KAEDAH DAN STRATIFIKASI SOSIAL DAN HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Belakangan ini kita
disuguhkan episode menarik dari para elit politik di negara kita, terkait
dengan rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak(BBM) yang pada
akhirnya urung dilaksanakan. Namun, serangkaian teror dan kerusuhan sudah
terjadi dan tidak sedikit menelan korban jiwa serta kerugian materiil di
berbagai pihak, yang pada akhirnya negaralah yang menanggung kerugian materiil
tersebut. Para petinggi politik yang dengan kekuasaannya bisa membayar seseorang
agar melaksanakan demi demi kepentingan pribadi dan golongan.[1]
Memang seperti itulah potret politik di indonesia yang sudah menjalar di
seluruh jajarannya. Demokrasi yang sudah kebablasan dan jauh dari impian yang
semula diharapkan dari lahirnya revolusi setelah lengsernya orde baru pada tahun
1998.
Bagaimanapun juga,
ulah dari para elit politik sedikit banyak akan berimbas pada kelangsungan
kehidupan rakyat kecil/miskin yang di indonesia mencapai 86% jumlah penduduk
indonesia.[2]
Tidak meratanya persebaran ekonomi, kesempatan mendapatkan pendidikan,
kesempatan hidup yang layak, kesempatan/peluang kerja serta keempatan menikmati
hasil pembangunan menjadi masalah yang sangat pelik dan sampai sekarang belum
ada solusi pemecahan yang jitu. Terbukti dari semakin bertambahnya jumlah
rakyat miskin, jumlah pengangguran, anak drop out, yang dari tahun ke tahun
tidak semakin berkurang, namun cenderung meningkat.
Berawal dari
ketidakmerataan diberbagai bidang tersebut, penderitaan yang paling parah
dirasakan oleh kalangan menengah kebawah. Diperparah lagi dengan semakin
tingginya tingkat kasta seseorang, maka semakin rumit pula upaya para aparat
penegak hukum dalam menjalankan fungsinya ketika berhadapan dengan kalangan
menengah keatas.[3]
Seringkali aparat kita kewalahan bahkan mental manakala sudah menyentuh level
menengah keatas. Berbeda manakala berhadapan dengan rakyat miskin, yang dengan
kesalahan yang sangat sepelepun bisa langsung dijerat dengan pasal yang
terberat.
Hal itulah yang
menjadi momok besar bagi kehidupan rakyat indonesia, sampai-sampai muncul
anekdot "orang miskin dilarang hidup" atau "menjadi
buruh di negeri sendiri". Sehingga seringkali kita jumpai upaya
bunih diri dari keluarga yang frustasi dengan keadaan dan himpitan ekonomi yang
dialaminya. Untuk itulah kami mencoba merumuskan kembali akar masalah dari
buruknya penerapan hukum di Indonesia serta hal-hal yang melatarbelakanginya.
Dengan harapan, kedepan Indonesia berubah menjadi Negara yang benar-benar
menegakkan demokrasi dengan sebenar-benarnya, agar kelak kehidupan masyarakat
lebih adil dan merata sebagaimana amanat pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
2.
Rumusan Masalah
Untuk lebih mempermudah alur pemahaman dalam makalah ini,
kami mencoba merumuskannya dalam rangakain permasalahan sebagaimana berikut
ini:
a.
Apa sajakah kaedah sosial dan hukum yang ada dan
digunakan di indonesia?
b.
Apakah yang dimaksud dengan stratifikasi sosial dan jenis-jenisnya?
c.
Bagaimanakah keadaan stratifikasi hukum dan aplikasinya
di Indonesia?
BAB
II
KAEDAH
DAN STRATIFIKASI SOSIAL DAN HUKUM
1.
Kaedah Sosial
Manusia dalam proses dan perkembangan kehidupan mempunyai
dua fungsi, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dimana selain
berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, manusia juga membutuhkan
keberadaan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Sudah menjadi
kodrat/"sunnatulloh" bahwa manusia selalu berinteraksi dengan
individu-individu yang ada di sekitarnya dalam wakta dan tempat tertentu.
Kebersamaan manusia antara individu dengan individu lain bukanlah hal yang
terjadi dengan sendirinya, tetapi hal yang diusahakan dan merupakan sebuah
kebutuhan dan bertujuan. Layyin Mahfiana[4]
dalam bukunya Ilmu Hukum menyebutkan, manusia hidup berkelompok memiliki
tujuan:
a.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena untuk memenuhi
kebutuhan manusia baik yang bersifat primer ataupun sekunder manusia tidak bisa
memenuhinya tanpa bantuan orang lain.
b.
Untuk mempertahankan diri dan kelompok dari mara bahaya,
pada awal mula kehidupan manusia menjadi
mangsa dan sasaran rantai makanan dari ekosistem alam. Makhluk hidup yang buas
dan populasinya lebih banyak dibanding dengan manusia, siap memangsa manusia
kapanpun. Namun seiring berjalannya waktu, keserakahan dan kebuasan manusia
melebihi kebuasan hewan paling buas yang dahulu sebagai predator utama.
c.
Untuk melanjutkan kelangsungan keturunan, sebagai
eksistensi kelangsungan dan pelaksanaan tugas manusia selaku kholifatulloh.
Dengan adanya interaksi dengan individu yang lain, manusia dapat memenuhi
kebutuhan biologis dan melestarikan keturunannya. Sudah kodratnya manusia hidup
berpasang-pasang dan berkelompok-kelompok, bersuku dan berbangsa.[5]
d.
Sebagai simbol bahwa manusia adalah makhluk yang lebih
sempurna dari makhluk lainnya dengan diberi keistimewaan berupa akal yang dapat
digunakan untuk melukiskan keluhuran manusia.
Namun dalam realita, pelaksanaan kehidupan manusia tidak
selalu berjalan sesuai dengan keinginan dan tidak jarang terjadi
gesekan-gesekan kepentingan satu dengan yang lainnya. Sifat alami manusia yang
cenderung rakus, mengharuskan adanya rangkaian kesepakatan antar individu yang
mengaturm pola interaksi manusia itu sendiri. Rangkaian kesepakatan itu
adakalanya tertulis dan adakalanya hanya sebatas kesepakatan yang menjadi
tradisi dan menyatu dalam masyarakat.
Dalam kesepakatan ini di sepakati apa yang boleh dilakukan
dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh setiap individu yang mengakui
eksistensi dari kesepakatan tersebut yang selanjutnya disebut sebagai norma/kaedah
sosial.[6]
Sebagai tolok ukur perilaku masyarakat, kaedah ini juga berisi tentang sanksi
bagi mereka yang menyalahi/menyimpang dari kaedah sosial tersebut, serta
pihak-pihak yang berhak menjatuhkan sanksi. Tingkat kepatuhan masyarakat
terhadap kaedah sosial yang ada merupakan barometer tingkat ketertiban dan
keteraturan stabilitas sosial di masyarakat. Selanjutnya kaedah-kaedah sosial
itu dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu;
a.
Kaedah/norma agama, serangakaian pedoman perilaku manusia yang berasal dari
Tuhan, berisi tentang perbuatan yang diperbolehkan/diperintahkan dan perbuatan
yang dilarang, serta anjuran-anjuran. Kaedah agama sebagai cerminan sikap
kepatuhan manusia atas agama yang dianut dan diyakininya, serta batas-batas
pengendali dalam pola interaksi manusia.
b.
Kaedah/norma kesusilaan, adalah serangakaian petunjuk yang berisi pedoman
perilaku di masyarakat, berasal dari dalam hati dan nurani manusia itu sendiri.
Kaedah yang berasal dari intuisi ini mencerminkan jati diri seseorang dalam
masyarakat, apakah dia orang baik ataukah sebaliknya. Namun sanksi yang
dijatuhkan dari kaedah ini cenderung tidak begitu terasa, karena hanya sebatas
cap/label dalam masyarakat, tidak ada sanksi yang tegas dan membuat jera
pelakunya.
c.
Kaedah/norma kesopanan, adalah petunjuk yang berisi pedoman perilaku manusia
yang berasal dari kebiasan-kebiasaan yang terjadi di masyarakat dan diterima
sebagai wujud kesadaran hukum manusia itu. Hal ini bertumpu pada realita etika
yang ada di masyarakat sebagai kontrol sosial dan manifestasi kepatuhan pada
budaya yang ada.
d.
Norma hukum, adalah rangkaian pedoman perilaku yang dibuat oleh penguasa yang ditunjuk
masyarakat, bersikap memaksa, berlaku bagi suatu komunitas, dan sanksi bagi
yang melanggarnya. Keistimewaan dari kaedah ini adalah sifatnya yang memaksa
dan samksi nyata/langsung bagi para penentangnya. Berbeda dengan norma/kaedah
lain yang cenderung prefentif namun taidak ada aturan baku dan sanksi langsung
dalam praktek kehidupan. Meskipun demikian, keseimbangan antara keempat noram
tersebut diatas, akan lebih membantu dala mewujudkan rasa keadilan,
ketentraman, dan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat.
2.
Stratifikasi Sosial dan Hukum
a.
Stratifikasi sosial
Stratifikasi sosial adalah pembedaan dan penggolongan
masyarakat atau penduduk dalam kelas-kelas bertingkat secara hierarkis. Sebagai
aspek penilaian sosial secara vertikal dalam kehidupan sosial, dimana terjadi
ketidakseimbangan distribusi sandang, pangan, papan, bahan mentah/produksi, dan
lain-lain. Dengan adanya ketidakmerataan tersebut sehingga timbul asumsi yang
selalu dikaitkan dengan kastanisasi sosial secara materiil.[7]
Kastanisasi/staratifikasi yang lazim muncul dimasyarakat untuk mengelompokkan
masyarakat diantaranya adalah tingkat kekayaan materi, kekuasaan, kehormatan,
dan tingkat intelektualitas/jenjang pendidikan.
Diantara lapisan masyarakat tingkat atas dan tingkat
bawah, terdapat lapisan yang jumlahnya relatif banyak. Biasanya lapisan tingkat
atas lebih berkesempatan menguasai beberapa macam klasifikasi yang dihargai di
masyarakat yang bersifat komulatif. Sehingga, mereka yang berada di lapisan
atas selain memiliki uang yang banyak, juga memiliki tanah yang luas,
kekuasaan, pendidikan tinggi, kehormatan dan lain sebagainya. Ukuran yang biasa digunakan untuk
mengklasifikasi masyarakat dalam suatu pelapisan adalah sebagai berikut:
1)
Ukuran kekayaan.
Kekayaan yang selalu di ukur dengan banyaknya materi yang
dimiliki seseorang, menjadi tolok ukur bagi tetangga dan masyarakat sekitar
ketika harus bersikap. Kekayaan yang meliputi rumah mewah, mobil, tabungan di
bank, cara berpakaian, perhiasan, perusahaan, kebiasaan belanja barang-barang
mahal di identikkan dengan seseorang yang harus dihormati.
Dalam hal kekayaan, kita mengenal adanya pengelompokan
masyarakat dengan beberapa tingkatan, yaitu golongan atas(kaya),
menengah(cukup), dan golongan bawah(miskin). Walaupun ukuran tingkat kekayaan
antara satu tempat dengan tempat lainnya tidaklah selalu sama berdasarkan pada
tingat fluktuasi ekonomi dan kemajuan lokasi.[8]
Namun bagaimanapun juga yang namanya stratifikasi pasti sedikiy banyak akan
menimbulkan dampak yang sangat berarti bagi yang berada pada golongan menengah
kebawah.
2)
Ukuran kekuasaan
Dalam hal kekuasaan selalu di identikkan dengan mereka
yang mempunyai kekuasaan/wewenang yang besar, sehingga masyarakat yang ada di
sekitarnya harus tunduk dan patuh pada yang diperintahkan. Semakin tinggi
pangkat dan jabatan seseorang, maka semakin tinggi pula kedudukannya dalam
pandangan masyarakat. Meskipun tak jarang, kekuasaan yang disandang didapat dengan
cara yang tidak terpuji bahkan melanggar norma-norma yang ada di masyarakat itu
sendiri. Misalnya dengan menyuap atasan agar bisa naik pangkat, sikut kanan dan
kiri untuk menjatuhkan lawan/saingan, menggelapkan uang rakyat untuk keperluan
suap dan memperkaya diri sendiri dan keluarga.
3)
Ukuran kehormatan
Yang dimaksud disinai adalah gelar kehormatan yang
biasanya terlepas dari ukuran kekayaan dan kekuasaan. Dalam masyarakat jawa
banyak dikenal istilah-istilah kehormatan dimana sang empunya dianggap
berjasa(seperti babat desa, pengusir pageblug, pembawa agama), berwibawa,
kharisma, tokoh masyarakat dan agama(kyai, baik kyai mushola ataupun masjid,
terlebih yang punya pondok pesantren).
Semakin disegani dan dihormati seseorang dalam
masyarakat, berarti kasta yang disandang juga semakin tinggi. Bahkan ada yang
sampai dikultuskan sebagai jelmaan dewa, wali, jelmaan malaikat dan lain-lain.
Padahal pada dasarnya semua manusia itu sama saja, sebagai makhluk Tuhan yang
memiliki kewajiban menyembah kepadaNya.
4)
Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan baik agama ataupun umum yang digunakan
sebagai ukuran untuk menghormati seseorang. Semakin tinggi tingkat/jenjang
pendidikan, maka berarti semakin tinggi pula martabatnya dimata masyarakat.
Padahal tidak selamanya semakin tinggi pendidikan, berarti semakin pandai, semakin baik, semakin berbudi
luhur pula seseorang. Seringkali kita jumpai hal-hal yang membuat kita
terhenyak, dimana para pemilik uang dengan mudah membeli ijazah strata yang di
inginkan tanpa harus bersusah payah menempuh pendidikan.
Sementara mereka yang tidak mampu dan berjuang dengan
susah payah mendapatkan gelar itu, malah kadang dipersulit dan disia-siakan.
Padahal jelas yang demikian itu sangat bertentangan dengan falsafah rasa
keadilan dimata masyarakat. Akan tetapi apa hendak dikata, itulah realita
kehidupan masyarakat terutama di Indonesia yang semakin hari tidak semakin
baik, namun malah semakin terpuruk dimana yang kaya semakin kaya sementara yang
miskin semakin tidak punya kesempatan hidup.[9]
Tidak hanya empat ukuran limitatif diatas saja, alat ukur
stratifikasi sosial dimasyarakat, namun yang lazim diakui adalah hal tersebut.
Misal adanya klasifikasi masyarakat dalam adat-adat di daerah tertentu yang
punya kebiasaan klasifikasi masyarakat dalam beberapa tingkatan.[10]
Yang jelas, stigma negatif selalu tertuju pada mereka yang berada dalam
kasta/strata paling bawah dari setiap jenis pengelompokan.
b.
Stratifikasi hukum
Mengutip dari Prof.
Sudarto dalam seminar Kriminologi ke-IV di Semarang yang mengemukakan bahwa
saat ini peraturan perundangan-undangan yang menyangkut penanggulangan
kejahatan politik bertitik tolak pada "instansi"(Instansi centriss)
sehingga menimbulkan fragmentasi. Dasar yuridis formal yang fragmentatis, secara sumtif mengakibatkan
pada keadaan-keadaan yang lebih parah terutama dari segi penegaknya yang
apabila berbuat negatif disebut oknum. Jika orientasi yang digunakan oleh para
instansi sudah mengacu pada "status personal", maka jangan terlalu
berharap persamaan dihadapan hukum sebagaimana amanat UUD 45 pasal 27 akan bisa
terwujud.[11]
Aparat yang
seharusnya bertindak netral, lebih memendang kedudukan dimata hukum seringkali
berputar haluan bila sudah keluar dari peranan dan fungsi sesungguhnya.
Soerjono Soekanto mengatakan Rule of law atau persamaan kedudukan dimata
hukum di Indonesia sudah cenderung mengarah pada diskriminasi sosial. Dimana
hal itu sebagai dampak dari adanya stratifikasi sosial yang ada di masyarakat
Indonesia itu sendiri. Dalam beberapa waktu ini, seringkali muncul kejadian-kejadian
yang menggemparkan dan menjadi perdebatan oleh para elit penguasa di negara
kita. Yang dengan sengaja dibuat asumsi dan stigma bahwa tingkat anarkisme
masyarakat yang sudah tidak terkendali. Padahal sebenarnya kalau kita mau mawas
diri, itu semua adalah wujud dari tidak efektifnya penegakan hukum dan tidak
adanya kedilan lagi dalam lembaga peradilan dan penegak hukum kita.
Tengok saja kasus
sepele yang dilakukan oleh kalangan masyarakat miskin, seperti kasus pencurian
sandal seorang polisi di Makasar, kasus pencurian pisang di Tuban, pencurian
dua batang ubi, pencurian buah asem(baca: asam) pasti akan segera ditindak
lanjuti dan selanjutnya diproses hukum. Bahkan tidak jarang para "pencuri"
yang mendasarkan perbuatannya tersebut demi untuk bertahan hidup, malah
mendapatkan hukuman yang lebih besar daripada "pencuri" lain yang
lebih besar namun dari kalangan elit penguasa.
Tapi, hal itu akan
berbalik 180 derajat apabila yang melakukan pencurian adalah mereka yang
berasal dari strata tinggi, misal para "wakil rakyat" yang duduk di
kursi empuk dan bisa tidur di toilet seharga 2 milyar. Aparat penegak hukum dan
dan pera pengadil akan berlomba-lomba memberikan sanksi hukum yang
seringan-ringannya, bahkan kalau bisa dibebaskan dari tuduhan yang disangkakan.
Padahal kalau kita lihat dasar perbuatan dan efek yang ditimbulkan tentu lebih
besar pencurian yang dilakukan para pemegang kekuasaan. Akan tetapi apa hendak
dikata, itulah cerminan mental aparat pemegang amanah rakyat yang sudah
dibutakan mata batinnya oleh gelimang sesaat harta jarahan dari para pemberi
amanah itu sendiri. Sehingga muncul gagasan kita bubarkan saja "wakil
rakyat" yang ada di parlemen yang digaji dengan 100 kali lipat penghasilan
yang diwakilinhya.
Oleh karena itu,
jangan salahkan jika pengendalian hukum yang dijalankan pemerintah sudah tidak
lagi berjalan, kemudian secara otomatis timbul sistem pengendalian sosial baru
sebagai dampak dari tidak efektifnya fungsi penegakan hukum. Maka muncullah
tindakan "eigenrichting"[12]
oleh sekelompok individu yang tidak puas dengan sosial control yang dilakukan
pemerintah dan aparaturnya.
Soerjono Soekanto[13]
membedakan unsur-unsur dalam lapisan masyarakat hukum sebagai berikut;
1)
Kedudukan/status
Yang berarti sebagai tempat/posisi seseorang dalam suatu
kelompok sosial, bukan kedudukan sosial yang artinya tempat seseorang secara
umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dlam arti lingkungan
pergaulannya, presstisnya, dan hak-hak serta kewajibannya. Secara abstrak,
kedudukan berartitempat seseorang pada pola tertentu, dengan demikian seseorang
bisa memiliki beberapa kedudukan karena biasanya ikut sreta dalam bebarapa
komunitas kehidupan.
Masyarakat pada umumnya mengembangkan dua macam
kedudukan, yaitu;
a)
Ascribed Status; kedudukan seseorang dalam masyarakat
berdasar pada pembawaan sejak lahir tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan
rohaniahdan kemampuan individualnya. Contoh, kedudukan anak seorang bangsawan,
brahmana, dan lain sebagainya.
b)
Achieved Status; kedudukan seseorang yang tidak
didapatkan dari kelahiran melainkan dengan usaha-usaha yang disengaja. Misalnya
dengan persyaratan tertentu untuk mendapatkan sesuatu kedudukan yang di
inginkan/menaikan pangkat.
2)
Peranan/role
Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan status, apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka
dia menjalankan suatu peranan. Setiap orang mempunyai bermacam-macam peranan
yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya dimasyarakat.
Semakin tinggi setatus
sosial dan hukum seseorang, maka semakin sulit dan semakin banyak hukum
penjerat yang digunakan untuk menghentikan tindakan melawan hukum yang
dilakukan. Tetapi sebaliknya, tidak perlu lebih dari satu tata aturan saja
untuk menjerat pelaku melawan hukm dari kalangan menegah kebawah. Karena mereka
cenderung lebih patuh dan taat pada perundang-undangan yang berlaku dibanding
para elit yang egois dan serakah.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
-
Norma/kaedah adalah serangakain pedoman kehidupan yang
telah disepakat oleh suatu komunitas yang berisi hal-hal yang boleh dan
dilarang, anjuran, sanksi.
-
Norma/kaedah dibagi menjadi empat; a) Norma agama, b)
Norma kesusilaan, c) Norma kesopanan, d) Norma hukum
-
Stratifikasi sosial adalah pembedaan dan penggolongan masyarakat
atau penduduk dalam kelas-kelas bertingkat secara hierarkis.
-
Stratifikasi sosial umumnya didasarkan pada empat hal; a)
Kekayaan, b) Kehormatan, c) Kekuasaan, dan, d) Ilmu Pengetauan
-
Stratifikasi dalam hukum sebagai turunan dari
stratifikasi sosial mengakibatkan Semakin tinggi setatus sosial dan hukum
seseorang, maka semakin sulit dan semakin banyak hukum penjerat yang digunakan
untuk menghentikan tindakan melawan hukum yang dilakukan. Tetapi sebaliknya,
tidak perlu lebih dari satu tata aturan saja untuk menjerat pelaku melawan hukm
dari kalangan menegah kebawah.
-
Unsur pelapisan sisial dan hukum; a) Status dan b)
Peranan
2.
Kritik Dan Saran
Sebagai seorang peneliti pemula, penulis yakin masih banyak
kekurangan di berbagai tempat dalam makalah ini, mulai dari teknis penulisan,
ejaan baku, penulisan tanda baca, dan hal-hal lain terkait teknis dan
non-teknis. Oleh karena itu, penulis sangat membutuhkan kritik dan saran dari
pembaca sekalian, agar kedepan bisa lebih baik dan lebih sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
Baharuddin Lopa, Permaslahan dan Penegakan
Hukum di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang.
Layyin Mahfiana, Ilmu Hukum, Cet I . 2005.Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press.
Chainur Ar- Rasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum,
1999. Jakarta: Sinar Grafika.
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cet. IV
2008. Jakarta: Sinar Grafika.
Soerjono Soekamto, Sosiologi: Suatu
Pengantar, Cet 38 2005. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi,
Edisi XXVI, 2005. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum:
Study Tentang Perubahan Hukum dan Sosial, 2003. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah
Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, 1994. Bandung: Rosda Karya.
[2] Data Statistik dan Sensus pada Tahun 2009 oleh
Badan Pusat Statistik Indonesia dalam rangka rekompensasi kenaikan harga BBM
[8] Soerjono Soekamto, Sosiologi: Suatu
Pengantar, Cet 38 2005. (Jakarta: Raja Grafindo Persada) hal. 149-156
[10]Selo Soemarjan
dan Soelaiman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi,
Edisi XXVI, 2005(Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) hal 235
[11] Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum:
Study Tentang Perubahan Hukum dan Sosial, 2003(Jakarta: Raja Grafindo
Persada), 58
[12]Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan
Masyarakat, 1994.(Bandung: Rosda Karya), 53
Komentar
Posting Komentar