KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) UURI No 8 Th 1981 tgl 31 Desember 1981
KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
UURI No 8 Th 1981 tgl 31 Desember 1981
DENGAN
RAHMAT TUHAN YME
PRESIDEN
RI
Menimbang :
a.Bahwa negara RI adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang
menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.
b.Bahwa demi pembangunan di bidang hukum
sebagaimana termaktub dalam GBHN (Tap. MPR RI No IV/MPR/1978) perlu mengadakan
usaha peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan
kodifikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari
Wawasan Nusantara.
c.Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian
itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan
kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para palaksana penegak
hukum sesuai dengan fungai dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum,
keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban
serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD 1945.
d.Bahwa hukum acara pidana sebagai yang termuat
dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Th 1941 No 44) dihubungkan
dengan dan UU No 1 Drt. Th 1951 (LN Th 1951 No 9, Tambahan LN No 81) serta
semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan
lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut, karena
sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional.
e.Bahwa oleh karena itu perlu mengadakan UU
tentang hukum acara pidana untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta
kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana, sehingga dengan demikian
dasar utama negara hukum dapat ditegakkan.
Mengingat :
1.Pasal 5 Ayat 1, Pasal 20 Ayat 1 dan Pasal 27 Ayat
1 UUD 1945.
2.Tap. MPR RI No IV/MPR/1978.
3.UU No 14 Th 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (LN Th 1970 No 74, Tambahan LN No 2951).
Dengan
persetujuan
DPR RI
Memutuskan :
Dengan mencabut
:
1.Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Th 1941
No 44) dihubungkan dengan dan UU No 1 Drt. Th 1951 (LN Th 1951 No 9, Tambahan LN
No 81) beserta semua peraturan pelaksanaannya.
2.Ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
lain, dengan ketentuan bahwa yang ter-sebut dalam Angka 1 dan Angka 2,
sepanjang hal itu mengenai Hukum Acara Pidana.
Menetapkan :
UU
TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Yang
dimaksud dalam UU ini dengan :
1.Penyidik adalah pejabat polisi negara RI atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi we-wenang khusus oleh UU
untuk melakukan penyidikan.
2.Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam un-dang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
3.Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian
negara RI yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan
yang diatur dalam UU ini.
4.Penyelidik adalah pejabat polisi negara RI
yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan.
5.Penyelidikan adalah serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam UU ini.
6.a.Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang
oleh UU ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b.Penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh UU ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
7.Penuntutan adalah tindakan penuntut umum
untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam UU ini dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
8.Hakim adalah pejabat peradilan negara yang
diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili.
9.Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim
untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pi-dana berdasarkan asas bebas,
jujur, dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undangundang ini.
10.Praperadilan adalah wewenang pengadilan
negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam UU ini,
tentang :
a.Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau
penahanan atas permintaan tersangka atau keluarga-nya atau pihak lain atas
kuasa tersangka.
b.Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi te-gaknya hukum dan keadilan.
c.Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi
oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya
tidak diajukan ke pengadilan.
11.Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim
yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan
atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undangundang ini.
12.Upaya hukum adalah hak terdakwa atau
penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan
atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini.
13.Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi
syarat yang ditentukan oleh atau berdasar UU untuk memberi bantuan hukum.
14.Tersangka adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana.
15.Terdakwa adalah seorang tersangka yang
dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
16.Penyitaan adalah serangkaian tindakan
penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda
bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
17.Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik
untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam UU ini.
18.Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik
untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pa-kaian tersangka untuk mencari
benda yang didup keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.
19.Tertangkap tangan adalah tertangkapnya
seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah
beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh
khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian
padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut
melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
20.Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik
berupa pengekangan sementara waktu kebebasan ter-sangka atau terdakwa apabila
terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini.
21.Penahanan adalah penempatan tersangka atau
terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini.
22.Ganti kerugian adalah hak seorang untuk
mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena
ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam UU ini.
23.Rehabilitasi adalah hak seorang untuk
mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan
karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini.
24.Laporan adalah pemberitahuan yang
disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan UU kepada
pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya
peristiwa pidana.
25.Pengaduan adalah pemberitahuan disertai
permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk
menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang
merugikannya.
26.Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
27.Keterangan saksi adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
28.Keterangan ahli adalah keterangan yang
diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus ten-tang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan.
29.Keterangan anak adalah keterangan yang
diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam UU ini.
30.Keluarga adalah mereka yang mempunyai
hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan per-kawinan dengan mereka
yang terlibat dalam suatu proses pidana sebagaimana diatur dalam UU ini.
31.Satu hari adalah dua puluh empat jam dan
satu bulan adalah waktu tiga puluh hari.
32.Terpidana adalah seorang yang dipidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh ke-kuatan hukum tetap.
BAB II
RUANG
LINGKUP BERLAKUNYA UU
Pasal 2
UU ini berlaku
untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada
semua tingkat peradilan.
BAB III
DASAR
PERADILAN
Pasal 3
Peradilan
dilakukan menurut cara yang diatur dalam UU ini.
BAB IV
PENYIDIK
DAN PENUNTUT UMUM
Bagian
Kesatu
Penyelidik
dan Penyidik
Pasal 4
Penyelidik
adalah setiap pejabat polisi negara RI.
Pasal 5
1.Penyelidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 :
a.Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1.Menerima laporan atau pengaduan dari seorang
tentang adanya tindak pidana.
2.Mencari keterangan dan barang bukti.
3.Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
4.Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.
b.Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan
berupa :
1.Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penahanan.
2.Pemeriksaan dan penyitaan surat.
3.Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
4.Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
2.Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan
hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada Ayat 1 Huruf a dan Huruf b
kepada penyidik.
Pasal 6
1.Penyidik
adalah :
a.Pejabat polisi negara RI.
b.Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh UU.
2.Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud
dalam Ayat 1 akan diatur lebih lanjut dalam pera-turan pemerintah.
Pasal 7
1.Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat
1 Huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a.Menerima-laporan atau pengaduan dari seorang
tentang adanya tindak pidana.
b.Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat
kejadian.
c.Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa
tanda pengenal diri tersangka.
d.Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan
dan penyitaan.
e.Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f.Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
g.Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi.
h.Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i.Mengadakan penghentian penyidikan.
j.Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
2.Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat
1 Huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan UU yang menjadi dasar hukumnya masing-masing
dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan
penyidik tersebut dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf a.
3.Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud
dalam Ayat 1 dan Ayat 2, penyidik wajib me-njunjung tinggi hukum yang berlaku.
Pasal 8
1.Penyidik membuat berita acara tentang
pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak
mengurangi ketentuan lain dalam UU ini.
2.Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada
penuntut umum.
3.Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud
dalam ayat 2 dilakukan :
a.Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan
berkas perkara.
b.Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai,
penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada
penuntut umum.
Pasal 9
Penyelidik dan
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf a mempunyai wewenang
melakukan tugas masing-masing pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia,
khususnya di daerah hukum masing-masing di mana ia diangkat sesuai dengan
ketentuan UU.
Bagian
Kedua
Penyidik
Pembantu
Pasal
10
1.Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian
negara RI yang diangkat oleh Kepala Kepolisian negara RI berdasarkan syarat kepangkatan
dalam Ayat 2 pasal ini.
2.Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat
1 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal
11
Penyidik
pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 Ayat 1, kecuali mengenai
penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Pasal
12
Penyidik
pembantu membuat berita acara dan, menyerahkan berkas perkara kepada penyidik,
kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan
kepada penuntut umum.
Bagian
Ketiga
Penuntut
Umum
Pasal
13
Penuntut
umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim.
Pasal
14
Penuntut
umum mempunyai wewenang :
a.Menerima dan memeriksa berkas perkara
penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu.
b.Mengadakan prapenuntutan apabila ada
kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat 3 dan Ayat
4, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
c.Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau meng-ubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.
d.Membuat surat dakwaan.
e.Melimpahkan perkara ke pengadilan.
f.Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa
tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang
yang telah ditentukan.
g.Melakukan penuntutan.
h.Menutup perkara demi kepentingan hukum.
i.Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas
dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan UU ini.
j.Melaksanakan penetapan hakim.
Pasal
15
Penuntut umum
menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut
ketentuan UU.
BAB V
PENANGKAPAN,
PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN
SURAT
Bagian
Kesatu
Penangkapan
Pasal
16
1.Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas
perintah penyidik berwenang melakukan penangkap-an.
2.Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan
penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.
Pasal
17
Perintah
penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal
18
1.Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh
petugas kepolisian negara RI dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan
kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka
dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
2.Dalam hal tertangkap tangan
penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap
harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada
penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
3.Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 1 harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan.
Pasal
19
1.Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.
2.Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan
penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipang-gil secara sah dua kali
berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.
Bagian
Kedua
Penahanan
Pasal
20
1.Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau
penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
berwenang melakukan penahanan.
2.Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum
berwenang melakukan penahanan atau penahanan la-njutan.
3.Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang
pengadilan dengan penetapannya berwenang melaku-kan penahanan.
Pasal
21
1.Perintah penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
2.Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh
penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan
surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencatumkan identitas
tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat
perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
3.Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan
lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana di-maksud dalam Ayat 2 harus
diberikan kepada keluarganya.
4.Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan
terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau
percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
a.Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara
lima tahun atau lebih.
b.Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
282 Ayat 3, Pasal 296, Pasal 335 ayat 1, Pasal 351 ayat 1, Pasal 353 ayat 1,
Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459,
Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab UU Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26
Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir
diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 UU
Tindak Pidana Imigrasi (UU Nomor 8 Drt. Tahun 1955, LN Tahun 1955 Nomor 8),
Pasal 36 Ayat 7, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 UU Nomor 9
Tahun 1976 tentang Narkotika (LN Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan LN Nomor 3086).
Pasal
22
1.Jenis penahanan dapat berupa :
a.Penahanan rumah tahanan negara.
b.Penahanan rumah.
c.Penahanan kota.
2.Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat
tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan
pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat
menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan.
3.Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat
tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi
tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.
4.Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
5.Untuk penahanan kota pengurangan tersebut
seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedang-kan untuk penahanan rumah
sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.
Pasal
23
1.Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang
untuk meng alihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
2.Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara
tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau
penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta
keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan.
Pasal
24
1.Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya ber-laku paling lama dua puluh hari.
2.Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat 1 apabila
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari.
3.Ketentuan sebagaimana tersebut pada Ayat 1 dan Ayat
2 tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah
terpenuhi.
4.Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik
harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal
25
1.Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh
hari.
2.Jangka waktu sebagaimana tersebut pada Ayat 1 apabila
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.
3.Ketentuan sebagaimana tersebut pada Ayat 1 dan Ayat
2 tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah
terpenuhi.
4.Setelah waktu dua puluh hari tersebut, penuntut
umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari ta-hanan demi hukum.
Pasal
26
1.Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, guna kepen-tingan pemeriksaan berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
2.Jangka waktu sebagaimana tersebut pada Ayat 1 apabila
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh
hari.
3.Ketentuan sebagaimana tersebut pada Ayat 1 dan Ayat
2 tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah
terpenuhi.
4.Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun
perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan
demi hukum.
Pasal
27
1.Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, guna kepen-tingan pemeriksaan banding
berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh
hari.
2.Jangka waktu sebagaimana tersebut pada Ayat 1 apabila
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh
hari.
3.Ketentuan sebagaimana tersebut pada Ayat 1 dan Ayat
2 tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah
terpenuhi.
4.Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara
tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi
hukum.
Pasal
28
1.Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, guna ke-pentingan pemeriksaan kasasi
berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama puluh hari.
2.Jangka waktu sebagaimana tersebut pada Ayat 1 apabila
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama enam puluh hari.
3.Ketentuan sebagaimana tersebut pada Ayat 1 dan Ayat
2 tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah
terpenuhi.
4.Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun
perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan
demi hukum.
Pasal
29
1.Dikecualikan dari jangka waktu penahanan
sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28,
guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat
diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena :
a.Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik
atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b.Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan
pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
2.Perpanjangan tersebut pada ayat 1 diberikan
untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih
diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
3.Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar
permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat :
a.Penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua
pengadilan negeri.
b.Pemeriksaan di pengadilan negari diberikan oleh
ketua pengadilan tinggi.
c.Pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah
Agung.
d.Pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah
Agung.
4.Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan
oleh pejabat tersebut pada Ayat 3 dilakukan secara bertahap dan dengan penuh
tanggung jawab.
5.Ketentuan sebagaimana tersebut pada Ayat 2 tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
6.Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara
tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa
harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
7.Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada Ayat
2 tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat :
a.Penyidikan dan penuntutan kepada ketua
pengadilan tinggi.
b.Pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan
banding kepada Ketua Mahkamah Agung.
Pasal
30
Apabila
tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal
26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada
Pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian
sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.
Pasal
31
1.Atas permintaan tersangka atau terdakwa,
penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing,
dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau
jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
2.Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum
atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penang-guhan penahanan dalam hal
tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1.
Bagian
Ketiga
Penggeledahan
Pasal
32
Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tatacara yang ditentukan
dalam UU ini.
Pasal
33
1.Dengan surat izin ketua pengadilan negeri
setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat me-ngadakan penggeledahan
yang diperlukan.
2.Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis
dari penyidik, petugas kepolisian negara RI dapat memasuki rumah.
3.Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh
dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya.
4.Setiap kali memasuki nunah harus disaksikan oleh
kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka
atau penghuni menolak atau tidak hadir.
5.Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau
menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan
kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.
Pasal
34
1.Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak
bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan
surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 Ayat 5 penyidik
dapat melakukan penggeledahan :
a.Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal,
berdiam atau ada dan yang ada di atasnya.
b.Pada setiap tempat lain tersangka bertempat
tinggal, berdiam atau ada.
c.Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat
bekasnya.
d.Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
2.Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan
seperti dimaksud dalam Ayat 1 penyidik tidak diper-kenankan memeriksa atau
menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang
berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang
berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya.
Pasal
35
Kecuali dalam
hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki :
a.Ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rak-yat atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
b.Tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan
atau upacara keagamaan.
c.Ruang dimana sedang berlangsung sidang
pengadilan.
Pasal
36
Dalam hal
penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan
tidak mengurangi ketentuan tersebut dalarn Pasal 33, maka penggeledahan
tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh
penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan.
Pasal
37
1.Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya
berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila
terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut
terdapat benda yang dapat disita.
2.Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal
tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibawa kepada penyidik, penyidik
berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.
Bagian
Keempat
Penyitaan
Pasal
38
1.Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik
dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
2.Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak
bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan
surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan Ayat 1 penyidik dapat
melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan
kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pasal
39
1.Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a.Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang
seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tin-dakan pidana atau sebagai hasil
dari tindak pidana.
b.Benda yang telah dipergunakan secara langsung
untuk melakukan tindak pidana atau untuk mem-persiapkannya.
c.Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana.
d.Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan
melakukan tindak pidana.
e.Benda lain yang mempunyai hubungan lansung
dengan tindak pidana yang dilakukan.
2.Benda yang berada dalam sitaan karena perkara
perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk ke-pentingan penyidikan,
penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan Ayat 1.
Pasal
40
Dalam hal
tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang
patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain
yang dapat dipakai sebagai barang bukti.
Pasal
41
Dalam hal
tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang
pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi,
jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat
atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya
dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi,
jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus
diberikan surat tanda penerimaan.
Pasal
42
1.Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang
yang menguasai benda yang dapat disita, menye-rahkan benda tersebut kepadanya
untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus
diberikan surat tanda penerimaan.
2.Surat atau tulisan lain hanya dapat
diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu
berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya
atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk
melakukan tindak pidana.
Pasal
43
Penyitaan surat
atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut UU untuk
merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat
dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri
setempat kecuali UU menentukan lain.
Pasal
44
1.Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan
benda sitaan negara.
2.Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang
sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang
untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Pasal
45
1.Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang
dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga ti-dak mungkin untuk
disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan mempero-leh
kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi
terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat
diambil tindakan sebagai berikut :
a.Apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau
penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh
penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya.
b.Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan,
maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas
izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
2.Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang
berupa uang dipakai sebagai barang bukti.
3.Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin
disisihkan sebagian dari benda sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1.
4.Benda sitaan yang bersifat terlarang atau
dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagai-mana dimaksud dalam Ayat
1, dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
Pasal
46
1.Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang
atau kepada mereka yang paling berhak apabila :
a.Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak
memerlukan lagi.
b.Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena
tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana.
c.Perkara tersebut dikesampingkan untuk
kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hu-kum, kecuali apabila
benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk
melakukan suatu tindak pidana.
2.Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang
dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut
dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas
untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat
dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang
bukti dalam perkara lain.
Bagian
Kelima
Pemeriksaan
Surat
Pasal
47
1.Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita
surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekemunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan
alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang
diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan
negeri.
2.Untuk kepentingan tersebut penyidik dapat
meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat
yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
3.Hal sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 dan Ayat 2
pasal ini, dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut.
Pasal
48
1.Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata
bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat
tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
2.Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu
tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan
segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi
"telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tandatangan
beserta identitas penyidik.
3.Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh
atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu.
Pasal
49
1.Penyidik membuat berita acara tentang tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 75.
2.Turunan berita acara tersebut oleh penyidik
dikirimkan kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan.
BAB VI
TERSANGKA
DAN TERDAKWA
Pasal
50
1.Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan
oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
2.Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke
pengadilan oleh penuntut umum.
3.Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
Pasal
51
Untuk
mempersiapkan pembelaan :
a.Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan
jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan
kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai
b.Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas
dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.
Pasal
52
Dalam
pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa
berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
Pasal
53
1.Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan
pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan
juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177.
2.Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau
tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.
Pasal
54
Guna
kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum
dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap
tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam UU ini.
Pasal
55
Untuk
mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa
berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
Pasal
56
1.Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau
didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman
pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat
hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
2.Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk
bertindak sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1, membe-rikan bantuannya dengan
cuma-cuma.
Pasal
57
1.Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan
berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan UU ini.
2.Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing
yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan
negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.
Pasal
58
Tersangka atau
terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan
dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan
proses perkara maupun tidak.
Pasal
59
Tersangka atau
terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas
dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan, kepada keluarga-nya atau orang lain yang serumah dengan
tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya di-butuhkan oleh
tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi
penangguhannya.
Pasal
60
Tersangka atau
terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai
hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna
mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan
bantuan hukum.
Pasal
61
Tersangka atau
terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya
menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada
hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan
atau untuk kepentingan kekeluargaan.
Pasal
62
1.Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat
kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak
keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi
tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.
2.Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa
dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik,
penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup
alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan.
3.Dalam hal surat untuk tersangka atau tedakwa itu
ditilik atau diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah
tahanan negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa dan surat
tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbunyi
"telah ditilik".
Pasal
63
Tersangka atau
terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.
Pasal
64
Terdakwa berhak
untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
Pasal
65
Tersangka atau
terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang
memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi
dirinya.
Pasal
66
Tersangka atau
terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Pasal
67
Terdakwa atau
penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam
acara cepat.
Pasal
68
Tersangka atau
terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 95 dan selanjutnya.
BAB VII
BANTUAN
HUKUM
Pasal
69
Penasihat hukum
berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua
tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan dalam UU ini.
Pasal
70
1.Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat
pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.
2.Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum
tersebut menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka maka sesuai
dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga
pemasyarakatan membeii peringatan kepada penasihat hukum.
3.Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan,
maka hubungan tersebut diawasi oleh pejabat yang ter-sebut pada Ayat 2.
4.Apabila setelah diawasi, haknya masih
disalahgunakan, maka hubungan tersebut disaksikan oleh peja-bat tersebut pada Ayat
2 dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka hubungan selanjutnya dilarang.
Pasal
71
1.Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat
pemeriksaan, dalam berhubungan dengan tersangka diawasi o-leh penyidik,
penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa mendengar isi
pembicaraan.
2.Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara,
pejabat tersebut pada Ayat 1 dapat mendengar isi pembicaraan.
Pasal
72
Atas permintaan
tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita
acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.
Pasal
73
Penasihat hukum
berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki
olehnya.
Pasal
74
Pengurangan
kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka sebagaimana tersebut
pada Pasal 70 Ayat 2, Ayat 3, Ayat 4 dan Pasal 71 dilarang, setelah perkara
dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang
tembusan suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya serta
pihak lain dalam proses.
BAB
VIII
BERITA
ACARA
Pasal
75
1.Berita acara dibuat untuk setiap tindakan
tentang :
a.Pemeriksaan tersangka.
b.Penangkapan.
c.Penahanan.
d.Penggeledahan.
e.Pemasukan rumah.
f.Penyitaan benda.
g.Pemeriksaan surat.
h.Pemeriksaan saksi.
i.Pemeriksaan di tempat kejadian.
j.Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan.
k.Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan
ketentuan dalam undangundang ini.
2.Berita acara dibuat oleh pejabat yang
bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut pada Ayat 1 dan dibuat atas
kekuatan sumpah jabatan.
3.Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh
pejabat tersebut pada Ayat 2 ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat
dalam tindakan tersebut pada Ayat 1.
BAB IX
SUMPAH
ATAU JANJI
Pasal
76
1.Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam UU
ini diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan
tersebut dipakai peraturan per-UU-an tentang sumpah atau janji yang berlaku,
baik mengenai isinya maupun mengenai tatacaranya.
2.Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 tidak dipenuhi, maka sumpah atau janji tersebut batal menurut hukum.
BAB X
WEWENANG
PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian
Kesatu
Praperadilan
Pasal
77
Pengadilan
negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam UU ini tentang :
a.Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
b.Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi
seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat pe-nyidikan atau
penuntutan.
Pasal
78
1.Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah pra-peradilan.
2.Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang
ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Pasal
79
Permintaan pemeriksaan
tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh
tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.
Pasal
80
Permintaan
untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Pasal
81
Permintaan
ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan
oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua penpdilan
negeri dengan menyebut alasannya.
Pasal
82
1.Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai
berikut :
a.Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya
permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
b.Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau
tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau ti-daknya penghentian penyidikan
atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim
mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang
berwenang.
c.Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan
selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
d.Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa
oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan me-ngenai permintaan kepada pra
peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.
e.Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan
tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pe-meriksaan, praperadilan lagi pada
tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan
baru.
2.Putusan hakim dalam acara pemeriksaan
praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan
Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
3.Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 2 juga memuat hal sebagai berikut :
a.Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu
penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyi-dik atau jaksa penuntut umum
pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka.
b.Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu
penghentian penyidikan atau pentuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan
terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
c.Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu
penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak
ditahan, maka dalam putusan dican tumkan rehabilitasinya.
d.Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang
disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan
bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa
benda itu disita.
4.Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95.
Pasal
83
1.Terhadap putusan praperadilan dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat
dimintakan banding.
2.Dikecualikan dari ketentuan ayat 1 adalah
putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya peng-hentian penyidikan atau
penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi
dalam daerah hukum yang bersangkutan.
Bagian
Kedua
Pengadilan
Negeri
Pasal
84
1.Pengadilan negeri berwenang mengadili segala
perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
2.Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya
terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau
ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat
kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan
negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya
tindak pidana itu dilakukan.
3.Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa
tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap
pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.
4.Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama
lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai
pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan
ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.
Pasal
85
Dalam hal
keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu
perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri
yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk
menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada
Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.
Pasal
86
Apabila seorang
melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum RI,
maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.
Bagian
Ketiga
Pengadilan
Tinggi
Pasal
87
Pengadilan
tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam
daerah hukumnya yang dimintakan banding.
Bagian
Keempat
Mahkamah
Agung
Pasal
88
Mahkamah Agung
berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.
BAB XI
KONEKSITAS
Pasal
89
1.Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh
mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan
militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan
persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2.Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud
dalam Ayat 1 dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata RI
dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka
masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.
3.Tim sebagaimana dimaksud dalam Ayat 2 dibentuk
dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri
Kehakiman.
Pasal
90
1.Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam ling-kungan peradilan umum
yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 Ayat 1,
diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer
atau oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal
89 Ayat 2.
2.Pendapat dari penelitian bersama tersebut
dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh para pihak sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 1.
3.Jika dalam penelitian bersama itu terdapat
persesuaian pendapat tentang pengadilan yang berwenang mengadili perkara
tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi kepada Jaksa
Agung dan oleh oditur militer atau oditur militer tinggi kepada Oditur Jenderal
Angkatan Bersenjata RI.
Pasal
91
1.Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 90 Ayat 3 titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira penyerah
perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan
melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum, untuk
dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang
berwenang.
2.Apabila menurut pendapat itu titik berat
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan
militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer, maka pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
Ayat 3 dijadikan dasar bagi O-ditur Jenderal Angkatan Bersenjata RI untuk
mengusulkan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan, agar dengan persetujuan
Menteri Kehakimaan dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keaman-an yang menetapkan,
bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.
3.Surat keputusan tersebut pada Ayat 2 dijadikan
dasar bagi perwira penyerah perkara dan jaksa atau jaksa tinggi untuk
menyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah militer atau mahkamah militer
tinggi.
Pasal
92
1.Apabila perkara diajukan kepada pengadilan
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat 1, maka berita acara
pemeriksaan yang dibuat oleh tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat 2 dibubuhi
catatan oleh penuntut umum yang mengajukan perkara, bahwa berita acara tersebut
telah diambil alih olehnya.
2.Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berlaku
juga bagi oditur militer atau oditur militer tinggi apabila perkara tersebut
akan diajukan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Pasal
93
1.Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 90 Ayat l terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum dan
oditur militer atau oditur militer tinggi, mereka masing-masing melaporkan
tentang perbedaan pendapat itu secara tertulis, dengan disertai berkas perkara
yang bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur
Jenderal Angkatan Bersenjata RI.
2.Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan
Bersenjata RI bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan
pendapat sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1.
3.Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara
Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata RI, pendapat Jaksa Agung
yang menentukan.
Pasal
94
1.Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 Ayat 1 diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
atau lingkungan peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut adalah
majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang hakim.
2.Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum yang mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 Ayat 1,
majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim
anggota masingmasing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer
secara berimbang.
3.Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer yang mengadili perkara pidana tersebut pada Pasal 89 Ayat 1, majelis
hakim terdiri dari, hakim ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim
anggota secara berimbang dari masing-masing lingkungan peradilan militer dan
dari peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler.
4.Ketentuan tersebut pada Ayat 2 dan Ayat 3 berlaku
juga bagi pengadilan tingkat banding.
5.Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan
secara timbal balik mengusulkan pe-ngangkatan hakim anggota sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 2, Ayat 3 dan Ayat 4 dan hakim perwira sebagaimana dimaksud
dalam Ayat 3 dan Ayat 4.
BAB XII
GANTI
KERUGIAN DAN REHABILITASI
Bagian
Kesatu
Ganti
Kerugian
Pasal
95
1.Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak
menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau
dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
2.Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli
warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang
berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
3.Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Ayat 1 diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpi-dana atau ahli warisnya
kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
4.Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan
ganti kerugian tersebut pada Ayat 1 ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk
hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
5.Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana
tersebut pada Ayat 4 mengikuti acara praperadilan.
Pasal
96
1.Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk
penetapan.
2.Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 memuat
dengan lengkap semua hal yang dipertim-bangkan sebagai alasan bagi putusan
tersebut.
Bagian
Kedua
Rehabilitasi
Pasal
97
1.Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila
oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum
yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
2.Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan
sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1.
3.Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas
penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan UU atau kekeliruan
mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 Ayat
1 yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim
praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.
BAB
XIII
PENGGABUNGAN
PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN
Pasal
98
1.Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan
di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan
kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu
dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidana itu.
2.Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 hanya
dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan
pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan
selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Pasal
99
1.Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan
perkara gugatannya pada perkara pidana sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 98,
maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan
tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya
yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
2.Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan
tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 atau gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan
hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
3.Putusan mengenai ganti kerugian dengan
sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila putusan pidana-nya juga mendapat
kekuatan hukum tetap.
Pasal
100
1.Apabila terjadi penggabungan antara perkara
perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung
dalam pemeriksaan tingkat banding.
2.Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak
diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti
rugi tidak diperkenankan.
Pasal
101
Ketentuan dari
aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam UU
ini tidak diatur lain.
BAB XIV
PENYIDIKAN
Bagian
Kesatu
Penyelidikan
Pasal
102
1.Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan
atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan
tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
2.Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu
perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan
dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 Ayat 1 Huruf b.
3.Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada Ayat
1 dan Ayat 2 penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada
penyidik sedaerah hukum.
Pasal
103
1.Laporan atau pengaduan yang diajukan secara
tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.
2.Laporan atau pengaduan yang diajukan secara
lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau
pengadu dan penyelidik.
3.Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat
menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan
tersebut.
Pasal
104
Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik, wajib menunjukkan tanda pengenalnya.
Pasal
105
Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi
petunjuk oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 Ayat 1 Huruf a.
Bagian
Kedua
Penyidikan
Pasal
106
Penyidik yang mengetahui,
menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut
diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang
diperlukan.
Pasal
107
1.Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut
pada Pasal 6 Ayat 1 Huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada
Pasal 6 Ayat 1 Huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.
2.Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada
Pasal 6 Ayat 1 Huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan
kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 Ayat 1 Huruf b melaporkan
hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 Ayat 1 Huruf a.
3.Dalam hal tindak pidana telah selesal disidik
oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 Ayat 1 Huruf b, ia segera menyerahkan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 Ayat
1 Huruf a.
Pasal
108
1.Setiap orang yang mengalami, melihat,
menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang meru-pakan tindak pidana
berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau
penyidik baik lisan maupun tertulis.
2.Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana terhadap ketente-raman dan keamanan umum atau
terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal
tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
3.Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan
tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peris-tiwa yang merupakan tindak
pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.
4.Laporan atau pengaduan yang diajukan secara
tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.
5.Laporan atau pengaduan yang diajukan secara
lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu
dan penyidik.
6.Setelah menerima laporan atau pengaduan,
penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau
pengaduan kepada yang bersangkutan.
Pasal
109
1.Dalam hal penyidik telah mulai melakukan
penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
2.Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan
karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
3.Dalam hal penghentian tersebut pada Ayat 2 dilakukan
oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf b, pemberitahuan mengenai
hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.
Pasal
110
1.Dalam hal penyidik telah selesai melakukan
penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada
penuntut umum.
2.Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan tersebut ternyata masih kurang leng-kap, penuntut umum segera
mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk
dilengkapi.
3.Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil
penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan
tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
4.Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam
waktu empat belas hari penuntut umum tidak me-ngembalikan hasil penyidikan atau
apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberita-huan tentang
hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Pasal
111
1.Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak,
sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban,
ketenteraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan
berserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik.
2.Setelah menerima penyerahan tersangka
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 penyelidik atau penyidik wajib segera
melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan.
3.Penyelidik dan penyidik yang telah menerima
laporan tersebut segera datang ketempat kejadian dapat melarang setiap orang
untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum selesai.
4.Pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa
tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan dimaksud diatas selesai.
Pasal
112
1.Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan
menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwe-nang memanggil tersangka dan
saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah
dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan
hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
2.Orang yang dipanggil wajib datang kepada
penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil se-kali lagi, dengan
perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Pasal
113
Jika seorang
tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa
ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu
datang ke tempat kediamannya.
Pasal
114
Dalam hal
seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan
oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk
mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi
oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
Pasal
115
1.Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan
terhadap tersangka, penasihat hukum dapat me-ngikuti jalannya pemeriksaan
dengan cara melihat serta-mendengar pemeriksaan.
2.Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara
penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar
pemeriksaan terhadap tersangka.
Pasal
116
1.Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali
apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam
pemeriksaan di pengadilan.
2.Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh
dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan
yang sebenarnya.
3.Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia
menghendaki didengarnya saksi yang dapat mengun-tungkan baginya dan bilamana
ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.
4.Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3 penyidik
wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
Pasal
117
1.Keterangan tersangka dan atau saksi kepada
penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.
2.Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang
apa yang sebenarnya ia telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan
kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai
dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.
Pasal
118
1.Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat
dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi
keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
2.Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau
membubuhkan tandatangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan
menyebut alasannya.
Pasal
119
Dalam hal
tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau
bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan,
pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik
di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.
Pasal
120
1.Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat
minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
2.Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan
janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya
yang sebaikbaiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat,
pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak
untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal
121
Penyidik atas
kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan
memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan
keadaan pada waktu tindak pida-na dilakukan, nama dan tempat tinggal dari
tersangka dan atau saksi, keterangan mereka, catatan menge-nai akta dan atau
benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
Pasal
122
Dalam hal
tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu
dijalankan, ia harus mulai diperiksa oleh penyidik.
Pasal
123
1.Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat
mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada
penyidik yang melakukan penahanan itu.
2.Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan
tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu
tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis penahanan tertentu.
3.Apabila dalam waktu tiga hari permintaan
tersebut belum dikabulkan oleh penyidik, tersangka, kelu-arga atau penasihat
hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.
4.Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan
permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya
tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis tahanan tertentu.
5.Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat tersebut di atas dapat mengabulkan permintaan dengan atau
tanpa syarat.
Pasal
124
Dalam hal
apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga
atau penase-hat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri
setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan
atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah menurut UU ini.
Pasal
125
Dalam hal
penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya
kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34.
Pasal
126
1.Penyidik membuat berita acara tentang jalannya
dan hasil penggeledahan rumah sebagaimana di-maksud dalam Pasal 33 Ayat 5.
2.Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara
tentang penggeledahan rumah kepada yang bersang-kutan, kemudian diberi tanggal
dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau keluarganya dan atau
kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
3.Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak mau
membubuhkan tandatangannya, hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut
alasannya.
Pasal
127
1.Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan
rumah, penyidik dapat mengadakan penjagaan atau pe-nutupan tempat yang
bersangkutan.
2.Dalam hal ini penyidik berhak memerintahkan
setiap orang yang dianggap perlu tidak meninggalkan tempat tersebut selama
penggeledahan berlangsung.
Pasal
128
Dalam hal
penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya
kepada orang dari mana benda itu disita.
Pasal
129
1.Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita
kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat
minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh
kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
2.Penyidik membuat berita acara penyitaan yang
dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana benda itu disita atau
keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang
atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang
saksi.
3.Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau
keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat dalam berita
acara dengan menyebut alasannya.
4.Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh
penyidik kepada atasannya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya
dan kepala desa.
Pasal
130
1.Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat danatau
jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan
tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lain-lainnya
yang kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik.
2.Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus,
penyidik memberi catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, yang ditulis di
atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.
Pasal
131
1.Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa
sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh keterangan dari berbagai
surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik segera pergi ketempat
yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar
dan sebagainya dan jika perlu menyitanya.
2.Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 129 UU ini.
Pasal
132
1.Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat
atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk
kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal
itu dari orang ahli.
2.Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat
palsu atau yang dipalsukan, penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri
setempat dapat datang atau dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib
dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk
dipergunakan sebagai bahan perbandingan.
3.Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk
pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak dapat dipisahkan dari daftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131, penyidik dapat minta supaya daftar itu
seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan
kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan.
4.Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam Ayat
2 tidak menjadi bagian dari suatu daftar, penyimpan membuat salinan sebagai
penggantinya sampai surat yang asli diterima kembali yang di bagian bawah dari
salinan itu penyimpan mencatat apa sebab salinan itu dibuat.
5.Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan
dalam waktu yang ditentukan dalam surat permintaan, tanpa alasan yang sah,
penyidik berwenang mengambilnya.
6.Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal
tersebut dalam pasal ini dibebankan pada dan sebagai biaya perkara.
Pasal
133
1.Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli
lainnya.
2.Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud
dalam Ayat 1 dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan
tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah
mayat.
3.Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperla-kukan secara baik dengan
penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat
identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari
kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal
134
1.Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk
keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
2.Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib
menerangkan dengan sejelasjelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya
pembedahan tersebut.
3.Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan
apapun dari keluarga atau pihak yang perlu dibe-ritahu tidak diketemukan,
penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 Ayat
3 UU ini.
Pasal
135
Dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat,
dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 Ayat 2 dan
Pasal 134 Ayat 1 UU ini.
Pasal
136
Semua biaya yang
dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian
Kedua Bab XIV ditanggung oleh negara.
BAB XV
PENUNTUTAN
Pasal
137
Penuntut umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu
tin-dak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan
yang berwenang mengadili.
Pasal
138
1.Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan
dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari
wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap
atau belum.
2.Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum
lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat
belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan
kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.
Pasal
139
Setelah
penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari
penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi
persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal
140
1.Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari
hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat
surat dakwaan.
2.a.Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk
menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi
hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
b.Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan
kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera di-bebaskan.
c.Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan
kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan
negara, penyidik dan hakim.
d.Apabila kemudian ternyata ada alasan baru,
penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Pasal
141
Penuntut umum
dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan,
apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas
perkara dalam hal :
a.Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh
seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan
terhadap penggabungannya.
b.Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu
dengan yang lain.
c.Beberapa tindak pidana yang tidak
bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain
itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi
kepentingan pemeriksaan.
Pasal
142
Dalam hal penuntut
umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang
dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalm ketentuan
Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing
terdakwa secara terpisah.
Pasal
143
1.Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan
negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan
surat dakwaan.
2.Penuntut umum
membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :
a.Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
b.Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menye-butkan waktu dan tempat tindak
pidana itu dilakukan.
3.Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf b batal demi hukum.
4.Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat
dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan
penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara
tersebut ke pengadilan negeri.
Pasal
144
1.Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan
sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk
menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya.
2.Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat
dilakukan hanya satu kali selambatlambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
3.Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan
ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
BAB XVI
PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Bagian
Kesatu
Panggilan
dan Dakwaan
Pasal
145
1.Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan
dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada
terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak
diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.
2.Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya
atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala
desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman
terakhir.
3.Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat
panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.
4.Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri
ataupun oleh orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda
penerimaan.
5.Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman
terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di
gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.
Pasal
146
1.Penuntut umum menyampaikan surat panggilan
kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara
apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan
selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
2.Penuntut umum menyampaikan surat panggilan
kepada saksi yang memuat tanggal, hari serta jam sidang dan untuk perkara apa
ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan
selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
Bagian
Kedua
Memutus
Sengketa mengenai Wewenang Mengadili
Pasal
147
Setelah
pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua
mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya.
Pasal
148
1.Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat,
bahwa perkara pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya,
tetapi termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat
pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap
berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang memuat alasannya.
2.Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan
kembali kepada penuntut umum selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan
menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di tempat pengadilan negeri yang
tercantum dalam surat penetapan.
3.Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud
dalam Ayat 1 disampaikan kepada terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik.
Pasal
149
1.Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap
surat penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka :
a.Ia mengajukan perlawanan kepada Pengadilan
tinggi yang bersangkutan dalam waktu tujuh hari se-telah penetapan tersebut
diterima.
b.Tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut di
atas mengakibatkan batalnya perlawanan.
c.Perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pa-sal 148 dan hal itu dicatat
dalam buku daftar panitera.
d.Dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib
meneruskan perlawanan tersebut kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan.
2.Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat
belas hari setelah menerima perlawanan tersebut dapat menguatkan atau menolak
perlawanan itu dengan surat penetapan.
3.Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan
perlawanan penuntut umum, maka dengan surat penetapan diperintahkan kepada
pengadilan negeri yang bersangkutan untuk menyidangkan perkara tersebut.
4.Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat
pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengirimkan berkas perkara pidana tersebut
kepada pengadilan negeri yang bersangkutan.
5.Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi
sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dan ayat 4 disampai-kan kepada penuntut umum.
Pasal
150
Sengketa
tentang wewenang mengadili terjadi :
a.Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan
dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama.
b.Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan
dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
Pasal
151
1.Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang
mengadili antara dua pengadilan negeri atau lebih yang berkedudukan dalam
daerah hukumnya.
2.Mahkarnah Agung memutus pada tingkat pertama dan
terakhir, semua sengketa tentang wewenang mengadili :
a.Antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan
dengan pengadilan dari lingkungan peradilan yang lain.
b.Antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam
daerah hukum pengadilan tinggi yang ber-lainan.
c.Antara dua pengadilan tinggi atau lebih.
Bagian
Ketiga
Acara
Pemeriksaan Biasa
Pasal
152
1.Dalam hal pengadilan negeri menerima surat
pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya,
ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan
hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang.
2.Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa
dan saksi untuk datang di sidang pengadilan.
Pasal
153
1.Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152
pengadilan bersidang.
2.a.Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di
sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti
oleh terdakwa dan saksi.
b.Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau
diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban
secara tidak bebas.
3.Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang
membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
4.Tidak dipenuhinya ketentuan dalam Ayat 2 dan Ayat
3 mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.
5.Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak
yang belum mencapai umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri
sidang.
Pasal
154
1.Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa
dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.
2.Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang
tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua
sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah.
3.Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim
ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil
lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
4.Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara
sah tetapi tidak datang disidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara
tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar
terdakwa dipanggil sekali lagi.
5.Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang
terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap
terdakwa yang hadir dapat dilangsunkan.
6.Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa
yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua
kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya.
7.Panitera mencatat laporan dari penuntut umum
tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3 dan Ayat 6 dan menyampaikannya
kepada hakim ketua sidang.
Pasal
155
1.Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang
menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu
yang didengar dan dilihatnya disidang.
2.a.Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada
penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan.
b.Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada
terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak
mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan
yang diperlukan.
Pasal
156
1.Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum
mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau
dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah
diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertim-bangkan
keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.
2.Jika hakim menyatakan keberatan tersebut
diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaiknya dalam hal
tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah
selesai pemeriksaan, maka sidang dilakukan.
3.Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap
keputusan tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan
tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan.
4.Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa
atau penasihat hukumnya diterima olah pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat
belas hari, pengadilan tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan
pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk
memeriksa perkara itu.
5.a.Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama
dengan permintaan banding oleh terdakwa atau pena-sihat hukumnya kepada
pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari sejak ia menerima perkara dan
membenarkan perlawanan terdakwa, pengadilan tinggi dengan keputusan membatalkan
keputusan pengadilan negeri yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan negeri
yang berwenang.
b.Pengadilan tinggi menyampaikan salinan keputusan
tersebut kepada pengadilan negeri yang berwe-nang dan kepada pengadilan negeri
yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara
untuk diteruskan kepada kajaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara itu.
6.Apabila pengadilan yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam ayat 5 berkedudukan di daerah hukum pengadilan tinggi lain maka
kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut kepada kejaksaan negeri dalam
daerah hukum pengadilan negeri yang berwenang di tempat itu.
7.Hakim ketua sidang karena jabatannya walaupun
tidak ada perlawanan, setelah mendengar pendapat penuntut umum dan terdakwa
dengan surat penetapan yang memuat alasannya dapat menyatakan pengadilan tidak
berwenang.
Pasal
157
1.Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari
mengadili perkara tertentu apabila ia terikat hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau isteri meskipun sudah
bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang hakim anggota, penuntut umum
atau panitera.
2.Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum
atau panitera wajib mangundurkan diri dari me-nangani perkara apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan
suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan terdakwa atau dengan penasihat
hukum.
3.Jika dipanuhi katentuan Ayat 1 dan Ayat 2 mereka
yang mengundurkin diri harus diganti dan apabila tidak dipanuhi atau tidak
diganti sedangkan perkara telah diputus, maka perkara wajib segera diadili
ulang dengan susunan yang lain.
Pasal
158
Hakim dilarang
menunjukkan sikap atau mengeluarkan penyataan di sidang tentang keyakinan
mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Pasal
159
1.Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah
samua saksi yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah
jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi
keterangan di sidang.
2.Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah
dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk
manyangka bahwa saksi itu tidak.akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat
memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan kepersidangan.
Pasal
160
1.a.Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang
demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua
sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum.
b.Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah
korban yang menjadi saksi.
c.Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan
maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan
atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama
berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang
wajib mendengar keterangan saksi tersebut.
2.Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi
keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan, selanjutnya apakah ia
kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan
serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat keberapa dengan
terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai
atau terikat hubungan kerja dengannya.
3.Sebelum memberi keterangan, saksi wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia
akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang
sebenarnya.
4.Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi
atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai
memberi keterangan.
Pasal
161
1.Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah
menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 Ayat
3 dan Ayat 4, maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan
surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah
tahanan negara paling lama empat belas hari.
2.Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut
telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan
janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat
menguatkan keyakinan hakim.
Pasal
162
1.Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam
penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di
sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya
atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka
keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan.
2.Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan
di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi
di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.
Pasal
163
Jika keterangan
saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara,
hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan
mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang.
Pasal
164
1.Setiap kali seorang saksi selesai
memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana
pendapatnya tentang keterangan tersebut.
2.Penuntut umum atau penasihat hukum
dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan kepada saksi dan terdakwa.
3.Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang
diajukan oleh penuntut umum atau penasihat hukum kepada saksi atau terdakwa
dengan memberikan alasannya.
Pasal
165
1.Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat minta
kepada saksi segala keterangan yang dipandang perlu untuk mendapatkan
kebenaran.
2.Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum
dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi ke-sempatan untuk mengajukan
pertanyaan kepada saksi.
3.Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang
diajukan oleh penuntut umum, terdakwa atau pe-nasihat hukum kepada saksi dengan
memberikan alasannya.
4.Hakim dan penuntut umum atau terdakwa atau
penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang, dapat saling
menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan mereka masing-masing.
Pasal 166
Pertanyaan
yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada
saksi.
Pasal 167
1.Setelah saksi memberi keterangan, ia
tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya.
2.Izin itu tidak diberikan jika penuntut
umum atau terdakwa atau penasihat hukum mengajukan permin-taan supaya saksi itu
tetap menghadiri sidang.
3.Para saksi selama sidang dilarang
saling bercakap-cakap.
Pasal
168
Kecuali
ditentukan lain dalam UU ini, maka tidak dapat didengar katerangannya dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi :
a.Keluarga sedarah atau semanda dalam garis lurus
ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
b.Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena parkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
c.Suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai
atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Pasal
169
1.Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas
menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.
2.Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat
1, mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.
Pasal
170
1.Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat
atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari
kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang
dipercayakan kepada mereka.
2.Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan
untuk permintaan tersebut.
Pasal
171
Yang boleh
diperiksa untuk memberi.keterangan tanpa sumpah ialah :
a.Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun
dan belum pernah kawin.
b.Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun
kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Pasal
172
1.Satelah saksi memberi keterangan maka terdakwa
atau penasihat hukum atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kepada
hakim ketua sidang, agar di antara saksi tersebut yang tidak mereka kehendaki
kahadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, supaya saksi lainnya di panggil
masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar katerangannya, baik seorang demi
seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya saksi yang dikeluarkan tersebut.
2.Apabila dipandang perlu hakim karena jabatannya
dapat minta supaya saksi yang telah didengar ke-terangannya ke luar dari ruang
sidang untuk selanjutnya mandengar keterangan saksi yang lain.
Pasal 173
Hakim
ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya
terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah
itu pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan
semua hal pada waktu ia tidak hadir.
Pasal
174
1.Apabila keterangan saksi di sidang disangka
palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sung-guh-sungguh kepadanya
supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana
yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
2.Apabila saksi tetap pada keterangannya itu,
hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau
terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya
dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
3.Dalam hal yang demikian oleh panitera segera
dibuat berita acara pememeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan
menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan
berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan
segera diserahkan kapada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan UU
ini.
4.Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan
sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan per-kara pidana terhadap saksi
itu selesai.
Pasal
175
Jika terdakwa
tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan
dilanjutkan.
Pasal
176
1.Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut
sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika
teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari
ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan tanpa
hadirnya terdakwa.
2.Dalam hal terdakwa secara terus menerus
bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim
ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat
dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.
Pasal
177
1.Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa
Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau
berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
2.Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam
suatu perkara ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.
Pasal
178
1.Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli
serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah
orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.
2.Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli
tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan se-mua pertanyaan atau
teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut
diperin-tahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta
jawaban harus dibacakan.
Pasal
179
1.Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai
ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan.
2.Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi
berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan
bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.
Pasal
180
1.Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya
persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta
keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang
berkepentingan.
2.Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari
terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 1 hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian
ulang.
3.Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan
untuk dilakukan penelitian ulang sebagaimana tersebut pada Ayat 2.
4.Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada Ayat
2 dan Ayat 3 dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil yang
berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu.
Pasal
181
1.Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa
segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu
dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 UU ini.
2.Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh
hakim ketua sidang kepada saksi.
3.Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim
ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada
terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal
itu.
Pasal
182
1.a.Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai,
penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.
b.Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum
mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan
bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir.
c.Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan
dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim
ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
2.Jika acara tersebut pada ayat 1 telah selesai,
hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan
ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang
karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau
penasihat hukum dengan memberikan alasannya.
3.Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir
untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah
terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan
ruangan sidang.
4.Musyawarah tersebut pada Ayat 3 harus didasarkan
atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di
sidang.
5.Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis
mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua,
sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan
semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.
6.Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis
merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan
dengan sungguhsungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai
berikut :
a.Putusan diambil dengan suara terbanyak.
b.Jika ketentuan tersebut Huruf a tidak juga dapat
diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan
bagi terdakwa.
7.Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 6 dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan
khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia.
8.Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan
diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus
diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum.
Bagian
keempat
Pembuktian
dan Putusan Dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 183
Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal 184
1.Alat bukti yang sah ialah :
a.Keterangan saksi.
b.Keterangan ahli.
c.Surat.
d.Petunjuk.
e.Keterangan terdakwa.
2.Hal yang secara umum sudah diketahui
tidak perlu dibuktikan.
Pasal
185
1.Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa
yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
2.Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap per-buatan yang didakwakan
kepadanya.
3.Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 2 tidak
berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
4.Keterangan beberapa saksi yang berdiri
sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai
suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu
dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu.
5.Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari
hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli.
6.Dalam menilai kebenaran keterangan seorang
saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memper-hatikan :
a.Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan
yang lain.
b.Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat
bukti lain.
c.Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi
untuk memberi keterangan yang tertentu.
d.Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala
sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
7.Keterangan dari saksi yang tidak disumpah
meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun
apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Pasal 186
Keterangan
ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Pasal 187
Surat
sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat 1 Huruf c, dibuat atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a.Berita acara dan surat lain dalam
bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
di-lihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan
tegas tentang keterangannya itu.
b.Surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan per-UU-an atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
c.Surat keterangan dari seorang ahli
yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
d.Surat lain yang hanya dapat berlaku
jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Pasal 188
1.Petunjuk adalah perbuatan, kejadian
atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2.Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Ayat
1 hanya dapat diperoleh dari :
a.Keterangan saksi.
b.Surat.
c.Keterangan terdakwa.
3.Penilaian atas kekuatan pembuktian
dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan
arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Pasal
189
1.Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa
nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri.
2.Keterangan terdakwa yang diberikan di luar
sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal
yang didakwakan kepadanya.
3.Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri.
4.Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Pasal
190
a.Selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa
tidak ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya untuk
menahan terdakwa apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup
untuk itu.
b.Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dapat
memerintahkan dengan surat penetapannya untuk mem-bebaskan terdakwa, jika
terdapat alasan cukup untuk itu dengan mengingat ketentuan Pasal 30.
Pasal
191
1.Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbu-atan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus
bebas.
2.Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi per-buatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
3.Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 dan Ayat
2, terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan
seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu
ditahan.
Pasal
192
1.Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 191 Ayat 3 segera dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan
diucapkan.
2.Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah
tersebut yang dilampiri surat penglepasan, disampaikan kepada ketua pengadilan
yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam.
Pasal
193
1.Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan
menjatuhkan pidana.
2.a.Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika
terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan,
apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu.
b.Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam
menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya,
apabila terdapat alasan cukup untuk itu.
Pasal
194
1.Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan me-netapkan supaya barang bukti
yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang
namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan UU,
barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak
sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
2.Kecuali apabila terdapat alasan yang sah,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti diserahkan segera sesudah sidang
selesai.
3.Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa
disertai sesuatu syarat apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan belum
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal
195
Semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang
terbuka untuk umum.
Pasal
196
1.Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya
terdakwa kecuali dalam hal UU ini menentukan lain.
2.Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa
dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
3.Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan,
bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala
apa yang menjadi haknya, yaitu :
a.Hak segera menerima atau segera menolak putusan.
b.Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan
menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh UU ini.
c.Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh UU untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal
ia menerima putusan.
d.Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat
banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh UU ini, dalam hal ia menolak putusan.
e.Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud
dalam Huruf a dalam tenggang waktu yang diten-tukan oleh UU ini.
Pasal
197
1.Surat putusan pemidanaan memuat :
a.Kepala putusan yang dituliskan berbunyi :
"DEMI KEADILAN BERDASARIKAN KETUHANAN YME".
b.Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
c.Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat
dakwaan.
d.Pertimbangan yang disusun secara ringkas
mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
e.Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam
surat tuntutan.
f.Pasal peraturan per-UU-an yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan per-UU-an yang menjadi dasar hukum
dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.
g.Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis
hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.
h.Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah
terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
i.Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan
dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
j.Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu
atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik
dianggap palsu.
k.Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap
dalam tahanan atau dibebaskan.
l.Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum,
nama hakim yang memutus dan nama panitera.
2.Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf
a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi
hukum.
3.Putusan dilaksanakan dengan segera menurut
ketentuan dalam UU ini.
Pasal
198
1.Dalam hal seorang hakim atau penuntut umum
berhalangan, maka ketua pengadilan atau pejabat kejaksaan yang berwenang wajib
segera menunjuk pengganti pejabat yang berhalangan tersebut.
2.Dalam hal penasihat hukum berhalangan, ia
menunjuk penggantinya dan apabila pengganti ternyata tidak ada atau juga
berhalangan, maka sidang berjalan terus.
Pasal
199
1.Surat putusan bukan pemidanaan memuat :
a.Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 Ayat
1 kecuali Huruf e, f dan h.
b.Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebut-kan alasan dan pasal
peraturan per-UU-an yang menjadi dasar putusan.
c.Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika
ia ditahan.
2.Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 Ayat 2 dan Ayat 3 berlaku juga bagi pasal
ini.
Pasal
200
Surat putusan
ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.
Pasal
201
1.Dalam hal terdapat surat palsu atau dipalsukan,
maka panitera melekatkan petikan putusan yang ditandatanginya pada surat
tersebut yang memuat keterangan sebgaimana dimaksud dalam Pasal 197 Ayat 1 Huruf
j dan surat palsu atau yang dipalsukan tersebut diberi catatan dengan menunjuk
pada petikan putusan itu.
2.Tidak akan diberikan salinan pertamana atau
salinan dari surat asli palsu atau yang dipalsukan kecuali panitera sudah
membubuhi catatan pada catatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 disertai
dengan salinan petikan putusan.
Pasal
202
1.Panitera membuat berita acara sidang, dengan
memperhatikan persyaratan yang diperlukan dan memuat segala kejadian di sidang
yang berhubungan dengan pemeriksaan itu.
2.Berita acara sidang sebagaimana dimaksud dalam Ayat
1 memuat juga hal yang penting dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli kecuali
jika hakim ketua sidang menyatakan bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada
keterangan dalam berita acara pemeriksaan dengan menyebut perbedaan yang
terdapat antara yang satu dengan lainnya.
3.Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum, hakim ketua sidang wajib meme-rintahkan kepada panitera supaya
dibuat catatan secara khusus tentang suatu keadaan atau keterangan.
4.Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim
ketua sidang dan panitera kecuali apabila salah seorang dari mereka
berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita acara tersebut.
Bagian
Kelima
Acara
Pemeriksaan Singkat
Pasal
203
1.Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat
ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal
205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah
dan sifatnya sederhana.
2.Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1,
penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang
bukti yang diperlukan.
3.Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian
Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan ketentuan di bawah ini :
a.1.Penuntut umum dengan segera setelah terdakwa
di sidang menjawab segala pertanyaan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 155 Ayat
1 memberitahukan dengan lisan dari catatannya kepada ter-dakwa tentang tindak
pidana yang didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada
waktu tindak pidana itu dilakukan.
2.Pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara
sidang dan merupakan pengganti surat dakwaan.
b.Dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan
tambahan, supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama empat
belas hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum juga dapat
menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim memerintahkan perkara itu
diajukan ke sidang pengadilan dengan cara biasa.
c.Guna kepentingan pembelaan, maka atas permintaan
terdakwa dan atau penasihat hukum, hakim da-pat menunda pemeriksaan paling lama
tujuh hari.
d.Putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi
dicatat dalam berita acara sidang.
e.Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan
tersebut.
f.Isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang
sama seperti putusan pengadilan dalam acara biasa.
Pasal
204
Jika dari
pemeriksaan di sidang sesuatu perkara yang diperiksa dengan acara singkat ternyata
sifatnya jelas dan ringan, yang seharusnya diperiksa dengan acara cepat, maka hakim
dengan persetujuan terdakwa dapat melanjutkan pemeriksaan tersebut.
Bagian
Keenam
Acara
Pemeriksaan Cepat
Paragraf
1
Acara
Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
Pasal
205
1.Yang diperiksa menurut acara pemeriksana tindak
pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus
rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian
ini.
2.Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,
penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara
pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi,
ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.
3.Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Ayat 1, pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama
dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan
terdakwa dapat minta banding.
Pasal
206
Pengadilan
menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan acara
pemeriksaan tindak pidana ringan.
Pasal
207
1.a.Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada
terdakwa tentang hari, tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap sidang
pengadilan. dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya
catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan.
b.Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana
ringan yang diterima harus segera disidangkan pada hari sidang itu juga.
2.a.Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera
mencatat dalam buku register semua perkara yang diterimanya.
b.Dalam buku register dimuat nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, ke-bangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya.
Pasal
208
Saksi dalam
acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji
kecuali hakim menganggap perlu.
Pasal
209
1.Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan
perkara dan selanjutnya oleh panitera dicatat dalam buku register serta
ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan dan panitera.
2.Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat
kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut temyata ada hal yang tidak sesuai
dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.
Pasal
210
Ketentuan dalam
Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap berlaku sepanjang
peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf ini.
Paragraf
2
Acara
Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
Pasal
211
Yang diperiksa
menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah perkara pelanggaran tertentu
terhadap peraturan per-UU-an lalu lintas jalan.
Pasal
212
Untuk perkara
pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, oleh
karena itu catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 Ayat 1 Huruf a segera
diserahkan kepada pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang
pertama berikutnya.
Pasal
213
Terdakwa dapat
menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya disidang.
Pasal
214
1.Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di
sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.
2.Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya
terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.
3.Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan
oleh penyidik kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam
buku register.
4.Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya
terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat
mengajukan perlawanan.
5.Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan
diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat menga-jukan perlawanan
kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.
6.Dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya
terdakwa menjadi gugur.
7.Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik
tentang perlawanan itu hakim menetapkan hari si-dang untuk memeriksa kembali
perkara itu.
8.Jika putusan setelah diajukannya perlawanan
tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat 4, terhadap putusan
tersebut terdakwa dapat mengajukan banding.
Pasal
215
Pengembalian
benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling berhak, segera setelah
putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi isi amar putusan.
Pasal
216
Ketentuan dalam
Pasal 210 tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
Paragraf ini.
Bagian
Ketujuh
Pelbagai
Ketentuan
Pasal
217
1.Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan
memelihara tata tertib di persidangan.
2.Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua
sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan
segera dan cermat.
Pasal
218
1.Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan
sikap hormat kepada pengadilan.
2.Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap
tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak men-taati tata tertib setelah
mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkut-an
dikeluarkan dari ruang sidang.
3.Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 2 bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi
kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.
Pasal
219
1.Siapa pun dilarang membawa senjata api, senjata
tajam, bahan peledak atau alat maupun benda yang dapat membahayakan keamanan
sidang dan siapa yang membawanya wajib menitipkan di tempat yang khusus
disediakan untuk itu.
2.Tanpa surat perintah, petugas keamanan
pengadilan karena tugas jabatannya dapat mengadakan peng-geledahan badan untuk
menjamin bahwa kehadiran seorang di ruang sidang tidak membawa senjata, bahan
atau alat maupun benda sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 dan apabila terdapat
maka petugas mempersilahkan yang bersangkutan untuk menitipkannya.
3.Apabila yang bersangkutan bermaksud meninggalkan
ruang sidang maka petugas wajib menyerahkan kembali benda titipannya.
4.Ketetentuan Ayat 1 dan Ayat 2 tidak mengurangi
kemungkinan untuk dilaukan penuntutan bila ternyata bahwa penguasaan atas benda
tersebut bersifat suatu tindak pidana.
Pasal
220
1.Tiada seorang hakim pun diperkenankan mengadili
suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak
langsung.
2.Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hakim
yang bersangkutan, wajib mengundurkan diri ba-ik atas kehendak sendiri maupun
atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukumnya.
3.Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat
mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1, maka pejabat pengadilan yang
berwenang yang menetapkannya.
4.Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam makna ayat
tersebut di atas berlaku bagi penuntut umum.
Pasal
221
Bila dipandang
perlu hakim di sidang atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan terdakwa
atau penasihat hukumnya dapat memberi penjelasan tentang hukum yang berlaku.
Pasal
222
1.Siapa pun yang diputus pidana dibebani membayar
biaya perkara dan dalam hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, biaya perkara dibebankan pada negara.
2.Dalam hal terdakwa sebelumnya telah mengajukan
permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat tertentu
dengan persetujuan pengadilan, biaya perkara dibebankan pada negara.
Pasal
223
1.Jika hakim memberi perintah kepada seorang untuk
mengucapkan sumpah atau janji diluar sidang, hakim dapat menunda pemeriksaan
perkara sampai pada hari sidang yang lain.
2.Dalam hal sumpah atau janji dilakukan
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1, hakim menunjuk panitera untuk menghadiri
pengucapan sumpah atau janji tersebut dan membuat berita acaranya.
Pasal
224
Semua surat
putusan pengadilan disimpan dalam arsip pengadilan yang mengadili perkara itu pada
tingkat pertama tidak dibolehkan dipindahkan kecuali UU menentukan lain.
Pasal
225
1.Panitera menyelenggarakan buku daftar untuk
semua perkara.
2.Dalam daftar itu dicatat nama dan identitas
terdakwa, tindak pidana yang didakwakan, tanggal peneri-maan perkara, tanggal
terdakwa mulai ditahan apabila ia ada didalam tahanan, tanggal dan isi putusan
secara singkat, tanggal penerimaan permintaan dan putusan banding atau kasasi,
dan lain hal yang erat hubungannya dengan proses perkara.
Pasal
226
1.Petikan surat putusan pengadilan diberikan
kepada terdakwa atau penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan.
2.Salinan surat putusan pengadilan diberikan
kepada penuntut umum dan penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasihat
hukumnya diberikan atas permintaan.
3.Salinan surat putusan pengadilan hanya boleh
diberikan kepada orang lain dengan seizin ketua pengadilan setelah mempertimbangkan
kepentingan dari permintaan tersebut.
Pasal
227
1.Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh
pihak yang berwenang dalam semua tingkat peme-riksaan kepada terdakwa, saksi
atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang
ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir.
2.Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus
bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat
catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan
membubuhkan tanggal serta tandatangan, baik oleh petugas maupun orang yang
dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani maka petugas harus
mencatat alasannya.
3.Dalam hal orang yang dipanggil tidak terdapat di
salah satu tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, surat panggilan
disampaikan melalui kepala desa atau pejabat dan jika di luar negeri melalui
perwakilan RI di tempat di mana orang yang dipanggil biasa berdiam dan apabila
masih belum juga disampaikan, maka surat panggilan ditempelkan di tempat
pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan panggilan tersebut.
Pasal
228
Jangka atau
tenggang waktu menurut UU ini mulai diperhitungkan pada hari berikutnya.
Pasal
229
1.Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi
panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan,
berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan per-UU-an yang berlaku.
2.Pejabat yang melakukan pemananggilan wajib
memberitahukan kepada saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam
Ayat 1.
Pasal
230
1.Sidang pengadilan dilangsungkan di gedung
pengadilan dalam ruang sidang.
2.Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum,
penasihat hukum dan panitera mengenakan.pakaian sidang dan atribut masing-masing.
3.Ruang sidang sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 ditata
menurut ketentuan sebagai berikut :
a.Tempat meja dan kursi hakim terletak lebih
tinggi dari empat penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum dan pengunjung.
b.Tempat panitera terletak di belakang sisi kanan
tempat hakim ketua sidang.
c.Tempat penuntut umum terletak di sisi kanan
depan tempat hakim.
d.Tempat terdakwa dan penasehat hukum terletak di
sebelah kiri depan dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan
tempat penasihat hukum.
e.Tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi
terletak di depan tempat hakim.
f.Tempat saksi atau ahli yang telah didengar
terletak di belakang kursi pemeriksaan.
g.Tempat pengunjung terletak di belakang tempat
saksi yang telah didengar.
h.Bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan
meja hakim dan panji Pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim
sedangkan lambang Negara di tempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja
hakim.
i.Tempat rohaniwan terletak di sebelah kiri tempat
panitera.
j.Tempat sebagaimana dimaksud Huruf a sampai Huruf
i diberi tanda pengenal.
k.Tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu
masuk utama ruang sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.
4.Apabila sidang pengadilan dilangsungkan di luar
gedung pengadilan, maka tata tempat sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan
Ayat 3 tersebut di atas.
5.Dalam hal ketentuan Ayat 3 tidak mungkin
dipenuhi maka sekurang-kurangnya bendera Nasional harus ada.
Pasal
231
1.Jenis, bentuk dan warna pakaian sidang serta
atribut dan hal yang berhubungan dengan perangkat ke-lengkapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 230 Ayat 2 dan Ayat 3 diatur dengan peraturan pemerintah.
2.Pengaturan lebih lanjut tata tertib persidangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ditetapkan dengan keputusan Menteri
Kehakiman.
Pasal
232
1.Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum,
penasihat hukum dan pengunjung yang sudah ada, duduk di tempatnya masing-masing
dalam ruang sidang.
2.Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang
sidang semua yang hadir berdiri untuk meng-hormat.
3.Selama sidang berlangsung setiap orang yang ke
luar masuk ruang sidang diwajibkan memberi hormat.
BAB
XVII
UPAYA
HUKUM BIASA
Bagian
Kesatu
Pemeriksaan
Tingkat Banding
Pasal
233
1.Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus
dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.
2.Hanya pemintaan banding sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 boleh diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari
sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa
yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 Ayat 2.
3.Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat
sebuah surat keterangan yang ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta
tembusannya diberikan kepada pemohon yang bersangkutan.
4.Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini
harus dicatat oleh panitera dengan disertai alasannya dan catatan harus
dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara
pidana.
5.Dalam hal pengadilan negeri menerima permintaan
banding, baik yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa maupun yang
diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib
memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Pasal
234
1.Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 233 Ayat 2 telah lewat tanpa diajukan permintaan banding oleh yang
bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan.
2.Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1,
maka panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta
tersebut pada berkas perkara.
Pasal
235
1.Selama perkara banding belum diputus oleh
pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewak-tu-waktu dan dalam
hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan
lagi.
2.Apabila perkara telah mulai diperiksa akan
tetapi belum diputus sedangkan sementara itu pemohon mencabut permintaan
bandingnya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan
oleh pengadilan tinggi hingga saat pencabutannya.
Pasal
236
1.Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari
sejak permintaan banding diajukan,panitera me-ngirimkan salinan putusan
pengadilan negeri dan berkas perkara serta surat bukti kepada pengadilan
tinggi.
2.Selama tujuh hari sebelum pengiriman berkas
perkara kepada pengadilan tinggi, pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk
mempelajari berkas perkara tersebut di pengadilan negeri.
3.Dalam hal pemohon banding yang dengan jelas
menyatakan secara tertulis bahwa ia akan mempelajari berkas tersebut di
pengadilan tinggi, maka kepadanya wajib diberi kesempatan untuk itu secepatnya
tujuh hari setelah berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi.
4.Kepada setiap pemohon banding wajib diberi
kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti keaslian berkas perkaranya yang sudah
ada di pengadilan tinggi.
Pasal
237
Selama
pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding, baik
terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat menyerahkan memori banding
atau kontra memori banding kepada pengadilan tinggi.
Pasal
238
1.Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh
pengadilan tinggi dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas
perkara yang diterima dari pengadilan negeri yang terdiri dari berita acara
pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan
negeri, beserta semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan
perkara itu dan putusan pengadilan negeri.
2.Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke
pengadilan tinggi sejak saat diajukannya permin-taan banding.
3.Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas
perkara banding dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi wajib mempelajarinya
untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena
wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.
4.Jika dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar
sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau pe-nuntut umum dengan menjelaskan
secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin
diketahuinya.
Pasal
239
1.Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 157 dan
Pasal 220 Ayat l, Ayat 2 dan Ayat 3 berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam
tingkat banding.
2.Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 157 Ayat 1 berlaku juga antara hakim dan atau panitera tingkat banding,
dengan hakim atau panitera tingkat pertama yang telah mengadili perkara yang
sama.
3.Jika seorang hakim yang memutus perkara dalam
tingkat pertama kemudian telah menjadi hakim pada pengadilan tinggi, maka hakim
tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama dalam tingkat banding.
Pasal
240
1.Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam
pemeriksaan tingkat pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara
atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, maka pengadilan tinggi dengan
suatu keputusan dapat memerintahkan pengadilan negeri untuk memperbaiki hal itu
atau pengadilan tinggi melakukannya sendiri.
2.Jika perlu pengadilan tinggi dengan keputusan
dapat membatalkan penetapan dari pengadilan negeri sebelum putusan pengadilan
tinggi dijatuhkan.
Pasal
241
1.Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan tersebut di atas dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi
memutuskan, menguatkan atau mengubah atau dalam hal membatalkan putusan
pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri.
2.Dalam hal pembatalan tersebut terjadi atas
putusan pengadilan negeri karena ia tidak berwenang me-meriksa perkara itu,
maka berlaku ketentuan tersebut pada Pasal 148.
Pasal
242
Jika dalam
pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada dalam tahanan, maka
pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya terdakwa perlu tetap
ditahan atau dibebaskan.
Pasal
243
1.Salinan surat putusan pengadilan tinggi beserta
berkas perkara dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan,
dikirim kepada pengadilan negeri yang memutus pada tingkat pertama.
2.Isi surat putusan, setelah dicatat dalam buku
register segera diberitahukan kepada terdakwa dan penuntut umum oleh panitera
pengadilan negeri dan selanjutnya pemberitahuan tersebut dicatat dalam salinan
surat putusan pengadilan tinggi.
3.Ketentuan mengenai putusan pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud Pasal 226 berlaku juga bagi putusan pengadilan tinggi.
4.Dalam hal terdakwa bertempat tinggal diluar
daerah hukum pengadilan negeri tersebut panitera minta bantuan kepada panitera
pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal untuk
memberitahukan isi surat putusan itu kepadanya.
5.Dalam hal terdakwa tidak diketahui tempat
tinggalnya atau bertempat tinggal diluar negeri, maka isi surat putusan
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 2 disampaikan melalui kepala desa atau pejabat
atau melalui perwakilan RI, di mana terdakwa biasa berdiam dan apabila masih
belum juga berhasil disampaikan, terdakwa dipanggil dua kali berturut-turut
melaluil dua buah surat kabar yang terbit dalam daerah hukum pengadilan negeri
itu sendiri atau daerah yang berdekatan dengan daerah itu.
Bagian
Kedua
Pemeriksaan
Untuk Kasasi
Pasal
244
Terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain
selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan
bebas.
Pasal
245
1.Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon
kepada panitera pengadilan yang telah memutus per-karanya dalam tingkat
pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang
dimintakan kasasi itu.diberitahukan kepada terdakwa.
2.Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam
sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan
dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
3.Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan
kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut umun, atau terdakwa maupun yang
diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib
memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Pasal
246
1.Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 245 Ayat 1 telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang
bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan.
2.Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 1, pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak
untuk itu gugur.
3.Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 atau
Ayat 2, maka panitera, mencatat dan membuat akta.mengenai hal itu serta
melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
Pasal
247
1.Selama perkara permohonan kasasi belum diputus
oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam
hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan
lagi.
2.Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara
dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan.
3.Apabila perkara telah mulai diperiksa akan
tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan
kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan
oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya.
4.Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu
kali.
Pasal
248
1.Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi
yang memuat alasan permohonan kasasinya dan dalam waktu empat belas hari
setelah mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya kepada
panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima.
2.Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang
kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib
menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu
panitera membuatkan memori kasasinya.
3.Alasan yang tersebut pada Ayat 1 dan Ayat 2 adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 Ayat 1 UU ini.
4.Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 1, pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi maka hak
untuk mengajukan permohonan kasasi gugur.
5.Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 246 Ayat
3 berlaku juga untuk Ayat 4 pasal ini.
6.Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah
satu pihak, oleh panitera disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu
berhak mengajukan kontra memori kasasi.
7.Dalam tenggang waktu sebagaimana tersebut pada Ayat
1, panitera menyampaikan tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula
mengajukan memori kasasi.
Pasal
249
1.Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada
sesuatu yang perlu ditambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi,
kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 Ayat 1.
2.Tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 di
atas diserahkan ke pada panitera pengadilan.
3.Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari
setelah tenggang waktu tersebut dalam Ayat 1, permohonan kasasi tersebut
selengkapnya oleh panitera pengadilan segera disampaikan kepada Mahkamah Agung.
Pasal
250
1.Setelah panitera, pengadilan negeri menerima
memori dan atau kontra memori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 Ayat 1 dan Ayat
4, ia wajib segera mengirim berkas perkara kepada Mahkamah Agung.
2.Setelah panitera Mahkamah Agung menerima berkas
perkara tersebut ia seketika mencatatnya dalam buku agenda surat, buku register
perkara dan pada kartu penunjuk.
3.Buku register perkara tersebut pada Ayat 2 wajib
dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan
untuk diketahul ditandatangani juga karena jabatannya oleh Ketua Mahkamah
Agung.
4.Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, maka
penandatanganan dilakukan oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung dan jika keduanya
berhalangan maka dengan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung ditunjuk hakim
anggota yang tertua dalam jabatan.
5.Selanjutnya panitera Mahkamah Agung mengeluarkan
surat bukti penerimaan yang aslinya dikirimkan kepada panitera pengadilan
negeri yang bersangkutan, sedangkan kepada para pihak dikirimkan tembusannya.
Pasal
251
1.Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 157
berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi.
2.Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 157 Ayat 1 berlaku juga antara hakim danatau panitera tingkat kasasi
dengan hakim dan atau panitera tingkat banding serta tingkat pertama, yang
telah mengadili perkara yang sama.
3.Jika seorang hakim yang mengadili perkara dalam
tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi hakim atau
panitera pada Mahkamah Agung, mereka dilarang bertindak sebagai hakim atau
panitera untuk perkara yang sama dalam tingkat kasasi.
Pasal
252
1.Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 220 Ayat
1 dan Ayat 21 berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi.
2.Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat
mengenai hal sebagaimana tersebut pada Ayat 1, maka dalam tingkat kasasi :
a.Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak
sebagai pejabat yang berwenang menetapkan.
b.Dalam hal menyangkut Ketua Mahakamah Agung
sendiri, yang berwenang menetapkannya adalah suatu panitia yang terdiri dari
tiga orang yang dipilih oleh dan antar hakim anggota yang seorang diantaranya
harus hakim anggota yang tertua dalam jabatan.
Pasal
253
1.Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh
Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244
dan Pasal 249 guna menentukan :
a.Apakah benar suatu peraturan hukum tidak
diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya.
b.Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan
menurut ketentuan UU.
c.Apakah benar pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya.
2.Pemeriksaan sebagaimana tersebut pada Ayat 1 dilakukan
dengan sekurangkurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang
diterima dari pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, yang terdiri dari
berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang,
semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu berserta
putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir.
3.Jika dipandang perlu untuk kepentingan
pemeriksaan sebagaimana tersebut pada Ayat 1, Mahkamah Agung dapat mendengar
sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum, dengan menjelaskan
secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin
diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 2 untuk mendengar keterangan mereka, dengan
cara pemanggilan yang sama.
4.Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke
Mahkamah Agung sejak diajukan permohonan kasasi.
5.a.Dalam waktu tiga bari sejak menerima berkas
perkara kasasi sebagaimana dimaksud dalam Ayat 2 Mahkamah Agung wajib mempelajarinya
untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena
wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.
b.Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka dalam
waktu empat belas hari, sejak penetapan penahanan Mahkamah Agung wajib
memeriksa perkara tersebut.
Pasal
254
Dalam hal
Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan
sebagai-mana dimaksud dalam Pasal245, Pasal 246 dan Pasal 247 mengenai hukumnya
Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi.
Pasal
255
1.Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena
peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya,
Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut.
2.Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan UU, Mahkamah Agung menetapkan
disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya
lagi mengenai. bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu
Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan
setingkat yang lain.
3.Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena
pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara
tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara
tersebut.
Pasal
256
Jika Mahkamah
Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254,
Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam
hal itu berlaku ketentuan Pasal 255.
Pasal
257
Ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 226 dan Pasal 243 berlaku juga bagi putusan
kasasi Mahkamah Agung, kecuali tenggang waktu tentang pengiriman salinan putusan
beserta berkas perkaranya kepada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama
dalam waktu tujuh hari.
Pasal
258
Ketentuan
sebgaimana tersebut pada Pasal 244 sampai dengan Pasal 257 berlaku bagi acara
permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
BAB
XVIII
UPAYA
HUKUM LUAR BIASA
Bagian
Kesatu
Pemeriksaan
Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Pasal 259
1.Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.
2.Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh
merugikan pihak yang berkepentingan.
Pasal
260
1.Permohonan kasasi demi kepentingan hukum
disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui
panitera pengadilan yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama, disertai
risalah yang memuat alasan permintaan itu.
2.Salinan risalah sebagaimana dimaksud dalam Ayat
1 oleh panitera segera disampaikan kepada pihak yang berkepentingan.
3.Ketua pengadilan yang bersangkutan segera.
meneruskan permintaan itu kepada Mahkamah Agung.
Pasal 261
1.Salinan putusan kasasi demi kepentingan hukum
oleh Mahkamah Agung disampaikan kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang
bersangkutan dengan disertai berkas perkara.
2.Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 Ayat
2 dan Ayat 4 berlaku juga dalam hal ini.
Pasal
262
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259, Pasal 260 dan Pasal 261 berlaku bagi
acara permo-honan kasasi demi kepentingan hukum terhadap putusan pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
Bagian
Kedua
Peninjauan
Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Pasal
263
1.Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.
2.Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas
dasar :
a.Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan
dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah dike-tahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan
hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara
itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b.Apabila dalam pelbagai putusan terdapat
pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal a-tau keadaan sebagai
dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah
bertentangan satu dengan yang lain.
c.Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan
suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3.Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut
pada Ayat 2 terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan
itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak
diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 264
1.Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat 1 diajukan kepada panitera pengadilan
yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara
jelas alasannya.
2.Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 Ayat
2 berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.
3.Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi
dengan suatu jangka waktu.
4.Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah
terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pa-da waktu menerima permintaan
peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan
tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.
5.Ketua pengadilan segera mengirimkan surat
permintaan peninjauan-kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung,
disertai suatu catatan penjelasan.
Pasal
265
1.Ketua peagadilan setelah menerima permintaan
peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat 1 menunjuk hakim
yang tidak memeriksa perkara semula yangdimintakan Peninjauan Kembali itu untuk
memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 263 Ayat 2.
2.Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada Ayat
1, pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
3.Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara
pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan
berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani
oleh hakim dan panitera.
4.Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan
peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara
pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat
pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
5.Dalam hal suatu perkara yang dimintakan
peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat
pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita
acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.
Pasal
266
1.Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 Ayat 2, Mahkamah Agung
menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan
disertai dasar alasannya.
2.Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa
permintaan penin jauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku
ketentuan sebagai berikut :
a.Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan
pemohon, Mahkamah Agung menolak per-mintaan peninjauan kembali dengan menetapkan
bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai
dasar pertimbangannya.
b.Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan
pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan Peninjauan Kembali
itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa :
1.Putusan bebas.
2.Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
3.Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut
umum.
4.Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan.
3.Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan
kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Pasal
267
1.Salinan putusan Mahkamah Agung tentang
peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah
putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan
permintaan peninjauan kembali.
2.Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 Ayat
2, Ayat 3, Ayat 4 dan Ayat 5 berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai
peninjauan kembali.
Pasal
268
1.Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan
tidak menangguhkan maupun menghentikan pelak-sanaan dari putusan tersebut.
2.Apabila suatu permintaan peninjauan kembali
sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia,
mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada
kehendak ahli warisnya.
3.Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan
hanya dapat dilakukan satu kali saja.
Pasal
269
Ketentuan
sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi acara
permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.
BAB XIX
PELAKSANAAN
PUTUSAN PENGADILAN
Pasal
270
Pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetapdilakukan oleh
jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.
Pasal
271
Dalam hal
pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak dimuka umum dan menurut ketentuan UU.
Pasal
272
Jika terpidana
dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis
sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan
berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.
Pasal
273
1.Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana
denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda
tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika
dilunasi.
2.Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu
sebagaimana tersebut pada Ayat 1 dapat diperpanjang untuk paling lama satu
bulan.
3.Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa
barang bukti dirampas untuk negara, selain pengecu-alian sebagaimana tersebut
pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan
dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas
negara untuk dan atas nama jaksa.
4.Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat 3 dapat
diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
Pasal
274
Dalam hal
pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tatacara putusan perdata.
Pasal
275
Apabila lebih
dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan atau ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 dibebankan kepada mereka bersama-sama
secara berimbang.
Pasal
276
Dalam hal
pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka pelaksanaannya dilakukan dengan
pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan UU.
BAB XX
PENGAWASAN
DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal
277
1.Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang
diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam me-lakukan pengawasan dan
pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan.
2.Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 yang
disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk
paling lama dua tahun.
Pasal
278
Jaksa
mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani
olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan yang
memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register
pengawasan dan pengamatan.
Pasal
279
Register
pengawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut pada Pasal 278 wajib dikerjakan,
ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui
ditandatangani juga oleh hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277.
Pasal
280
1.Hakim pengawas dan pengamat mengadakan
pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
2.Hakim pengawas dan pengamat mengadakan
pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi
pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga
pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap nara pidana selama
menjalani pidananya.
3.Pengamatan sebagaiamana dimaksud dalama Ayat 2 tetap
dilaksanakan setelah terpidana selesai me-njalani pidananya.
4.Pengawas dan pengamatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 277 berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat.
Pasal
281
Atas permintaan
hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan infor-masi
secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada
dalam pengamatan hakim tersebut.
Pasal
282
Jika dipandang
perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat
membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan
narapidana tertentu.
Pasal
283
Hasil
pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada
ketua pengadilan secara berkala.
BAB XXI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
284
1.Terhadap perkara yang ada sebelum UU ini
diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan ketentuan UU ini.
2.Dalam waktu dua tahun setelah UU ini diundangkan,
maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan UU ini, dengan pengecualian untuk
sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada UU
tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
BAB
XXII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
285
UU ini disebut
Kitab UU Hukum Acara Pidana.
Pasal
286
UU ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya,
memerintah-kan pengundangan UU ini dengan penempatannya dalam LN RI.
Disahkan di
Jakarta, pada tanggal 31 Desember 1981
PRESIDEN RI,
SOEHARTO
Diundangkan di
Jakarta, pada tanggal 31 Desember 1981
MENTERI/SEKRETARIS
NEGARA RI,
SUDHARMONO, SH.
PENJELASAN
ATAS UURI No 8 Th 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
I.PENJELASAN
UMUM
1.Peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan
hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum sebelum UU ini berlaku adalah
"Reglemen Indonesia yang dibaharui atau yang terkenal dengan nama
"Het Herziene Inlandsch Reglement" atau HIR. (Staatsblad Th 1941 No 44), Yang berdasarkan Pasal
6 Ayat 1 UU No 1 Drt. Th 1951, seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman
tentang acara perkara pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan negeri
dalam wilayah RI, kecuali atas beberapa perubahan dan tambahannya. Dengan UU No
1 Drt. Th 1951 itu dimaksudkan untuk mengadakan unifikasi hukum acara pidana,
yang sebelumnya terdiri dari hukum acara pidana bagi landraad dan hukum acara
pidana bagi raad van justitie. Adanya dua macam hukum acara pidana itu,
merupakan akibat semata dari perbedaan peradilan bagi golongan penduduk
Bumiputera dan peradilan bagi golongan bangsa Eropa di Jaman Hindia Belanda
yang masih tetap dipertahankan, walaupun Reglemen Indonesia yang lama (Staatsblad
Th 1848 No 16) telah diperbaharui dengan Reglemen Indonesia yang dibaharui (RIB),
karena tujuan dari pembaharuan tu bukanlah dimaksudkan untuk mencapai satu
kesatuan hukum acara pidana, tetapi justeru ingin meningkatkan hukum acara
pidana bagi raad van justitie. Meskipun UU No 1 Drt. Th 1951 telah menetapkan bahwa
hanya ada satu hukum acara pidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yaitu
RIB, akan tetapi ketentuan yang tercantum di dalamnya ternyata belum memberikan
jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara
hukum. Khususnya mengenai
bantuan hukum di dalam pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum tidak
diatur dalam R.I.B., sedangkan mengenai hak pemberian ganti kerugian juga tidak
terdapat ketentuannya. Oleh karena itu demi pembangunan dalam bidang hukum dan sehubungan
dengan hal sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka "Het Herziene
Inlandsch Reglement" (Staatsblad Th 1941 No 44) berhubungan dengan dan UU
No 1 Drt. Th 1951 (LN Th 1951 No 59, Tambahan LN No 81) serta semua peraturan
pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
lainnya, sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut karena
tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional dan diganti dengan UU hukum acara
pidana baru yang mempunyai ciri kondifikatif dan unifikatif berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
2.UUD 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(machtsstaat). Hal itu berarti bahwa RI ialah negara hukum yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya. Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak
asasi manusia maupun hak serta kewajiban warganegara untuk menegakkan keadilan
tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warganegara, setiap penyelenggara negara,
setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di
daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini.
Selanjutnya sebagaimana tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Tap.
MPR RI No IV/MPR/1978), maka wawasan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional
adalah Wawasan Nusantara yang dalam bidang hukum menyatakan bahwa seluruh
kepulauan Nusantara ini sebagai satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada
satu hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional. Untuk itu perlu
diadakan pembangunan serta pembaharuan hukum dengan menyempurnakan perundang-undangan
serta dilanjutkan dan ditingkatkan usaha kodifikasi dan unifikasi hukum dalam
bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat yang berkembang
ke arah modernisasi menurut tingkatan kemajuan pembangunan di segala bidang. Pembangunan
yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat
dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan
pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang
masing-masing ke arah tegak mantapnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan
pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan
kepastian hukum demi tegaknya RI sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945.
3.Oleh karena itu UU ini yang mengatur tentang
hukum acara pidana nasional, wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa
dan dasar negara, maka sudah seharusnyalah di dalam ketentuan materi pasal atau
ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban
warganegara seperti telah diuraikan dimuka, maupun asas yang akan disebutkan
selanjutnya. Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat
manusia yang telah diletakkan di dalam UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yaitu UU No 14 Th 1970 harus ditegakkan dalam dan dengan UU
ini. Adapun asas tersebut antara lain adalah :
a.Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di
muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
b.Penangkapan, panahanan, penggeledahan dan
penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertu-lis oleh pejabat yang
diberi wewenang oleh UU dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan UU.
c.Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang penga-dilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
d.Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU dan atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan
rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang
dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut
dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.
e.Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat,
sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan
secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
f.Setiap orang yang tersangkut perkara wajib
diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan
kepentingan pembelaan atas dirinya.
g.Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan
penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum
apa yang didakwa, kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak
untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.
h.Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan
hadirnya terdakwa.
i.Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka
untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam UU.
j.Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam
perkara pidana ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
4.Dengan landasan sebagaimana telah diuraikan di
muka dalam kebulatannya yang utuh serta menyelu-ruh, diadakanlah pembaharuan atas
hukum acara pidana yang sekaligus dimaksudkan sebagai suatu upaya untuk
menghimpun ketentuan acara pidana, yang dengan ini masih terdapat dalam
berbagai UU ke dalam satu undangundang hukum acara pidana nasional sesuai
dengan tujuan kodifikasi dan unifikasi itu. Atas pertimbangan yang sedemikian
itulah, undangundang hukum acara pidana ini disebut Kitab UU Hukum Acara
Pidana, disingkat KUHAP. Kitab UU ini tidak saja memuat ketentuan tentang
tatacara dari suatu proses pidana, tetapi kitab inipun juga memuat hak dan kewajiban
dari mereka yang ada dalam suatu proses pidana dan memuat pula hukum acara
pidana Mahkamah Agung setelah dicabutnya UU Mahkamah Agung (UU No 1 Th 1950)
oleh UU No 13 Th 1965.
II.PENJELASAN
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 cukup jelas.
Pasal 2
a.Ruang lingkup UU ini mengikuti asas-asas yang
dianut oleh hukum pidana Indonesia.
b.Yang dimaksud dengan "peradilan umum"
termasuk pengkhususannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 10 ayat 1
alinea terakhir UU No 14 Th 1970.
Pasal 3 cukup jelas.
Pasal 4 cukup jelas.
Pasal 5
Ayat 1 Huruf a cukup
jelas.
Angka 1 s/d 3 cukup
jelas.
Angka 4
Yang dimaksud
dengan "tindakan lain" adalah tindakan dari penyelidik untuk
kepentingan penyelidikan dengan syarat :
a.Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
b.Selaras
dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan.
c.Tindakan itu
harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.
d.Atas
pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.
e.Menghormati
hak asasi manusia.
Huruf b cukup
jelas.
Ayat 2 cukup
jelas.
Pasal 6
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Kedudukan dan
kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah diselaraskan dan
diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim
peradilan umum.
Pasal
7
Ayat 1 Huruf
a s/d h cukup jelas.
Huruf i lihat
Pasal 109 Ayat 2.
Huruf j lihat
penjelasan Pasal 5 Ayat 1 Huruf a.
Angka 4
Ayat 2
Yang
dimaksud dengan "penyidik dalam ayat ini" adalah misalnya pejabat bea
dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan, yang melakukan tugas
penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh UU yang menjadi
dasar hukumnya masingmasing.
Ayat 3 cukup
jelas.
Pasal 8 cukup jelas.
Pasal 9
Dalam keadaan
yang mendesak dan perlu, untuk tugas tertentu demi kepentingan penyelidikan,
atas perintah tertulis Menteri Kehakiman pejabat imigrasi dapat melakukan
tugasnya sesuai dengan ketentuan UU yang berlaku.
Pasal 10
Ayat 1
Yang dimaksud
dengan "pajabat kepolisian negara RI" termasuk pegawai negeri sipil
tertentu dalam lingkungan kepolisian negara RI.
Ayat 2 cukup
jelas.
Pasal 11
Pelimpahan
wewenang penahanan kepada penyidik pembantu hanya diberikan apabila perintah
dari penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan yang sangat
diperlukan atau di mana terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil atau
ditempat yang belum ada petugas penyidik dan atau dalam hal lain yang dapat
diterima menurut kewajaran.
Pasal 12 cukup jelas.
Pasal 13 cukup jelas.
Pasal
14
Huruf a s/d
h cukup jelas.
Huruf i
Yang
dimaksud dengan "tindakan lain" ialah antara lain meneliti identitas,
tersangka, barang bukti dengan
memperhatikan
secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan
pengadilan.
Huruf j cukup
jelas.
Pasal
15 cukup jelas
Pasal
16
Ayat 1
Yang
dengan "atas perintah penyidik" termasuk juga penyidik pembantu
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 11. Perintah yang dimaksud berupa suatu surat perintah
yang dibuat secara tersendiri, dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan.
Ayat 2 cukup
jelas.
Pasal
17
Yang
dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan
untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 Butir 14.Pasal
ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan
sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan
tindak pidana.
Pasal
18
Ayat 1
Surat perintah
penangkapan dikeluarkan oleh pejabat kepolisian negara RI yang berwenang dalam
melakukan penyidikan didaerah hukumnya.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3 cukup
jelas.
Pasal 19 cukup jelas.
Pasal 20 cukup jelas.
Pasal 21
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4
Huruf a cukup
jelas.
Huruf b
Tersangka atau
terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan ditempat tertentu yang sekaligus
merupakan tempat perawatan.
Pasal 22
Ayat 1
Selama belum
ada rumah tahanan negara di tempat yang bersangkutan, penahanan dapat dilakukan
di kantor kepolisian negara, dikantor kejaksaan negeri, dilembaga pemasyarakatan,
di rumah sakit dan dalam keadaan yang memaksa ditempat lain.
Ayat 2 dan Ayat
3
Tersangka atau
terdakwa hanya boleh keluar rumah atau kota dengan izin dari penyidik, penuntut
umum atau hakim yang memberi perintah penahanan.
Ayat 4 cukup
jelas.
Ayat 5 cukup
jelas.
Pasal 23 cukup jelas.
Pasal 24
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Setiap
perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk
itu atas dasar alasan dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4 cukup
jelas.
Pasal 25
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Setiap
perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk
itu atas dasar alasan dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4 cukup
jelas.
Pasal 26 cukup jelas.
Pasal 27 cukup jelas.
Pasal 28 cukup jelas.
Pasal 29
Ayat 1
Yang dimaksud
dengan "kepentingan pemeriksaan" ialah pemeriksaan yang belum dapat
diselesaikan dalam waktu penahanan yang ditentukan. Yang dimaksud dengan "gangguan
fisik atau mental yang berat" ialah keadaan tersangka atau terdakwa yang
tidak memungkinkan untuk diperiksa karena alasan fisik atau mental.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4 cukup
jelas.
Ayat 5 cukup
jelas.
Ayat 6 cukup
jelas.
Ayat 7
a.Walaupun berkas perkara belum dilimpahkan ke pengadilan
negeri keberatan terhadap sah atau tidaknya penahanan pada tingkat penyidikan
atau penuntutan yang diperpanjang berdasarkan Pasal 29, diajukan kepada ketua
pengadilan tinggi.
b.Terhadap perpanjangan penahan dalam tingkat pemeriksaan
kasasi sebagaimana tersebut pada Ayat 2 dan Ayat 3, tidak dapat diajukan keberatan
karena Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir dan yang melakukan pengawasan
tertinggi terhadap perbuatan pengadilan
Pasal 30 cukup jelas.
Pasal 31
Yang dimaksud
dengan "syarat yang ditentukan" ialah wajib lapor, tidak keluar rumah
atau kota. Masa penangguhan penahanan dari seorang tersangka atau terdakwa
tidak termasuk masa status tahanan.
Pasal 32 cukup jelas.
Pasal 33
Ayat 1
Penyidik untuk
melakukan penggeledahan rumah harus ada surat izin ketua pengadilan negeri guna
menjamin hak asasi seorang atas rumah kediamannya.
Ayat 2
Jika yang
kelakukan penggeledahan rumah itu bukan penyidik sendiri, maka petugas
kepolisian lainnya harus dapat menunjukan selain surat izin ketua pengadilan negeri
juga surat perintah tertulis dari penyidik.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4
Yang dimaksud
dengan "dua orang saksi" adalah warga dari lingkungan yang
bersangkutan. Yang dimaksud dengan "ketua lingkungan" adalah ketua
atau wakil ketua rukun kampung, ketua atau wakil ketua rukun tetangga, ketua
atau wakil ketua rukun warga, ketua atau wakil ketua lembaga yang sederajat.
Ayat 5 cukup
jelas.
Pasal 34
Ayat 1
"keadaan
yang sangat perlu dan mendesak" ialah bilamana ditempat patut
dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda
yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan sedangkan
surat izin dari ketua pengadilan negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara
yang layak dan dalam waktu yang singkat.
Ayat 2 cukup
jelas.
Pasal 35 cukup jelas.
Pasal 36 cukup jelas.
Pasal 37
Penggeledahan
badan meliputi pemeriksaan rongga badan, yang wanita dilakukan oleh pejabat
wanita. Dalam hal penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga
badan, penyidik minta bantuan kepada pejabat kesehatan.
Pasal 38 cukup jelas.
Pasal 39 cukup jelas.
Pasal 40 cukup jelas.
Pasal 41
Yang dimaksud
dengan "surat" termasuk surat kawat, surat teleks dan lain sejenisnya
yang mengandung suatu berita.
Pasal 42 cukup jelas.
Pasal 43 cukup jelas.
Pasal 44
Ayat 1
Selama belum
ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan
benda sitaan tersebut dapat dilakukan di kantor kepolisian negara RI, di kantor
kejaksaan negeri, dikantor pengadilan negeri, di gedung bank pemerintah, dan dalam
keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain atau tetap ditempat semula benda itu
disita.
Ayat 2 cukup
jelas.
Pasal 45
Ayat 1
Yang dimaksud
dengan benda yang dapat diamankan antara lain ialah benda yang mudah terbakar,
mudah
meledak, yang
untuk itu harus dijaga serta diberi tanda khusus atau benda yang dapat
membahayakan kesehatan orang dan lingkungan. Pelaksanaan lelang dilakukan oleh kantor
lelang negara setelah diadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau penuntut
umum setempat atau hakim yang bersangkutan sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan dan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah
rusak.
Ayat 2 dan Ayat
3
Benda untuk
pembuktian yang menurut sifatnya lekas rusak dapat di jual lelang dan uang
hasil pelelangan dipakai sebagai ganti untuk diajukan di sidang pengadilan sedangkan
sebagian kecil dari benda itu disisihkan untuk dijadikan barang bukti.
Ayat 4
Yang dimaksud
dengan "benda yang dirampas untuk negara" ialah benda yang harus
diserahkan kepada departemen yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 46
Ayat 1
Benda yang
dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti. Selama
pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda itu masih diperlukan atau tidak.
Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat, benda yang disita itu tidak
diperlukan lagi untuk pembuktian, maka benda tersebut dapat dikembalikan kepada
yang berkepentingan atau pemiliknya. Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh
mungkin diperhatikan segi kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian benda
yang menjadi sumber kehidupan.
Ayat 2 Cukup
jelas.
Pasal 47
Ayat 1
Yang dimaksud
dengan "surat lain" adalah surat yang tidak langsung mempunyai
hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa akan tetapi dicurigai dengan
alasan yang kuat.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3 cukup jelas.
Pasal 48 cukup jelas.
Pasal 49 cukup jelas.
Pasal 50
Diberikannya
hak kepada tersangka atau terdakwa dalam pasal ini adalah untuk menjauhkan
kemungkinan terkatung-katungnya nasib seorang yang disangka melakukan tindak
pidana terutama mereka yang dikenakan penahanan, jangan sampai lama tidak mendapat
pemeriksaan. sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hukum, adanya perlakuan
sewenang-wenang dan tidak wajar. Selain itu juga untuk mewujudkan peradilan
yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pasal 51
Huruf a
Dengan
diketahui serta dimengerti oleh orang yang disangka melakukan tindak pidana
tentang perbuatan apa yang sebenarnya disangka telah dilakukan olehnya, maka ia
akan merasa terjamin kepentingannya un-tuk mengadakan persiapan dalam usaha
pembelaan. Dengan demikian ia akan mengetahui berat ringannya sangkaan terhadap
dirinya sehingga selanjutnya ia akan dapat mempertimbangkan tingkat atau
pembelaan yang dibutuhkan, misalnya perlu atau tidaknya ia mengusahakan bantuan
hukum untuk pembelaan tersebut.
Huruf b
Untuk
mengindari kemungkinan bahwa seorang terdakwa diperiksa serta diadili di sidang
pengadilan atas suatu tindakan yang didakwakan atas dirinya tidak dimengerti olehnya
dan karena sidang pengadilan adalah tempat yang terpenting bagi terdakwa untuk
pembelaan diri, sebab disanalah ia dengan bebas akan dapat mengemukakan segala
sesuatu yang dibutuhkannya bagi pembelaan, maka untuk keperluan tersebut
pengadilan menyediakan juru bahasa bagi terdakwa yang berkebangsaan asing atau
yang tidak bisa menguasai bahasa Indonesia.
Pasal 52
Supaya
pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya
maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan. dari rasa takut. Oleh karena itu
wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.
Pasal 53
Tidak semua
tersangka atau terdakwa mengerti bahasa Indonesia dengan baik, terutama orang
asing, sehingga mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya disangkakan atau
didakwakan. Oleh karena itu mereka berhak mendapat bantuan juru bahasa.
Pasal 54 cukup jelas.
Pasal 55 cukup jelas.
Pasal 56
Ayat 1
Menyadari asas
peradilan yang wajib dilaksanakan secara sederhana, cepat dan dengan biaya
ringan serta dengan pertimbangan bahwa mereka yang diancam dengan pidana kurang
dari lima tahun tidak dikenakan penahanan kecuali tindak pidana tersebut dalam Pasal
21 Ayat 4 Huruf b, maka untuk itu bagi mereka yang diancam dengan pidana lima
tahun atau lebih, tetapi kurang dari lima belas tahun, penunjukan penasihat
hukumnya disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga penasihat
hukum di tempat itu.
Ayat 2 cukup
jelas.
Pasal 57 cukup jelas.
Pasal 58 cukup jelas.
Pasal 59 cukup jelas.
Pasal 60 cukup jelas.
Pasal 61 cukup jelas.
Pasal 62 cukup jelas.
Pasal 63 cukup jelas.
Pasal 64 cukup jelas.
Pasal 65 cukup jelas.
Pasal 66
Ketentuan ini
adalah penjelmaan dari asas "praduga tak bersalah".
Pasal 67 cukup jelas.
Pasal 68 cukup jelas.
Pasal 69 cukup jelas.
Pasal 70 cukup jelas.
Pasal 71 cukup jelas.
Pasal 72
Yang dimaksud
dengan "untuk kepentingan pembelaannya" ialah bahwa mereka wajib
menyimpan isi berita acara tersebut untuk diri sendiri. Yang dimaksud dengan
"turunan" ialah dapat berupa foto copy. Yang dimaksud dengan
"pemeriksaan" dalam pasal ini ialah pemeriksaan dalam tingkat
penyidikan, hanya untuk pemeriksaan tersangka. Dalam tingkat penuntutan ialah
semua berkas perkara termasuk surat - dakwaan. Pemeriksaan di tingkat pengadilan
adalah seluruh berkas perkara termasuk putusan hakim.
Pasal 73
Apabila
terbukti ada penyalahgunaan dalam pasal ini diberikan ketentuan Pasal 70 Ayat 2,
Ayat 3 dan Ayat 4.
Pasal 74 cukup jelas.
Pasal 75 cukup jelas.
Pasal 76 cukup jelas.
Pasal 77
Yang dimaksud
dengan "penghentian penuntutan" tidak termasuk penyampingan perkara
untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.
Pasal 78 cukup jelas.
Pasal 79 cukup jelas.
Pasal 80
Pasal ini
bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana
pengawasan secara horizontal.
Pasal 81 cukup jelas.
Pasal 82 cukup jelas.
Pasal 83 cukup jelas.
Pasal 84 cukup jelas.
Pasal 85
Yang dimaksud
dengan "keadaan daerah tidak mengizinkan" ialah antara lain tidak
amannya daerah atau adanya bencana alam.
Pasal 86
Kitab UU Hukum
Pidana kita menganut asas personalitas aktif dan asas personalitas pasif, yang
membuka kemungkinan tindak pidana yang dilakukan diluar negeri dapat diadili
menurut Kitab UU Hukum Pidana RI. Dengan maksud agar jalannya peradilan
terhadap perkara pidana tersebut dapat mudah dan lancar, maka ditunjuk Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.
Pasal 87 cukup jelas.
Pasal 88 cukup jelas.
Pasal 89 cukup jelas.
Pasal 90 cukup jelas.
Pasal 91 cukup jelas.
Pasal 92 cukup jelas.
Pasal 93 cukup jelas.
Pasal 94 cukup jelas.
Pasal 95
Ayat 1
Yang dimaksud
dengan "kerugian karena dikenakan tindakan lain" ialah kerugian yang
ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah
menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama
daripada pidana yang dijatuhkan.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4 cukup
jelas.
Ayat 5 cukup
jelas.
Pasal 96 cukup jelas.
Pasal 97 cukup jelas
Pasal 98
Ayat 1
Maksud
Penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana ini adalah supaya perkara
gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan
perkara pidana yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan "kerugian bagi
orang lain" termasuk kerugian pihak korban.
Ayat 2
Tidak hadirnya
penuntut umum adalah dalam hal acara pemeriksaan cepat.
Pasal 99 cukup jelas.
Pasal 100 cukup jelas.
Pasal 101 cukup jelas.
Pasal 102 cukup jelas.
Pasal 103 cukup jelas.
Pasal 104 cukup jelas.
Pasal 105 cukup jelas.
Pasal 106 cukup jelas.
Pasal 107
Ayat 1
Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf a, diminta, atau tidak diminta
berdasarkan tanggung jawabnya wajib memberikan bantuan penyidikan kepada penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf b. Untuk itu penyidik
sebagaimana tersebut pada Pasal 6 Ayat 1 Huruf b sejak awal wajib
memberitahukan tentang penyidikan itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 Ayat
1 Huruf a.
Ayat 2
Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf b dalam melakukan penyidikan
suatu perkara pidana wajib melaporkan hal. itu kepada penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf a. Hal ini diperlukan dalam rangka koordinasi dan
pengawasan.
Ayat 3
Laporan dari
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf b kepada penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf a disertai dengan berita acara
pemeriksaan yang dikirim kepada penuntut umum. Demikian juga halnya apabila
perkara pidana itu tidak diserahkan kepada penuntut umum.
Pasal 108 cukup jelas.
Pasal 109
Dalam hal
pemberitahuan oleh penyidik sebagaimana tersebut pada Pasal 6 Ayat 1 Huruf b
dilakukan melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 Ayat 1 Huruf a.
Pasal 110 cukup jelas.
Pasal 111 cukup jelas.
Pasal 112
Ayat 1
Pemanggilan
tersebut harus dilakukan dengan surat panggilan yang sah, artinya, surat
panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.
Ayat 2 cukup
jelas.
Pasal 113 cukup jelas.
Pasal 114
Untuk
menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka sejak dalam taraf penyidikan kepada
tersangka sudah dijelaskan bahwa tersangka berhak didampingi penasihat hukum
pada pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 115
Ayat 1
Penasihat hukum
mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif.
Ayat 2 cukup
jelas.
Pasal 116
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3
Yang dimaksud
dengan saksi yang dapat menguntungkan tersangka antara lain adalah saksi a decharge.
Ayat 4 cukup
jelas.
Pasal 117 cukup jelas.
Pasal 118
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Dalam hal saksi
tidak mau menandatangani berita acara ia harus memberi alasan yang kuat.
Pasal 119
Apabila
penyidikan di luar daerah hukum itu dilakukan oleh penyidik semula, maka ia
wajib didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penyidikan itu
dilakukan.
Pasal 120 cukup jelas.
Pasal 121 cukup jelas.
Pasal 122 cukup jelas.
Pasal 123
Ayat 1
Atas penahanan
tersangka oleh penyidik maka tersangka, keluarga atau penasihat hukumnya dapat
menyatakan keberatannya terhadap penahanan tersebut kepada penyidik, maupun
kepada instansi yang bersangkutan, dengan disertai alasannya.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4 cukup
jelas.
Ayat 5 cukup
jelas.
Pasal 124 cukup jelas.
Pasal 125
Pasal ini untuk
menghindari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan terhadap seorang.
Pasal 126 cukup jelas.
Pasal 127 cukup jelas.
Pasal 128 cukup jelas.
Pasal 129 cukup jelas.
Pasal 130
Pasal ini untuk
mencegah kekeliruan dengan benda lain yang tidak ada hubungannya dengan perkara
yang bersangkutan untuk penyitaan benda tersebut telah dilakukan.
Pasal 131 cukup jelas.
Pasal 132
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Yang dimaksud
dengan pejabat penyimpan umum antara lain adalah pejabat yang berwenang dari
arsip negara, catatan sipil, balai harta peninggalan, notaris sesuai dengan
peraturan per-UU-an yang berlaku.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4 cukup
jelas.
Ayat 5 cukup
jelas.
Ayat 6 cukup
jelas.
Pasal 133
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Keterangan yang
diberikan oleh ahli Kedokteran Kehakiman disebut Keterangan Ahli, sedangkan keterangan
yang diberikan oleh dokter bukan Kedokteran Kehakiman disebut Keterangan.
Ayat 3 cukup
jelas.
Pasal 134 cukup jelas.
Pasal 135
Yang dimaksud
dengan "penggalian mayat" termasuk pengambilan mayat dari semua jenis
tempat dan cara penguburan.
Pasal 136 cukup jelas.
Pasal 137 cukup jelas.
Pasal 138
Yang dimaksud
dengan "meneliti" adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan
penuntutan apakah orang dan atau benda yang tersebut dalam hasil penyidikan
telah sesuai ataukah telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam
rangka pemberian petunjuk kepada penyidik.
Pasal 139 cukup jelas.
Pasal 140
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Huruf a cukup
jelas.
Huruf b cukup
jelas.
Huruf c cukup jelas.
Huruf d
Alasan baru
tersebut diperoleh penuntut umum dari penyidik yang berasal dari keterangan
tersangka, saksi, benda atau, petunjuk yang baru kemudian diketahui atau
didapat.
Pasal 141
Huruf a cukup
jelas.
Huruf b
Yang dimaksud
dengan "tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang
lain" apabila tindak pidana tersebut dilakukan dilakukan :
1.Oleh lebih dari seorang yang bekerjasama dan dilakukan
pada saat yang bersamaan.
2.Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat
yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang
dibuat oleh mereka sebelumnya.
3.Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan
alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau
menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.
Huruf c cukup
jelas.
Pasal 142 cukup jelas.
Pasal 143
Yang dimaksud
dengan "surat pelimpahan perkara" adalah surat pelimpahan perkara itu
sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara.
Pasal 144 cukup jelas.
Pasal 145
Ayat 1 cukup
jelas
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4
Yang dimaksud
dengan "orang lain" ialah keluarga atau penasihat hukum.
Ayat 5 cukup
jelas.
Pasal 146 cukup jelas.
Pasal 147 cukup jelas.
Pasal 148
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Dalam hal
kejaksaan negeri yang menerima surat pelimpahan perkara yang dimaksud dari
kejaksaan negeri semula, ia membuat surat pelimpahan baru untuk disampaikan ke
pengadilan negeri yang tercantum dalam surat ketetapan.
Ayat 3 cukup
jelas.
Pasal 149 cukup jelas.
Pasal 150 cukup jelas.
Pasal 151 cukup jelas.
Pasal 152
Ayat 1
Yang dimaksud
dengan "hakim yang ditunjuk" ialah majelis hakim atau hakim tunggal.
Ayat 2
Pemanggilan
terdakwa dan saksi dilakukan dengan surat panggilan oleh penuntut umum secara
sah dan harus telah diterima oleh terdakwa dalam jangka waktu sekurang-kurangnya
tiga hari sebelum sidang dimulai.
Pasal 153
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4
Jaminan yang
diatur dalam Ayat 3 di atas diperkuat berlakunya, terbukti dengan timbulnya
akibat hukum jika asas peradilan terbuka tidak dipenuhi.
Ayat 5
Untuk menjaga
supaya jiwa anak yang masih di bawah umur tidak terpengaruh oleh perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa, lebih-lebih dalam perkara kejahatan berat, maka hakim
dapat menentukan bahwa anak di bawah umur tujuh belas tahun, kecuali yang telah
atau pernah kawin, tidak dibolehkan mengikuti sidang.
Pasal 154
Ayat 1
Yang dimaksud
dengan "keadaan bebas" adalah keadaan tidak dibelenggu tanpa
mengurangi pengawalan.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4
Kehadiran
terdakwa di sidang merupakan kewajiban dari terdakwa, bukan merupakan haknya,
jadi terdakwa harus hadir di sidang pengadilan.
Ayat 5 cukup
jelas.
Ayat (6)
Dalam hal
terdakwa setelah diupayakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dihadirkan
dengan baik, maka terdakwa dapat dihadirkan dengan paksa.
Ayat 7 cukup
jelas.
Pasal 155
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Untuk menjamin
terlindungnya hak terdakwa guna memberikan pembelaannya, maka Penuntut Umum memberikan
penjelasan atas dakwaan tetapi penjelasan ini hanya dapat dilaksanakan pada
permulaan sidang.
Pasal 156 cukup jelas.
Pasal 157 cukup jelas.
Pasal 158 cukup jelas.
Pasal 159
Ayat 1
Yang dimaksud
dengan ayat ini adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi saling mempengaruhi
di antara para saksi, sehingga keterangan saksi tidak dapat diberikan secara
bebas.
Ayat 2
Menjadi saksi
adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah
dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan
menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan UU yang
berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli.
Pasal 160 cukup jelas.
Pasal 161
Ayat 1 cukup
jelas,
Ayat 2
Keterangan
saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap
sebagai alat
bukti yang sah,
tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Pasal 162 cukup jelas.
Pasal 163 cukup jelas.
Pasal 164
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3
Hakim berwenang
untuk memperingatkan baik kepada penuntut umum maupun kepada penasihat hukum,
apabila pertanyaan yang diajukan itu tidak ada kaitannya dengan perkara.
Pasal 165 cukup jelas.
Pasal 166
Jika dalam
salah satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah
dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap
seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka pertanyaan yang sedemikian itu
dianggap sebagai pertanyaan yang bersifat menjerat. Pasal ini penting karena
pertanyaan yang bersifat menjerat itu tidak hanya tidak boleh diajukan kepada
terdakwa, akan tetapi juga tidak boleh diajukan kepada saksi. Ini sesuai dengan
prinsip bahwa keterangan terdakwa atau saksi harus diberikan secara bebas di semua
tingkat pemeriksaan. Dalam pemeriksaan penyidik atau penuntut umum tidak boleh
mengadakan tekanan yang bagaimanapun caranya, lebih-lebih di dalam pemeriksaan
disidang pengadilan. Tekanan. itu, misalnya ancaman dan sebagainya yang
menyebabkan terdakwa atau saksi menerangkan hal yang berlainan daripada hal
yang dapat dianggap sebagai peryataan pikirannya yang bebas.
Pasal 167
Ayat 1
Untuk
melancarkan jalannya pemeriksaan saksi, maka ada kalanya hakim ketua sidang
menganggap bahwa saksi yang sudah didengar keterangannya mungkin akan merugikan
saksi berikutnya yang akan memberikan keterangan, sehingga perlu saksi pertama
tersebut untuk sementara ke luar dari ruang sidang selama masih didengar
keterangannya.
Ayat 2
Ada kalanya
terdakwa atau penuntut umum berkeberatan terhadap dikeluarkannya saksi dari
ruang sidang
sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 1, misalnya diperlukan kehadiran saksi tersebut, agar
supaya ia dapat
ikut
mendengarkan keterangan yang diberikan oleh saksi yang didengar berikutnya demi
kesempurnaan hasil keterangan saksi.
Ayat 3 cukup
jelas.
Pasal 168 cukup jelas.
Pasal 169 cukup jelas.
Pasal 170
Ayat 1
Pekerjaan atau
jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan.
Ayat 2
Jika tidak ada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau
pekerjaan yang dimaksud, maka seperti yang ditentukan oleh ayat ini, hakim yang
menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan
kebebasan tersebut.
Pasal 171
Mengingat bahwa
anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit
ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam
ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau
janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai
sebagai petunjuk saja.
Pasal 172 cukup jelas.
Pasal 173
Apabila menurut
pendapat hakim seorang saksi itu akan merasa tertekan atau tidak bebas dalam
memberikan keterangan apabila terdakwa hadir di sidang, maka untuk menjaga hal
yang tidak diinginkan hakim dapat menyuruh terdakwa ke luar untuk sementara
dari persidangan selama hakim mengajukan pertanyaan kepada saksi.
Pasal 174 cukup jelas.
Pasal 175 cukup jelas.
Pasal 176 cukup jelas.
Pasal 177 cukup jelas.
Pasal 178 cukup jelas.
Pasal 179 cukup jelas.
Pasal 180 cukup jelas.
Pasal 181 cukup jelas.
Pasal 182
Ayat 1
Huruf a cukup
jelas.
Huruf b cukup
jelas.
Huruf c
Dalam hal
terdakwa tidak dapat menulis, panitera mencatat pembelaannya.
Ayat 2
Sidang dibuka
kembali dimaksudkan untuk menampung data tambahan sebagai bahan untuk
musyawarah hakim.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4 cukup
jelas.
Ayat 5 cukup
jelas.
Ayat (6)
Apabila tidak
terdapat mufakat bulat, pendapat lain dari salah seorang hakim majelis dicatat
dalam Berita Acara Sidang Majelis yang sifatnya rahasia.
Ayat 7 cukup
jelas.
Ayat 8 cukup
jelas.
Pasal 183
Ketentuan ini
adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi
seorang.
Pasal 184
Dalam acara
pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.
Pasal 185
Ayat 1
Dalam
keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau
testimonium de auditu.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4 cukup
jelas.
Ayat 5 cukup
jelas.
Ayat 6
Yang dimaksud
dengan ayat ini ialah untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan keterangan
saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur dan obyektif.
Ayat 7 cukup
jelas.
Pasal 186
Keterangan ahli
ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada
pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan, dicatat dalam
berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan
sumpah atau janji di hadapan hakim.
Pasal 187
Huruf a cukup
jelas.
Huruf b
Yang dimaksud
dengan surat yang dibuat oleh pejabat, termasuk surat yang dikeluarkan oleh
suatu majelis yang berwenang untuk itu.
Huruf c cukup
jelas.
Huruf d cukup
jelas.
Pasal 188 cukup jelas.
Pasal 189 cukup jelas.
Pasal 190 cukup jelas.
Pasal 191
Ayat 1
Yang dimaksud
dengan "perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan
meyakinkan" adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar
pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana
ini.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3
Jika terdakwa
tetap dikenakan penahanan atas dasar alasan lain yang sah, maka alasan tersebut
secara jelas
diberitahukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri sebagai pengawas dan pengamat terhadap
pelaksanaan putusan pengadilan.
Pasal 192 cukup jelas.
Pasal 193
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Huruf a
Perintah
penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana hakim pengadilan tingkat
pertama yang memberi putusan berpendapat perlu dilakukannya penahanan tersebut
karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum
tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti
ataupun mengulangi tindak pidana lagi.
Huruf b cukup
jelas.
Pasal 194
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Penetapan
mengenai penyerahan barang tersebut misalnya sangat diperlukan untuk mencari
nafkah, seperti kendaraan, alat pertanian dan lain-lain.
Ayat 3
Penyerahan
barang bukti tersebut dapat dilakukan meskipun putusan belum mempunyai kekuatan
hukum tetap, akan tetapi harus disertai dengan syarat tertentu, antara lain
barang tersebut setiap waktu dapat dihadapkan ke pengadilan dalam keadaan utuh.
Pasal 195 cukup jelas.
Pasal 196
Ayat 1
Ayat ini
diambil dari asas yang termaktub dalam Pasal 16 UURI No 14 Th 1970. Oleh karena
ketentuan mengenai "pemeriksaan" sudah diatur terlebih dahulu, maka
dalam ayat ini hanya diatur mengenai segi "memutus perkara".
Ayat 2
Setelah
diucapkan putusan tersebut berlaku baik bagi terdakwa yang hadir maupun yang
tidak hadir. Ayat ini bermaksud melindungi kepentingan terdakwa yang hadir dan
menjamin kepastian hukum secara keseluruhan dalam perkara ini.
Ayat 3
Dengan
pemberitahuan ini dimaksudkan supaya terdakwa mengetahui haknya.
Pasal 197
Ayat 1
Huruf a cukup
jelas.
Huruf b cukup
jelas.
Huruf c cukup
jelas.
Huruf d
Yang dimaksud
dengan "fakta dan keadaan disini" ialah.segala apa yang ada dan apa
yang diketemukan di sidang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum,
saksi, ahli, terdakwa, penasihat hukum dan saksi korban.
Ayat 2
Kecuali yang
tersebut pada Huruf a, e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau
kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau
pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.
Ayat 3 cukup
jelas.
Pasal 198 cukup jelas.
Pasal 199 cukup jelas.
Pasal 200
Ketentuan ini
untuk memberi kepastian bagi terdakwa agar tidak berlarut-larut waktunya untuk
mendapatkan surat putusan tersebut, dalam rangka ia akan menggunakan upaya
hukum.
Pasal 201
Ketentuan ini
adalah memberikan suatu kepastian untuk membuka kemungkinan surat palsu atau
yang dipalsukan itu sebagai barang bukti, dalam hal dipergunakan upaya hukum. Disamping
itu ketentuan tersebut ditujukan sebagai jaminan ketelitian panitera dalam
berkas perkara.
Pasal 202 cukup jelas.
Pasal 203 cukup jelas.
Pasal 204 cukup jelas.
Pasal 205
Ayat 1
Tindak pidana
"penghinaan ringan" ikut digolongkan di sini dengan disebut
tersendiri, karena sifatnya ringan sekalipun ancaman, pidana penjara paling
lama empat bulan.
Ayat 2
Yang dimaksud
dengan "atas kuasa" dari Penuntut Umum kepada penyidik adalah demi
hukum. Dalam hal penuntut umum hadir, tidak mengurangi nilai "atas
kuasa" tersebut.
Ayat 3 cukup
jelas.
Pasal 206 cukup jelas.
Pasal 207
Ayat 1
Huruf a
Pemberitahuan
tersebut dimaksudkan agar terdakwa dapat memenuhi kewajibannya untuk datang ke
sidang pengadilan pada hari, tanggal, jam dan tempat yang ditentukan.
Huruf b
Sesuai dengan
acara pemeriksaan cepat, maka pemeriksaan dilakukan hari itu juga.
Ayat 2
Huruf a
Oleh karena
penyelesaiannya yang cepat maka perkara yang diadili menurut acara pemeriksaan cepat
sekaligus dimuat dalam buku register dengan masing-masing diberi nomor untuk
dapat diselesaikan secara berurutan.
Huruf b
Ketentuan ini
memberikan kepastian di dalam mengadili menurut acara pemeriksaan cepat tersebut
tidak diperlukan surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum seperti untuk pemeriksaan
dengan acara biasa, melainkan tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam
buku register tersebut pada Huruf a.
Pasal 208 cukup jelas.
Pasal 209
Ketentuan pasal
ini dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian perkara, meskipun demikian
dilakukan dengan penuh ketelitian.
Pasal 210 cukup jelas.
Pasal 211
Yang dimaksud
dengan "perkara pelanggaran tertentu" adalah :
a.Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi,
membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan
kerusakan pada jalan.
b.Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat
memperlihatkan Surat Izin Mengemudi (SIM), su-rat tanda nomor kendaraan, surat
tanda uji kendaraan yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan
peraturan per-UU-an lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkannya tetapi
masa berlakunya sudah kadaluwarsa.
c.Membiarkan atau memperkenankan kendaraan
bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak memiliki surat izin mengemudi.
d.Tidak memenuhi ketentuan peraturan per-UU-an lalu
lintas jalan tentang penomoran, penerangan, pera-latan, perlengkapan, pemuatan
kendaraan dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain.
e.Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan
tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda
nomor kendaraan yang bersangkutan.
f.Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan
oleh petugas pengatur lalu lintas jalan dan atau isyarat a-lat pengatur lalu
lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada dipermukaan jalan.
g.Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran
dan muatan yang diizinkan, cara menaikkan dan menu-runkan penumpang dan atau
cara memuat dan membongkar barang.
h.Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis
kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang diten-tukan.
Pasal 212 cukup jelas.
Pasal 213
Berbeda dengan
pemeriksaan menurut acara biasa, maka pemeriksaan menurut acara pemeriksaan
perkara pelanggaran lalu lintas jalan, terdakwa boleh mewakilkan di sidang.
Pasal 214 cukup jelas.
Pasal 215
Sesuai dengan
makna yang terkandung dalam acara pemeriksaan cepat, segala sesuatu berjalan
dengan cepat dan tuntas, maka benda sitaan dikembalikan kepada yang paling berhak
pada saat amar putusan telah dipenuhi.
Pasal 216 cukup jelas.
Pasal 217 cukup jelas.
Pasal 218
Tugas
pengadilan luhur sifatnya, oleh karena tidak hanya bertanggung-jawab kepada
hukum, sesama manusia dan dirinya, tetapi juga kepada Tuhan YME. Oleh karenanya
setiap orang wajib menghormati martabat lembaga ini, khususnya bagi mereka yang
berada di ruang sidang sewaktu persidangan sedang berlangsung bersikap hormat
secara wajar dan sopan serta tingkah laku yang tidak menyebabkan kegaduhan atau
terhalangnya persidangan.
Pasal 219
Yang dimaksud
dengan "petugas keamanan dalam pasal ini" ialah pejabat kepolisian
negara RI dan tanpa mengurangi wewenangnya dalam melakukan tugasnya wajib melaksanakan
petunjuk ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
Pasal 220 cukup jelas.
Pasal 221 cukup jelas.
Pasal 222 cukup jelas.
Pasal 223 cukup jelas.
Pasal 224
Penyimpanan
surat putusan pengadilan meliputi seluruh berkas mengenai perkara yang
bersangkutan.
Pasal 225 cukup jelas.
Pasal 226
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Salinan surat
putusan dapat diberikan dengan cuma-cuma.
Ayat 3
Pelaksanaan
Ayat ini tidak boleh sedemikian rupa sifatnya sehingga akan merupakan pidana
tambahan sebagaimana dimaksud di dalam Kitab UU Hukum Pidana.
Pasal 227 cukup jelas.
Pasal 228
Tiap jangka
waktu yang ditentukan dalam UU ini, selalu dihitung hari berikutnya setelah
hari pengumuman, perintah atau penetapan dikeluarkan.
Pasal 229 cukup jelas.
Pasal 230 cukup jelas.
Pasal 231 cukup jelas.
Pasal 232 cukup jelas.
Pasal 233
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Dengan
memperhatikan Pasal 233 Ayat 1 dan Pasal 234 Ayat 1 penitera dilarang menerima
permintaaan banding perkara yang tidak dapat dibanding atau permintaan banding
yang diajukan setelah tenggang waktu yang ditentukan berakhir.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4 cukup
jelas.
Ayat 5 cukup
jelas.
Pasal 234 cukup jelas.
Pasal 235 cukup jelas.
Pasal 236
Ayat 1
Maksud
pemberian batas waktu empat belas hari ialah agar perkara banding tersebut
tidak tertumpuk di pengadilan negeri dan segera diteruskan ke pengadilan tinggi.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4 cukup
jelas.
Pasal 237 cukup jelas.
Pasal 238
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
Apabila dalam
perkara pidana terdakwa menurut undangundang dapat ditahan, maka sejak
permintaan banding diajukan, pengadilan tinggi yang menentukan ditahan atau tidaknya.
Jika penahanan yang dikenakan kepada pembanding mencapai jangka waktu yang sama
dengan pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri kepadanya, ia harus
dibebaskan seketika itu.
Ayat 3 cukup
jelas.
Ayat 4 cukup
jelas.
Pasal 239 cukup jelas.
Pasal 240
Ayat 1
Perbaikan
pemeriksaan dalam hal ada kelalaian dalam penerapan hukum acara harus dilakukan
sendiri oleh pengadilan negeri yang bersangkutan.
Ayat 2 cukup
jelas.
Pasal 241 cukup jelas.
Pasal 242 cukup jelas.
Pasal 243 cukup jelas.
Pasal 244 cukup jelas.
Pasal 245 cukup jelas.
Pasal 246 cukup jelas.
Pasal 247 cukup jelas.
Pasal 248 cukup jelas.
Pasal 249 cukup jelas.
Pasal 250 cukup jelas.
Pasal 251 cukup jelas.
Pasal 252 cukup jelas.
Pasal 253 cukup jelas.
Pasal 254 cukup jelas.
Pasal 255 cukup jelas.
Pasal 256 cukup jelas.
Pasal 257 cukup jelas.
Pasal 258 cukup jelas.
Pasal 259 cukup jelas.
Pasal 260 cukup jelas.
Pasal 261 cukup jelas.
Pasal 262 cukup jelas.
Pasal 263
Pasal ini
memuat alasan secara limitatif untuk dapat dipergunakan meminta Peninjauan Kembali
suatu putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 264 cukup jelas.
Pasal 265 cukup jelas.
Pasal 266 cukup jelas.
Pasal 267 cukup jelas.
Pasal 268 cukup jelas.
Pasal 269 cukup jelas.
Pasal 270 cukup jelas.
Pasal 271 cukup jelas.
Pasal 272
Ketentuan yang
dimaksud dalam pasal ini ialah bahwa pidana yang dijatuhkan berturut-turut itu
ditetapkan untuk dijalani oleh terpidana berturut-turut secara berkesinambungan
diantara menjalani pidana yang satu dengan yang lain.
Pasal 273
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2 cukup
jelas.
Ayat 3
Jangka waktu
tiga bulan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memperhatikan hal yang tidak
mungkin diatasi pengaturannya dalam waktu singkat.
Ayat 4
Perpanjangan
waktu sebagaimana tersebut pada ayat ini tetap dijaga agar pelaksanaan lelang
itu tidak tertunda.
Pasal 274 cukup jelas.
Pasal 275
Karena terdakwa
dalam hal yang dimaksud dalam pasal ini bersama-sama dijatuhi pidana karena
dipersalahkan melakukan tindak pidana dalam satu perkara, maka wajar bilamana
biaya perkara dan atau ganti kerugian ditanggung bersama secara berimbang.
Pasal 276 cukup jelas.
Pasal 277 cukup jelas.
Pasal 278 cukup jelas.
Pasal 279 cukup jelas.
Pasal 280 cukup jelas.
Pasal 281
Informasi yang
dimaksud dalam pasal ini dituangkan dalam bentuk yang telah ditentukan.
Pasal 282 cukup jelas.
Pasal 283 cukup jelas.
Pasal 284
Ayat 1 cukup
jelas.
Ayat 2
a.Yang dimaksud dengan semua perkara adalah
perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan.
b.Yang dimaksud dengan "ketentuan khusus
acara pidana sebagaimana tersebut pada UU tertentu" ialah ketentuan khusus
acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain :
1.UU tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan
tindak pidana ekonomi (UU No 7 Drt. Th 1955).
2.UU tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU
No 3 Th 1971), dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada UU tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Pasal 285
Kitab UU Hukum
Acara Pidana ini disingkat "KUHAP".
Pasal 286 cukup jelas.
Komentar
Posting Komentar