Hukum Syirkah (Perserikatan/Perkongsian)
HUKUM SYIRKAH
A.
Definisi Syirkah
Kata
syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku
(fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya
menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh
dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri
dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih
(afshah).
Menurut
arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua
bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu
bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna
syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat
untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani,
1990: 146).
Selain
itu Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur). Adapun
menurut istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas
dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan.
Terkadang syirkah ini terbentuk tanpa disengaja, misalnya berkaitan dengan
harta warisan. (Fathul Bari V: 129).
B.
Hukum Syirkah/perserikatan
Allah
swt berfirman:
قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ
إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ
إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ وَظَنَّ دَاوُدُ
أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ (٢٤)
Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim
kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan
Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka
berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud
mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu
menyungkur sujud dan bertaubat. (QS Shaad: 24).
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً
أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ
كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ
يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
حَلِيمٌ (١٢)
…jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun. (QS
An-Nisaa': 12)
Dari
Saib ra bahwa ia berkata kepada Nabi saw, “Engkau pernah menjadi kongsiku
pada (zaman) jahiliyah, (ketika itu) engkau adalah kongsiku yang paling baik.
Engkau tidak menyelisihku, dan tidak berbantah-bantahan denganku.” (Shahih:
Shahih Ibnu Majah no: 1853 dan Ibnu Majah II: 768 no: 2287).
Syirkah
hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam
berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus
sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah
dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi
wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla
telah berfirman:
Aku
adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak
mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari
keduanya. [HR. Abu
Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
C.
Syirkah Syar’iyah (Bentuk Kongsi
Yang Disyaratkan)
Dalam
kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani rahimahullah
menulis sebagai berikut, “(Syirkah syar’iyah) terwujud (terealisasi) atas dasar
sama-sama ridha di antara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka
mengeluarkan modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama itu
dikelola untuk mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-masing di antara
mereka mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang diserahkan kepada
syirkah tersebut. Namun manakala mereka semua sepakat dan ridha, keuntungannya
dibagi rata antara mereka, meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal itu
boleh dan sah, walaupun saham sebagian mereka lebih sedikit sedang yang lain
lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syari’at, hal seperti ini tidak mengapa,
karena usaha bisnis itu yang terpenting didasarkan atas ridha sama ridha,
toleransi dan lapang dada.”
D.
Rukun syirkah yang pokok ada 3
(tiga) yaitu:
1.
Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2.
Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki
kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3.
Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang
mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69;
Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
E.
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua)
yaitu:
§
Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan
harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
§
Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan
syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani,
1990: 146).
F.
Macam-Macam Syirkah
Menurut
An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan
dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:
(1) syirkah inân;
(2) syirkah abdan;
(3) syirkah mudhârabah;
(4) syirkah wujûh; dan
(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani,
1990: 148).
An-Nabhani
berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam,
sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan
ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut
ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan,
mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam,
yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah,
Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).
1.
Syirkah Inân
Syirkah
inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi
konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh
berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).
Contoh
syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis
properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan
konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam
syirkah tersebut.
Dalam
syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang
(‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah,
kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing
mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing
modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan
oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah
berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan
didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani,
1990: 151).
2.
Syirkah ‘Abdan
Syirkah
‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl).
Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek
atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu,
sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini
disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya:
A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan.
Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi
dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam
syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh
berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang
kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan
merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa
pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan
(celeng).
Keuntungan
yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh
juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah
‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu
Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan
Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad
membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.”
[HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal
itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya
dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
3.
Syirkah Mudhârabah
Syirkah
mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu
pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan
konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai
oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42;
Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl)
memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai
pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha
toko kelontong).
Ada
dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak
(misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak
ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama
(misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak
kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja.
Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990:
152).
Hukum
syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr
Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam
syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola
(mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun
demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika
ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola
modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam
mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak
menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya
(An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian,
jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar
syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî
asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).
4.
Syirkah Wujûh
Syirkah
wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî
asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada
kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat.
Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama
memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang
memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh
masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah
sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani,
1990: 154).
Bentuk
kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah
dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang
kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani,
1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B
ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya
C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang
yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi
dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam
syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini
hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum
kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya
termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan.
Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam
syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun
demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam
syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan
semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang
dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang
dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan.
Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja,
tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah
mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan
keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).
5.
Syirkah Mufâwadhah
Syirkah
mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua
jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh)
(An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam
pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah
yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis
syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan
yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai
porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika
berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan
persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh:
A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik
sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja.
Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang
secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam
hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C
sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja.
Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka
bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan
C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan
konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân
di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B
dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua
jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
Sumber:
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka
As-Sunnah), hlm. 687 - 689.
Komentar
Posting Komentar