Hak-hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia
Hak-hak Perempuan dalam
Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia
Oleh: Masnun Tahir[1]
Abstraksi
The following
article investigates the policies of Syria and Tunisia regading woman rights in
marriage law. This article departs from the reality and the discourse of woman
rights in particular in the classical texts that still dominating by masculine
perspective, for instances in the cases of divorce, polygamy, etc. This article
traces Syria and Tunisia family law reform including the political and
geograpichal background, the familiy law development of both two states. The
approach that using in this article is comparative perspective. This article
expects to be references for genderists, decision maker because Allah teaches
humankind egalitarianism between man and woman.
Kata kunci: Hukum keluarga, Syria, Tunisia, perempuan dan perbandingan.
I.
Pendahuluan
Diskursus tentang hak-hak perempuan telah muncul
sebagai masalah yang sangat penting di eluruh dunia dan di segala kelompok
masyarakat. Alasannya jelas selama ribuan tahun perempuan terus menerus berada
di bawah kekuasaan laki-laki dalam suatu mayarakat patriarchal. Demikianlah,
selama berabad-abad “hukum alam” ini menetapkan perempuan sebagai komunitas
kelompok kelas dua (the second rate communities) secara sosial, lebih rendah
dari laki-laki dan harus tunduk kepada kekuasaan laki-laki dan hegemoni mereka demi
kelancaran dan kelestarian kehidupan keluarga.
Harus diingat bahwa kitab-kitab suci agama pun tidak
dapat menghindarkan diri dari menganut sikap serupa, walaupun sebagian diantaranya
memberikan beberapa norma untuk mengatasinya. Konstruksi dan rekayasa sosial
terebut sangat meluas sehingga norma-norma kitab suci yang progresif pun
menjadi terpengaruh dan, sebagai akibatnya, diinterpretasikan sedemikian rupa
sehingga merefleksikan sikap mental yang berlaku. Demikianlaj, mayarakat yang
didominasi laki-laki serigkali bahkan mngekang norma-norma yang adil dan
egaliter yang dipersembahkan untuk kaum perempuan dalam al-Qur’an demi
mengekalkan kekuasaan mereka, yang secara komparatif bersikap liberal dalam
perlakuannya terhadap perempuan, juga mngelami nasib yang sama.[2]
Namun cerita sejarah tak berakhir di sini, awal abad XX
M merupakan babakan baru bagi dunia Islam. Fase ini ditandai dengan lepasnya
satu persatu negara Islam dari hegemoni dan imperialisme Barat. Sambil mnghirup
udara segar (setelah lama beradadalam simponi penjajahan).[3]Negara-negara
Islam yang baru ini membenahi diri dan mencoba memproduksi dan mereformasi
berbagai konstitusi dan Undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara,
termauk pada hukum keluarga.
Dalam reformasi ini, upaya terfokus pada masalah status
personal, yang masih diatur oleh hukum Islam. Mayoritas pemerintah negara
muslim menjalankan versi hukum keluarga yang sudah dikodifikasi. Sebagian versi
itu menyimpang secara dramatis dan doktrin mazhab hukum yang telah mapan. Untuk
mengurangi keberatan kaum konservatif, reformasi sering dilakukan secara tak
langsung melalui jalur prosedural. Sebagai contoh, hukum baru yang menuntut
persyaratan bahwa pernikahan harus dicatat agar sah secara hukum, dan bahwa
pasangan harus sudah mencapai usia minimum tertentu, adalah untuk menghalangi
pernikahan dini dan perkawinan paksa. Untuk mencegah poligami dan perceraian
oleh suami, pemerintah negara muslim mensyaratkan agar perkawinan dan
perceraian tunduk pada formalitas birokratis dan kondisi tertentu. Motor
pengerak reformasi hukum keluarga adalah Turki, ketika Negara itu menerbitkan
‘Ottoman Law of Family Rights (Qanun Qarar al-Huquq al-‘Uthmaniah)” kemudian
diikuti negara lain seperti Tunisia, Mesir, yiria, Sudan dan sebagainya. Dan
dalam sejarah reformasi ini, Tunisia tercatat sebagai negara yang paling
radikal di dalam bangunan hukumnya. Undang-undang hukum keluarga negara ini
menghapuskan poligami dan memberikan hak yang sama bagi istri dan suami dalam
hal perceraian. Hukum ini, yang dalam teori didasarkan atas prinsip Islam,
dapat diberlakukan pada warga Negara Tunisia.[4]
Secara keseluruhan, substansi Undang-undang keluarga di
dunia modern ini telah beranjak dan konstruksi wacana fiqih klasik[5]
dan telah mencoba memecahkan persoalan ketimpangan hak antara laki-laki dalam
hukum keluarga Islam sehingga hak-hak perempuan dalam perkawinan (martial
right) diakui.[6]
Pada masa ini negara telah memperluas basis dukungannya dengan memberikan hak
suara kepada kaum perempuan dalam proses pemisahan mereka dari anggota
keluarganya, yang secara tradisional mengontrol mereka dan megalihkan loyalitas
pokok mereka kepada negara itu sendiri.
Makalah ini hendak mendeskripsikan kebijakan negara
Syiria dan Tunisia pasca reformasi merupakan salah satu indikator penting bagi
status perempuan dalam masyarakat. Namun terhadap hak-hak perempuan dalam
perkawinan (martial right) karena hak ini mer pembahasan di dalam makalah ini
tidak meliputi seluruh aspek ha-hak perempuan tetapi terbatas pada masalah
nafkah, poligami, dan perceraian. Pembahasan akan diawali dengan melihat
sepintas negara, reformasi substansial hukum keluarga, dimensi hak-hak
perkawinan perempuan dalam tiga masalah di atas serta keberanjakannya dari banguanan
fiqih klasik.
II.
Potret Negara Syiria dan Tunisia
A.
Letak Geografis Syiria
Syiria dan Suriah merupakan negara Republik yang
termasuk wilayah Asia Barat, dengan luas wilayah 185. 180 KM2, dengan populasi
penduduk kurang lebih 12 Juta Jiwa (Tahun 1989) dengan kepadatan penduduk 66
jiwa per-KM2.[7]
Mayoritas penduduknya adalah kelompok etnis Arab, selebihnya adalah minoritas
etnis Kurdi, Armenia, Turki, Yahudi, Badui dan lain-lain. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa bahasa yang mereka pergunakan adalah bahasa Arab, dan
telah menjadi bahasa resmi negara ini. Sekitar 90 % penduduknya menganut agama
Islam dan mayoritas menganut aliran Sunni, sedangkan selebihnya terbagi menjadi
sekte ‘Alawite, Druse, Ismailis, dan Twelcer Shi’ia. Umat Kristen sendiri
berjumlah sekitar 8,9 % dari populasi.[8]
Sejarah Syiria adalah sejarah kelam, karena telah
menjadi saran invasi negara tetangganya. Invasi pertama dilakukan oleh bangsa
Amuri, Kanaan, Aram, Yahudi, Hittit, Mesir, Asyiria, Persia, Iskandar Agung,
Roma dan Arab sampai PD I.8 Selama awal PD I Syiria telah menjadi bagian dari
imperium Turki Usmani. Setelah PD I berlangsung Syiria menjadi bagian dari
Koloni Prancis dan Inggris, Syiria mencapai kemerdekaannya pada tahun 1947.[9]
Pasca kemerdekaan perpolitikan Syiria diwarnai dengan
praktek kudeta. Pada tahun 1948 kudeta militer di bawah pimpinan Hulni al-Zaim
berhasil menggulingkan pemerintahan dan menggantikan konstitusi lama dengan
konstitusi yang baru. Namun konstitusi baru produk Zaim tidak dapat
diundangkan, karena dia sendiri digulingkan oleh militer pada bulan Agustus
1949. Setelah penggulingan itu diadakan peralihan dewan konstiuante. Dewan
mengeluarkan naskah konstituante yang baru yang telah dipersiapkan oleh 33
anggota yang dipimpin oleh Nazim al-Kudsi pada tangal 5 September 1950 dan
diundangkan pada hari yang sama oleh Presiden.[10]
Serangkaian kudeta militer terus terjadi di Tunisia
sampai pada tahun 1963. Tanggal 8 Maret 1963 sebuah kudeta militer meresmikan
era pemerintahan Ba’ts. Namun karena komposisinya sangat didominasi oleh
minoritas, karena sekularisme dank arena agemda sosialisnya, reaksi politik
terhadap rezim inipun mengambil warna sektarian. Implikasinya tantangan paling
keras terhadap rezim Ba’ts datang dari Ikhwan al-Muslimun. Pemberontakan Islam
pertama terjadi di Hama pada tahun 1964 dan menyusul pergolakan yang dilakukan
kelompok sektarian lainnya pada tahun 1967. Demonstrasi berikutnya meledak pada
tahun 1973 ktika sebuah konstitusi baru Negara itu mencoba menghilangkan Islam
sebagai agama negara. Pemerintah mencoba berkompromi dengan menambahkan
pasal-pasal bahwa kepala negara adalah orang Islam dan Hukum Islam menjadi
sumber utama perundang-undangan, tetapi langkah ini tak mampu memadamkan kritik
dari kelompok Islam. Puncaknya pada tahun 1970-an rezim Ba’ts menindas dan
mengkooptasi rival-rival politiknya yang diangap membahayakan. Segala bentuk
tindakan subversif ditumpas oleh rezim militer secara represif. Rezim tetap
pada ide sekulernya yaitu memisahkan dengan tegas antara agama dan politik.
Tetapi sayang, di lain pihak posisi agama dalam budaya dan masyarakat syiria
terlalu kuat untuk dihegemoni.[11]
B.
Letak geografis Tunisia
Tunisia[12],
yang nama resminya Republik Tunisia, beribu kota Tunis, terletak di Afrika
Utara. Negara ini berbatasan dengan Al-geria (Aljazair) di sebelah barat,
dengan mediteranian sebelah utara dan timur, dengan Libya disebelah tenggara.
Penduduk negara ini berjumlah 8,4 juta jiwa yang terkonsentrasi di daerah
utara. Daerah Sahe dan pusat urban seperti Qairawan dan Gafsa dan hampir 97%
beragama Islam. Kurang lebih 98% dari populasi muslim adalah muslim sunni.
Kepulauan Djerba Harbors banyak dihuni muslim Khawarij. Etnik Tunisia terbesar
adalah Arab Barbar. Minoritas Yahudi masih ada yang tinggal sejak tahun 1957.
Beberapa penduduk Kristen tinggal di bagian timur, khususnya di daerah kota.
Bahasa nasional adalah bahasa Arab, sedangkan Perancis merupakan bahasa kedua
yang dominan dipakai dalam bidang pendidikan dan bisnis.[13]
Warna keberagmaan yang dominan dipraktekkan masyarakat
Tunisia adalah Madzhab Maliki. Madzhab ini ternyata tiodak hanya memberikan
kontribusi pada pembentukan hukum keluarga Tunisia, lebih jauh lagi memberikan
warna pada substansi perundang-undangan positif negara itu. Namun banyak
diantara berbagai dinasti yang memerintah Tunisia, baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang
berbeda–beda. Sebuah dinasti Syiah, Dinasti Fathimiyyah, menumbangkan
pemerintahan Aghlabiah antara 905 dan 909 serta memerintah Tunisia pada
sebagian besar abad ke-10 hingga dinasti tersebut berpindah ke Kairo pada tahun
1073. Akan tetapi setelah itu, kaum Syiah bahkan menjadi minoritas kecil,
tetapi istimewa, termasuk dinasti Bey terakhir. Mereka hampir semuanya (atau
mengaku keturunan) bangsa Turki yang membawa madzab Hanafi ke Tunisia dan yang
pertama-tama melalui pemerintahan langsung dan kemudian melalui sebuah sistem
kedaerahan– memberi pengaruh penting di daerah ini sejak awal abad ke-16 sampai
protektorat Perancis datang.[14]
Kolonialisasi Perancis bermula ketika Perancis mengalami kesulitan ekonomi dan
mereka menyadari bahwa denxgan menaklukkan Tunisia akan dapat memecahkan
persoalan itu. Pada tahun 1881 M melakukan perjanjian Bardo (the Bardo Treaty)
yang menyatakan Tunisia adalah daerah perlindungan Perancis. Akhir tahun
1980-an mulai melakukan kolonialisasinya di Tunisia.
Dalam perjalanan sejarah, kemerdekaan bagi negara bekas
wilayah otonom dari imperium Turki Usmani yang memperoleh status protektorasi
Perancis ini relatif diperoleh dengan sangat mudah. Negara ini tidak pernah menderita
akibat kolonialisasi Perancis. Negara ini memperoleh kemerdekaannya pada
tahun1957 dengan presiden pertama Habib Bourguiba yang disebut-sebut sebagai
“The father of his country.[15]
Untuk membangun negerinya, Bourguiba melakukan
upaya-upaya konsolidasi kekuasaan dengan dan mengambil langkah-langkah ke depan
serta menerapkan policy yang tegas. Kebijakan-kebijakannya sangatlah radikal,
gamblang mengambil sikap pro barat dan sekuler. Di antara kebijakannya yang
berhubungan dengan dimensi keagamaan adalah menghapus pengadilan agama,
menghapus kewajiban memakai jilbab bagi wanita, upaya meninggalkan puasa
ramadhan untuk meningkatkan produktifitas dan mengganti hukum syari’ah dengan
hukum sipil yang diadopsi dari Perancis. Bahkan pada tahun 1956 rezim ini mengundangkan
hukum status perorangan yang bukan hanya berbeda secara prinsipil dengan hukum
tradisional, tetapi juga dengan hukum Perancis. Jadilah, melalui hukum personal
tersebut, Tunisia menjadi negara yang pertama kali melarang poligami.
Sementara kebijakan yang berhubungan dengan ekonomi
politik antara lain: sejak tahun 1956-1961, rezim Tunisia secara umum
memberlakukan kebijakan ekonomi liberal. Namun beberapa kebijakan yang diambil
seperti mengambil pertanahan warga Perancis dan menempatkan kekayaan wakaf di
bawah penganwasan pemerintah ternyata tidak membuahkan hasil. Maka di bawah
tekanan para mahasiswa dan tokoh-tokoh sosialis Aljazair dan Mesir pada tahun
1962 Tunisia mengambil orientasi sosialis. Tanah milik warga Eropa
dinasionalisasikan pada tahun 1964, kerjasama pada sektor pertanian dan
manajemen pertanian digalakkan, investasi publik dan pinjaman luar negeri
menjadi basis bagi pembangunan ekonomi. Tetapi sekali kebijakan ini mengalami
kegagalan pada tahun 1969 yang memaksanya kembalinya pada perampuran antara
sektor swasta, koperasi dan sektor publik dengan menggalakkan investasi swasta
asing. Kegagalan pemerintah yang paling mendasar adalah berkurangnya
kepercayaan masyarakat akibat ketidakjelasan ideologi di jajaran elit
pemerintah. Pemerintah terkesan sangat arogan dalam melakukan kebijakan
sekularisasai yang mang-adopt gaya Mustafa al-Taturk di Turki Perguruan Masjid
Zaituna diambil alih, sekolah-sekolah agama dinegerikan, Peradilan sekuler
digiatkan, pelarangan poligami, perkawinan dan perceraian dimasukkan dalam
perkara sipil, sampai-sampai pada tahun 1960 puasa ramadhan dikecam sebagai
penghambat produktivitas. Semua kebijakan ini berada di bawah rezim Partai
Neo-Destour yang berkuasa sejak tahun1934 setelah kelompok radikal mengambil alih
Partai Neo-Destour.[16]
III.
Perkembangan Hukum Keluarga di Syiria dan Tunisia
A.
Reformasi Hukum Keluarga Syiria
Sejarah hukum keluarga tidak terlepas dari aturan yang
ditetapkan oleh negara yang menguasainya yaitu Ottoman Turki sejak tahun 1917,
dengan berlandaskan pada mazhab hukum Hanafi. Selama berada di bawah Turki
Usmani, sistem hukum dan perundang-undangan yang mengalami reformasi dari waktu
ke waktu yang berlaku juga di wilayah territorial Syiria. Di antara hukum-hukum
imperial yang pernah berlaku di Syiria adalah Code Civil tahun 1876 dan Hukum
dan Hak-Hak keluarga tahun 1917. Kedatangan koloni Perancis dan Inggris setelah
PD I sangat memberi nuansa yang sangat besar terhadap perkembnagan negara itu
khususnya di bidang politk, sipil dan pidana. Meskipun demikian, nasib personal
law masih tetap dipertahankan.[17]
Setelah merdeka pada tahun 1947, nasionalisasi dan
reformasi terhadap berbagai aturan dan sistem hukum dilakukan dari waktu ke
waktu. Selama berlangsungnya program nasionalisasi, sistem hukum telah dicabut
dan diganti dengan hukum baru. Beberapa peraturan baru telah ditetapkan sebagai
peraturan yang bebas dari pengaruh kolonial dan ditetapkan sebagai konstitusi
nasional, antara lain Hukum Civil, Hukum Pidana dan Hukum Dagang pada tahun
1949, dan Hukum Pidana baru pada tahun 1950 dan Hukum Perdata baru pada tahun
1953. Sementara sebagai personal law tetp diberlakukan Hukum Famili Turki dari
tahun 1917 sampai 1953 dengan nama Qanun al-Ahwal al-Syakhshiyah atau lebih
dikenal dengan The Syirian Law of Personal Status. Undang-undang ini dianggap
berlaku sejak tanggal 17 September 1953. Undang-undang ini merupakan risalah
dari hasil kerja Syeikh Ali al-Tahanawi (Qadi di Damaskus) diambil dari
berbagai macam mazhab hukum yang disesuaikan dengan situasi kondisi masyarakat
Syiria. Bisa dikatakan bahwa hukum ini mengandung eklektisisme inovatif,
yangmenyeleksi aturan-aturan bukan hanya dari mazhab Hanafi, melainkan juga
dari opini-opini para faqih mazhab-mazhab kuno dan minoritas yang terisolasi,
dengan tujuan membuat hukum yang diajarkan Islam sekaligus selaras dengan
kebutuhan masyarakat kontemporer.
Usaha kodifikasi hukum keluarga Islam di Syiria
dianggap paling komprehensif, karena tidak hanya meliputi aturan-aturan tentang
kecakapan hukum, perwalian dan perwakilan tetapi juga mencakup problematika
wasiat dan hibah. Penyusunan Code ini didasarkan pada Hukum Turki Usmani
Tentang Hak-hak keluarga, Hukum Mesir tentang hukum keluarga dan waris
1920-1946 dan juga diambil dari hasil kerja Qadi Pasha (Meir) dan Ali al-Tantawi
(Damaskus). Code of Personal Status 1953 Syiria ini memuat 308 pasal dan
terdiri atas 6 buku yang muatan isinya didomonasi oleh mazhab Hanafi. Ada
bagian-bagian tertentu yang diadopsi dari Sekte Duruz dan Kristen Syiria.[18]
Selama 22 tahun setelah pemberlakuannya, diadakan
amandemen terhadap pasal-pasal dalam 4 bab pertama Undang-undang 1953 itu,
dengan UU Syiria No. 34/1975. Perubahan UU yang memodifikasi dan menambah
beberapa ketentuannya sebanyak 22 pasal ini didasarkan pada rekomendasi panitia
parlemen yang dibentuk untuk mengkaji dan merevisi UU 1953. Perubahan utama
berkaitan dengan masalah poligami, mahar, nafkah, konpensasi cerai, biaya
hadhanah, dan masalah perwalian anak. Penetapan Undang-undang ini dimaksudkan
untuk melindungi hak-hak perempuan.[19]
B.
Reformasi Hukum Keluarga
Tunisia
Tunisia melakukan reformasi dan kodifikasi hukum
keluarga pada saat setelah negara itu memperoleh kemerdekaan. Pada akhir tahun
empat puluhan, beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia berpikir bahwa dengan
melakukan fusi terhadap mazhab Maliki dan mazhab Hanafi, maka sebuah ketentuan
hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan yang sesuai dengan
perkembangan situasi dan kondisi sosial di Tunisia. Sekelompok ahli hukum
mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi dan Maliki, dan
dipublikasikan di bawah judul Laihat Majallat al-Ahkam al-Syar’iyyah (Draf
Undang-undang Hukum Islam). Akhirnya, pemerintah membentuk sebuah komite di
bawah pengawasan Syeikh Islam, Muhammad al-Jait, guna merancang Undang-undang
resmi.
Berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari Laihat dan
Undang-undang Hukum Keluarga Mesir, Jordan, Syiria dan Turki, panitia tersebut
mengajukan Rancangan Undang-undang Hukum Keluarga kepada pemerintah. Rancangan
tersebut akhirnya diundangkan di bawah judul Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyah
(Code of Personal Status) 1956, berisi 170 pasal 10 buku dan diundangkan ke
seluruh Tuisia pada tanggal 1 Januari 1957. Namun da;lam perjalanannya,
Undang-undang ini mengalami kodfikasi dan perubahan (amandemen) beberapa kali,
yaitu melalui Undang-undang No. 70/1958, Undang-undang No. 41/1962,
Undang-undang No. 1964, Undng-undang No. 77/1969, dan terakhir menurut catatan
Tahir Mahmud, mengalami amandemen pada yahun 1981 melalui Undang-undang No.
1/1981.[20]
Perlu dicatat, bahwa walaupun secara umum berlandaskan
mazhabMaliki, akan tetapi Undang-undang ini memasukkan pula beberapa prinsip
yang berasal dari mazhab-mazhab yang lain. Lagipula, jika dibanding dengan
negara-negara Arab lain, reformasi di bidang hukum di Tunisia lebih
revolusioner.
IV. Substansi-substansi Aturan Nafkah, Poligami dan
Perceraian pada Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia.
A.
Nafkah
Al-Qur’an meletakkan tanggung jawab kepada suami untuk
memberi nafkah kepada istrinya, meskipun istri mempunyai kekayaan dan
pendapatan. Istri tidak diwajibkan memberi suaminya apa yang didapatkan atas
jerihnya sendiri.
Adapun sebab wajib nafkah atas suami kepada isteri
adalah, karena dengan selesainya akad yang sah, wanita menjadi terikat dengan
hak suaminya, yaitu untuk menyenangkannya, wajib taat kepadanya, harus tetap
tinggal di rumah untuk mengurus rumah tangganya, mengasuh anak-anaknya dan
mendidiknya, maka sebagai imbalan yang demikian Islam mewajibkan kepada suami
untuk memberi nafkah kepada isterinya.[21]
Nafkah suami terhadap istri selama perkawinannya itu
dibangun atas akad yang sah, terlepas istrinya muslim atau tidak, kaya atau
miskin. Kewajiban ini sudah menjadi kesepakatan para ulama.[22]
Perintah pemberian nafkah ini berdasarkan al-Qu’an, al-Sunnah, al-Qiyas,
al-Ijma’.[23]
Harus dicatat bahwa memberi nafkah meliputi sandang,
papan dan pangan. Tentang tempat tinggal, al-Qur’an mengatakan:
َّنُك نِإَو ۚ َّنِهْيَلَع ۟اوُقِّيَضُتِل َّنُهوُّرٓاَضُت َال َال َو ْمُكِدْجُو نِّم مُتنَكَس ُثْيَح ْنِم َّنُهوُنِكْسَأ ۖ َّنُهَروُجُأ َّنُهوُتأََف ْمُكَل َنْعَضْرَأ ْنِإَف ۚ َّنُهَلْمَح َنْعَضَي ٰىَّتَح َّنِهْيَلَع ۟اوُقِفنَأَف ٍۢلْمَح ِتَٟل۟وُأ﴾٦﴿ ٰىَرْخُأ ٓۥُهَل ُعِضُْرت ُرت َسَف ْمُتْرَساَعَت نِإَو ۖ ٍۢفوُرْعَمِب مُكَنْيَب ۟اوُرِمَتْأَو
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang
hamil, Maka berikanlahkepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya.[24]
Untuk makanan dan pakaian, al-Qur’an meminta suami
menyediakannya bagi ibu dan anak-anaknya sebagaimana dijelaskan: ِدوُلْوَمْلٱ َىل َىل َعَو ۚ َةَعاَضَّرلٱ َّمِتُي نَأ َداَرَأ ْنَمِل ۖ ِْني ْني َلِماَك ِْني ْني َلْوَح َّنُهَدَٟلْوَأ َنْعِضْرُي ُتَٟدِلَٟوْلٱَو َال َال َو اَهِدَلَوِب ٌۢةَدِلَٟو َّرٓاَضُت َال َال ۚ اَهَعْسُو َّال َّال ِإ ٌسْفَن ُفَّلَكُت َال َال ۚ ِفوُرْعَمْلٱِب َّنُهُتَوْسِكَو َّنُهُقْزِر ۥُهَل ٍۢرُواَشَتَو اَمُهْنِّم ٍۢضاَرَت نَع ًالاَصِف اَداَرَأ ْنِإَف ۗ َكِلَٟذ ُلْثِم ِثِراَوْلٱ َىل َىل َعَو ۚ ۦِهِدَلَوِب ۥُهَّل ٌۭدوُلْوَم ٓاَّم مُتْمَّلَس اَذِإ ْمُكْيَلَع َحاَنُج َال َال َف ْمُكَدَٟلْوَأ ۟آوُعِضَْرت َرت ْسَت نَأ ْمُّتدَرَأ ْنِإَو ۗ اَمِهْيَلَع َحاَنُج َال َال َف﴾٢٣٣﴿ ٌۭيرِصَب َنوُلَمْعَت اَمِب ََّه للٱ َّنَأ ۟آوُمَلْعٱَو ََّه للٱ ۟اوُقَّتٱَو ۗ ِفوُرْعَمْلٱِب مُتْيَتاَء
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi
makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.[25]
Mengenai nafkah bagi istri dalam Undang-undang Syiria
dijelaskan bahwa nafkah diberikan kepada istri sejak akad terlaksana. Hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam bangunan fiqih klasik. Adapun ketentuan nafkah Syiria
adalah:
Pasal 65: “ Suami wajib memberikan rumah yang sama dengannya”.
Pasal 66:“Suami setelah istrinya sembuh dari penyakitnya
hendaknya, dia tinggal bersamanya”.
Pasal 67: “Suami jika ber[oligami wajib memberikan tempat tinggal
yang sama terhadap istri-istrinya”.
Pasal 71; “Nafkah meliputi sandang, pangan dan papan dan
sejenisnya yang baik yang sesuai dengan ketentuan yang ada dalam masyarakat”.[26]
Pasal 72 ayat (1): “Suami tetap terikat dengan hal pemberian biaya
hidup kepada istri selama masih berlangsungnya perkawinan, bahkan bila si istri
merupakan pengikut agama lain atau menetap di rumah keluarganya, kecuali bila
suami memintanya untuk tinggal bersama di kediamannya sementara sang istri
menolak tanpa ada haknya.”
Pasal 72 ayat (2) Bahkan si istri mempunyai hak untuk menolak
untuk hidup bersama suaminya jika suaminya tidak mematuhi untuk membayar mahar
secara seketika atau menyediakan tempat tinggal berdasarkan aturan hukum.”[27]
Sedangkan nafkah menurut Hukum Keluarga Tunisia
menerapkan prinsip-prinsip mazhab Maliki dalam hak-hak istri untuk mendapatkan
nafkah dari suaminya. Hal ini secara rinci dalam pasal-pasal 32-42. Lebih jauh,
pasal 41 menyatakan bahwa istri diizinkan untuk membelanjakan harta pribadinya
guna biaya hidup dengan maksud untuk meminta ganti biaya suaminya. Adapun
mengenai besarnya jumlah nafkah disesuaikan dengan kemampuan suaminya
(pembayar) dan diperhatikan pula status istriserta biaya hidup yang wajar pada
saat itu, sebagaimana yang tertera pada pasal 52.
B.
Poligami
Salah satu persoalan fiqh munakahah yang hingga kini
masih menjadi bahan diskusi ramai dan pelik adalah masalah poligami. Pelik
terutama bagi perempuan. Islam sendiri “gara-gara” pesan tekstual tentang
pembolehan poligami dalam al-Qur’an, kerap dikecam sebagai anti demokrasi dan
HAM dalam kehidupan suami-istri karena poligami dilihat sebagai salah satu
bentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan.[28])
Tuduhan klasik bahwa al-Qur’an memperlakukan perempuan
secara tidak adil karena memperbolehkan poligami masih saja diajukan orang.
Tuduhan ini juga sering dikaitkan kepada Nabi Muhammad SAW yang juga melakukan
poligami bahkan istrinya konon sampai sembilan. Menurut Riffat Hassan masalah
tersebut merupakan problem yang tak kunjung selesai. Namun perlu dicatat, dalam
al-Qur’an hanya ada satu ayat yaitu an-Nisa:3 yang berbicara poligami.[29]
Akan tetapi ayat tersebut sering diartikan secara “keliru” oleh kebanyakan
mufasir, untuk tidak mengatakan semuanya. Dalam al-Qur’an maupun dalam
keseharian nabi Muhammad SAW, memelihara anak yatim dan anak yang terlantar
selalu mendapat perhatian besar dan dianggap sangat penting. Izin poligami
dalam al-Qur’an sesungguhnya berkaitan erat dengan maslah tersebut. Jika kita
mau membaca tentang ayat poligami tersebut, sebetulnya focus utamanya adalah
masalah penyantunan anak yatim. Jadi yang dimaksud “pernikahan” dalam ayat
tersebut adalah menikahi ibu anak yatim. Penafsiran ini tidak diragukan lagi,
karena ayat ini turun ketika banyak terjadi perang dan banyak laki-laki
meninggal sehingga banyak janda dan anak-anak yatim. Oleh sebab itu, sebenarnya
pesan moral al-Qur’an tntang masalah ini: 1) agar anak yatim dipelihara dan
disantuni; 2) ayat ini berbicara tentang keadilan, sehingga dapat disimpulkan
bahwa poligami sebenarnya hanya dibolehkan dalam kondisi sulit seperti itu.[30]
Ajaran Islam memang membolehkan laki-laki mengawini
empat perempuan sekaligus, tetapi hanya jika ia mampu berlaku adil, kalau tidak
maka Islam melarang. Fain khiftum ala alla ta’dilu fawahidatan, dcmikian Allah
mewanti-wanti di ujung ayat “kesukaan” kaum lelaki itu. Menariknya, di situ
Allah menggunakan kalimat ‘adalah, bukan qistum. Tekanannya tentu adalah
keadilan kualitatif yang hakiki, semisal perasaan cinta, kasih, dan rasa sayang
yang tak bisa diukur secara matematis. Sementara konseptualisasi ‘keadilan’
dalam wacana poligami oleh para fuqaha umumnya cenderung dimaknai kuantitatif.
Terukur, misalnya keadilan dalam menjatah giliran hari dan pemerataan nafkah.
Mereka rata-rata mengabaikan aspek-aspek keadilan kualitatif itu.
Ada yang terasa hilang memang dalam wacana fiqh tentang
poligami, terutama ketika perbincangan hanya memfokus pada kebolehannya beserta
segala rasionalisasi di baliknya. Model penafsiran monolitik memang sangat
sering ditunjukkan para ulama klasik dalam wacana fiqh. Hingga tingkat tertentu
gaya itu pula yang diikuti para ulama belakangan.
Berkaitan dengan poligami Nabi, menurut Riffat
sebenarnya juga demikian kondisinya. Beliau pertama menikah dengan Khadijah
ketika berusia 25 tahun dan itulah perkawinan terpenting. Nabi Muhammad SAW
tidak menikah lagi sampai umur 50 tahun. Jadi selama masa suburnya beliau
monogami dan menikah hanya sekali. Kalau demikian, menurut hemat penulis,
secara tegas dapat dikatakan bahwa pernikan Nabi SAW yang poligami tersebut
bukan hanya memperturutkan nafsu seksnya, akan tetapi lebih pada penyantunan
janda-janda dan anak yatim. Di samping itu, dalam poligami Nabi ada hikmah yang
bersifat edukatif, psikologis, ekonomis dan bahkan politis. Sebab secara
logika, jika Nabi SAW menginginkan tuntutan seksnya, mestinya beliau menikahi
gadis-gadis yang masih muda dan perawan. Tetapi mengapa hal itu tidak dilakukan
oleh beliau?
Poligami senantiasa menjadi wacana yang menarik untuk
didiskusikan. Ia tidak hanya menjadi obyek perbincangan dunia Islam, tetapi
juga barat. Barat sering mengangkat isu poligami sebagai alat untuk
mendeskreditkan Islam.[31]
Mereka menganggap poligamilah menjadi salah satu sebab kemunduran dan
keterbelakangan dunia Islam. Sementara di dunia Islam, akibat pengaruh barat
pasca kolonal, muncul diskursus apakah konsep poligami dalam al-Qur’an (QS: 4:
3) berlaku secara normatif atau kontekstual. Implikasinya, di dunia Islam
terjadi polarisasi di dalam menentukan kebijakan tentang poligami.
Menurut Tahir Mahmood setidaknya ada enam bentuk
kontrol terhadap poligami, pertama; menekankan ketentuan berlaku adil
sebagaimana ditetapkan di dalam al-Qur’an, kedua; memberi hak kepada istri
untuk menyertakan pernyataan anti poligami dalam surat perjanjian perkawinan,
ketiga; harus memperoleh izin lembaga peradilan, keempat; hak menjelaskan dan
mengontrol dari lembaga perkawinan kepada pihak yang akan berpoligami, kelima;
benar-benar melarang poligami, dan keenam; memberikan sanksi pidana bagi
pelanggar aturan poligami.[32]
Untuk negara Syiria ketentuan tentang poligami tdak
jauh berbeda dengan pandangan para imam mazhab yang membolehkan poligami. Hanya
saja Syiria yang dominan menganut mazhab Hanafi ini mengatur masalah poligami
ini dalam Undang-undang tahun 1975 pasal 17 yang menyatakan bahwa “hakim
mempunyai wewenang penuh untuk tidak mengizinkan seorang suami beristri lebih
dari seorang istri jika terbukti tiak mampu berbuat adil dan tidak mampu
menafkahinya”. Jadi walaupun diizinkan tetapi tidak segampang yang dibayangkan,
harus melalui persyaratan-persyaratan yang ketat dan harus ada izin dari
pengadilan.
Sementara dalam poligami sebagaimana telah disebutkan
pada pendahuluan, Tunisia merupakan negara Islam satu-satunya yang melarang
poligami. Mewarik untuk dieksplorasi dan dicermati lebih dalam tentang fenomena
ini. Bagaimana Undang-undang mengatur masalah poligami ini. Masalah poligami
ini diatur pada pasal 18 Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia pada ayat (1)
yang berbunyi: “Bahwa beristri lebih dari seorang adalah dilarang dan apabila
seorang pria yang telah menikah dan pernikahannya belum putus secara hukum
lantas menikah lagi, maka pria tersebut diancam dengan hukuman penjara selama
satu tahun atau denda setinggi-tingginya 240.000 Malim atau dengan
kedua-duanya.”[33]
Kalau demikian kenyataannya lantas apa yang menjadi
alasan pemerintah Tunisia memberlakukan larangan poligami? Untuk menjawab
pertanyaan mendasar tersebut, menarik untuk dikemukakan di sini apa yang pernah
dilontarkan oleh John L. Esposito. Menurutnya ada dua alasan pemerintah Tunisia
melarang poligami, yaitu:
1.
Poligami,
sebagaimana halnya perbudakan merupakan institusi yang selamanya tidak bisa
diterima oleh mayoritas umat manusia, dan
2.
Ideal
al-Qur’an tentang perkawinan adalah monogami.[34]
3.
Dalam
analisanya lebih lanjut ia mengatakan bahwa pandangan Muhammad Abduh tentang
tafsir ayat poligami nampaknya telah dijadikan rujukan oleh pemerintah Tunisia.
Ayat yang dijadikan dasar bagi pelarangan ini adalah Surat al-Nisa’ ayat 3. Di
mana ayat ini memberi gambaran bahwa yang menjadi idela Islam adalah monogamy,
karena adil yang menjadi syarat utama bagi poligami adalah sesuatu yang tidak
mungkin dapat direalisasikan oleh manusia.
Menurut Abduh poligami adalah tindakan yang haram, yang
ahanya mungkin dilakukan oleh seorang suami dalam hal-hal tertentu. Misalnya
istri tidak bisa melahirkan. Syarat adil dalam pandangan Abduh terbagi menjadi
tiga kondisi, yaitu pertama, kebolehan poligami sesuai dengan tuntutan zaman
waktu itu. Kedua, syarat adil merupakan syarat yang sangat berat, khususnya
dalam pembagian cinta dan hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan batin. Hal
ini ditegaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Lebih lanjut Abduh mengatakan bahwa, poligami merupakan
sesuatu perbuatan yang haram jika tujuannya hanya untuk kesenangan (sex)
semata. Karena untuk kepuasan sex inilah manusia tidak pernah merasa puas, dan kalau
dituruti secara terus menerus manusia tidak ada bedanya dengan binatang.
Perilaku orang Arab proto Islam dalam poligami sering dilakukan sebagai simbol
kekuatan dan kejantanan.[35]
C.
Perceraian
Perceraian diperbolehkan dalam Islam karena pernikahan
dianggap sebagai sebuah kontrak, yang dapat diputuskan bak karena kehendak
keduanya atau karena kehendak salah satu pihaknya. Bertentangan dengan
kepercayaan umum, Islam juga memperblehkan perempuan mempunyai hak cerai.
Seorang perempuan dapat membatalkan pernikahannya dalam bentuk perceraian yang
dikenal dengan khulu’.[36]
Walaupun Islam membolehkan, tetapi ketentuan ini
nampaknya ambigu. Talak dan umumnya putusan perkawinan walaupun dihalalkan,
tetapi merupakan hal yang tidak disukai oleh Allah. Sebagai ajaran moral
ilahiyyah, Islam sangat tidak menyukai perceraian. Secara moral, perceraian
adalah sebuah pengingkaran. Akan tetapi, sadar bahwa tidak mungkin perceraian
sama sekali dihindari dalam kehidupan yang nisbi ini, maka dengan penuh
penyesalan, demi alasan yang sangat khusus, Islam pun terpaksa menerima
kemungkinan terjadinya.[37]
Ini tercermin dalam sabda Rasulullah SAW. yang penuh ambiguitas:[38]قلاطلا لله
ا دنع للالحا ضغبأ
Ambiguitas ini pada dasarnya dimaksudkan untuk
mempersulit peluang terjadinya perceraian, kecuali dalam keadaan terpaksa atau
ada qarinah yang dijustifikasi oleh syara’. Masih dalam konteks pemeliharaan
harmonisasi ikatan perkawinan, Islam kemudian memberikan peluang
restrukturisasi ikatan yang telah terkoyak oleh talak melalui prosedur rujuk.
Rujuk adalah pemulihan perkawinan dengan cara suami mengambil kembali bekas
istri kepada ikatan perkawinan semasa iddah berlangsung.
Dalam masalah talaq ini hukum Islam memperlakukan
perempuan jauh lebih baik, lebih manusiawi dan lebih berprikeadilan etimbang
doktrin agama dan kebudayaan lain. Dengan ungkapan lain, Anderson mencatat,
sebelum kedatangan Islam, wanita tidak mempunyai wewenang untuk mentalaq dan
juga tidak mempunyai hak untuk menceraikan dirinya dari suaminya, kecuali suami
memberikan hak talaq itu (talaq tafwid). Dengan kedatangan Islam, terjadilah
perubahan dalam konsep talaq. Perubahan tersebut bertujuan untuk membatasi hak
talaq suami, dan selanjutnya memberikan hak kepada istri untuk mendapatkan hak
talaq berdasarkan pada pertimbangan yang logis dan bukan bersifat sepihak.[39]
Dalam upaya mereformasi bidang hukum keluarga, banyak negara Islam yang tetap
mempertahankan hak suami untuk menceraikan istrinya sembari memberi kebebasan
yang lebih besar kepada kaum perempuan untuk meminta cerai dalam kasus
kekerasan, tidak diberi nafkah dan ditinggal pergi.
Dalam kasus talaq ini, Undang-undang Hukum Keluarga
Syiria melakukan perubahan yang berhubungan dengan pemberian hak kepda istri
untuk mengajukan perceraian, konpensasi atas talaq yang sepihak dan mengenai
talaq tiga. Di dalam Undang-Undang ini dijelaskan:
Pasal 30 perceraian hanya jatuh jika diucapkan di depan pengadilan
Pasal 90: Talaq tidak akan jatuh jika tanpa niat
Pasal 92: Jika talaq itu diucapkan dengan berbilang baik secara
eksplisit maupun implisit, maka yang jatuh adalah satu
Pasal 117: Kalau pengadilan menimbang bahwa suami menceraikan
istrinya karena alas an ang tidak logis, maka si istri mempunyai hak untuk
menolak, ang dengan itu dia bisa jadi si suami harus membayar yang konpensasi
bagi si istri tidak melebihi tiga tahun nafkah, ditambah nafkah yang dibayar
selama iddah.
Pasal 129: Jika suami menghilang tanpa alasan yang jelas atau
dipenjara lebih dari tiga tahun, istrinya dapat -setelah habis masa setahun
dari hari hilangnya atau dipenjara- untuk meminta perceraian sekalipun ada
milik suami yang tersedia untuk nafkah.[40]
Di Tunisia perceraian yang disampaikan secara sepihak
tidak dapat berakibat jatuhnya talaq. Sekarang perceraian dapat berlaku secara
pasti dan efektif hanya diputuskan oleh pengadilan.[41]
Demikian pula pengadilan dapat memutuskan perkawinan
yang diajukan oleh istri dengan alas an suami gagal dalam memberi nafkah, atau
karena kedua belah pihak telah sepakat untuk mengakhiri perkawinan mereka.
Pengadilan juga bisa memutuskan terjadinya perceraian apabila salah satu pihak
secara sepihak bermaksud untuk bercerai, dengan konsekwensi bahwa pihak yang
mengajukan gugatan cerai diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lain.
Keputusan terjadinya perceraian hanya bisa diberikan dalam kondisi apabila
upaya perdamaian pasangan suami istri tersebut gagal dicapai.
D.
Talak Tiga
Pasal 19 Undang-undang 1956 menyatakan bahwa seorang
pria dilarang untuk merujuk istrinya yang telah ditalak tiga (talaq ba’in
kubra). Sebelumnya, pasal 14 menyebutkan bahwa talak tiga sebagai halangan yang
bersifat permanen untuk pernikahan.[42]
V. Analisis atas Kebijakan Negara terhadap Hak-hak
Perempuan dan Keberanjakannya dari Fiqih Klasik
Reformasi yang mempengaruhi hukum Islam pada abad XIX
dan XX lebih berwawasan jauh ke depan dibandingkan dengan yang dilakukan
sebelumnya. Dorongan reformasi datang dari internal tradisi Islam itu sendiri,
seperti para spesialis hukum Islam yang mencoba memperbaharui hukum-hukum dalam
hubungannya dengan kebutuhan sosial dn prilaku yang berubah, maupun dari
eksternal seperti pemimpin politik yang mencoba memaksakan perubahahan yang
dirancang untuk menghapus gambaran kuno yang menghalangi program modernisasi
pemerintah.
Dalam usaha reformasi hukum Islam (termasuk hukum
keluarga) telah mengakomodasi isu-isu modernisme seperti kesetaraan gender.
Kaitannya dengan kajian makalah ini, telah terjadi pembaharuan yang bermaksud
menaikkan kedudukan kaum perempuan.
Secara umum dalam rangka melakukan pembaharuan, dunia
Islam mempunyai pengalaman yang sangat beragam mulai dari yang paling “ekstrim
kanan” sampai yang ekstrim kiri”. Abdullahi Ahmed An-Naim[43]
secara lebih rinci menjelaskan teknik-teknik pembaruan, terutama dalam bidang
hukum keluarga antara lain: melalui takhsis al-Qadha’ (hak penguasa untuk
memutuskan dan menguatkan keputusan pengadilan), takhayyur (menyeleksi berbagai
pendapat mazhab secara eklektik seperti Sudan), re-interpretasi atas kebebasan
pria dalam melakukan perceraian dan poligami seperti di Tunisia) dan siyasah
syar’iyyah (kebijakan penguasa untuk menetapkan aturan-aturan administratif
yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syari’ah).[44]
Berikut analisis hasil dari reformasi yang dilakukan oleh Tunisia dan Syiria
dalam rangka mengangkat harkat dan martabat perempuan.
A.
Nafkah
Di dalam perkawinan, wanita ditempatkan pada kedudukan
yang terhormat, dia diperlukan sebagai manusia yang mempunyai hak-hak
kemanusiaan yang sempurna. Selain mempunyai hak mahar, dia juga mempunyai hak
nafkah yang pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab suami. Namun ketentuan
ini tidaklah kaku karena di dalam kasus-kasus tertentu Hukum Islam tidak
dilarang kepada istri membantu suaminya dalam mencari nafkah.
Dalam kasus Negara Syiria dan Tunisia, Undang-undang
Hukum Keluarga kedua negara ini telah melakukan begitu mendetail masalah nafkah
ini. Lingkup pembiayaan nafkah tidak hanya terbatas pada sandang, pangan dan
papan melainkan juga meliputi biaya-biaya pengobatan. Bahkan perbedaan agama
istri tidak menjadi penghalang akan wajibnya nafkah ini. Selain itu juga istri
mempunyai hak menolak untuk mendampingi suami jika suami mengabaikan kewajiban
ini. Dan lebih ekstrim lagi bahwa pengabaian kewajiban ini bisa menjadi salah
satu alasan istri untuk memohon perceraian.
Dalam masalah ini, kedua negara ini telah melakukan
terobosan yang signifikan dalam memberikan wewenang kepada istri untuk menuntut
hak nafkahnya yang begitu luas. Hal ini berbeda dengan pandangan para ulama
mazhab di mana biaya apengobatan bukan menjadi tanggung jawab suaminya. Menurut
mereka, ongkos atau biaya pengobatan mrnjadi tanggungannya sendiri atau
keluarganya, karena obat-obatan tidaklah dinggap sebagai kebutuhan pokok,
mereka menganalogkannya dengan makanan cuci mulut. Makanan jenis ini tidk harus
ada atau disediakan.[45]
Hal ini disebabkan karena kondisi masyarakat pada waktu itu secara umum tidak
memerlukan pengobtan seperti sekrang ini. Akan tetapi, dewasa ini kebutuhan
masyarakat terhadap kesehatan telah menjadi bagian dari kebutuhan pokok. Wahbah
al-Zuhaili-ahli fiqih kontemporer dari Syiria– menolak pandangan para ulama
empat mazhab di atas. Menurutnya nafkah untuk kesehatan adalah termasuk
kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami. Pemberian nafkah kesehatan merupakan
bentuk dari mu’asyarah bi al-Ma’ruf. Katanya: Bukanlah mu’asyarah bi al-ma’ruf
namanya, kalau suami dalam keadaan istrinya sehat dapat bersenang-senang
(istimta’), tetapi manakala ia sakit, lalu mengembalikannya kepada keluarganya.
Ilustrasi Wahbah ini selaras dengan aturan di Syiria, Tunisia bahkan Mesir.[46]
Inilah saya kira pendapat dan kebijakan terhadap istri
yang lebih maslahah dan lebih relevan dengan tuntutan perkembangan sosial.
Agama tentu saja menyetujui pandangan ini, karena gama memang hadir untuk
memberikan kemashlahatan dan keadilan bagi seluruh umat manusia (laki-laki dan
perempuan).
B.
Poligami
Masalah poligami, meskipun Islam membolehkannya,[47]
tetapi oleh kaum wanita, seiring dengan meningkatnya kesadaran kaum wanita akan
hak dan martabat status mereka, oleh kaum wanita dipandang sebagai suatu upaya
eksploitasi wanita demi kebutuhan biologis kaum adam. Sementara bagi kaum adam
pada umumnya, poligami adalah sesuatu yang legal dan telah dipraktekkan oleh
Nabi. Meskipun Nabi mempraktekkannya, tetapi dalam perkembangannya, tidak semua
ulama berpendapat seragam, sebagian mereka ada yang menolak kebolehannya.[48]
Dalam Islam semua mazhab pemikiran menyatakan bahwa
al-Qur’an mengizinkan poligami, sepanjang syarat adil itu terpenuhi. Namun bagi
Negara Syiria walaupun membolehkan tetapi dengan memperketat persyaratan dan
itu sangat tergantung pada izin dari pengadilan sebagaimana dijelaskan dalam
pasal 17 di atas. Hal ini ada keberanjakan dari pemikiran mazhab klasik yang
notabene membolehkan meskipun pembolehan tersebut ditambah dengan syarat harus
yang tidak mungin terpenuhi, keadilan dalam kasih saying, perasaan cinta dan
sebagainya.[49]
Lain halnya dengan Tunisia, Negara ini secara radikal
telah melarang praktek poligami ini. Larangan ini sebagaimana hal lain yang
dibicarakan di atas, dipandang sebagai akibat dari pengaruh kolonial barat.
Para ahli hukum Islam Tunisia sebenarnya menyandarkan pandangannya pada
al-Qur’an dan sumber-sumber hukum dasar lainnya dalam melarang poligami.
Meskipun demikian, barangkali ada benarnya juga apabila keinginan mereka untuk
melakukan uji ulang atas ijtihad terdahulu dala persoalan ini dipengaruhi oleh
pengaruh eksternal Barat. Bahkan, dengan analisis tradisional sekalipun, ada
pendekatan hukum yang memungkinkan wanita menolak poligami dalam perkawinannya
sendiri.[50]
Langkah Syiria dan Tunisia ini dianggap paling berani
dan telahmengalami keberanjakan dari doktrin mazhab Maliki dan Syafi’i yang
memberikan kebebasan yang luas bagi laki-laki untuk berpoligami. Syaratnya
hanya dua, yaitu adil dan maksimal empat orang istri. Tidak ada persyaratan
apapun lagi selain dua hal itu.
Jadi dalam masalah poligami, Tunisia telah memberikan
pengaruh yang sangat signifikan dalam mengangkat dan memelihara derajat kaum
perempuan dari tindakan kesewenag-wenagan kaum laki-laki. Sebab poligami pada
hakikatnya merupakan bentuk penghinaan terhadap perempuan. Sebab, mana ada
perempuan yang rela dan bersedia dimadu-sebagaimana halnya laki-laki, mana ada
yang rela dan bersedia dimadu. Karena poligami menimbulkan kerawanan terhadap
pelecehan hak-hak kaum perempuan.[51]
Untuk kepentingan hak-hak kaum wanita agar sedikit
mungkin terhindar dari kedudukan sebagai obyek pemuas sex kaum lelaki, maka
dalam hal boleh tidaknya seorang lelaki berpoligami di Syiria harus minta izin
terlebih dahulu kepada istri dan pengadilan. Dengan kata lain, campur tangan
hakim tidak bisa disepelekan dalam menegakkan hak-hak kaum wanita dalam
relasinya dengan kaum lelaki. Mengapa hal ini diperlukan?
A.K. Brohi, menguti pendapat Brifault, menjelasan bahwa
antara “kekuasaan” dan “keadilan” itu saling mempengaruhi. Semangat etika zaman
modern, harus dicatat, berada dia atas segala apa yang telah dicirikan oleh
hide-ide keadilan, kejujuran, permainan yang jujur daripada apengingkaran,
pengorbanan diri, dan pemerasan emosi yang menandai moralitas periode
keagamaan.[52]
C.
Perceraian
Umumnya hukum syari’at, peraturan yang berkaitan dengan
cerai lebih memihak pada kepentingan pria. Seorang pria mempunyai hak untuk
menceraikan istrinya tanpa sebab, ia cukup mengatakan: “aku cerai engkau” tiga
kali di depan para saksi, yang merupakan tanda fomal untuk mengkhiri hubungan
perkawinan.
Sebaliknya, wanita tidak mempunyai hak untuk
menceraikan dengan cara yang sama, tetapi mereka berhak menuntut dua jenis
perceraian: Satu dengan membayar sejumlah uang, dan yang lain karena pelecehan
dan penghinaan kepada istri dan keluarganya yaitu lewat khulu’ dan tafriq.
Namun Samha, terutama tentang perempuan dan hukum kelurga: contoh wacana
legislasi di Tunisia. bentuk cerai seperti ini hanya diizinkan dalam kondisi ya
ng sangat khusus, seperti adanya alasan bahwa suami ternyata impotent atau
suami melarikan diri. Undang-undang modern di beberapa anegara telah
memodifikasi dan sedikit memperluas wilayah yang karenanya wanita dpat
mengajukan cerai dengan alasan: dilukai, konflik, cacat fisik pada suami, tidak
diberi nafkah, suami hilang atau dipenjara.
Fenomena ini erjadi pada hukum keluarga Syiria adan
Tunisia, kedudukan suami dan istri adalah sama dalam perceraian, perceraian
sepihak tidak jatuh dan harus diucapkan di muka apengadilan dan pernikahan yang
diucapkan tiga kali sekaligus (talaq al-Battah) hanya dihitung satu.[53]
Hal ini berbeda dengan ketentuan mazhab klasik, karena
dalam mazhab Maliki; Talaq bisa jatuh hanya dengan mengucapkan “Talaktuki”
tanpa harus ada campur tangan dari pihak hakim.[54]
Bahkan menurut Malik juga, talak yang dijatuhkan suami karena keliru, lupa dan
main-main adalah sah. Sementara Mazhab Hanafi menyatakan bahwa setiap talaq
yang dijatuhkan oleh suami dinyatakan sah kecuali anak kecil, orang gila, atau
orang idiot.[55]
Apabila dilihat ketentuan-ketentuan tentang perceraian
dalam perundang-undangan Syiria dan Tunisia, maka akan tampak titik
keberanjakannya dari fiqih klasik yaitu setiap Negara berusaha untuk
mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam fiqih
klasik yang lebih cenderung mempermudah terjadinya perceraian dan mengabaikan
ahak-hak perempuan.[56]
Keberanjakan yang cukup signifikan adalah pemberdayaan
lembaga pengadilan dalam perceraian. Hal ini merupakan salah satu pembaharuan
yang terpenting dalam wacana hukum keluarga Islam. Sebab, dalam fiqih lasik, dengan
mengacu secara scriptural kepada teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah, suami
adalah “pihak yang menceraikan” (mutalliq), sedangkan istri adalah “pihak yang
diceraikan” (mutallaq). Istri hanya diberiakan hak gugat cerai, namun, itupun
masih disyaratkan ada persetujuan suami dan biaya tebusan (‘iwad). Bahkan dalam
mazhab Hanafi yang dikenal rasional, istri tidak mempunyai hak untuk menggugat
cerai, apapun alasannya.[57]
Hal lain yang perlu mendapat perhatian kaitannya dengan
perceraian, terutama di Tunisia adalah larangan permanen bagi laki-laki untuk
menikahi kembali perempuan yang telah dicerikan sebanyak tiga kali. Nampak
jelas, ketentuan ini telah meninggalkan mazhab Syafi’i yang mengabsahkan
pernikahan “sementara” yang bertujuan menghalalkan berkumpulnya kembali
laki-laki pertama dengan mantan istrinya (nikah tahlil).
Keberanjakan dan perubahan menuju tata cara perceraian
yang manusiawi yang mengakui hak-hak kaum perempuan ini didasarkan pada spirit
al-Qur’an yang menyuruh suami untuk menceraikan istrinya dengan cara yang baik
dan adil.[58]
V. Penutup
Diskriminasi, marginalisasi dan subordinasi hak kaum
perempuan di lingkungan setiap komunitas peradaban manusia berlangsung tanpa
ada perubahan yang berarti hingga awal abad ke-20, namun sejak saat itu
sejumlah ikhtiar untuk memodifikasi hukum status personal dilakukan di berbagai
wilayah.
Sebelum awal abad ke-20, negara membiarkan kontrol
terhadap kaum perempuan dan keluarga berada di tangan kelompok-kelompok
keluarga patriarkhal. Berbeda dengan tindakan yang sangat intervensionis dalam
hukum perdata, komersial, dan pidana Islam, negara menolak usaha yang beresiko
tinggi, yakni mencampuri peraturan-peraturan status personal, inti terdalam
dari identitas muslim (maskulin). Kontrol patriarkhal terhadap prilaku kaum
perempuan dan unit keluarga adalah hal pokok bagi konstruksi identitas ini
Namun, pada akhirnya, keengganan Negara mulai meluntur, paling tidak karena
tekanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok prempuan di bawah kepemimpinan
perempuan-perempuan terkemuka seperti Mesir dan seluruh kesultanan
‘Utsmaniyyah.
Seiring dengan derasnya arus modernisasi yan terutama
dimulai awal abad XX yang dibarengi dengan adanya usaha reformasi huku keluarga
di dunia Islam, maka secara bertahap perempuan mulai mendapatkan hak-haknya
baik hak domestik maupun publik.
Terlepas dari perdebatan apakah proses reformasi itu
merupakan implikasi dari gejolak internal maupun desakan eksternal, tetapi
reformasi Undang-undang Keluarga muslim termsuk Syiria dan Tunisia telah
mengalami kemajuan. Secara substansial kebijakan negara terhadap perempuan jauh
lebih baik jika dibandingkan dengan substansi bangunan fiqih klasik. Dengan
demikian usaha interpretasi dan transformasi huku keluarga yang selaras
al-Anshari. tt. Fath al-Wahhab bi Sarh Manhaj al-Tulab. Beirut: Dar
al-Fikr. II. 72-90.
dengan kebutuhan masyarakat yang menjadi habitatnya
mutlak diperlukan. Bukankah produk fiqih-fiqih klasik merupakan hasil
dialektika antara ulama dengan tuntutan zamannya? Munculnya qaul qadim dan qaul
jaded dari ualama sekaliber Imam Syafi’i merupakan indikasi kuat bahwaa hukum
Islam dibentuk dan membentuk masyarakat.
Terakhir terkait dengan usaha reformasi nasib kaum
perempuan (istri) di Indonesia sudah waktunya dipikirkan konsep hukum
perkawinan yang berkeadilan gender. Usaha ini tidak cukup hanya dengan slogan
dan symbol-simbol kesetaraan, tetapi mencakup dataran substansi
perundang-undangan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi Ahmed An-Na’im. 1994. Toward an Islamic
Reformation; Civil Liberties, Human Rights and International Law, (terj.)
Ahmad Suaedy, Dekonstruksi Syari’ah I, Yogyakarta: LKiS.
Abd al-Rahman al-Jaziri. 190. Kitab al-Fiqh ‘Ala
al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah.
Abu Zahrah. 1957. Al-Ahwal al-Syakhshiyyah, ttp.
Dar al-Fikr al-‘Arabi.
Abu Zakariya al-Anshari. tt. Fath al-Wahhab bi Sarh
Manhaj al-Tullab, Beirut: Dar al-Fikr.
Ahamd Faiz. 1983. Dustur al-Usrah fi Zilal
Al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-Risalah.
Ala’eddin Kharofa 1962. Al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Bagdad:
Mathba’ah al-Aniy.
Ashgar Ali Engineer. 1994. Hak-hak Perempuan Dalam
Islam, Terj. Farid Wajdi dan Cici Farkha, Yogyakarta: LSPAA.
Atho Mudzhar. 1998. Membaca Gelombang Ijtihad:
Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Ibn Majah. tt. Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar
al-Kutb al-‘Ilmiyyah.
Ibn Rusyd. tt. Bidayah al-Mujtahid fi Nihayah
al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr.
Ira M. Lapidus. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam, terj.
Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Lewis, CH. Pellat dan J. Schacht. 1983. The
Encyclopedia of Islam, Leiden: E.J. Brill.
Jawab Mughniyyah. 1994. Al-Fiqh ‘ala Madzahib
al-Khamsah,terj, Afif Muhammad, Jakarta: Basrie Press.
John Ober Voll, Islam: 1982. Continuity and Change
in the Modern World,
226 Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008
Masnun Tahir: Hak-hak
Perempuan dalam ...
England; Westview.
Jhon L. Esposito. 1995. The Oxford Encyclopdia of
the Modern Islamic World, New York: Oxford University Press.
Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari’ah (Yogyakarta:
LkiS,2003)
Muhammad Amin Summa. 2005. Hukum Keluarga Islam di
Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Press.
Marzuki Wahid dan Rumadi. 2001. Fiqh Madzhab Negara;
Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LkiS
Masdar F. Mas’udi. 2000. Islam dan Hak-hak
Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan.
Musdah Mulia. 1999. Pandangan Islam Tentang
Poligami, Jakarta; LKAJ.
Khoiruddin Nasution. 1996. Riba dan Poligami,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2005. Hukum Perkawinan.Yogyakarta:
Tazzafa, 2005.
________. 2002. Status Wanita di Asia Tenggara. Jakarta:
INIS.
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar
al-Fikr, `1977.
Syarbini. tt. Iqna fi Hilli al-Faz Abi Shuja’, Indonesia;
Dar al-Ihya al-Kutb a-‘Arabiyyah.
Tahir Mahmood. 1997. Personal Law In Islamic
Countries, New Delhi: Academy of Law and Religion.
.-------------------. 1972. Family Law in The Muslim
World, Bombay: N.M. Tripathi PVT. LTD.
Wahbah Al-Zuhaili. 1989. Al-Fiqh wa Adillatuhu, Damaskus:
ar al-Fikr.
[1]
Masnun Tahir adalah Dosen Tetap IAIN Mataram- Kandidat Doktor UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Email: state_tirangga@yahoo.com 204 Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008
[2] Ashgar Ali Engineer. 1994. Hak-hak Perempuan Dalam Islam,
terj. Farid Wajdi dan Cici Farkha. Yogyakarta: LSPA. hlm. 3.
[3] Joseph Conrad membahasakan dengan sangat nyata baginya
setiap jelajah daerah baru (termasuk dunia Islam) yang dilakukan barat adalah
memberi sinar ruang yang gelap gulita.
[4] Pembahasan panjang tentang penerapan hukum keluarga Islam
dan pembaharuannya dapat dibaca pada karya Muhammad Amin Summa. 2005. Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Rajawali Press. hlm. 160-183. Juga
Khoiruddin Nasution. 2005. Hukum Perkawinan. Yogyakarta: Tazzafa.
[5] Keberanjakan
ini dilihat sebagai bukti bagi terjadinya reformasi hukum Islam yang radikal
dalam bidang hukum keluarga. M. Atho Mudzhar. 1998. Membaca Gelombang Ijtihad:
Antara Tradisi dan Liberas. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. hlm. 12-13.
[6] Tahir Mahmood. 1987. Personal Law in Islamic Countries.
New Delhi: Academy of Law and Religion.
[7]
Ensiklopedi Indonesia,
(Jakarta: Intermasa, 190) artikel “Suriah”, hlm. 217. Juga Tahir Mahmood, Personal
..., hlm. 139.
[8] David Commins. 1995. “Syiria” dalam John L. Esposito, The
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New York: Oxford
University Press. Vol. IV. Hlm. 156.
[9] 9 Tahir Mahmood, Personal ..., hlm. 139.
[10] B. Lewis, CH. Pellat dan J. Schacht. 1983. The
Enciclopedia of Islam. Leiden: E.J. Brill. Vol. III, hlm. 661.
[11]
John L. Esposito. Ensiklopedi ..., hlm. 272-273.
[12] Orang-orang Tunisia bersukubangsa Roman, Vandal, Ara dan
sebagian bergaris keturunan Berbr. Informasi lebih lanjut lihat
http://www.arab.net/tunisia contents.html.
[13] Reeva S. Simon dkk. 1996. (Ed.), Encyclopedia of Modern
Middle East. New York: USA. hlm. 1974-1976.
[14] John P. Entelis. 1995. “Tunisia” dalam John L. Esposito, The
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New York: Oxford
University Press. Vol. IV, hlm.235.
[15]
Ira M. Lapidus. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam, terj.
Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm. 235. Juga John Ober
Voll. 1982. Islam: Continuity and Change in the Modern World. England:
Westview Press. hlm. 99.
[16] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial ...,hlm. 235-237.
[17]
Tahir Mahmood, Personal…, hlm. 139.
[18] Ibid.
[19] Ibid, hlm. 141
[22] ‘Abdurrahman al-Jaziri. 1990. Kitab
al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah. IV,
hlm. 485.
[23] Abu Zahrah. 1957. Al-Ahwal
al-Syakhshiyyah. ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi. hlm. 269. Juga M. Jawab
Mughniyyah. 1994. Al-Fiqh al-Mazahib al-Khamsah, terj. Afif Muhammad. Jakarta:
Basrie Press. II, hlm. 112.
[24] Q.S. Ath-Thalaq: 6
[25]
Q.S.
Al-Baqarah: 233.
[26] Ala’eddin
Kharofa. 1962. Al-Ahwal al-Syakhshiyyah. Baghdad: Mathba’ah al-Aniy. I. hlm.
311-314.
[27] Tahir
Mahmood, Personal .... hlm. 145. Lihat juga Ala’eddin Kharofa. Al-Ahwal ...,
hlm. 302.
[28]
Padahal Islam bukanlah agama yang pertama kali memperkenalkan poligami
sebagaimana yang dituduhkan barat. Akan tetapi poligami merupakan fenomena yang
telah lama dikenal dalam tradisi agama seperti Kristen, Yahudi dan Hindu. Safia
Iqbal. 1994. Woman and Islamic Law. New Delhi: Adam Publisher. II. hlm 96-97.
[29]
Kelompok Syi’ah dan Dzohiriyah menafsirkan kata matsna wa tsulatsa wa ruba’
lebih dari empat orang, karena waw pada ayat ini tidak berarti “atau” melainkan
berarti sibol penambahan bahkan ada yang mengatakan simbol perkalian sehingga
batas maksimum istri bisa lebih dari empat. Jadi rumusannya adalah: 2+3+4=9., karena
huruf waw diartikan dengan tambah. Angka sembilan ini dihubungkan dengan jumlah
istri Nabi. Ada lagi yang berpendapat lebih banyak dari itu, yaitu dg
menggunakan rumus 2+2=4, 3+3=6, 4+4=8, sehingga menjadi 4+6+8=18. ada pula yang
menggunakan rumus 2x3x4=24. bahkan ada yang tidak membatasi batas maksimumnya
karena kata “fankihu ma thaba lakum minannisa” adalah lafadz yang berlaku mutlak, sedangkan angka sesudahnya
bukanlah pembatas (muqayyad) melainkan hanya keterangan untuk
menghilangkan kebingungan karena mukhatab yang mungkin menyangka bahwa
menikahi lebih dari satu orang adalah tidak dibolehkan. Lihat Sayyid Sabiq.
1983. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr. II. hlm 96-97.
[30]
Ibid…
[31]
Mereka mengklaim bahwa Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan
ada yang secara ekstrem berpendapat bahwa jka bukan karena Islam, poligami
tidak dikenal dalam sejarah manusia. Sebuah pandangan yang keliru, karena yang
benar adalah bahwa masyarakat manusia di berbagai belahan dunia telah mengenal
dan mempraktekkan poligami. Lihat Musdah Mulia. 1999. Pandangan Islam Tentang
Poligami. Jakarta: LKAJ. hlm. 3. Bandingkan dengan Ahmad Faiz. 1983. Dustur
al-Usrah fi Zilal al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risalah. hlm. 178.
[32]
Tahir
Mahmood. 1972. Family Law Reform in the Muslim World. New Delhi: The Indian Law
Institute. hlm. 272-275
[33]
Tahir Mahmood, Personal ..., hlm. 157.
[34]
John L. Esposito. 1982. Women in Muslim Family Law. New
York: Syracuse University Press. hlm. 92.
[35]
Khoiruddin Nasution. 1996. Riba dan Poligami. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. hlm. 104. Lihat Juga Khoiruddin Nasution. 2002. Status
Wanita di Asia Tenggara. Jakarta: INIS.
[36] Ashgar Ali Engineer. Hak-hak Perempuan ..., hlm.
185.
[37]
Masdar F. Mas’udi. 2000. Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan.
Bandung: Mizan. hlm. 177.
[38] Ibn Majāh. tt. Sunan Ibn Majāh. Beirut: Dār al-Kutb
al-‘Ilmiyyah. I. hlm. 650.
[39] Khoiruddin Nasution, “ Emansipasi Wanita: Dari Konsep Talak
sampai Persamaan Hal. Makalah disampaikan pada Diskusi Ilmiah Dosen Tetap
Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Tanggal 14 0ktober, 1995, hlm. 5.
[40] Tahir Mahmood, Personal ..., hlm. 147.
[41] Tahir Mahmood, Family …, hlm. 109.
[42] Ibid. hlm. 102.
[43] Abdullahi Ahmed An-Na’im. 1994. Toward an Islamic
Reformation; Civil Liberties, Human Rights and International Law. (terj.)
Ahmad Suaedy. Dekonstruksi Syari’ah I Yogyakarta: LKiS.
[44] Baca Marzuki Wahid dan Rumadi. 2001. Fiqh Madzhab
Negara; Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.
hlm. 89-91.
[45]
Wahbah
al-Zuhaili. 1989. Al-Fiqh al-Islam wa Adilatuh. Damaskus: Dar al-Fikr.
X. hlm. 7380
[46] 46 Ibid. hlm.7831.
[47] Abdul Nasir Taufiq al-‘Attar. tt. Taaddud al-Zaujat fi
al-Syari’ah al-Islamiyyah. ttp: tnp. hlm. 43.
[48]
Khiruddin Nasution, Riba …, hlm. 83.
[49]
Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ..,, hlm. 34.
[50]
Dalam istilah Mahmud Muhammad Thaha poligami merupakan bukan
ajaran Islam. Lihat Mahmud Muhammad Thaha. 2003. Arus Balik Syari’ah.
Yogyakarta: LkiS. hlm. 167-170.
[51] Musdah Mulia. Pandangan ..., hlm. 50. Lihat Juga
Nasr Hamid Abu Zayd. 2003. Dekonstruksi Gender. Yogyakarta:
[52] A.K. Brohi. 1987. “ Konsep Hak Asasi Manusia Dalam
Perspektif Barat dan Islam”, dalam Hak Asasi Manusia dalam Islam. terj.
Badri Yatim. Jakarta: Pustaka Firdaus. hlm. 56.
[53] Mengenai talak tiga sekaligus ini telah terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama karena di dalam sejarah prakteknya ada. Pada masa
Nabi, Abu Bakar dan 2 tahun masa khalifah Umar yang dihitung adalah satu,
setelah itu terjadi maka yang berlaku adalah jatuh tiga sekaligus. Menurut
Ulama empat Mazhab, maka jatuh tiga, sementara kalangan Syi’ah menghitungnya
satu. Lihat Abu Zahrah. Al-Ahwal al-Syakhshiyyah …, hlm. 356. Juga
Al-Sayyid Sabiq. Fiqh al-Sunnah …, hlm. 233.
[54] Ibn Rusyd. tt. Bidayah al-Mujtahid fi Nihayat
al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Fikr. II. hlm. 45.
[55] Jawad al-Mughniyyah. Al-Fiqhu …, hlm. 164.
[56] Informasi lebih lanjut tentang hal ini baca Abu Shuja’. tt.
Matn al-Taqrib. Indonesia: Dar Ihya al-Kutb al-‘Arabiyyah, hlm. 47. Juga
Al-Syarbini. tt. Iqna fi Hilli al-Faz Abi Shuja’. Indonesia: Toha Putra.
hlm. 438. Al-Sayyid Sabiq. Fiqh …, hlm. 212.
[57] Al-Jaziri, Al-Fiqh…, hlm. 248-290. Al-Syarbini, Iqna…,
hlm. 145-153. Abu Zakariya
[58]
Al-Baqarah: 231.
Komentar
Posting Komentar