KAEDAH DAN STRATIFIKASI SOSIAL DAN HUKUM



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Belakangan ini kita disuguhkan episode menarik dari para elit politik di negara kita, terkait dengan rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak(BBM) yang pada akhirnya urung dilaksanakan. Namun, serangkaian teror dan kerusuhan sudah terjadi dan tidak sedikit menelan korban jiwa serta kerugian materiil di berbagai pihak, yang pada akhirnya negaralah yang menanggung kerugian materiil tersebut. Para petinggi politik yang dengan kekuasaannya bisa membayar seseorang agar melaksanakan demi demi kepentingan pribadi dan golongan.[1] Memang seperti itulah potret politik di indonesia yang sudah menjalar di seluruh jajarannya. Demokrasi yang sudah kebablasan dan jauh dari impian yang semula diharapkan dari lahirnya revolusi setelah lengsernya orde baru pada tahun 1998.
Bagaimanapun juga, ulah dari para elit politik sedikit banyak akan berimbas pada kelangsungan kehidupan rakyat kecil/miskin yang di indonesia mencapai 86% jumlah penduduk indonesia.[2] Tidak meratanya persebaran ekonomi, kesempatan mendapatkan pendidikan, kesempatan hidup yang layak, kesempatan/peluang kerja serta keempatan menikmati hasil pembangunan menjadi masalah yang sangat pelik dan sampai sekarang belum ada solusi pemecahan yang jitu. Terbukti dari semakin bertambahnya jumlah rakyat miskin, jumlah pengangguran, anak drop out, yang dari tahun ke tahun tidak semakin berkurang, namun cenderung meningkat.
Berawal dari ketidakmerataan diberbagai bidang tersebut, penderitaan yang paling parah dirasakan oleh kalangan menengah kebawah. Diperparah lagi dengan semakin tingginya tingkat kasta seseorang, maka semakin rumit pula upaya para aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsinya ketika berhadapan dengan kalangan menengah keatas.[3] Seringkali aparat kita kewalahan bahkan mental manakala sudah menyentuh level menengah keatas. Berbeda manakala berhadapan dengan rakyat miskin, yang dengan kesalahan yang sangat sepelepun bisa langsung dijerat dengan pasal yang terberat.
Hal itulah yang menjadi momok besar bagi kehidupan rakyat indonesia, sampai-sampai muncul anekdot "orang miskin dilarang hidup" atau "menjadi buruh di negeri sendiri". Sehingga seringkali kita jumpai upaya bunih diri dari keluarga yang frustasi dengan keadaan dan himpitan ekonomi yang dialaminya. Untuk itulah kami mencoba merumuskan kembali akar masalah dari buruknya penerapan hukum di Indonesia serta hal-hal yang melatarbelakanginya. Dengan harapan, kedepan Indonesia berubah menjadi Negara yang benar-benar menegakkan demokrasi dengan sebenar-benarnya, agar kelak kehidupan masyarakat lebih adil dan merata sebagaimana amanat pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2.      Rumusan Masalah
Untuk lebih mempermudah alur pemahaman dalam makalah ini, kami mencoba merumuskannya dalam rangakain permasalahan sebagaimana berikut ini:
a.       Apa sajakah kaedah sosial dan hukum yang ada dan digunakan di indonesia?
b.      Apakah yang dimaksud dengan stratifikasi sosial dan jenis-jenisnya?
c.       Bagaimanakah keadaan stratifikasi hukum dan aplikasinya di Indonesia?
















BAB II
KAEDAH DAN STRATIFIKASI SOSIAL DAN HUKUM
1.      Kaedah Sosial
Manusia dalam proses dan perkembangan kehidupan mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dimana selain berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, manusia juga membutuhkan keberadaan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Sudah menjadi kodrat/"sunnatulloh" bahwa manusia selalu berinteraksi dengan individu-individu yang ada di sekitarnya dalam wakta dan tempat tertentu. Kebersamaan manusia antara individu dengan individu lain bukanlah hal yang terjadi dengan sendirinya, tetapi hal yang diusahakan dan merupakan sebuah kebutuhan dan bertujuan. Layyin Mahfiana[4] dalam bukunya Ilmu Hukum menyebutkan, manusia hidup berkelompok memiliki tujuan:
a.       Untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena untuk memenuhi kebutuhan manusia baik yang bersifat primer ataupun sekunder manusia tidak bisa memenuhinya tanpa bantuan orang lain.
b.      Untuk mempertahankan diri dan kelompok dari mara bahaya, pada awal  mula kehidupan manusia menjadi mangsa dan sasaran rantai makanan dari ekosistem alam. Makhluk hidup yang buas dan populasinya lebih banyak dibanding dengan manusia, siap memangsa manusia kapanpun. Namun seiring berjalannya waktu, keserakahan dan kebuasan manusia melebihi kebuasan hewan paling buas yang dahulu sebagai predator utama.
c.       Untuk melanjutkan kelangsungan keturunan, sebagai eksistensi kelangsungan dan pelaksanaan tugas manusia selaku kholifatulloh. Dengan adanya interaksi dengan individu yang lain, manusia dapat memenuhi kebutuhan biologis dan melestarikan keturunannya. Sudah kodratnya manusia hidup berpasang-pasang dan berkelompok-kelompok, bersuku dan berbangsa.[5]
d.      Sebagai simbol bahwa manusia adalah makhluk yang lebih sempurna dari makhluk lainnya dengan diberi keistimewaan berupa akal yang dapat digunakan untuk melukiskan keluhuran manusia.
Namun dalam realita, pelaksanaan kehidupan manusia tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan dan tidak jarang terjadi gesekan-gesekan kepentingan satu dengan yang lainnya. Sifat alami manusia yang cenderung rakus, mengharuskan adanya rangkaian kesepakatan antar individu yang mengaturm pola interaksi manusia itu sendiri. Rangkaian kesepakatan itu adakalanya tertulis dan adakalanya hanya sebatas kesepakatan yang menjadi tradisi dan menyatu dalam masyarakat.
Dalam kesepakatan ini di sepakati apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh setiap individu yang mengakui eksistensi dari kesepakatan tersebut yang selanjutnya disebut sebagai norma/kaedah sosial.[6] Sebagai tolok ukur perilaku masyarakat, kaedah ini juga berisi tentang sanksi bagi mereka yang menyalahi/menyimpang dari kaedah sosial tersebut, serta pihak-pihak yang berhak menjatuhkan sanksi. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kaedah sosial yang ada merupakan barometer tingkat ketertiban dan keteraturan stabilitas sosial di masyarakat. Selanjutnya kaedah-kaedah sosial itu dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu;
a.      Kaedah/norma agama, serangakaian pedoman perilaku manusia yang berasal dari Tuhan, berisi tentang perbuatan yang diperbolehkan/diperintahkan dan perbuatan yang dilarang, serta anjuran-anjuran. Kaedah agama sebagai cerminan sikap kepatuhan manusia atas agama yang dianut dan diyakininya, serta batas-batas pengendali dalam pola interaksi manusia.
b.      Kaedah/norma kesusilaan, adalah serangakaian petunjuk yang berisi pedoman perilaku di masyarakat, berasal dari dalam hati dan nurani manusia itu sendiri. Kaedah yang berasal dari intuisi ini mencerminkan jati diri seseorang dalam masyarakat, apakah dia orang baik ataukah sebaliknya. Namun sanksi yang dijatuhkan dari kaedah ini cenderung tidak begitu terasa, karena hanya sebatas cap/label dalam masyarakat, tidak ada sanksi yang tegas dan membuat jera pelakunya.
c.       Kaedah/norma kesopanan, adalah petunjuk yang berisi pedoman perilaku manusia yang berasal dari kebiasan-kebiasaan yang terjadi di masyarakat dan diterima sebagai wujud kesadaran hukum manusia itu. Hal ini bertumpu pada realita etika yang ada di masyarakat sebagai kontrol sosial dan manifestasi kepatuhan pada budaya yang ada.
d.      Norma hukum, adalah rangkaian pedoman perilaku yang dibuat oleh penguasa yang ditunjuk masyarakat, bersikap memaksa, berlaku bagi suatu komunitas, dan sanksi bagi yang melanggarnya. Keistimewaan dari kaedah ini adalah sifatnya yang memaksa dan samksi nyata/langsung bagi para penentangnya. Berbeda dengan norma/kaedah lain yang cenderung prefentif namun taidak ada aturan baku dan sanksi langsung dalam praktek kehidupan. Meskipun demikian, keseimbangan antara keempat noram tersebut diatas, akan lebih membantu dala mewujudkan rasa keadilan, ketentraman, dan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat.

2.      Stratifikasi Sosial dan Hukum
a.      Stratifikasi sosial
Stratifikasi sosial adalah pembedaan dan penggolongan masyarakat atau penduduk dalam kelas-kelas bertingkat secara hierarkis. Sebagai aspek penilaian sosial secara vertikal dalam kehidupan sosial, dimana terjadi ketidakseimbangan distribusi sandang, pangan, papan, bahan mentah/produksi, dan lain-lain. Dengan adanya ketidakmerataan tersebut sehingga timbul asumsi yang selalu dikaitkan dengan kastanisasi sosial secara materiil.[7] Kastanisasi/staratifikasi yang lazim muncul dimasyarakat untuk mengelompokkan masyarakat diantaranya adalah tingkat kekayaan materi, kekuasaan, kehormatan, dan tingkat intelektualitas/jenjang pendidikan.
Diantara lapisan masyarakat tingkat atas dan tingkat bawah, terdapat lapisan yang jumlahnya relatif banyak. Biasanya lapisan tingkat atas lebih berkesempatan menguasai beberapa macam klasifikasi yang dihargai di masyarakat yang bersifat komulatif. Sehingga, mereka yang berada di lapisan atas selain memiliki uang yang banyak, juga memiliki tanah yang luas, kekuasaan, pendidikan tinggi, kehormatan dan lain sebagainya.  Ukuran yang biasa digunakan untuk mengklasifikasi masyarakat dalam suatu pelapisan adalah sebagai berikut:
1)      Ukuran kekayaan.
Kekayaan yang selalu di ukur dengan banyaknya materi yang dimiliki seseorang, menjadi tolok ukur bagi tetangga dan masyarakat sekitar ketika harus bersikap. Kekayaan yang meliputi rumah mewah, mobil, tabungan di bank, cara berpakaian, perhiasan, perusahaan, kebiasaan belanja barang-barang mahal di identikkan dengan seseorang yang harus dihormati.
Dalam hal kekayaan, kita mengenal adanya pengelompokan masyarakat dengan beberapa tingkatan, yaitu golongan atas(kaya), menengah(cukup), dan golongan bawah(miskin). Walaupun ukuran tingkat kekayaan antara satu tempat dengan tempat lainnya tidaklah selalu sama berdasarkan pada tingat fluktuasi ekonomi dan kemajuan lokasi.[8] Namun bagaimanapun juga yang namanya stratifikasi pasti sedikiy banyak akan menimbulkan dampak yang sangat berarti bagi yang berada pada golongan menengah kebawah.
2)      Ukuran kekuasaan
Dalam hal kekuasaan selalu di identikkan dengan mereka yang mempunyai kekuasaan/wewenang yang besar, sehingga masyarakat yang ada di sekitarnya harus tunduk dan patuh pada yang diperintahkan. Semakin tinggi pangkat dan jabatan seseorang, maka semakin tinggi pula kedudukannya dalam pandangan masyarakat. Meskipun tak jarang, kekuasaan yang disandang didapat dengan cara yang tidak terpuji bahkan melanggar norma-norma yang ada di masyarakat itu sendiri. Misalnya dengan menyuap atasan agar bisa naik pangkat, sikut kanan dan kiri untuk menjatuhkan lawan/saingan, menggelapkan uang rakyat untuk keperluan suap dan memperkaya diri sendiri dan keluarga.
3)      Ukuran kehormatan
Yang dimaksud disinai adalah gelar kehormatan yang biasanya terlepas dari ukuran kekayaan dan kekuasaan. Dalam masyarakat jawa banyak dikenal istilah-istilah kehormatan dimana sang empunya dianggap berjasa(seperti babat desa, pengusir pageblug, pembawa agama), berwibawa, kharisma, tokoh masyarakat dan agama(kyai, baik kyai mushola ataupun masjid, terlebih yang punya pondok pesantren).
Semakin disegani dan dihormati seseorang dalam masyarakat, berarti kasta yang disandang juga semakin tinggi. Bahkan ada yang sampai dikultuskan sebagai jelmaan dewa, wali, jelmaan malaikat dan lain-lain. Padahal pada dasarnya semua manusia itu sama saja, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kewajiban menyembah kepadaNya.
4)      Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan baik agama ataupun umum yang digunakan sebagai ukuran untuk menghormati seseorang. Semakin tinggi tingkat/jenjang pendidikan, maka berarti semakin tinggi pula martabatnya dimata masyarakat. Padahal tidak selamanya semakin tinggi pendidikan, berarti  semakin pandai, semakin baik, semakin berbudi luhur pula seseorang. Seringkali kita jumpai hal-hal yang membuat kita terhenyak, dimana para pemilik uang dengan mudah membeli ijazah strata yang di inginkan tanpa harus bersusah payah menempuh pendidikan.
Sementara mereka yang tidak mampu dan berjuang dengan susah payah mendapatkan gelar itu, malah kadang dipersulit dan disia-siakan. Padahal jelas yang demikian itu sangat bertentangan dengan falsafah rasa keadilan dimata masyarakat. Akan tetapi apa hendak dikata, itulah realita kehidupan masyarakat terutama di Indonesia yang semakin hari tidak semakin baik, namun malah semakin terpuruk dimana yang kaya semakin kaya sementara yang miskin semakin tidak punya kesempatan hidup.[9]
Tidak hanya empat ukuran limitatif diatas saja, alat ukur stratifikasi sosial dimasyarakat, namun yang lazim diakui adalah hal tersebut. Misal adanya klasifikasi masyarakat dalam adat-adat di daerah tertentu yang punya kebiasaan klasifikasi masyarakat dalam beberapa tingkatan.[10] Yang jelas, stigma negatif selalu tertuju pada mereka yang berada dalam kasta/strata paling bawah dari setiap jenis pengelompokan.
b.      Stratifikasi hukum
Mengutip dari Prof. Sudarto dalam seminar Kriminologi ke-IV di Semarang yang mengemukakan bahwa saat ini peraturan perundangan-undangan yang menyangkut penanggulangan kejahatan politik bertitik tolak pada "instansi"(Instansi centriss) sehingga menimbulkan fragmentasi. Dasar yuridis formal yang  fragmentatis, secara sumtif mengakibatkan pada keadaan-keadaan yang lebih parah terutama dari segi penegaknya yang apabila berbuat negatif disebut oknum. Jika orientasi yang digunakan oleh para instansi sudah mengacu pada "status personal", maka jangan terlalu berharap persamaan dihadapan hukum sebagaimana amanat UUD 45 pasal 27 akan bisa terwujud.[11]
Aparat yang seharusnya bertindak netral, lebih memendang kedudukan dimata hukum seringkali berputar haluan bila sudah keluar dari peranan dan fungsi sesungguhnya. Soerjono Soekanto mengatakan Rule of law atau persamaan kedudukan dimata hukum di Indonesia sudah cenderung mengarah pada diskriminasi sosial. Dimana hal itu sebagai dampak dari adanya stratifikasi sosial yang ada di masyarakat Indonesia itu sendiri. Dalam beberapa waktu ini, seringkali muncul kejadian-kejadian yang menggemparkan dan menjadi perdebatan oleh para elit penguasa di negara kita. Yang dengan sengaja dibuat asumsi dan stigma bahwa tingkat anarkisme masyarakat yang sudah tidak terkendali. Padahal sebenarnya kalau kita mau mawas diri, itu semua adalah wujud dari tidak efektifnya penegakan hukum dan tidak adanya kedilan lagi dalam lembaga peradilan dan penegak hukum kita.
Tengok saja kasus sepele yang dilakukan oleh kalangan masyarakat miskin, seperti kasus pencurian sandal seorang polisi di Makasar, kasus pencurian pisang di Tuban, pencurian dua batang ubi, pencurian buah asem(baca: asam) pasti akan segera ditindak lanjuti dan selanjutnya diproses hukum. Bahkan tidak jarang para "pencuri" yang mendasarkan perbuatannya tersebut demi untuk bertahan hidup, malah mendapatkan hukuman yang lebih besar daripada "pencuri" lain yang lebih besar namun dari kalangan elit penguasa.
Tapi, hal itu akan berbalik 180 derajat apabila yang melakukan pencurian adalah mereka yang berasal dari strata tinggi, misal para "wakil rakyat" yang duduk di kursi empuk dan bisa tidur di toilet seharga 2 milyar. Aparat penegak hukum dan dan pera pengadil akan berlomba-lomba memberikan sanksi hukum yang seringan-ringannya, bahkan kalau bisa dibebaskan dari tuduhan yang disangkakan. Padahal kalau kita lihat dasar perbuatan dan efek yang ditimbulkan tentu lebih besar pencurian yang dilakukan para pemegang kekuasaan. Akan tetapi apa hendak dikata, itulah cerminan mental aparat pemegang amanah rakyat yang sudah dibutakan mata batinnya oleh gelimang sesaat harta jarahan dari para pemberi amanah itu sendiri. Sehingga muncul gagasan kita bubarkan saja "wakil rakyat" yang ada di parlemen yang digaji dengan 100 kali lipat penghasilan yang diwakilinhya.
Oleh karena itu, jangan salahkan jika pengendalian hukum yang dijalankan pemerintah sudah tidak lagi berjalan, kemudian secara otomatis timbul sistem pengendalian sosial baru sebagai dampak dari tidak efektifnya fungsi penegakan hukum. Maka muncullah tindakan "eigenrichting"[12] oleh sekelompok individu yang tidak puas dengan sosial control yang dilakukan pemerintah dan aparaturnya.
Soerjono Soekanto[13] membedakan unsur-unsur dalam lapisan masyarakat hukum sebagai berikut;
1)      Kedudukan/status
Yang berarti sebagai tempat/posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, bukan kedudukan sosial yang artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dlam arti lingkungan pergaulannya, presstisnya, dan hak-hak serta kewajibannya. Secara abstrak, kedudukan berartitempat seseorang pada pola tertentu, dengan demikian seseorang bisa memiliki beberapa kedudukan karena biasanya ikut sreta dalam bebarapa komunitas kehidupan.
Masyarakat pada umumnya mengembangkan dua macam kedudukan, yaitu;
a)      Ascribed Status; kedudukan seseorang dalam masyarakat berdasar pada pembawaan sejak lahir tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniahdan kemampuan individualnya. Contoh, kedudukan anak seorang bangsawan, brahmana, dan lain sebagainya.
b)      Achieved Status; kedudukan seseorang yang tidak didapatkan dari kelahiran melainkan dengan usaha-usaha yang disengaja. Misalnya dengan persyaratan tertentu untuk mendapatkan sesuatu kedudukan yang di inginkan/menaikan pangkat.
2)      Peranan/role
Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan status, apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan. Setiap orang mempunyai bermacam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya dimasyarakat.
Semakin tinggi setatus sosial dan hukum seseorang, maka semakin sulit dan semakin banyak hukum penjerat yang digunakan untuk menghentikan tindakan melawan hukum yang dilakukan. Tetapi sebaliknya, tidak perlu lebih dari satu tata aturan saja untuk menjerat pelaku melawan hukm dari kalangan menegah kebawah. Karena mereka cenderung lebih patuh dan taat pada perundang-undangan yang berlaku dibanding para elit yang egois dan serakah.
BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
-          Norma/kaedah adalah serangakain pedoman kehidupan yang telah disepakat oleh suatu komunitas yang berisi hal-hal yang boleh dan dilarang, anjuran, sanksi.
-          Norma/kaedah dibagi menjadi empat; a) Norma agama, b) Norma kesusilaan, c) Norma kesopanan, d) Norma hukum
-          Stratifikasi sosial adalah pembedaan dan penggolongan masyarakat atau penduduk dalam kelas-kelas bertingkat secara hierarkis.
-          Stratifikasi sosial umumnya didasarkan pada empat hal; a) Kekayaan, b) Kehormatan, c) Kekuasaan, dan, d) Ilmu Pengetauan
-          Stratifikasi dalam hukum sebagai turunan dari stratifikasi sosial mengakibatkan Semakin tinggi setatus sosial dan hukum seseorang, maka semakin sulit dan semakin banyak hukum penjerat yang digunakan untuk menghentikan tindakan melawan hukum yang dilakukan. Tetapi sebaliknya, tidak perlu lebih dari satu tata aturan saja untuk menjerat pelaku melawan hukm dari kalangan menegah kebawah.
-          Unsur pelapisan sisial dan hukum; a) Status dan b) Peranan
2.      Kritik Dan Saran
Sebagai seorang peneliti pemula, penulis yakin masih banyak kekurangan di berbagai tempat dalam makalah ini, mulai dari teknis penulisan, ejaan baku, penulisan tanda baca, dan hal-hal lain terkait teknis dan non-teknis. Oleh karena itu, penulis sangat membutuhkan kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar kedepan bisa lebih baik dan lebih sempurna.











DAFTAR PUSTAKA


Baharuddin Lopa, Permaslahan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang.

Layyin Mahfiana, Ilmu Hukum, Cet I . 2005.Ponorogo: STAIN Ponorogo Press.

Chainur Ar- Rasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 1999. Jakarta: Sinar Grafika.

Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cet. IV 2008. Jakarta: Sinar Grafika.

Soerjono Soekamto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Cet 38 2005. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Selo Soemarjan dan Soelaiman  Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Edisi XXVI, 2005. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum: Study Tentang Perubahan Hukum dan Sosial, 2003. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, 1994. Bandung: Rosda Karya.




[1] Redaksi Kontroversi edisi 30 Maret 2012, Trans TV
[2] Data Statistik dan Sensus pada Tahun 2009 oleh Badan Pusat Statistik Indonesia dalam rangka rekompensasi kenaikan harga BBM
[3] Baharuddin Lopa, Permaslahan dan Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang) hal. 64
[4] Layyin Mahfiana, Ilmu Hukum, Cet I . 2005.(Ponorogo: STAIN Ponorogo Press), Hal 3-4
[5] Al- Qur'an surat Ar- Ruum ayat 19
[6] Chainur Ar- Rasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 1999(Jakarta: Sinar Grafika) Hal 12
[7] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cet. IV 2008. (Jakarta: Sinar Grafika), 56.
[8] Soerjono Soekamto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Cet 38 2005. (Jakarta: Raja Grafindo Persada) hal. 149-156
[9] Dikutip dari sebuah lagu yang pernah populer pada tahun 90-an
[10]Selo Soemarjan dan Soelaiman  Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Edisi XXVI, 2005(Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) hal 235
[11] Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum: Study Tentang Perubahan Hukum dan Sosial, 2003(Jakarta: Raja Grafindo Persada), 58
[12]Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, 1994.(Bandung: Rosda Karya), 53
[13] Soerjono Soekanto, Sosiologi....Op. Cit 239

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AMALIYAH NAHDLIYAH (Nahdlotul Ulama')

MAKALAH PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA DEWASA

DELIK PERCOBAAN, PENYERTAAN, DAN PERBARENGANAN PIDANA DALAM KUHP