Hermeneutika dan Dinamisasi Tafsir
Lahirnya berbagai produk
interpretasi yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan nilai-nilai modernitas
seperti demokrasi, HAM, kesetaraan gender dan pluralisme semakin mendesak
dilejitkannya paradigma interpretasi baru yang mampu melampaui metode tafsir
yang selama ini dipakai. Paradigma interpretasi baru yang akhir-akhir ini
ditawarkan dan telah diaplikasikan secara serius oleh para pemikir modern dari
Fazlurrahman sampai Nashr Hamid Abu Zayd adalah hermeneutika.
Sebagai sebuah paradigma
interpretasi, hermeneutika memang muncul dan berkembang di Barat. Berbeda
dengan paradigma tafsir yang dinilai sebagian pemikir telah mengalami stagnasi,
hermeneutika berkembang semenjak Schlemeicher – yang oleh Abu Zayd diklaim
sebagai Bapak Hermeneutika dan representasi hermeneutika klasik – sampai
polarisasi obyektifitasnya Emilio Betti dan subyektifitasnya Gadamer.
Perkembangan hermeneutika telah melewati dialektika tesis, antitesis bahkan
sintesa, sehingga mengkonsekwensikan corak hermeneutika yang begitu beragam,
bahkan kontradiktif.
Menyimak asal usul
hermeneutika, perkembangannya serta madzhab-madzhab hermeneutika memang
menarik. Sama menariknya ketika kita merunut perkembangan tafsir klasik dengan
melakukan kajian kritis terhadap dua arus penting metodologi tafsir yang
dibangun semenjak abad ke ke 9 H sampai 13 H, yaitu tafsir riwayat (bil
ma'tsur) dan pemikiran (bir ra’yi). Atau mencermati pemetaan
ala Farmawi yang mengklasifikasi metode penafsiran al Qur’an menjadi empat: muqâran,
ijmâli, tahlîli, dan mawdhû’i. Semua itu, akan menghantarkan
kita pada suatu kesimpulan betapa semaraknya diskursus tafsir pada waktu itu.
Akan tetapi sayang, kontinuitasnya sebagai paradigma interpretasi yang evolutif
tidak menemukan dinamisasi signifikan oleh kalangan penggiatnya.
Akibatnya ketika
hermeneutika ditawarkan, ia seolah menjadi "oase" di tengah
gersangnya tafsir-tafsir yang ada. Terlebih, di era modern ini kalangan penggiat
tafsir kurang agresif mempopulerkan kekayaan khazanah tafsir sebagai sebuah
metode yang khas dalam Islam. Toby Lester pernah memuji Mu'tazilah yang ia
anggap sebagai pioneer pendekatan rasional dalam studi Islam dan al
Qur'an. Lester juga menyebut kalangan sarjana Islam mutakhir yang merintis dan
melanjutkan kajian-kajian kritis al Qur'an yang dulu dimulai oleh Mu'tazilah,
seperti Nashr Hamid Abu Zayd dan Mohamed Arkoun. Abu Zayd mengaku dalam banyak
bukunya bahwa apa yang dia lakukan adalah melanjutkan studi al Qur'an dengan
pendekatan literer yang telah dimulai oleh murid Muhammad Abduh, yaitu Amin Al
Khauli dan istrnya, A'isyah bint al Syathi'. Bagi penulis, rintisan Abu Zayd
merupakan "breakthrough" dan sangatlah penting ketika
akhir-akhir ini yang muncul kepermukaan dan kerap diekspose oleh media massa
adalah model tafsir yang rigid terhadap teks, sehingga lahir lah berbagai
produk interpretasi yang cenderung bias gender, kurang mengapresiasi HAM dan
tidak peka terhadap masalah-masalah sosial.
Upaya dinamisasi tafsir
tentu masih mempunyai harapan. Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan analisa
kritis dengan pisau bedah yang mempunyai daya sayat melacak esensi tafsir dan
takwil, sejarah perkembangannya serta pemetaan metode dan berbagai corak tafsir.
Analisa kritis ini lah yang akan menghantarkan para penggiat tafsir pada
kondisi dan posisi obyektif tafsir. Strategi ini kemudian diikuti dengan
melakukan kajian elaboratif dan komprehensif terhadap hermeneutika, pemantauan
setiap perkembangan terbaru dan pemanfaatan terhadapnya.
Dalam hal ini, sikap
kritis yang diajarkan dalam hermeneutika terhadap semua teks jelas menjadi sisi
menariknya. Ungkapan klasik Nietszhe yang sering dijadikan pegangan adalah
''Jangan lihat apa yang dikatakan, tetapi lihat siapa yang mengatakan dan
mengapa itu dikatakan serta apa kepentingan di balik semua itu.'' Dalam
hermeneutika, seorang hermeneut dituntut untuk tidak sekadar melihat apa yang
ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada di balik teks.
Lepas dari berbagai varian
hermeneutika, ada kesamaan pola umum mengapresiasi 'kencan' segitiga (triadic)
antara teks, pembuat teks dan pembaca (penafsir teks). Dan dari berbagai
madzhab hermeneutika itu, dapat disimpulkan bahwa dalam memahami obyek, baik
berupa teks-teks keagamaan, karya kesusastraan maupun dokumen-dokumen hukum,
hermeneutika menekankan metode pendekatan linguistik, rekonstruksi historis,
psikologis pengarang, antropologis, komparasi teks, dialogis, dan pembebasan
diri interpreter dari bias subyektifitas. Pemahaman umum yang
dikembangkan, sebuah teks selain produk pengarang, juga merupakan produk budaya
(Abu Zayd) atau episteme suatu masyarakat (Foucault). Karenanya, konteks
historis dari teks menjadi sesuatu yang sangat signifikan untuk dikaji.
Tentu saja, para penggiat
tafsir bisa mengkongklusikan suatu unsur paradigma interpretasi baru dari
berbagai madzhab hermeneutika yang ada. Mereka bisa membaca dan belajar dari
titik berat analisa gramatikal, psikologi, komparasi dan rekontruksi
historisnya Schlemeicher, integralitas konteks hidup dalam sebuah teks ala
Dilthey dan Ricoeur. Sedangkan Husserl, baginya teks hanyalah fenomena yang
harus dipahami menurut “kehendak murni” teks itu sendiri alias “opo onone”.
Mereka juga bisa menggandeng Gadamer yang tampil beda, di mana ia mengandaikan
pemaknaan yang tidak hanya mereproduksi makna yang dikehendaki pembuat teks,
tetapi lebih menekankan interpretasi produktif. Yang terakhir inilah 'cita
rasa' hermeneutika Abu Zayd dalam bukunya Isykâliyyat al-Qirâ’ah wa
Aliyyât al-Ta’wîl.
Upaya belajar dari capaian
madzhab-madzhab hermeneutika Barat tidak berarti mengadopsi dan
mengaplikasikannya secara total dengan menanggalkan karakter khusus teks-teks
Islam terutama al Qur'an. Jika para hermeneut Barat berangkat dari problem originality
teks Bibel maka para hermeneut muslim bisa berangkat dari teks al Qur'an
yang tidak mempunyai problem serupa. Begitu juga jika hermeneut Barat
berusaha menciptakan makna yang lebih baik dari kehendak pengarang, maka dalam
konteks al Qur'an tidak ada makna yang lebih baik dari apa yang dikehendaki
Tuhan.
Di samping itu, segala
ikhtiar interpretasi terhadap teks-teks Islam dengan tafsir-hermeneutis sebagai
paradigmanya seharusnya berangkat dari berbagai bentuk problematika
sosio-politik dan budaya yang dihadapi umat Islam dengan berbagai 'ciri
khas'nya; keadilan, keterbelakangan, kemiskinan, otoritarianisme, HAM,
pluralisme dan seterusnya. Dengan begitu, bentuk interaksi dengan budaya dan
produk intelektual yang dihasilkan Barat tidak sekedar 'ekspor-impor' secara
terbuka atau tertutup penuh, akan tetapi harus terjalin dalam sebuah proses
dialektika yang kritis, intens dan produktif.
Upaya-upaya di atas bisa
dilakukan apabila kita mempercayai hipotesa yang dikemukakan Nashr Hamid Abu
Zayd dalam kitabnya Isykâliyyat al-Qirâ’ah wa Aliyyât al-Ta’wîl
yang menyatakan, "Al-hermeneutika (al-hermeneuthiqa) – idzan –
qadliyyatun qadîmatun wa jadîdatun fi nafs al-waqti, wa hiya fi tarkiziha ‘ala
‘alaqati al-mufassir bi al-nash laysat qadliyyatan khasatan bi al-fikri
al-gharbi, bal hiya qadliyyatun lahâ wujûduha al-mulih fi turâtsina al-‘arabi
al-qadîm wa al-hadîts ‘ala sawa’." Artinya: "Hermeneutika –
kemudian – adalah diskursus lama sekaligus baru. Konsentrasi pembahasannya
adalah tentang relasi penafsir dengan teks, bukan hanya diskursus dalam
pemikiran Barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga ada dalam turats
Arab, baik Arab klasik maupun kontemporer. Sehingga, hermeneutika sebetulnya
merupakan kelanjutan saja dari tafsir klasik yang stagnan.
Komentar
Posting Komentar