EVALUASI TERHADAP EPISTYMOLOGI POSITIFISTIK



BAB I
PENDAHULUAN
1.            Latar belakang masalah
Perbedaan pemahaman tentang suatu masalah acapkali timbul karena adanya pemahaman yang keliru terkait hal tersebut. Bahkan tidak jarang perbedaan pemahaman itu terlalu dibesar-besarkan seolah dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sendiri. Sehingga hal itu sering dibuat alas an pembenaran(legalitas) untuk bertindak semaunya terhadap kelompok lain yang pada akhirnya menimbulkan gesekan dan benturan kepentingan antar individu dalam masyarakat. Sehingga pada finalnya akan memunculkan rasa ketidaknyamanan yang oleh Dr. Mun’im di kategorikan sebagai penyebab kemunduran dan hancurnya peradaban manusia.[1]
Untuk itulah kiranya perlu adanya rasa toleransi antar individu dalam memahami sebuah permasalahan. Apalagi bila itu menyangkut ilmu dan agama yang kadang sangat sensitive dengan sedikit sentimental saja. Perasaan ego dirinyalah yang paling benar juga harus dibuang jauh-jauh untuk meminimalisir perselisihan.
Demikian juga dalam memahami sebuah kajian keilmuan, perasaan ego yang biasanya sangat ditonjolkan oleh para ilmuwan penemu sebuah kerangaka teori. Demi mendapat simpati dari masyarakat, menghalalkan segala macam cara agar tetap diakui dan eksist dalam keilmuannya.
2.            Rumusan masalah
Untuk dapat memberikan solusi, mempermudah pembahasan, serta pembahasan tidak melenceng jauh dari judul, perlu kiranya dikemukakan tentang gambaran global dari isi makalah ini yaitu dengan memberikan sistemasi rumusan sebagai berikut:
a.       Bagaimanakah pemikiran positifistik terhadap pengetahuan?
b.      Bagaimana pendapat para kaum idealis tentang paham positifisme?
c.       Apa saja kelemahan pemikiran positifistik?
BAB II
EVALUASI TERHADAP EPISTYMOLOGI POSITIFISTIK
A.       Pemikiran paham epistimologi positivisme
Paham positivism atau positivistic  yang pada umumnya menjadi embrio metode penelitian kuantitatif[2] digunakan pertama kali oleh Henri de Saint Simon.[3] Simon mendengungkan prinsip empirisme sebagai dasar pengembangan pada semua kajian ilmu pengetahuan. Dalam tesisnya dikatakan bahwa positifistik adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang valid untuk mengkaji fakta-fakta sejarah yang mungkin menjadi objek pengetahuan. Menurut Simon, untuk memahami sejarah, orang harus mencari hubungan sebab akibat yang menjadi dasar bagi adanya sebuah perubahan.
Simon merumuskan perkembangan masyarakat terjadi dalam tiga tahap; teologis fiktif (periode feodalism), tahap metafisis (periode absolutism), dan tahap positifism. Pada tahap ketiga inilah ilmu pengetahuan mencapai puncaknya, sehingga memicu adanya industrialisasi. Dengan demikian paham ini menolak keberadaan segala kekuatan subyek di belakang fakta, bahkan menolak segala penggunaan metode diluar posifisme dalam menelaah fakta. Padahal (menurut Amtsal Bakhtiar)[4] anggapan mengenai adanya finalitas dan keparipurnaan dalam suatu pengetahuan yang berdasarkan akal dan hal-hal empiris merupakan sutu kebodohan yang pasti akan menemui jalan buntu.
Augusto Comte, sebagai teman debat Simon sekaligus muridnya meletakkan perkembangan ini dalam hubungan dinamika dan statistika. Dimana statistika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala (diinspirasi dari Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (Condorct;1920).[5] Dinamis merupakan teori tentang perkembangan dalam arti pembangunan. Ilmu pengetahuan ini menggambarkan cara pokok dalam perkembangan manusia dari tingkat intelegensi yang rendah ketingkat yang lebih tinggi. Comte yakin bahwa masyarakat akan berkembang menuju suatu kesempurnaan, walaupun comte sebenarnya lebih mementingkan perubahan-perubahan(tingkat perkembangan dalam cita-cita dari pola bentuk.
Bagi Comte untuk menciptakah masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat diganggu gugat. Metode ini memiliki ciri;
a.          Diarahkan pada fakta-fakta,
b.         Perbaikan terus-menerus,
c.          Berusaha kearah kepastian, dan
d.         Mengarah pada kecermatan.
Cirri lain positifistik dilihat dari objae kajiannya, mempersoalkan dan mengkaji segala persoalan yang berkaitan denganpengetahuan;
1.      Ilmu pengetahuan merupakan hasil karya manusia yang logis dan imajinatif, dan ilmu bersifat empiris, sistematis, observatif, dan obektif.
2.      Positifistik bertugas membuka cakrawala pikiran manusia agar mempelajari dengan serius proses logis dalam cara kerja ilmu pengetahuan. Inilah yang memicu manusia untuk bergerak mengungkap pengetahuan dan menyebabkan adanya sebuah revolusi.
3.      Berbicara tentang metode ilmu pengetahuan, bagaimana perkembangan prinsip-prinsip ilmu dan menjabarkannya berdasar data empiris.
Sebagai aliran yang lahir dari penyempurnaan aliran empirisme dan rasionalisme yang saling bekerjasama, aliranini menyempurnakan metode ilmiah (scientific) dengan memasukkan uji eksperimen dan ukuran. Pengertahuan dan akurasi inderawi harus dapat diukur dengan eksperimen, sedangkan eksperimen memerlukan adanya ukuran sebagai satuan matematis untuk menjelaskannya. Meskipun agama telah menjelaskan tolok ukur sebuah ilmu (benar, salah), bagaimana ilmu itu diproduksi (baik, buruk), dan sekaligus tujuan-tujuannya (manfaat, merugikan). Adapun selebihnya manusia berhak untuk memberikan dinamika internal dari imu itu sendiri.[6]
Secara ringkas metode ilmiah disusun menurut urutan-urutan yang telah ditentukan; menemukan dan merumuskan masalah, menyusun kerangka teoritis, membuat hipotesis, mengujinya dengan percobaan (observasi dan eksperimen), dan membuat kesimpulan. Kesimpulan yang diperoleh itulah yang disebut dengan teori. Untuk benar-benar dapat dianggap sah dan mampu bertahan, sebuah teori harus dikaji ulang (verifikasi) oleh penemunuya sendiri ataupun oleh pihak lain. Sebagaimana yang diungkapkan Karl Popper, falsifikasi ( pembuktian salah ) harus dilakukan guna mengetahui tingkat keakuratan sebuah teori. Popper mengatakan bahwa sebuah teori perlu kiranya dikaji ulang sebanyak 1000 kali, bila terdapat satu kesalahan saja, maka teori itu tidak perlu dipertahankan lagi.[7] Contoh jika dinyatakan bahwa semua ular itu berkembang biak dengan bertelur, maka bila terdapat ular yang berkembang biak dengan beranak, maka jelas teori itu tidak dapat lagi dipertahankan.
Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang lebih penting bukanlah ketiadaan salah sama sekali, karena hal itu sangat berat bahkan bukan tidak mungkin untuk teori social. Akan tetapi 95% tingkat probabilitas (kemungkinan benar) cukup uantuk menjadi landasan penggunaan sebuah teori. Ilmu pengetahuan manusia berasal dari ketidaktahuannya, yang kemudian rasa itu mendorong manusia untuk bereksperimen (trial and error) untuk mengetahui sesuatu itu terjadi.[8]
Aliran positifisme menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh sebuah ilmu pengetahuan. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat kaum idealis, khususnya idealism Jerman Klasik. Positifisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai pada tahap kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan-pengetahuan apa saja adalah pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk. Maka tidak boleh ada spekulasi yang dapat digunakan menjadi ilmu pengetahuan.
B.        Kritik dan evaluasi terhadap epistimologi positifistik
Pada kenyatannya, teori ini dibantah oleh beberapa ilmuwan yang menganut faham idealis dan historis. Karena kejadian-kejadian alam tidak seharusnya hanya dijelaskan berdasarkan  observasi dan eksperimen saja. Padahal gejala-gejala alam itu adakalanya baru bisa dijelaskan dengan teologis dan metafisika, yang mana keduanya tak jarang juga mengandung unsur spekulasi. Kita tidak bisa mengatakan suatu hal secara pasti bila kita hanya memandangnya dari satu sudut pandang semata(objek), tanpa melihatnya dari sudut pandang subjek. Metode ilmiah saja tidak akan mampu meng-cover seluruh aspek yang terdapat dalam suatu bidang kajian ilmu pengetahuan..
Ketiadaan analisa teologis akan mengakibatkan terpuruknya nilai-nilai kemanusiaan sebagi dampak dari transformasi fisik-biologik. Dengan tidak adanya kepercayaan akan keberadaan Tuhan, setan, malaikat, surga, dan neraka maka akan menimbulkan rasa bebas yang tanpa kendali, karena hanya mengandalkan sesuatu yang logis dan empiris. Padahal yang demikian itu adalah ajaran agama yang kebenarannya tidak diragukan lagi, karena kebenaran ilmu pengetahuan tertinggi adalah yang bersumber pada agama.[9] Dalam positivism makna seni dan keindahan di anggap semu, karena pada dasarnya keduanya tidaklah dapat dilihat, sehingga manusia akan kehilangan rasa kebahagiaan dan kesenangan itu.
Penitikberatan paham ini pada hal yang empiris sebagai objek kajiannya, padahal sesuatu yang empiris bergantung pada fungsi dan kondisi panca indera.[10] Padahal keberadaan panca indera sangatlah terbatas dan bergantung pada kondisi serta kesempurnaannya yang semakin tua(lama penggunaan) akan semakin  berkurang pula akurasi dan kemampuannya. Sehingga kajian akan terfokus pada sesuatu yang nampak saja, padahal banyak sekali kita jumpai hal-hal disekeliling kita yang tidak nampak dan tidak dapat diraih dengan panca indera. Kebenaran yang hanya berdasar pada akal berbeda dengan yang terjadi di luar akal.[11] Lalu dengan apa kita akan mengatakan bagaimana bentuk ruh/nyawa itu? atau apa warnanya? Seberapa besarnya?. Untuk itulah, kritik terhadap paradigma teori positifisme empirisme ini mendapat kritik dari banyak kalangan rohaniawan, pemuka agama, dan kalangan ilmuwan idealis dan historis.
Kritik yang paling tajam atas paradigma positifistik ini dilancarkan oleh historisme, menurut aliran ini, metode generalisasi yang diambil oleh ilmu fisika, sangat menyayatkan dan tidak relevan bilamana diterapkan pada konsep ilmu sosial. Sebab, metode eksperimen dalam ilmu-ilmu sosial tidak mempunyai arti yang sama dengan eksperimen dalam bidang ilmu fisika. Keajegan yang dalam ilmu sosial lebih bersifat semu, dalam arti tidak akan diulang seperti dalam ilmu alam, karena masyarakat memang selalu berubah. Ini berarti bahwa setiap saat kita harus siap menghadapi kejadian yang pada hakekatnya merupakn kejadian baru. Dan ini juga tidak terjadi dalam bidang fisika. Kalaupun metode yang digunakan dalam bidang fisika bisa diterapkan dalam bidang masyarakat, maka metode ini tidak dapat diterapkan pada sifat yang terpenting. Dengan kata lain, cara fisika tidak akan menyumbangkan banyak manfaat kepada pengertian kita tentang perkembangan sosial.
Lebih dari itu, dalam ilmu sosial tidak dikenal sesuatupun yang dapat dibandingkan dengan hukum klausul yang dirumuskan secara matematis seperti dalam bidang fisika. Kendatipun demikian, menurut historisme, ilmu sosial harus mencari penjelasan-penjelasan yang bersifat klausul. Akan tetapi, apabila usaha itu untuk menterjemahkan hukum sosiologi kedalam bentuk kuantitatif, maka hal itu merupakan usaha yang sia-sia karena tidak ada titik temu antara keduanya. Dengan kata lain, hukum sosial tidak dapat dirumuskan secara matematis sebagaimana ilmu fisika. Akan terlalu banyak keunikan-keunikan yang muncul dari proses perubahan dan tingkah laku manusia itu sendiri. Bahkan, dalam ilmu sosial tertentu secara konseptual, lebih banyak mengandung teka-teki yang tidak bisa digambarkan penjabarannya dibandingkan dengan ilmu alam.
Kekurangan ilmu-ilmu sosial untuk dapat berhasil dalam memprediksi dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam seperti astronomi, geology, dan meteorology.  Jarang sekali terjadi fenomena sosial yang muncul secara berulang-ulang dan pasti dalam bentuk yang sama antara satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, memprediksi waktu terjadinya gerhana matahari akan sangat berbeda keakuratannya dengan memperkirakan serta meramalkan waktu terjadinya sebuah revolusi sosial.
Dalam hal ini, Mc. Iver, memberikan ilustrasi yang menarik sekali. Yaitu, adanya distingsi antara tipe kausalitas yang menyangkut sehelai kertas yang diterbangkan angin, dengan tipe kausalitas oleh orang yang melarikan diri dari masyarakat yang mengejarnya. Kertas tidak merasa takut dan angin tidak pula membencinya. Akan tetapi orang yang lari itu ada perasaan takut yang sangat dalam dan adanya perasaan benci dari masyarakat yang dia tinggalkan. Demikian juga apa sebabnya pemerintah jatuh, akan berbeda dengan apa yang menyebabkan sebuah meteor jatuh ke bumi (Veeger, 1985:176), sehingga dalam metode penelitian sosial, “Verstehen”(understanding), merupakan masalah kunci. Makin rumit suatu persoalan dalam sebuah penelitian sosial, maka pendekatan pemahaman yang seseuai sangat diperlukan agar tidak terjadi kesalah-pahaman dan akhirnya menimbulkan pergesekan antara satu dengan yang lainnya. Ilmu pada dasarnya tidak hanya menerangkan (kausalitas), melainkan juga berusaha memahami (Verstehen)
Bagaimanapun setiap masyarakat menurut analisa yang khas, tidak mungkin menerangkan perilaku manusia dengan menerangkan dan memeriksa keteraturan ststistik dalam bahasa fisika semata.  Berbeda dengan hukum alam, orang dapat menyimpang dari kaedah untuk mentaati atau tidak. Tanpa melihat keyakinan ini, dunia socsal tidak akan pernah dianalisa (Peursen, 1985:57). Memahami bukanlah sebagai usaha batiniyah yang subyektif, melainkan sebagai keharusan untuk dapat melihat sebuah kerangka yang lebih luas lagi.
Secara singkat, perilaku manusia tidak teratur, tidak berulang, baik dilihat dari sudut individu maupun antar masyarakat. Oleh karena itu, tidak akan dapat diukur dan diramalkan secara pasti sebagaimana dalam bidang fisika. Menurut Max Webber, ilmu tentang manusia mempunyai orisinalitas atau cirri khas yang disebabkan oleh kenyataan yang membentuk jati diri seseorang. Selain itu perilaku manusia juga: a) dapat dipahami dari dalam, b) bersifat histori, c) selalu mempunyai hubungan dengan kebudayaan, sehingga peranan variable pembentuk kerangka individu juga menjadi acuan, seperti; umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, taraf hidup, lingkungan dan sebagainya sebagaimana yang diungkaokan Durkheim.
Webber mengkritisi secara tajam tehadap logika positifistik yang mengkesampingkan peran manusia sebagai aktor dalam realitas sosial.   Webber tidak menganut faham “hemean” tentang kausalitas tapi lebih menjelaskan aksi-aksi itu secara subyektif. Kecenderungan positifistik yang berpegang pada hukum sebab-akibat, memeliki banyak keterbatasan dan kekurangan serta kurang akurat dalam meneliti segmen sosial.
Sementara itu kritik Webber terhadap epystimologi Popper, adalah bahwa verivikasi maupun falsifikasi,[12] ternyata banyak masalah yang tidak bersifat empiris. Pertama, penerapan benar (verifikasi) dan tidak benar (falsifikasi) merupakan kasus batas miimal yang dalam bentuk mutlak sangat jarang terjadi. Tuntutan falsifikasi sebagai tuntutan penolakan terlalu logis dan terlalu jauh dari praktek kegiatan keilmuan. Kedua, pada kegiatan ilmiah sering terjadi bahwa suatu teori dipertahankan, walaupun ada diantara bagian teori tersebut yang bisa dimentahkan, namun karena adanya imunitas/kekebalan dalam disiplin ilmu teori, maka hal itu tetap dipertahankan. Ketiga, dapat dikatakan bahwa suatu teori itu menghantarkan pada keseluruhan isi materi ilmu. Namun pada realitanya, suatu teori tidak memberikan pemberian fakta yang ada dilapangan, yang nyata-nyata bisa benar dan tidak benar melainkan ketentuan apa yang harus dilaksanakan untuk mengemukakan ilmu secara lebih lanjut, dan hal itu dapat berupa “tepat” dan “tidak tepat”.
Thomas Kuhn melancarkan kritik yang tidak kalah tajam dengan kritisi Webber terhadap pemikiran Popper. Dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolutions”, Thomas mengatakan bahwa pemikiran Popper sangat dipengaruhi oleh “Idea of Progress”, yaitu keyakinan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dengan sendirinya akan berjalan secara linear. Setiap pergantian paradigma (sudut pandang) lama oleh paradigma baru diartikan sebagai suatu perkembangan kemajuan daya intelektualitas manusia.[13] Padahal yang demikian itu menurut Thomas adalah suatu model “a historis” yang tidak pernah dapat dibuktikan kebenarannya dalam sejarah ilmu pengetahuan.
Ditunjukkan bahwa apabila suatu eksperimen tidak berhasil membuktikan prognose, maka yang pertama-tama harus dipermasalahkan bukanlah teori yang mendasarinya, melainkan ilmuwan yang merencanakan prosedur eksperimen tersebut.  Menghadapi sebuah masalah yang tidak banyak bedanya dengan sebuah teka-teki, seorang peneliti yang buru-buru menyalahkan teorinya adalah bagaikan seorang tukang kayu yang menyalahkan tukang pukul dan tukang gergaji, bila kursi yang dibuatnya ternyata tidak sesuai dengan yang telah dipesan. Disamping itu, menurut Thomas suatu ekspermen Crusi (eksperimen yang sungguh-sungguh menjatuhkan teori lama merupakan peristiwa yang terjadi hanya sekali saja dalam sejarah ilmu pengetahuan). Menurut Thomas, seharusnya apabila suatu hippotesa tidak tebukti dalam suatu tes empiris, maka hipotesa itu tidak langsung difalsifikasi, melainkan dimasukkan dalam kelompok anomaly dan apabila anomaly mulai bertambah banyak dan kian menumpuk, barulah kemudian timbul kritis terhdapnya.
Kritik tajam yang lain juga digemakan oleh Peater Wich (1926-1988), dalam buku karangannya The Idea of social Scient and Its Relation to philosophy” (tentang gagasan ilmu pengetahuan dan hubunganyya dengan filsafat), Wich mengatakan bahwa antara ilmu sosial dan ilmu alam terdapat banyak sekali perbedan yang sangat mendasar. Dalam tingkah laku manusia tidak pernah bisa terlepas dari pemberian makna dan interpretasi oleh manusia itu sendiri dan sedikit banyak pastilah dipengaruhi oleh pertimbangan rasional untuk dapat mencapai suatu sasaran tertentu yang dikehendakinya. Itulah sebabnya dalam menggambarkan dan menjelaskan permasalahan perilaku manusia, harus memperhitungkan ciri-ciri specific, relasi dan gambaran dari kenyataan sosial yang telah ada. Tugas ilmu sosial adalah memberi interpretasi dengan menerangkan pengertian”meaning” konsep yang berkaitan dengan perilaku aktor dengan metode Verstehen.
C.       Evaluasi terhadap Epistimologi Positifistik
Kelemahan positifistik adalah keberadaannya yang hanya mengkaji data-data konkret dalam taraf permukaan, tanpa dapat mangangkat esensi dibaliknya, padahal esensi merupakan ruh dari sebuah fenomena. Hal ini disebabkan oleh bentuk esensi yang abstrak yang tidak dapat dijabarkan dalam rumus matematis. Dengan hanya memusatkan kajian pada objek yang dapat ditelusuri dengan indera, tanpa melihat rahasia besar yang terkandung padanya.[14] Ada beberapa koreksi yang pantas diajukan atas paradigm positifistik ini, diantaranya adalah:
1.      Metode eksperimen anatara ilmu sosial tidaklah bisa dianggap sama, sehingga keabsahan teori ini perlu dipertanyakan.
2.      Keajegan dalam ilmu sosial hanya bersifat semu, tidak diulang sebagaimana ilmu alam yang bisa di kalkulasi secara matematis.
3.      Ilmu sosial tidak dapat dihitung secara matematis sebagaimana ilmu alam/ilmiah.
4.      Terlalu banyak keunikan dalam ilmu sosial yang mengandung teka-teki, bahkan tak jarang tidak bisa diprediksi dengan kajian ilmiah/empiris.
5.      Ilmu tidak pernah bebas dari penilaian, oleh karena itu ilmuwan tidak hanya sekedar pengamat realita, tetapi juga berkewajiban untuk mengubahnya.
6.      Positifistik tidak menganggap adanya peran aktor dalam realitas social, padahal realita mengatakan bahwa perubahan sosial sebagai dampak aktivitas manusia sebagai pemeran utama.
7.      Positifisme cenderung berpegang pada hukum sebab-akibat (klausul) yang tidak selamanya benar(sama panggunaan teorinya).
8.      Pola tingkah laku manusia selalu berubah dari masa ke masa yang lain, yang menurut positifisme merupakan pengaruh dari kemajuan zaman, buklan karena perubahan pola perilaku manusia.
9.      Perilaku manusia tidak linear ( teratur dan berulang selamanya).
10.  Tingkat akurasi pada ilmu alam tidak bisa diterapkan pada ilmu sosial, karena memiliki banyak fenomena unik dalam ilmu sosial.
11.  Adanya keterbatasan kecenderungan penilaian positifisme yang hanya berdasarkan inderawi semata.
12.  Pola perilaku manusia secara historis mempunyai hubungan dengan banyak factor yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah (kebudayaan, kepercayaan)





















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kami simpulkan beberapa hal, antara lain;
Positifistik memandang bahwa sebuah pengetahuan baru dapat dianggap benar bila dapat dibuktikan secara empiris. Agar bisa mencapainya, perlu dicari terlebih dahulu hubungan sebab-akibatnya, kemudian dikaji secara matematis-metafisis. Karena hanya dengan metode inilah sesuatu bisa dijelaskan dengan sempurna tanpa cela sedikitpun. Meski pada relitanya teori ini bisa dimentahkanoleh kaum idealis skeptualis yang mengatakan bahwa adakalanya suatu hal itu tidak bisa dijelaskan secara matematis.
Kaum idealis (Webber, Thomas, Peater Wich, Mc. Iver, dll) menolak keras paham ini, karena mereka beranggapan bahwa metode ilmiah yang digunakan dalam positivism tidak selamanya dapat menjangkau seluruh objek kajian pengetahuan. Webber mengatakan jika dalam suatu teori terdapat sebuah kesalahan saja, maka tingkat kevalidan teori ini perlu dipertanyakan.

B.     Kritik dan saran
Penulis sadar bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna, karena dibanyak bagian terjadi kesalahan penulisan, ejaan, serta tata cara penulisan baik yangkamisengaja maupun yang tidak kami sengaja. Oleh karena itu kiranya kritik dan saran yang membangun dari teman-teman sekalian dapat menjadi motivasi kami kedepan agar labih baik lagi.






DAFTAR PUSTAKA

Saidi, Anas, Kumpulan Makalah Metodologi Penelitian, (tp:tt).
Ahmad Faruk. Filsafat Umum; Sebuah Penelusuran Tematis. Ponorogo :STAIN Ponorrogo Press, 2009.
Dr. Abdul Mun’im. Filsafat Hukum Islam; Fleksibilitas dan Daya Paksa Hukum Islam, selasa 12 Mei 2011
Budi Santoso, Purbayu, Paradigma Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1992
Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Social dan Keagamaan. Malang: Kalimashada, 1996
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Charta, Bandung: Remaja Rosedakarya, 2007.
Leamaen, John Oliever, Pengantar Filsafat: Sejarah Perkembangan Filsafat Dari masa ke Masa, Bandung: Prenada Media, 1995.
Muh. Tashrif, Dialogika: Jurnal Studi Islam dan Sosial, Ponorogo: STAIN Press, 2008.
Soetardjo, Pengantar Filsafat, Bandung: Refka Aditama, 2006.
Soemantri, Jujun Suria, Filsafat: Sebuah Pengantar Popular. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Soeryono Soekanto, Sosiologi: Satu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo, 2005.
Aholiab Watloli, Tanggung jawab pengetahuan, Yogyajarta: Kanisius/Anggota IKAPI, 1997.
Qodr azizi, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, Jakarta: Dipertais Agama RI, 2003
EVALUASI TERHADAP EPISTIMOLOGY POSITIVISTIC
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada
Mata Kuliah “Metodologi Penelitian”



Dosen pengampu:
AJI DAMANHURI, M.E.I
NIP. 150321629

Dibuat oleh :
KHOIRUL ANWAR                210109035
ALVIAN NUR AZAM  210108002


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2011


[1]  Disampaikan oleh Dr. Abdul Mun’im dalam mata kuliah Filsafat Hukum Islam; Fleksibilitas dan Daya Paksa Hukum Islam , selasa 12 Mei 2011
[2]  Budi Santoso, Purbayu, Paradigma Penelitian Kualitatif. (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1992).hlm 164
[3]  Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Jilid 1, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 2001)hlm 62
[4] Aholiab Watloli, Tanggung jawab pengetahuan, (Yogyajarta: Kanisius/Anggota IKAPI, 1997),hlm 112
[5] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Charta, (Bandung: Remaja Rosedakarya, 2007),26
[6] Muh. Tashrif, Dialogika: Jurnal Studi Islam dan Sosial, (Ponorogo: STAIN Press, 2008). Edisi Juli-November 2008,  hlm 32-34.
[7] Soeryono Soekanto, Sosiologi:Satu Pengantar,(Jakarta: Raja Grafindo,2005),32
[8] Soemantri, Jujun Suria,Filsafat: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003),hlm 111
[9]  Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Social dan Keagamaan. (Malang: Kalimashada, 1996) hlm 78. Lihat juga Sosialogi
[10]  Ahmad Faruk. Filsafat Umum; Sebuah Penelusuran Tematis.(Ponorogo :STAIN Ponorrogo Press, 2009)hlm 42-43
[11] Soetardjo, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refka Aditama, 2006),hlm 91
[12] Leamaen, John Oliever, Pengantar filsafat: Sejarah Perkembangan Filsafat Dari Masa ke Masa, (Bandung: Prenada Media, 1995), 38
[13] Ahmad Tafsir, filsafat…op.cit.
[14] Qodr azizi, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Dipertais Agama RI, 2003), 37

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA DEWASA

AMALIYAH NAHDLIYAH (Nahdlotul Ulama')

DELIK PERCOBAAN, PENYERTAAN, DAN PERBARENGANAN PIDANA DALAM KUHP