang berlaku di samping tidak menyimpang
dari norma-norma ketertiban dan kesusilaan.[8]
Asas-Asas Perjanjian (Kontrak)
Menurut Logeman[9],
bahwa setiap peraturan hukum hakekatnya dipengaruhi oleh dua unsur penting,
yaitu:
a.
Unsur riil, karena sifat nya yang
konkrit, bersumber dari lingkungan dimana manusia itu hidup, seperti
tradisi-tradisi atau sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir denga perbedaa
jenis;
b.
Unsur idiil, karena sifatnya yang
abstrak, bersumber dari lingkungan dimana manusia itu sendiri yang berupa akal
pikiran dan perasaan.
Bangunan hukum yang bersumber pada perasasan manusia disebut asas-asas,
sedangkan yang bersumber pada akal pikiran disebut pengertian-pengertian.
Asas-asas dalam hukum perjanjian menurut Mariam Darus Badrulzaman[10] ada
lima, yaitu:
a.
Asas Konsensualisme;
Konsesualisme berasal dari perkataan consensus, yang mempunyai arti
kesepakatan, yaitu suatu asas yang menentukan bahwa untuk terjadinya suatu
perjanjian (kontrak) cukup dengan sepakat saja dan kontrak itu terlahir pada
saat terjadinya consensus atau sepakat antara kedua belah pihak tentang hal-hal
yang pokok yang dimaksud dalam kontrak. Dengan perkataan lain, kontrak sudah
sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai unsur pokok kontrak dan tidak
diperlukan formalitas tertentu. Asas Konsensualisme tercermin dalam Pasal 1320
KUH Perdata, yang menentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat, salah satunya adalah “sepakat mereka yang mengikatkan diri”. Asas
konsensualisme dipandang dari sisi terbentuknya perjanjian.
Selanjutnya, Pasal 1321 KUH Perdata menetapkan bahwa
apabila di dalam kontrak terdapat antara lain unsur paksaan, maka kesepakatan
yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata dianggap tidak ada. Apabila
kesepakatan tidak terjadi, maka kontrak dinyatakan tidak memenuhi syarat
keabsahan sebagaimana diatur dalam Pasal 1323 KUH Perdata adalah perbuatan yang
menyebabkan pihak yang berpikiran sehat menjadi tidak bebas dalam mengambil
keputusan, dan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kerugian yang nyata.
b.
Asas Kebebasan Berkontrak;
Asas ini adalah suatu asas yang menentukan bahwa
setiap orang adalah bebas atau leluasa untuk memperjanjikan apa dan kepada
siapa saja. Asas kebebasan berkontrak tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, berarti kita diperbolehkan dengan leluasa untuk mengadakan perjanjian
apa saja, baik perjanjian bernama maupun yang tidak bernama dan perjanjian itu
akan mengikat sebagaimana mengikatnya Undang-undang apabila dibuat secara sah.
Asas kebebasan berkontrak dipandang dari segi isi perjanjiannya. Konsekuensinya
pihak ketiga maupun hakim sekalipun tidak boleh mengintervensi untuk merubah,
menambah, mengurangi atau menghilangkan isi perjanjian.
Namun jika diperhatikan pandangan T.H. Green dalam
Peter Mahmud Marzuki[11],
bahwa kebebasan berkontrak merupakan konsepsi formal masa awal liberalisme dan
mengarah kepada suatu perbudakan baru yang bukan didasarkan pada ketidakmampuan
manusia secara hukum melainkan pada ketidakmampuan secara ekonomis. Secara
historis asas kebebasan berkontrak sebenarnya meliputi lima macam kebebasan
yaitu: (1) Kebebasan para pihak menutup atau tidak menutup kontrak; (2)
kebebasan menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak; (3)
Kebebasan para pihak menentukan bentuk kontrak; (4) Kebebasan para pihak
menentukan isi kontrak; (5) Kebebasan para pihak menentukan cara penutupan
kontrak.
c.
Asas Kekuatan Mengikat;
Asas ini adalah asas yang menentukan bahwa suatu
perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikat para pihak dalam perjanjian
yang bersangkutan sebagaimana mengikatnya Undang-undang. Asas kekuatan mengikat
terkandung dalamj Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata. Keterikatan
tersebut tidak hanya keterikatan pada apa yang diperjanjikan tetapi juga
terhadap segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan menurut
kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang.
Asas mengikat sebagai Undang-undang secara tersurat
tercantum di dalam pasal yang sama dengan pasal yang berisi asas kebebasan
berkontrak, yaitu Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa semua
kontrak yang dibuat secara sah akan mengikat sebagai Undang-undang bagi para
pihak di dalam kontrak tersebut. Artinya, para pihak di dalam sebuah kontrak
harus menaati kontrak yang mereka buat sebagaimana menaati Undang-undang.
Dengan demikian, terhadap pihak yang melanggar ketentuan dan persyaratan di
dalam kontrak dapat dikenakan sanksi seperti juga pelanggaran terhadap
Undang-undang.
Pemuatan dua asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak dan asas
mengikat sebagai Undang-undang di dalam satu pasal yang sama, menurut logika
hukum berarti: (1) Kedua asas hukum tersebut tidak boleh bertentangan satu sama
lainnya; (2) Kontrak baru akan mengikat sebagai Undang-undang bagi para pihak
di dalam kontrak tersebut, apabila di dalam pembuatannya terpenuhi asas
kebebasan berkontrak yang terdiri atas lima macam kebebasan.
d.
Asas Kepastian Hukum;
Di dalam hukum perjanjian, kepastian hukum merupakan
salah satu asas essensial karena dalam hukum perjanjian setiap orang diberi
kebebasan untuk memperjanjikan apa dan dengan siapa saja. Sehingga dapat
dikatakan, apa arti pembentuk undang-undang memberi kebebasan pada setiap orang
untuk mengadakan perjanjian apabila dalam hukum perjanjian tidak terkandung
asas kepastian hukum. Hal ini terungkap dalam diri kekuatan mengikat perjanjian
itu, yaitu sebagai Undang-undang bagi para pihak atau karena alasan-alasan yang
oleh Undang-undang dinyatakan untuk itu.[12]
e.
Asas Itikad Baik;
Asas itikad baik adalah asas yang menentukan bahwa
dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian harus berdasarkan kejujuran.
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Asas itikad
baik dipandang dari sisi pelaksanaan perjanjian.[13]
Masa Berlakunya
Perjanjian
1.
Terjadinya Perjanjian
Menurut
asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan
atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok
dari apa yang menjadi
objek perjanjian. Sepakat adalah suatu
persesuaian paham dan
kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu,
adalah juga dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak searah tetapi
secara timbal balik. Kedua kehendak tersebut akan bertemu satu sama lain.
Dengan
demikian, untuk mengetahui saat lahirnya suatu perjanjian, harus dipastikan
apakah telah tercapai kesepakatan antara para pihak yang berjanji. Haruslah
dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara para
pihak yang berjanji. Apabla
kedua kehendak tersebut tidak saling bertemu atau saling berselisih, tak dapat
dikatakan telah lahir suatu perjanjian. Karena suatu perjanjian lahir pada
detik tercapainya kesepakatan, maka ada madzhab yang berpendapat bahwa
perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Artinya
dengan diterimanya suatu penawaran maka dapat disimpulkan bahwa kedua belah
pihak telah mengetahui tentang adanya penawaran tersebut. Dan pihak penerima
penawaran melakukan penerimaan terhadap penawaran tersebut sehingga lahirlah
suatu perjanjian. [14]
2.
Berakhirnya Perjanjian
Berdasarkan
pasal 1381 KUHPerdata, perikatan-perikatan hapus (berakhir):
1.
karena
pembayaran;
2.
karena
penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
3.
karena
pembaharuan utang
4.
karena
perjumpaan utang atau kompensasi;
5.
karena
percampuran utang;
6.
karena
pembebasan utang;
7.
karena
musnahnya barang yang terutang;
8.
karena
kebatalan atau pembatalan;
9.
karena
berlakunya suatu syarat batal;
10.
karena
lewatnya waktu.
Ad.1 Pembayaran
Hal ini adalah yang paling penting, oleh karena
mengenal betul-betul pelaksanaan perjanjian. Maka hal pembayaran ini oleh KUH
Perdata diatur dalam tidak kurang dari 22 Pasal (pasal-pasal 1382 s/d 1403 KUH
Perdata). Pasal-pasal 1382, 1383 dan 1384 menentukan siapa yang dapat melakukan
pembayaran secara sah, yaitu:
(1)
Menurut Pasal 1382 KUH Perdata;
a.
Si pihak-berwajib (debitur )
sendiri atau seorang yang menanggung hutangnya (borg),
b.
Seorang lain yang melakukan
pembayaran “atas nama” dan untuk membebaskan “pihak-berwajib”. Ini biasanya
orang yang diberi kuasa oleh pihak-berwajib atau seorang yang secara sukarela
mengurus kepentingan pihak-berwajib;
(2)
Menurut Pasal 1383;
Apabila kewajiban si berwajib berupa melakukan perbuatan tertentu,
pelaksanaan oleh lain orang hanya dapat dengan izin pihak-berhak;
(3)
Menurut Pasal 1384;
Apabila kewajiban si berwajib berupa menyerahkan suatu barang kepada
pihak-berhak, maka ada dua syarat untuk pembayaran, yaitu:
a.
pihak-berwajib harus sendiri
mempunyai hak-milik atas barang itu,
b.
ia harus pada umumnya
diperbolehkan oleh hukum untuk melakukan
Pasal 1385 ayat (2), Pasal 1387 dan Pasal 1386
mengadakan kekecualian, dengan menganggap pembayaran kepada lain orang toh sah,
apabila:
a.
pembayaran itu kemudian dibenarkan
oleh pihak-berhak, atau
b.
pembayaran itu bermanfaat benar
bagi pihak-berhak, atau
c.
pembayaran itu dilakukan secara
jujur kepada seorang yang bertindak seolah-olah pihak-berhak, sedang sebetulnya
ia bukan pihak-berhak.
Begitu pula pasal-pasal berikutnya dari KUH Perdata, mengenai:
a.
objek pembayaran (Pasal-pasal 1389
s/d 1393),
b.
tempat pelaksanaan perjanjian
(Pasal 1393),
c.
pembuktian-pembayaran (Pasal-pasal
1394 s/d 1399),
d.
subrogasi atau penggantian
pihak-berhak (Pasal-pasal 1400 s/d 1403).
Ad.2 Penawaran
Pembayaran Tunai, Diikuti dengan Penyimpanan.
Hal ini diatur dalam Pasal-pasal 1404 s/d 1412 KUH
Perdata dan dalam Pasal-pasal 809 s/d 812 Reglement
Burgerlijke Rechtvordering (RV). Dalam hal-hal yang pasal-pasal tersebut
dari KUH Perdata berlaku, yaitu bagi orang-orang Eropa, Tionghwa, Arab dan
lain-lain bangsa Timur Asing, Pasal-pasal 809 s/d 812 Rv. Harus dianggap
berlaku juga, meskipun pada umumnya dalam acara di muka Pengadilan Negeri bukan
Rv., melainkan H.I.R. yang berlaku. Ini disebabkan, oleh karena pasal-pasal
tersebut dari KUH Perdata dan hanya bermaksud untuk melaksanakan apa yang
ditentukan dalam pasal-pasal KUH Perdata.
Sebagai diketahui, pada hakekatnya Hukum Acara Perdata
bertujuan menunjukkan jalan, bagaimana pengadilan harus bertindak guna
melaksanakan Hukum Perdata. Maka kalau dalam hal tertentu ternyata H.I.R. tidak
mencukupi tujuan itu, tidak ada keberatan untuk memakai peraturan dari Rv.
Pernyataan sedia membayar dari debitur adalah salah
satu usaha untuk menghindarkan kesulitan, apabila pelaksanaan perjanjian
dihalang-halangi oleh pihak-berhak. Usaha ini adalah perlu, oleh karena
biasanya dianggap bahwa bagi kreditur tidak ada kewajiban untuk menerima pelaksanaan
perjanjian. Biasanya memang seorang debitur harus berterima kasih, kalau ia
tidak di dorong oleh kreditur untuk tidak memenuhi janji.
Akan tetapi ada kalanya debitur berkepentingan untuk
melaksanakan janji. Kalau penolakan kreditur akan menerima pelaksanaan janji
disertai dengan pembebasan hutang secara tegas, maka kiranya setiap orang
debitur akan menerima dengan baik penolakan kreditur itu. Tetapi yang
menimbulkan kesulitan adalah suatu penolakan pembayaran, yang bermaksud untuk
melanjutkan perhubungan hukum utang-berpiutang antara kedua belah pihak. Untuk
debitur penolakan itu tidak hanya menyedihkan oleh karena tetap terbayang dalam
alam pikirannya suatu beban kewajiban, melainkan juga mungkin sebagai akibat
dari penolakan ini, ia, debitur dirugikan betul-betul.
Pokok dari peraturan KUH Perdata tentang penawaran
pembayaran ini terletak pada Pasal 1404 ayat (2) KUH Perdata, yang mengatakan,
kalau pernyataan sedia membayar ini telah diikuti dengan suatu penitipan barang
secara yang ditetapkan pula oleh Undang-undang, maka bebaslah pihak berwajib
dari kewajibannya, dan dianggap seolah-olah telah terjadi suatu pembayaran yang
sah, dan juga layak, bahwa dibagian penghabisan dari ayat tersebut dikatakan,
sejak penitipan barang itu barangnya berada dibawah tanggungan pihak-berhak.
kalau barang hilang diluar kesalahan pihak-berwajib, maka pihak berhaklah yang
memikul kerugian.
Ad.3 Pembaharuan
utang
Menurut Pasal 1413 KUH Perdata pembaharuan hutang (schuldvernieuwing novatie) terjadi :
Ke-1 : apabila antara kedua belah pihak diaadakan
perjanjian baru untuk mengganti perjanjian lama yang dengan ini dihapuskan.
Ke-2 : apabila subyek yang dibebani kewajiban
(debitur)diganti dengan subyek baru dan dengan demikian subyek lama dibebaskan
dari kewajiban.
Ke-3 : apabila subyek yang berhak (kreditur) diganti
dengan subyek baru (kreditur baru) dan dengan demikian maka subyek lama tidak
berhak lagi meminta pelaksanaan kewajiban.
Ad.4 Perjumpaan
hutang
Menurut Pasal 1425 KUH Perdata adalah akibat dari
suatu keadaan, yaitu jika dua orang saling berutang, maka terjadilah antara
mereka suatu perjumpaan utang, yang menghapuskan utang-utang kedua orang
tersebut dengan cara dan dalam hal-hal berikut[15]:
(1)
Perjumpaan terjadi demi hukum,
bahkan tanpa setahu debitur, dan kedua utang itu saling menghapuskan pada saat
utang itu bersama-sama ada, bertimbal-balik untuk jumlah yang sama (Pasal 1426
KUH Perdata)
(2)
Perjumpaan hanya terjadi antara
dua utang yang dua-duanya berpokok sejumlah utang, atau sejumlah barang yang
dapat dihabiskan dan dari jenis yang sama, dan yang dua-duanya dapat
diselesaikan dan ditagih seketika.
(3)
Semua penundaan pembayaran kepada
seseorang tidak menghalangi suatu perjumpaan utang.
(4)
Perjumpaan terjadi tanpa
membedakan sumber piutang kedua belah pihak itu, kecuali:
a.
bila dituntut pengembalian suatu
barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.
b.
bila apa yang dituntut adalah
pengembalian suatu barang yang dititipkan atau dipinjamkan; (KUHPerd. 1694
dst., 1714 dst., 1740 dst.)
c.
terhadap suatu utang yang
bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita.
(5)
Seorang penanggung utang boleh
memperjumpakan apa yang wajib dibayar kepada debitur utama, tetapi debitur
utama tak diperkenankan memperjumpakan apa yang harus dibayar kreditur kepada
si penanggung utang. Debitur dalam perikatan tanggung-menanggung, juga tidak
boleh memperjumpakan apa yang harus dibayar kreditur kepada para debitur lain.
(6)
Seorang debitur yang secara murni
dan sederhana telah menyetujui permindahan hak-hak yang dilakukan oleh kreditur
kepada seorang pihak ketiga, tak boleh lagi menggunakan terhadap pihak ketiga
ini suatu perjumpaan utang yang sedianya dapat diajukan kepada kreditur sebelum
pemindahan hak-hak tersebut. Pemindahan hak-hak yang tidak disetujui oleh debitur,
tetapi telah diberitahukan kepadanya, hanyalah menghalangi perjumpaan
utang-utang yang lahir sesudah pemberitahuan tersebut.
(7)
Jika utang-utang kedua belah pihak
tidak dapat dibayar di tempat yang sama, maka utang-utang itu tidak dapat
diperjumpakan tanpa mengganti biaya pengiriman.
(8)
Jika ada berbagai utang yang dapat
diperjumpakan dan harus ditagih dari satu orang, maka dalam memperjumpakan
utang harus dituruti peraturanperaturan yang tercantum dalam pasal 1399.
(9)
Perjumpaan tidak dapat terjadi
atas kerugian hak yang diperoleh seorang pihak ketiga. Dengan demikian, seorang
debitur yang kemudian menjadi kreditur pula, setelah pihak ketiga menyita
barang yang harus dil)ayarkan, tak dapat menggunakan perjumpaan utang atas
kerugian si penyita.
(10)
Seseorang yang telah membayar
suatu utang yang telah dihapuskan demi hukum karena perjumpaan, pada waktu
menagih suatu piutang yang tidak diperjumpakan, tak dapat lagi menggunakan
hak-hak istimewa dan hipotekhipotek yang melekat pada piutang itu untuk
kerugian pihak ketiga, kecuali jika ada suatu alasan sah yang menyebabkan ia
tidak tahu tentang adanya piutang tersebut yang seharusnya diperjumpakan dengan
utangnya.
Ad.5 Percampuran Hutang
Percampuran hutang menurut Pasal 1436 KUH Perdata adalah
Bila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka
terjadilah demi hukum suatu percampuran utang, dan oleh sebab itu piutang
dihapuskan. Percampuran utang yang terjadi pada debitur utama berlaku juga
untuk keuntungan para penanggung utangnya. Percampuran yang terjadi pada diri
si penanggung utang, sekali-kali tidak mengakibatkan hapusnya utang pokok. Percampuran
yang terjadi pada diri salah satu dari para debitur tanggungmenanggung, tidak
berlaku untuk keuntungan para debitur ng-menanggung lain hingga melebihi bagiannya
dalam utang tanggung-menanggung.
Ad.6 Pembebasan Hutang
Perikatan-perikatan yang termaktub dalam suatu
perjanjian berdasar pada pokoknya atas suatu kesukarelaan kedua belah pihak
untuk mengadakan perikatan-perikatan itu. Maka kalau suatu kreditur kemudian
dengan sukarela berniat membebaskan pihak lain dari suatu perikatan, ini pada
hakekatnya tidak boleh dihalang-halangi.
Ada kalanya seorang debitur tidak mau dibebaskan dari
pelaksanaan suatu kewajiban, kalau pelaksanaan ini adalah suatu syarat baginya
untuk mendapat keuntungan dari atau bagi pihak ketiga. Dalam hal yang luar
biasa ini toh perlu ada kata sepakat antara kreditur dan debitur perihal
pembebasan kewajiban debitur.
Hanya saja, kalau kreditur tidak lagi menghendaki
pelaksanaan suatu perjanjian, maka layak penentuan dalam Pasal 1438 KUH
Perdata, bahwa pembebasan hutang tidak boleh dikira-kirakan saja (voorondersteld), melainkan harus
dibuktikan. Pembuktian ini menurut Pasal 1439 KUH Perdata menentukan bahwa,
pengembalian surat tanda hutang oleh kreditur kepada debitur membuktikan bahwa
ada pmbebasan hutang, juga terhadap pihak ketiga yang turut
tanggung-menanggung.
Pasal 1440 dan pasal 1442 KUH Perdata mengatur
mengenai hal adanya beberapa debitur, yang tanggung menanggung atau hal adanya
seseorang penanggung (borg). Dalam
Pasal 1440 KUH Perdata dijelaskan bahwa pembebasan salah seorang debitur dalam
perikatan tanggung-menanggung, maka membebaskan kewajiban debitur lainnya.
Namun dalam Pasal 1442 KUH Perdata ada pengecualian apabila kreditur menegaskan
maksud lain, bahwa pembebasan seorang debitur utama (hoofdshuldenaar) emmbebaskan si penanggung, tetapi sebaliknya
pembebasan penanggung hanya membebaskan penanggung lain, tidak memmebaskan
debitur utama (tertanggung).
Ad.7 Musnahnya
barang terhutang
Musnahnya barang terhutang diatur dalam Pasal 144 dan
Pasal 1445 KUH Perdata. Dalam kedua pasal tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut[16] :
1.
Jika barang tertentu yang menjadi
pokok suatu persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga
tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah
perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan
sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan
suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-keiadian yang
tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara
yang saina di tangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah diserahkan
kepadanya.
2.
Debitur diwajibkan membuktikan
kejadian tak terduga yang dikemukakannya.
3.
Sehingga, jika barang yang
terutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang di luar kesalahan
debitur, maka debitur, jika ia mempunyai hak atau tuntutan ganti rugi mengenai
barang tersebut, diwajibkan memberikan hak dan tuntutan tersebut kepada
kreditur. (Pasal 1716 KUH Perdata)
Ad.8 Kebatalan
atau Pembatalan Perjanjian
Terjadinya kebatalan atau Pembatalan Perjanjian dalam
KUH Perdata dapat dijelaskan sebagai berikut[17]:
(1)
karena berlakunya syarat batal
(batal mutlak)
Pembatalan
mutlak (absolute nietigheid), apabila
suatu perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu pihak.
Sehingg perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap
siapapun juga. Batal mutlak adalah suatu perjanjian yang diadakan tanpa
mengindahkan cara (vorm) yang secara
mutlak dikehendaki oleh undang-undang, misalnya hibah (Pasal 1682 KUH Perdata).
Batal mutlak juga dapat diterapkan pada suatu perjanjian yang causanya
bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
(2)
karena pembatalan relatif
Semua
perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-orang yang
berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang
diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas
dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Sedangkan perikatan yang dibuat oleh
perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah
disamakan dengan orang dewasa (dalam perkawinan), tidak batal demi hukum,
sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka (Pasal
1446-Pasal 1448 KUH Perdata)
(3)
Perikatan yang dibuat dengan
paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya
(Pasal 1449 KUH Perdata)
Ad.9 Daluwarsa atau
lampau waktu (verjaring)
KUH Perdata mengenal dua macam kadaluwarsa selaku cara
melepaskan diri dari suatu perikatan, yaitu:
Ke-1
Lampau waktu selama 30 tahun
segala perikatan tentu yang disebutkan dalam Undang-undang.
Ke-2
Lampau waktu pendek dalam beberapa
macam perhubungan hukum tertentu yang disebutkan dalam Undang-undang.
Daluwarsa macam ke-1 ini meliputi segala macam hak-hak
dan kewajiban-kewajiban, yang berdasar atas suatu perjanjian. Dalam hal ini
oleh Hukum dianggap, kalau orang yang sebetulnya berhak atas pertolongan Hakim
untuk pelaksanaan perjanjian, selama tiga puluh tahun diam saja, maka hak atas
petolongan Hakim ini ditetapkan lenyap.
Alasan untuk mengadakan peraturan semacam ini adalah
untuk melenyapkan keadaan keragu-raguan dalam hubungan hukumj, dan juga
berhubung dengan hal, bahwaq apabila selama tiga puluh tahun tidak ada
persoalan apa-apa dan baru sesudah lampau waktu yang panjang itu dimajukan soal
siapakah yang sebenarnya ada berhak atau berkewajiban, maka sukar sekali untuk
mendapatkan bukti-bukti yang jitu guna menegakkan atau merobohkan hak-hak atau
kewajiban-kewajiban itu dan yang dapat dipercaya ketepatannya.
Lampau waktu ini dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal
1967. lampau waktu ke-2 pada hakekatnya adalah sama dengan lampau waktu macam
ke-1 dan hanya merupakan macam istimewa dari lampau waktu macam ke-1 yaitu
dalam beberapa perhubungan hukum yang tertentu yang disebutkan satu per satu
dalam beberapa perhubungan hukum yang tertentu dan yang disebutkan satu per
satu dalam beberapa pasal dari KUH Perdata dan Wetboek Van Koophandel. Waktu-waktu yang amat pendek sudah cukup
untuk lenyapnya hak seorang meminta pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dalam suatu perhubungan hukum. Misalnya menurut Pasal 1968 KUH Perdata,
pengusaha hotel, sesudah waktu satu tahun lampau, tidak lagi mendapat
pertolongan Hakim untuk memaksa seorang bekas penghuni hotel itu membayar uang
penginapan, yang belum dibayar.[18]
Standar Kontrak
Standar kontrak adalah kontrak yang isinya ditentukan
secara apriori oleh salah satu pihak. Salah satu pihak mempunyai kedudukan yang
lebih unggul dari lawannya ini mau tidak
mau terikat (take it or leave it).
Karena sifat kontrak baku itu salah satu pihak mau tidak mau harus
mengikhlaskan pihak lawannya dibebaskan atau dikurangi tanggung jawabnya,
karena ada dalam kedudukan ekonomi yang lebih lemah.[19]
E.H. Hondius, [20] mengatakan terdapat
syarat-syarat baku di hampir semua bidang dimana dibuat kontrak. Sebagai contoh
beberapa aktivitas penting dan cabang-cabang perusahaan, dimana banyak
perjanjian-perjanjian dibuat atas dasar syarat-syarat baku: perjanjian kerja
(perjanjian-perjanjian kerja kolektif), perbankan (syarat-syarat umum
perbankan), pembangunan (syarat-syarat seragam administrasi untuk melaksanakan
pekerjaan), perdagangan eceran, sektor pembelian jasa-jasa erfpact, dagang dan
perniagaan, perusahaan pelabuhan, sewa menyewa, sewa beli dan lainnya,
perusahaan umum, persewaan urusan pers, perusahaan angkutan (syarat-syarat umum
angkutan, syarat-syarat umum ekspedisi Belanda), penerbitan, urusan asuransi.
Mariam Darus Badrulzaman[21]
mengatakan bahwa perjanjian baku telah dipakai
secara luas dimana
di dalam praktek kehidupan
ekonomi di Indonesia. Dimana
dalam standar kontrak
sendiri terdapat beberapa
masalah hukum, antara
lain mengenai adanya ketentuan mengikat, dan ketidakadilan yang
diberikan kepada debitur.
Istilah
standar kontrak, menurut Mariam Darus Badruszaman[22]
dialihkan dari bahasa Belanda, yaitu Standard
Contract atau Standaardvoorwaaden.
Di luar negeri belum terdapat keseragaman mengenai istilah yang dipergunakan
untuk stardar kontrak. Perpustakaan Jerman mempergunakan istilah Allgemeine Gerchafts Pedingen, Standaardvertrag, Standaard Kondisioner . Hukum Inggris menyebut Standardized
Contract, Standard forms of contract, Standard Contract. Standar kontrak
pada umumnya diterjemahkan dengan istilah perjanjian baku. Baku artinya
patokan, ukuran, acuan. Jika dalam bahasa hukum dibakukan berarti bahasa hukum
itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap
yang dapat menjadi pegangan. Beberapa ahli telah memberikan rumus standar
kontrak. Hondius merumuskannya sebagai berikut:
Standaardvoorwaaden
zijn scriftelijke koncept bedingen welke zijn opgesteld om zonder
onderhandelingen omtrent hun inhould opgenomen te worden in een gewoonlijk
obenpaald aantolnog te sluiten overeenkomsten van bepaald aard.
Artinya: Perjanjian baku adalah konsep
janji-janji tertulis, disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan
ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu.
Drooglever Fortuijn merumuskannya dengan Contracten waarvan een belangrijk deel van
de inhoud word bepaald door een vast samenstel van contracts bedingen. Artinya: Perjanjian yang bagian isinya yang
penting dituangkan dalam susunan janji-janji. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, [23]
perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya
dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Jika pada suatu saat, kita
membuka rekening di bank, atau mencuci pakaian di tukang benatu, atau
mengirimkan surat melalui titipan kilat atau mencetak foto ke tukang foto,
tanpa disadari kita mengiktkan diri pada perjanjian baku. Dari pegawai bank,
kita menerima formulir perjanjian rekening, dari titipan kilat atau tukang foto
atau tukang benatu, kita sebagai debitur akan menerima tanda terima, yang
berisi perjanjian baku. Slawson dalam buku
Mariam Darus Badrulzaman[24],
seorang penulis Amerika melaporkan bahwa: Standard
form contracts probably accountfor more than hinety nine percent of all the contracts
now made. Most person have difficult remembering the last time they contracted
orther than by standart form.
W.
Friedman berkenaan dengan standar kontrak ini mengemukakan bahwa, Most contracts which govern our daily lives
are of standard contracts. Demikian juga Anson melihat bahwa: one of the most important development in the
sphere of contracts during the last hundred years has been the appearance of
the standard form contract.[25] Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan dari
gejala-gejala perjanjian baku yang terdapat dalam masyarakat, perjanjian ini
dapat dibedakan menjadi empat jenis:[26]
1.
Perjanjian
baku sepihak yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat
kedudukannya dalam perjanjian. Pihak yang kuat disini adalah pihak kreditur
yang lasimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur.
2.
Perjanjian
baku yang ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan
pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya
perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah.
3.
Perjanjian
baku yang ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan
pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, pmisalnya
perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah.
4.
Perjanjian
baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah
perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan kepadanya.
Perjanjian
Kredit
Perjanjian (overeenkomst)
merupakan hukum dasar dalam perjanjian hutang piutang barang dengan sistem
jaminan fidusia. Perjanjian itu sendiri merupakan sumber terpenting dari
perikatan (verbintenis) yang diatur
dalam buku III KUH Perdata. Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa, “Tiap-tiap
perikatan itu terjadi karena persetujuan atau karena Undang-Undang.”
Menurut Subekti[27],
pengertian perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Pengertian perjanjian menurut
Subekti, adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.
Perjanjian berasal dari kata janji yang mempunyai arti persetujuan antara
dua pihak (masing-masing menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu).
Definisi perjanjian seperti terdapat pada pasal 1313 KUH Perdata yaitu, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”.
Hubungan antara perikatan dan
perjanjian adalah perjanjian itu menimbulkan perikatan, serta merupakan salah
satu sumber perikatan. Suatu perjanjian
juga dinamakan persetujuan,
karena dua pihak
itu setuju untuk melakukan sesuatu. Berdasar pengertian
yang ada
dalam KUH Perdata maupun
pendapat para sarjana, dapat diketahui unsur-unsur
yang terdapat dalam perjanjian, yaitu adanya hubungan hukum (rechtsbetrekking), antara dua orang atau
lebih yang menyangkut hukum kekayaan yang memberi hak kepada satu pihak dan
kewajiban kepada pihak lain tentang suatu prestasi. Hal yang
diperjanjikan untuk dilakukan itu dikenal dengan istilah ‘prestasi’. Prestasi
tersebut dapat berupa : memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau,tidak berbuat
sesuatu.
Sistem hukum Indonesia tentang perjanjian yang diatur dalam pasal-pasal
buku III BW tentang perikatan,
secara mendasar dibedakan
menurut sifat perjanjiannya yaitu
:
4. Perjanjian Konsensuil
Perjanjian
Konsensuil adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja,
sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
5. Perjanjian Riil
Perjanjian Riil
adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian
telah diserahkan.
6. Perjanjian Formil
Adakalanya
perjanjian yang konsensuil, adapula yang disaratkan oleh Undang Undang, di
samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas
tertentu. [28]
Perjanjian yang terjadi
diantara dua belah pihak mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang
membuat perjanjian itu, seperti yang telah ditetapkan pada ketentuan pasal 1338
KUH Perdata. Munculnya kekuatan mengikat yang dari suatu perjanjian menunjukan
adanya hubungan antara perikatan dan perjanjian, dimana perjanjian itu
menimbulkan suatu perikatan. [29]
Sebelum mengulas mengenai
perjanjian kredit, tidak ada salahnya bila memahami terlebih dahulu mengenai
kredit. Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu “credere” yang berarti percaya.
Dalam bahasa Belanda
dikenal dengan istilah “vertrouwen”.
Dalam bahasa latin kredit dikenal dengan istilah “creditus” yang merupakan
bentuk “past participle” dari kata “credere”
yang dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah: belive, trust, confidence.
Kredit mempunyai banyak
arti, dalam dunia bisnis, salah satunya adalah kredit dalam artian seperti
kredit yang diberikan oleh suatu bank kepada nasabahnya. Dalam dunia bisnis
pada umumnya istilah “kredit” diartikan sebagai: “... kesanggupan akan
meminjam uang, atau
kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang
atau memperoleh penyerahan
barang, jasa dengan perjanjian akan membayarnya kelak”. Dengan
demikian kredit dalam arti bisnis mengandung unsur “meminjam”, yang dalam
bahasa Inggris disebut “loan”. [30]
Ada beberapa pendapat para
sarjana mengenai kredit yaitu :
1.
Savelberg, meyatakan kredit antara
lain :
a.
sebagai dasar dari setiap
perikatan (verbentenis) dimana
seseorang berhak untuk menuntut sesuatu dari orang lain; dan
b.
sebagai jaminan, dimana
seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan
tujuan untuk memperoleh
kembali apa yang
diserahkan tersebut.
2.
Levy, merumuskan arti hukum kredit
sebagai berikut, yaitu menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk
dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit, sedangkan penerima kredit
berhak mempergunakan jumlah pinjaman di kemudian hari.
3.
Raymond P. Kent, dalam bukunya
yang berjudul, “money and banking”
menyatakan bahwa, kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban
untuk melakukan pembayaran pada waktu yang akan mendatang, karena menyerahkan
barang-barang sekarang.
4.
Molenaar, dalam buku berjudul “krediet” mengemukakan bahwa, kredit
adalah meminjamkan dengan kepercayaan bahwa benda itu akan dikembalikan di
kemudian hari kepada pihak yang meminjamkan. [31]
Adapun pengertian kredit menurut Gatot Supramono adalah :
“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara pihak kreditur dengan pihak debitur yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah
bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”.[32]
Molenaar dalam buku Hassanuddin
Rahman, melakukan
pengembangan jenis kredit sebagai berikut :
1.
Kredit berupa uang, yang di
kemudian hari dikembalikan dalam bentuk uang.
2.
Kredit berupa uang, yang di
kemudian hari dikembalikan dalam bentuk barang.
3.
Kredit dalam bentuk barang, yang
di kemudian hari dikembalikan dalam bentuk uang.
4.
Kredit dalam bentuk barang, yang
di kemudian hari dikembalikan dalam bentuk barang.[33]
Sampai saat ini pengaturan
perjanjian kredit di dalam perangkat aturan hukum bersifat sporadis.
Inventarisasi aturan perjanjian kredit yang ada menunjukkan ruang lingkup sebagai
berikut :[34]
1.
KUH Perdata BAB XIII, mengenai
perjanjian pinjam-meminjam barang yaitu diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan
Pasal 1769 KUH Perdata.
2.
Undang-Undang Perbankan No. 7
Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, yaitu Pasal 1 ayat 12 tentang perjanjian
kredit.
Pasal 1754 KUH
Perdata sampai dengan
Pasal 1769 KUH
Perdata tidak terdapat pengaturan
tentang kredit secara khusus, namun
yang terdapat adalah
perjanjian pinjam pengganti atau
perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata yang
menyatakan perjanjian pinjam-meminjam adalah, “persetujuan dengan mana pihak
yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang
yang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Pasal 1754 KUH Perdata
tersebut, terlihat sifat umum dari perjanjian pinjam meminjam dengan beberapa
unsur yaitu:
1.
Perjanjian pinjam meminjam bisa
terdapat barang pada umumnya juga termasuk uang.
2.
Terjadi pada masyarakat umum dan
dapat pula terjadi pada dunia perbankan.
3.
Setelah dipinjam, dikembalikan
kepadanya yang meminjamkan.
4.
Boleh ditetapkan bunga, boleh
tanpa bunga.[35]
Perjanjian pinjam-meminjam
menurut KUH Perdata juga mengandung makna yang luas, yaitu obyeknya adalah
benda yang habis jika dipakai termasuk didalamnya adalah uang. Berdasarkan
perjanjian pinjam-meminjam ini pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik uang yang dipinjam
dan dikemudian hari dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang
meminjamkan. Sedangkan perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia
merupakan salah satu dari bentuk perjanjian
pinjam – meminjam yang diatur
dalam buku Ketiga KUH Perdata. Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu
diadakan pada hakikatnya merupakan salah satu perjanjian pinjam-meminjam
sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan 1769 Kitab Undang –
Undang Hukum Perdata.
Namun demikian dalam kenyataannya tidak hanya berbentuk
perjanjian pinjam-meminjam saja melainkan adanya campuran dengan bentuk
perjanjian yang lainnya seperti perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian
lainnya. Dalam bentuk yang campuran demikian maka selalu tampil adanya suatu
jalinan diantara perjanjian yang terkait tersebut. Namun demikian dalam praktek
perbankan pada dasarnya bentuk dan
pelaksanaan perjanjian pinjam-meminjam yang ada dalam KUH Perdata
tidaklah sepenuhnya sama dengan bentuk dan pelaksanaan suatu perjanjian kredit
perbankan.[36]
Perjanjian kredit adalah
perjanjian pokok (prinsipal) yang bersifat riel. Sebagai perjanjian prinsipal,
maka perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti
riel ialah bahwa
terjadinya perjanjian kredit
ditentukan oleh “penyerahan”
uang oleh Bank atau lembaga bukan bank (dalam hal ini adalah Perum Pegadaian)
kepada nasabah. Perbankan maupun Perum Pegadaian haruslah jeli untuk meneliti
momentum terjadinya perjanjian kredit dan terjadinya perjanjian jaminan.
Idealnya ialah momentum itu jatuh bersamaan, akan tetapi di dalam kenyataannya
terjadi momentum yang berbeda-beda.[37]
Dari uraian yang telah
penyusun kemukakan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa didalam
perjanjian kredit terkandung suatu kewajiban bagi penerima kredit untuk
mengembalikan pinjamannya. Sehingga dengan adanya kewajiban tersebut
menunjukkan bahwa kredit itu hanya diberikan kepada orang yang dapat dipercaya
dan mampu mengembalikan uang yang dipinjam dikemudian hari.
Sifat dan
Prinsip Perjanjian Jaminan
Istilah jaminan telah
dikenal akrab dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Jaminan adalah sesuatu
yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur
akan memenuhi kewajibannya sesuai
dengan yang diperjanjikan. Di
dalam praktek perbankan masalah jaminan ini sangat penting
sekali, terutama yang berhubungan dengan kredit yang dilepas kepada nasabahnya.
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan[38],
pada umumnya jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal dalam Tata Hukum
Indonesia dapat digolong - golongkan
menurut cara terjadinya,
menurut sifatnya, menurut obyeknya, menurut kewenangan
menguasainya. Penggolongan lembaga jaminan tersebut sebagai berikut:
1.
Jaminan yang lahir karena
ditentukan Undang-Undang dan jaminan yang lahir karena diperjanjikan.
Lembaga
jaminan yang lahir dari undang-undang ini adalah dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH
Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan bahwa segala kebendaan si
berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala
perikatannya perorangan. Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa kebendaan
tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan
padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan
yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali diantaranya para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Hak dari seorang
kreditur untuk didahulukan pemenuhannya dari debitur atas kreditur-kreditur
yang lainnya disebut
hak previlege. Sedangkan yang disebut hak previlege adalah suatu hak yang diberikan oleh Undang-undang kepada
kreditur yang satu diatas kreditur yang lainnya semata-mata berdasarkan sifat
dari piutangnya. Selain hal – hal tersebut
diatas, jaminan yang
timbul karena ketentuan Undang-undang dapat dijumpai pula
dengan apa yang yang disebut hak retensi,
yang disebut hak
retensi menurut Hartono
Hadi Soeprapto sebagaimana
dikutip oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofwan[39],
adalah hak seorang kreditur untuk menahan benda milik debitur yang berhubungan
dengan piutangnya sampai piutang tersebut dilunasi oleh debitur.
Lembaga
jaminan yang lahir karena perjanjian adalah jaminan yang adanya harus
diperjanjikan terlebih dahulu secara tegas oleh masing - masing pihak. Yang
tergolong lembaga jaminan jenis ini adalah gadai, fidusia, hak tanggungan.
2.
Jaminan yang bersifat kebendaan
dan jaminan yang bersifat perorangan.
Jaminan
yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang bersifat hak mutlak atas sesuatu
benda, yang ciri-cirinya mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari
debitur dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, selalu mengikuti
bendanya serta dapat dialihkan. Lembaga jaminan yang termasuk dalam lembaga ini
adalah gadai dan hak tanggungan.[40]
Sedangkan
jaminan yang bersifat perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan
langsung pada perorangan
tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap kreditur
tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya. Lembaga jaminan yang termasuk
lembaga ini adalah borgtocht.[41]
3.
Jaminan yang mempunyai obyek benda
bergerak dan jaminan yang mempunyai obyek atas benda tidak bergerak.
Hukum
perdata terutama mengenai lembaga jaminan, penting sekali arti pembagian benda
bergerak dan benda tidak bergerak. Jika jaminan itu berupa benda bergerak maka
dapat dipasang lembaga jaminan yang berbentuk gadai atau fidusia, sedang jika
benda jaminan itu berbentuk benda tetap maka dapat dipasang seperti hak
tanggungan. Pembedaan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak dalam Hukum
Perdata mempunyai arti penting dalam hal-hal tertentu, yaitu mengenai:[42]
b.
Cara pembebanannya
bergerak
dilakukan dengan lembaga jaminan hak tanggungan.
c.
Cara penyerahannya
Penyerahan benda bergerak
menurut jenisnya dapat dilakukan dengan penyerahan nyata sedangkan untuk benda
tidak bergerak dilakukan dengan balik nama, yaitu harus dilakukan penyerahan
yuridis yang bermaksud memperalihkan hak.
4.
Jaminan yang menguasai bendanya
dan jaminan yang tanpa menguasai bendanya.
Jaminan
yang diberikan dengan menguasai bendanya misalnya pada gadai, yaitu dengan hak
retensi. Sedangkan jaminan yang diberikan tanpa menguasai bendanya adalah hak
tanggungan, fidusia.
5.
Jaminan yang tergolong jaminan
umum dan jaminan khusus.
Jaminan
umum timbulnya dari Undang-undang. Tanpa adanya perjanjian yang diadakan oleh
para pihak terlebih dahulu, para kreditur konkuren semuanya secara bersama
memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh Undang-undang itu. Jaminan khusus
timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan
debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat perorangan ataupun jaminan yang
bersifat kebendaan.[43]
Selain sifat dari
perjanjian jaminan juga ada beberapa prinsip yang berlaku bagi hak jaminan
kebendaan, seperti pada Gadai, Hipotik, Hak Tanggungan dan Fidusia. Yaitu
antara lain :
1.
Prinsip Droit de Suite
Hak
kebendaan itu mempunyai zaaksgevolg
atau droit de suite (hak yang
mengikuti). Artinya, hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam
tangan siapapun juga) barang itu berada. Droit
de Suite merupakan salah satu prinsip dari hak kebendaan yang pada dasarnya
telah tertuang dalam KUH Perdata, namun tidak dikenal dalam hukum adat.[44] Walaupun
benda jaminan itu sudah berpindah
tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih memiliki haknya untuk
mengeksekusi, jika debitur wanprestasi atau cidera janji. Oleh sebab
itu, walaupun benda jaminan
sudah berpindah tangan menjadi milik orang lain, namun hak dari benda
jaminan tersenut selalu mengikuti di dalam tangan siapapun benda jaminan itu
berada. Dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia prinsip droit de suite tertuang dalam Pasal 20
yaitu : “Jaminan Fidusia tetap
mengikuti benda
yang menjadi obyek jaminan
fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas
benda persediaan yang menjadi Obyek Jaminan Fidusia”.
2.
Prinsip Preference
Prinsipnya
hak jaminan kebendaan memberikan kedudukan didahulukan bagi kreditur lainnya.
Hal ini berdasarkan Buku II KUH Perdata
yang mengatur tentang jaminan. Hal ini dapat terlihat pada Pasal 1133
ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa: ”Hak untuk didahulukan di antara
orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik”.
Dalam Pasal tersebut jelaslah, bahwa sistem hukum di Indonesia mengenal
pemberian perlindungan istimewa bagi kreditor atau para kreditor.
Selanjutnya
menurut Pasal 1134 KUH Perdata, hak istimewa adalah suatu hak yang oleh
Undang-undang diberikan kepada seorang kreditor sehingga tingkatan kreditor
tersebut lebih tinggi daripada kreditor lainnya, semata-mata berdasarkan sifat
piutang kreditor tersebut. Dalam perkembangan hukum Indonesia selain gadai dan
hipotik, hak istimewa tersebut berlaku juga bagi Hak Tanggungan (UU No. 4 Tahun
1996) dan Jaminan Fidusia (UU No. 42 Tahun 1999).[45]
Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, hak preference
diatur dalam Pasal 27 UUJF, yaitu : ”Penerima fidusia memiliki hak yang
didahulukan terhadap kreditur lainnya”. Hak yang didahulukan tersebut adalah
hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
3.
Prinsip Publisitas
Terhadap
hukum jaminan fidusia asas publisitas atas asas keterbukaan. Hal ini ditentukan
dalam Pasal 11 UUJF. Menurut Pasal 11 UUJF, benda yang dibenani jaminan fidusia
wajib untuk didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia. Pendaftaran pemberian
Jaminan Fidusia merupakan syarat mutlak untuk lahirnya jaminan fidusia tersebut
dan mengikatnya hak jaminan fidusia terhadap pihak ketiga.
Wanprestasi dan
Akibat Hukumnya
Membicarakan “wanprestasi”
atau “cidera janji” tidak bisa lepas dari masalah-masalah “pernyataan lalai” (ingebrekke stelling) dan kelalaian (vercium). Pengertian yang umum mengenai
wanprestasi adalah, “pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau
dilakukan tidak menurut selayaknya”. Kalau begitu seseorang debitur atau
penanggung disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi tidak menurut
“sepatutnya atau selayaknya”.[46]
Akibat yang timbul dari
wanprestasi ialah, keharusan atau kemestian bagi debitur membayar “ganti rugi (schadevergoeding)”. Atau dengan adanya
wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut
“pembatalan perjanjian”. Seperti dalam keputusan MA tanggal 21 Mei 1973 No. 70
/HK/Sip/1972 : “Apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak
melaksanakan pembayaran kepada
pihak lainnya (kepada kreditur),
maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan perjanjian”. Sebab
dengan tindakan debitur yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya “tidak tepat
waktu” atau “tidak layak”, jelas merupakan “pelanggaran” hak tertanggung.
Setiap pelanggaran terhadap hak orang
lain, berarti merupakan
“perbutan melawan hukum (onrechmatige daad). Sebagaimana dalam
perbutan melawan hukum, dalam hal wanprestasipun demikian halnya.[47]
Wanprestasi merupakan
perbuatan melawan hukum kreditur, akan hilang atau terhapus atas dasar alasan
keadaan memaksa (overmacht). Jika
ketidaktepatan waktu pelaksanaan atau terjadi kekurang-sempurnaan pelaksanaan prestasi yang merugikan
tertanggung terjadi “di luar perhitungan” penanggung, dalam hal
ini wanprestasi tidak
melihat (bukan perbuatan
melawan hukum). Kekurang tepatan
waktu atau kekurang patutan yang dapat dipakai sebagai dasar wanprestasi adalah
jika timbul oleh keadaan-keadaan yang benat-benar dapat “diperkirakan” oleh
penanggung. Namun untuk membenarkan keadaan diluar perkiraannya itu, penanggung
harus membuktikan akan ada keadaan memaksa di luar perhitungan dan
kemampuannya. [48]
Untuk menentukan apakah
seorang penanggung bersalah melakukan wanprestasi, Subekti berpendapat[49], bahwa perlu ditentukan dalam
keadaan seseorang penanggung itu dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi
prestasi, ada tiga (3) keadaan itu :
1.
Penanggung tidak memenuhi prestasi
sama sekali, artinya pihak penanggung tidak memenuhi kewajiban yang telah
disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian, atau tidak memenuhi
kewajiban yang ditetapkan Undang-Undang dalam perikatan yang timbul karena
Undang-Undang.
2.
Penanggung memenuhi prestasi sama
sekali, tetapi tidak baik atau keliru. Disini penanggung melaksanakan/memenuhi
apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh Undang-Undang, tetapi
tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang ditetapkan Undang-Undang.
3.
Penanggung memenuhi prestasi sama
sekali, tetapi tidak tepat waktunya. Disini penanggung memenuhi prestasi tetapi
terlambat. Jadi waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi.
4.
Penanggung melakukan “sesuatu”
yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sedangkan menurut Yahya
Harahap dalam buku Herowati Pusoko[50],
yang dimaksud dengan wanprestasi adalah, “Pelaksanaan kewajiban
yang tidak tepat pada
waktunya atau dilakukan
tidak menurut selayaknya.
Seorang debitor disebutkan dalam
keadaan wanprestasi apabila dia dalam melakukan
pelaksanaan perjanjian telah lalai sehingga “terlambat” dari jadwal yang
ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut
“selayaknya/sepatutnya”.
[1] Subekti,
1996, Hukum Perjanjian, cet XVI, Bandung: PT Intermasa Bandung. hal. 1
[2] Ibid, hal. 3
[3] J Satrio, 1995, Hukum Perikatan, perikatan yang lahir
dari perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya, hal. 43
[4] Ibid, hal. 45
[5] Ibid,hal. 4
[6] Subekti,
1996. Loc. Cit., hal. 6
[8] Ibid., hal. 7
[9] Mariam Darus Badulzaman, 1980,
Perjanjian Baku (Standar)Perkembangannya
di Indonesia (Pidatyo Pengukuhan Jabatyan Guru Besar di U.S.U. Medan).
Alumni, Bandung, hal. 41
[11] Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak,
Kencana, Jakarta, 2003, hal. 203.
[12] Mariam Darus Badrulzaman,
1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, hal. 42
[13]
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum
Perikatan, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1990, hal. 99
[14] Subekti, 1996. Loc. Cit., hal. 10
[15] Wirjono Prodjodikoro,2000, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet. VIII, Bandung, Mandar Maju, hal. 143-147
[16] Wirjono Prodjodikoro,2000, op.cit., hal. 147
[17] Ibid., hal. 196-197
[18] Wirjono Prodjodikoro,2000, op.cit., hal. 197-199
[19] Sudikno
Mertokusumo, Derdenwerking&Schadenver-goeding,
Penataran Regional Hukum Perikatan II Dewan Kerjasaa Ilmu Hukum Belanda dengan
Indonesia Proyek Hukum Perdata, Denpasar Bali, 3-14 Januari 1990, hal 15.
[20] E.H. Hondius, 1978, Syarat-Syarat
Baku Dalam Hukum Kontrak, Conpendium Hukum Belanda, Yayasan Kerjasama Ilmu
Hukum Indonesia-Negeri Belanda, s-Gravebhage, hal. 141.
[21] Mariam Darus Badrulzaman, 1980, Perjanjian Baku (Standar)
Perkembangannya di Indonesia, Bandung: Alumni., hal. 43.
[22] Ibid., hal. 46
[23] Mariam
Darus Badrulzaman, 1980, Loc. Cit., hal. 95.
[27] Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Cet. 16 Jakarta:PT Intermasa, hal. 1.
[28] J Satrio, 1995, Hukum Perikatan, perikatan yang
lahir dari perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya, hal. 45
[29] Ibid., hal.
7
[30] Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, hal. 59.
[31] Hassanuddin Rahman, 1998, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, hal. 142.
[32] Gatot
Supramono, 1996, Perbankan dan Masalah
Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Djambatan, hal. 61.
[33] Hassanuddin Rahman, 1998,
Loc. Cit., hal. 138.
[34] Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Loc.Cit.,
hal 109
[35] Kopong Paron Pius, 2005, Praktek Hukum Perbankan, Makalah Pendidikan Khusus Profesi Advokat
(Angkatan I) Kerjasama Antara DPC IKADIN Jember, Banyuwangi, Sitibondo,
Bondowoso Dengan Fakultas Hukum Universitas Jember, hal. 4.
[36] Ibid., hal.
6
[37] Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Loc.Cit., hal 109
[38] Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia,
Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perseorangan, Liberty, Yogyakarta,
hal. 40.
[40] Ari Purwadi, Problrmatika
Hak tanggungan Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Jurnal Hukum
Ekonomi, Edisi IX Agustus 1997, hal. 71.
[41] Hassanuddin Rahman, 1998, Loc. Cit., hal. 162.
[42] Ibid., hal. 165.
[43] Ibid., hal.
167.
[44] Herowati Poesoko, 2007, ParateExecutie Obyek Hak Tanggungan, Yogya: Laks Bang, hal.89- 90
[45] Ibid., hal. 167.
[46] Mariam Darus Badrulzaman, 1980, Loc. Cit., hal. 125.
[47] Ibid., hal.
126
[48] Subekti, 1996, Loc. Cit., hal. 53.
[49] Ibid., hal.
54.
Komentar
Posting Komentar