Problem Pendidikan Ilmu Fikih
Mulai awal abad ke 10 H nyaris kita tidak bisa
menemukan lagi di Mesir pakar fikih sekaliber Al Izz Ibn Abdissalam, Ibn Al
Hajib, Ibn Daqiq Al Id, Ibn Al Rif’ah, Ibn Taimiah, Al Subki, Ibn Al Qayyim, Al
Bulqini, Al Isnawi dan Kamal Ibn Al Hamam. Pun pakar sekaliber dua jalalain,
Jalaluddin Al Mahalli dan jalauddin Al Suyuthi. Praktis tradisi fikih yang
kreatif lambat laun diambang kematian.
Setelah periode para pakar itu kemudian tidak
ditemukan kecuali kelompok pengkaji fikih yang mencukupkan diri dengan karya
sebelumnya dan menghindari pembahsan fikih antar madzhab. Jika pun mereka
mengkaji fikih, mereka mencukupkan diri dengan buku-buku ikhtishar yang sulit
dan rumit untuk dipahami. Yang untuk memahai maksud penulis saja memerlukan
waktu yang cukup panjang.
Sejarawan fikih, Muhammad Khudlari Bik, dalam
bukunya Tarikh Al Tasyri Al Islami mengembalikan kematian tradisi kreatifitas
dan otentisitas fikih kepada tiga faktor. Pertama, keterputusan hubugan antara
ulama di berbagai wilayah Islam. Sebagaimana dilukiskan oleh G. Makdsi bahwa
salah satu cirri khas tradisi intelektual Islam adalah kosmopolitanisme.
Seorang pakar fikih pada masa-masa awal Islam akan lebih dihargai ketika ia
melakukan perkelanaan dan melakukan talaqi dengan para guru yang otoritatif.
Jika kita melihat biografi para ulama fikih
akan menemukan bagaimana mereka mempunyai tradisi perkelaaan untuk belajar
fikih dn hadits. Makkah adalah tempat di mana para ulama melakukan reuni
intelektual dan perkenalan dengan ulama lain. Mereka bertukar ikira dan
pengalaman untuk menambah materi pengetahuan dan meningkatkan kasih sayang di
antara mereka. Dalam arti, jaringan keilmuan dan emosiaonal antara para ulama
betul-betul terpelihara.
Salah satu alasan para ulama untuk melakukan
perkelanaan adalah adalah berangkat dari anggapan bahwa salah satu pondasi dari
intelektualistas mereka adalah talaqqi dan periwayatan. Mereka menganggap bahwa
belajar dari bacaan tidak lah mencukupi. Karena buku dianggap kaku, diam dan
beku. Sedangkan talaqqi memberikan kesempatan bagi ulama untuk mengembangkan
wacana dengan melakukan perdebatan dan dialog.
Kedua, keterputusan hubungan antara kita dengan
buku-buku induk yang dkarang oleh Imam Madzhab. Kajian terhadap buku-buku Induk
karangan Imam Malik, Syafi’I dan Abu Hanidah sudah hampir tidak diketemukan.
Para ulama belakagan lebih mnegenal pendapat dan ijtihad para generasi setelah
abad ke 4 daripada generasi pertama. Buku-buku yang menjadi refernesi bacaan
mereka ternyata dalah produk fikih di masa-masa merosotnya nilai kreatifitas
dan otentisitas.
Ketiga, akibat negative dari tradisi ikhtishar
yang cenderung mempersulit pemahaman fikih. Ikhtishar bukan lah hal baru. Ia
sudah di mulai pada masa-masa pertama fikih berkembang. Ikhtishar pada
masa-masa pertama leih kepada menyortir bagian-bagian buku yang dianggap tidak
perlu. Kemudian juga ada upaya mencoba-sistemasisasikan pembahasan. Adapun gaya
ikhtishar selanjutnya berubah menjadi sebuah tradisi yang asing. Yaitu
mengumpulkan berbagai permasalahan dengan bahasa sedikit dan sehemat mungkin.
Hasilnya adalah buku-buku fikih yang susah dan rumit untuk dipahami.
Ketika karakter dan insting bahasa Arab (al
saliqah al arabiyyah) menjadi lemah maka rangkaian kalimat dalam buku-buku itu
menjadi tek-teks ambigu, rancu dan misterius. Seakan penulis mengarang untuk
sekedar mengumpulakn berbagai permasalahan hukum dan bukan untuk supaya
dipahami. Kita bisa melihat tes-teks yang rumit untuk dipahami itu dalam buku
Mukhtasar Al Khalil, Al Minhaj karya Zakriyya Al Anshari dan Al Kanz karya Al
Nasafi dan masih banyak lagi.
Buku-buku yang sulit untuk ditembus
pemahamannya kemudian memunculkan gaya kreatifitas minim baru berbentuk
komentar (syarkh) dan (komentar atas komentar (khasyiah). Konsentrasi para
ulama terhadap karya-karya ini kemudian menyebabakan keacuhan mereka terhadap
pengkajian terhadapkhazanah fikih madzhab lain. Buku-buku ini sudah jelas akan
kering dari proses dan praktek istidlal sehingga kompetensi yang dihasilkan
dari upaya mengkajinya tidak akan mampu membedakan antara pengkaji dengan bukan
pengkaji kecuali banyak sedikit koleksi permasalahan yang diketahui.
Komentar
Posting Komentar