Nasab Biologis Beda dengan Nasab Syar'i'
Nasab Biologis Beda
dengan Nasab Syar'i'
Tes
deoxyrebose nucleic acid (DNA) bukan wacana baru dalam lapangan sains. Tapi
bila persoalan itu diusung dalam konteks agamawi, tentu akan menjadi hal yang
sangat menarik. Dan, tema itulah yang diusung komisi Bahtsul Masail Nahdlatul
Ulama yang akhirnya memutuskan menolak uji DNA untuk menentukan hubungan
kekeluargaan seseorang secara syar'i.
''Secara biologis dia bisa
dinasabkan, tapi tidak secara syar'i,'' ujar Rois Syuriah PWNU Propinsi Riau,
KH TG Drs Muchtarullah, dalam sidang itu. Pendapat inilah yang akhirnya diamini
oleh peserta sidang.
Menurut Muchtarullah, ia hanya
mengingatkan bahwa secara syariat Islam, nasab didasarkan pada perkawinan yang
sah. Ketidakjelasan nasab akan membawa para perkara hukum yang lain, waris.
''Jika ia tidak bisa dinasabkan secara syar'i, maka tidak bisa mendapatkan hak
waris,'' tambahnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Darul
Hikmah Pekan Baru Riau, yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Propinsi Riau
ini menuturkan, dalam menentukan sebuah keputusan atau rekomendasi, harus
menelisik banyak rujukan. ''Agar bisa dipertanggungjawabkan di kemudian hari,
dunia akhirat,'' ujarnya.
Kepada wartawan Republika Syahruddin
El-Fikri, ia bertutur mengenai salah satu pokok bahasan komisinya -- selain isu
suap dalam penerimaan pegawai negeri sipil. Berikut ini petikannya:
Masalah tes DNA ini menjadi bahasan utama peserta sidang
Komisi Bahtsul Masa'il Diniyah al-Waqi'iyyah pada Muktamar NU ke-31.
Mengapa persoalan ini dianggap 'layak bahas'
Tes DNA itu adalah merupakan penemuan pada ilmu kedokteran
(medis) terkini. Sebab pada Rasul dan zaman sahabat belum dikenal istilah
seperti itu. Yang ada pada saat itu adalah sistem al-qiyafah, yakni menurut
penglihatan setelah melihat bagian-bagian pada bayi yang baru lahir. Dan salah
satu contohnya atau yang saat ini telah di-qiyas-kan adalah dalam bentuk sidik
jari. Melalui sidik jari tersebut, seseorang ditentukan bahwa 'inilah
sebenarnya hubungannya'.
Dalam tes DNA, yang seperti diputuskan dalam komisi Bahtsul
Masail Al-Diniyah dalam Muktamar NU ini (pekan lalu, red), akurasi tingkat
kebenaran sudah mencapai 99,9 persen, dan bisa dijadikan sebagai penetapan
bahwa seseorang itu memiliki hubungan dengan yang lain. Oleh karena itu, dalam
penetapan masalah DNA tersebut, sebagaimana pendapat yang berkembang dikalangan
muktamirin, khususnya masalah ilhaqu al-nasab (hubungan nasab/keturunan), maka
berdasarkan hasil tes DNA bisa dijadikan sebagai bagian yang akan mendukung
boleh tidaknya seseorang itu diakui sebagai nasab.
Dalam Bahtsul Masail itu sendiri berkembang dua pendapat,
yakni dengan hasil tes DNA itu seseorang bisa dinasabkan secara biologis.
Artinya yang bersangkutan memiliki hubungan biologis dengan orang tertentu.
Tetapi dari segi syar'i, apakah yang bersangkutan tersebut merupakan anaknya
atau tidak, hal itu tidak bisa semata-mata berdasarkan hasil tes DNA.
Kenapa?
Sebab, dalam menentukan keturunan seseorang itu sah atau
tidak, amat terkait dengan proses perkawinan. Seseorang itu diakui dan dianggap
sebagai anak yang sah, dan memperoleh hak-haknya dalam waris, apabila ia lahir
dari hasil pernikahan yang sah. Nah, karena hasil tes DNA hanya menentukan
hubungan keturunan itu secara biologis saja, dan tidak diketahui secara syar'i
hubungan tersebut sah atau tidak, maka hal itu tidak bisa serta merta bisa
ditentukan sebagai dasar hukum bahwa yang bersangkutan memiliki hubungan yang
sah dengan orang lain.
Oleh karenanya, selain melalui tes DNA itu, masih
dibutuhkan sekian informasi lainnya untuk menetapkan bahwa yang bersangkutan
itu memiliki hubungan dengan orang lain, seperti melalui fisika, akal dan lain
sebagainya. Sedangkan tes DNA itu hanya merupakan salah satu bagian saja dari
informasi yang banyak tersebut. Jadi hal itu belum bisa diputuskan bahwa yang
bersangkutan itu merupakan nasab dari si A atau si B secara sah (syar'i),
sedangkan secara biologis bisa saja hal itu dinasabkan.
Bagaimana dengan hak waris, padahal dia bisa dinasabkan
secara biologis?
Masalah waris, dalam Alquran dan hadis nabi sudah jelas
menegaskan bahwa orang yang berhak menerima warits adalah orang yang bisa
dinasabkan secara syar'i, artinya bisa dinasabkan secara sah karena terikat
dalam perkawinan.
Sebagai contoh, dalam madzhab Syafi'i, bila seorang
laki-laki dan seorang perempuan itu melakukan hubungan zina, maka walaupun ia
lahir dari keduanya, tapi tidak bisa dianggap sebagai anak keturunan. Kenapa?
Karena menurut Syafi'i, yang namanya nikah adalah aqad, itulah yang menentukan
seseorang itu bisa mendapatkan hak warits atau tidak. Tetapi, kalau tidak ada
aqad, walaupun dia itu merupakan hasil dari hubungan diantara keduanya, tetap
tidak bisa dia mendapatkan warisan.
Tes DNA itu hanya merupakan salah satu alat untuk bisa
mengetahui bahwa yang bersangkuta itu memiliki hubungan atau tidak memiliki
hubungan dengan yang lain (menafikan). Jadi bukan untuk menentukan bahwa dia
memiliki hubungan dengan yang lain atau menisbatkan.
Bisa dipertegas, mengenai dasar hukum atas masalah ini?
Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa al-waladu li
al-firasy, artinya anak keturunan itu, harus berdasarkan hubungan suami isteri
yang sah. Jadi tes DNA hanya untuk lebih menguatkan (qorinah) saja. Dan dalil
ini sudah sangat tegas menjelaskan masalah tersebut.
Sedangkan dari segi kajian usul fikihnya, hal itu
dikhawatirkan akan menimbulkan kerancuan dalam masalah nasab. Sebagaimana salah
satu kaidah usul fikih yang menyatakan, dar' ul-mafasid muqaddamun 'ala jalbi
al-mashalih, menolak sesuatu yang akan menimbulkan kerusakan harus lebih
didahulukan daripada menarik sedikit kemashlahatan. Jadi karena dianggap akan
mengaburkan permasalahan nasab, maka tes DNA boleh dilakukan sebagai qorinah
atau menguatkan masalah tersebut, tetapi tetap tidak bisa dijadikan sebagai
nasab syar'i. Karena selain masih banyak informasi lain yang harus dibutuhkan
untuk menetapkan masalah ini, juga harus dibuktikan dengan nasab syar'i, yakni
melalui pernikahan yang sah
Dalam kaitannya masalah ini, maka persoalan ini, masuk
dalam kategori hukum dari syadduz dzariah, yakni menolak kerusakan yang akan ditimbulkan.
© 2005 Hak Cipta oleh Republika
Online
Komentar
Posting Komentar