Materi Hukum Adat STAIN Ponorogo 2010-2011



BAB I
Pendahuluan
1.      Latar belakang masalah
Setelah 66 tahun memerdekakan diri dari penjajahan yang berlangsung selama berabad-abad pada tahun 1945, Indonesia belum mampu membuat tata peraturan sendiri yang mengatur hubungan hokum perdata antar warga Negara. Dengan kondisi yang demikian itu mengharuskan pemerintah untuk tetap memberlakukan hokum perdata Belanda yang tertuang dalam BW(Bergelich Wethbook). Selain itu Indonesia yang memiliki wilayah territorial yang sangat luas juga ikut mempengaruhi sulitnya menelurkan sebuah peraturan yang secara universal dapat diterapkan di Indonesia. Warga Negara Indonesia yang tersebar di 13.677 pulau yang mana satu sama lain dipisahkan oleh laut dan iklim yang berbeda menyebabkan beranekaragamnya kebiasaan dan adat –istiadat yang dilakukan.
Tercatat ada sekitar 200 macam suku, adat, dan bahasa yang berbeda serta 20 lingkaran hokum adat, sehingga antara satu dengan yang lainnya juga mempunyai tatanan aturan yang berbeda pula. Perbedaan tata aturan itulah yang seharusnya dapat dijadikan sebagai satu khazanah kekeyaan bangsa, namun pada senyatanya justru menjadi pemicu konflik antar suku yang berbau SARA(Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan).
Perkawinan dan tradisi nya yang berbeda-beda seringkali menimbulkan permasalahan yang sangat krusial dan berkepanjangan. Bahkan tidak jarang membawa dampak serius pada keamanan nasional yang menimbulkan kerugian materi serta korban jiwa yang tidak sedikit pula.padahal kita sendiri juga yang akan menanggung beban dari semua konsekuensi yang kita timbulkan atas perusakan pada fasilitas-fasilitas Negara.
Oleh karena itulah, sebagai generasi muda penerus cita-cita luhur para pendiri bangsa selayaknya kita mempelajari kasus-kasus yang tekah ada agar bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melangkah kedepan. Dengan mempelajari aneka macam suku dan adat yang ada, agar tujuan pembangunan tidak berjalan timpang antara daerah satu dengan yang lainnya.

2.      Rumusan masalah (resume meteri)
Berawal dari permasalahan tersebut diatas, maka agar lebih mudah kita dalam mempelajari seluk-beluk hokum adat di Indonesia, kiranya perlu kali buat rumusan masalah yang berkenaan dengan hal itu. Juag agar pembahasan tidak melebar jauh dari yang seharusnya dibahas dalam makalah ini.
Adapun rumusannya adalah sebagai berikut ;
a.       Bagaimana hukum perseorangan dan kekeluargaan adat yang ada di Indonesia ?
b.      Bagaimana hukum perkawinan dan harta perkawinan di Indonesia?
c.       Bagaimana hukum kewarisan dan penerapannya di Indonesia?

























BAB II
Resume materi
1.      Bab I : Hukum Perseorangan dan Kekeluargaan
a.       Keturunan
Di Indonesia ada 3 macam sistem keturunan ;
1)      Patrilineal ; masyarakat yang menarik system garis keturunannya secara konsekuen berdasar pada pandangan yang bersifat religious-magis dari garis kebapakan. Wanita berubah statusnya dari klan sendiri mengikuti pada klan suaminya, namun tidak berarti bahwa seorang wanita sebagai hasil pembelian tetapi penggantian. Maksudnya sebagai penggantian kedudukan wanita dari klan orangtuanya nenuju klan kaluarga suaminya.
2)      Matrilineal ; masyarakat yang garis keturunannya di ambil dari garis keibuan, ibunya ibu dan seterusnya. Dimana seorang ibu berkuasa atas harta benda dan pendidikan serta keserasian dalam keluarga, dengan cara melestarikan system social exogami semenda. Sedangkan bentuk perkawinan yang paling berlaku adalah perkawinan bertandang dimana tidak diakui adanya harta bersama dan hidup bersama.
3)      Parental/bilateral ;
a.       Bilateral(family gezim) yang terhimpun dalam satuan-satuan kecil
Dalam system parental tidak dikenal adanya larangan menikah dengan siapapun, bahkan cenderung “bebas”, namun tidak berarti bebas yang tanpa aturan tanpa ada pertimbangan sama sekali. Jadi kebebesan yang dimaksud masih bersifat relative sepanjang tidak melanggar norma kesusilaan dan norma agama sebagaimana tercantum dalam pasal 22, 23, 24 UU no. 1 Tahun 1974 (yang melarang adanya pernikahan inses, semenda, sepersusuan, perparan).
b.      Bilateral(tribe) yang terhimpun dalam kantong-kantong besar keluarga sampai 15-20 keluarga dan hidup berkeompok dalam suatu daerah kawasan kekuasaan.

b.      Hubungan anak dengan orangtua dan kerabat
Dalam hokum adat yang disebut orangtua adalah garis ayah-ibu keatas jika memang masih hidup. Hubungan antara orangtua dan anak adalah hubungan yang terjadi secara alami tanpa adanya paksaan. Namun demikian juga ada aturan yang mengikat sebagai beban kewajiban dan tanggung jawab moral untuk merawat anak sampai dia dapat mandiri. Demikia pula seorang anak, tidak bisa serta merta meninggalkan dan menelantarkan orangtua yang telah membesarkannya dengan begitu saja tanpa rasa tanggung jawab sama sekali. Dalam hokum adat juga tidak mengenal adanya pencabutan hak pengasuhan sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang, jadi meskipun orangutan atau anaka melalaikan kewajiban merawat,tetap dianggap keluarga meskipun dianggap tidak berbakti/tidak bertanggungjawab.

c.       Memelihara dan mengangkat anak dari keluarga
Bila salah satu orangtua meninggal, maka yang lain meneruskan pengurusan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan anak sampai dia dewasa. Akan tetapi bila keduanya tidak ada/meninggal bersamaan, maka kewajiban beralih pada sanak kerabat yang lain atau bisa ditunjuk wali berdasarkan putusan pengadilan.
Di Indonesia sudah berjalan tradisi pengangkatan anak yang dikenal dengan istilah adopsi, pupon, piara, tukon ataupun “titip”. Yaitu seorang anak dilepas dari kekerabatan orangtua kandungnya dan ditarik pada garis keturunan dan kekerabatan orang yang mengadopsinya. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari kekhawatiran punahnya keturunan, tidak adanya yang mengurus dimasa tua, memperoleh tenaga kerja yang murah/gratis, memberi kesempatan hidup seorang anak yang ditinggal orangtuanya.
Anak yang dupungut kadang bisa mendapatkan waris dari dua belah pihak(orangtua asuh dan orangtua kandungnya), adakalanya hanya mendapatkan dari salah satu pihak saja, tergantung hokum yang berlaku dimasyarakat dan kesepakatan antara keluarga.

d.      Akibat hukum pengangkatan anak serta tujuan pengangkatan anak
Adanya pengangkatan anak menjadikan kedudukan anak angkat mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung yang lainnya. Anak angkat berhak mendapatkan harta peninggalan dari orangtua angkatnya, namun tidak berhak mendapatkan warisan dari orangtua kandungnya. Akan tetapi di beberapa daerah, anak angkat masih bisa mendapatkan warisan dari orangtua kandungnya jika orangtua anak yang diangkat adalah kekerabat  dekat/saudara dari yang mengangkat.

2.      Bab II : Hukum Perkawinan dan Harta Perkawinan
a.       Arti dan tujuan perkawinan
Perkawinan adalah suatu usaha untuk melestarikan golongan dengan tertib, melahirkan generasi baru yang meneruskan golongan itu sebagai satu kesatuan masyarakat hokum. Disamping itu, perkawinan juga sebagai sarana meneruskan silsilah, meneruskan garis hidup(sosial), mengatur kesanak-kerabatan, dan mempertahankan atau merubah kedudukan serta keseimbangan suku.

b.      Sistem Perkawinan adat
Perkawinan oleh mayarakat yang menganut pertalian darah dilaksanakan dengan system endogamy, exogami, dan pleutherogami(oleh masyarakat yang beragama islam). exogami ; system dimana seseorang pria harus mencari istri di luar marga(klan patrilineal) dan dilarang kawin dengan wanita semarga. System ini dianut oleh kalangan tapanuli selatan, minangkabau, batak, Sumatra selatan, lampung dan lain-lain. System endogamy ; dimana seorang pria di haruskan kawin dengan pasangan yang masih dalam satu klan(kerabat/keluarga sendiri). System ini banyak dilakukan oleh masyarakat Toraja dan kalangan masyarakat Kasta Bali. Sedangkan pleutherogami adalah system yang tidak ada pembatasan tentang asal muasal wanita yang akan dinikahi, akan tetapi mempertimbangkan agama yang dianut calon istri tersebut.

c.       Pengaruh agama islam dalam perkawinan adat
Dengan masuknya pengaruh agama islam yang menganut heterogami dimana seorang pria bebas menentukan calon istri baik dalam lingkungan kerabat maupun luar kerabat. Hanya saja mushoharoh(periparan/mertua) dan kerabat dekat(nasab) memang dilarang untuk dilanggar. Doktrin “gudel nusu kebo” yang disamakan dengan zaman Siti Nurbaya sudah tidak lagi dipakai sebagai pedoman dalam menentukan jodoh yang biasanya empertimbangkan bibit, bebet, bobot. Zaman sekarang anak-anak muda lebih memilih doktrin “Kebo nusu gudhel”, dimana anak bebas menentukan yang disuakanya sebagai pasangan.
Perkawinan dengan lebih dari satu isteri(poligami) dibenarkan oleh hukum adat di Indonesia dan juga hukum islam. Ajaran islam yang dimanifestasikan dalam UU No. 1 Tahun 1974 membolehkan poligami dengan beberapa syarat adanya izin tertulis dari istri pertama, mampu member nafkah dan berlaku adil lahir-batin.
Adapun asas-asas dalam perkawinan menurut hukum adat; 1) bertujuan membentuk keluarga dan hubungan kekerabatan yang rukun, damai, bahagia, dan kekal, 2) dilaksanakan menurut agama dan pengakuan adat, 3) dengan beberapa wanita yang kedudukannya ditentukan menurut hokum adat, 4) persetujuan kerabat dan masyrakat, 5) berdasar izin orangtua, keluarga, dan kerabat meski belum cukup umur, 6) perceraian dipersulit, 7) keseimbangan kedudukan suami-istri.

d.      Perceraian dan akibatnya
Perceraian/perpisahan hubungan suami-istri adalah perbuatan yang diperbolehkan tetapi sangat dibenci oleh agama dan adat karena dapat merenggangkan hubungan kekeluargaan. Dalam UU no. 1 Tahun 1974 pasal 39 ditentukan beberapa criteria bolehnya perceraian ;
1)      Salah satu pihak berbuat zina, pemadat, dan penjudi
2)      Salah satu pihak pergi tanpa izin selama 2 tahun berturut-turut
3)      Salah satu pihak terpidana 5 tahun penjara
4)      Melakukan penganiayaan/kekejaman
5)      Mendapat cacat yang menyebabkan tidak bisa menjalankan kewajiban
6)      Perselisihan/pertengkaran yang tidak dapat di upayakan perdamaian
Perceraian antara suami-istri dapat disebabkan kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Adapun akibat yang ditimbulkan dari adanya perceraian adalah ;
Pada masyarakat patrilineal, jika terjadi perceraian maka anak-anak tetap berada dalam kekerabatan suami, meskipun bila ibunya pulang ketempat asalnya karena anak merupakan pewaris dari ayahnya. Namun dalam masyarakat matrilineal, anak berada pada penguasan penuh pihak keluarga ibu/istri dan semua kebutuhannya sampai dia dewasa. Namun bila terjadi perebutan pengasuhan anak, dapat dilakukan musyawarah dari kedua belah pihak demi masa depan si anak. Itupun jika anak bulum mentas/mencar dari kalangan keluarga dan membuat satu klan tersendiri di suatu daerah dalam lingkaran hukum adat. Sedangkan dalam masyarakat bilateral, kewajiban berimbang antara pihak kaluarga ibu dan ayah. Semua ditanggung bersama sampai anak itu bisa hidup mandiri, bahkan meskipin sudah menikah lagi dengang yang lain.
Sedangakn akibat yang timbul bila terjadi perceraian pada harta yang dimiliki adalah ; dalam masyarakat patrilineal jika terjadi perceraian, maka istri boleh meninggalkan rumah suami tanpa ada hak sedikitpun terhadap harta suami, selain harta yang dibawanya ketika menikah, harta penghasilan pribadi, dan mahar dari suami. Akan tetapi jika dia berniat memutus tali kekerabatan dengan keluarga suaminya, dia bisa menuntut pengembalian harta bawaan dan harta perkawinan. Tetapi dalam masyarakat bilateral, jika tejadi perceraian maka posisi harta bawaan dan harta pencaharian  suami/istri kembali pada yang membawa, sedangkan harta pemberian ketika perkawinan dibagi menurut rasa keadilan bersama.

e.       Fungsi harta perkawinan
Harta perkawinan adalah harta yang dikuasai suami-istri selama mereka terikat dalam perkawinan, baik harta perseorangan, penghasilan, pencaharian, ataupun hadiah. Harta itu dipergunakan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari bagi seluruh anggota keluarga, baik rumah tangga kecil, keluarga, ataupun famili.

f.       Pemisahan harta perkawinan
1) Harta bawaan
a)      Harta peninggalan; harta yang dibawa ketika perkawinan yang merupakan peninggalan orangtuanya untuk diteruskan pengaturan dan pemanfaatannya.
b)      Harta warisan; adalah harta warisan orangtua yang merupakan bagiannya dan menjadi haknya.
c)      Harta hibah; harta yang berasal dari pemberian sanak-kerabat atau yang lainnya sebagai amanah atas kebaikan atau yang lainnya.
d)     Harta pemberian/hadiah; harta yang dibawa dalam perkawinan sebagai pemberian dari orang yang berbuat baik padanya.
2) Harta penghasilan;
Adalah harta yang dimiliki oleh masing-masing pihak (suami;pembujangan, dan istri; penantian) yang dikuasai dan dimilik semenjak dia belum menikah. Sehingga dia bebas melaksanakan segala bentuk transaksi yang dikehendaki tanpa ada campur tangan daripihak keluarga ataupun kerabat. Namun demikian, bila yang dimaksus adalah barang yang berwujud tetap(seperti tanah), maka pihak keluarga juga berhak memberikan saran dan pertimbangan padanya.
3) Harta pencaharian bersama
Sebagai pengembangan dari harta yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan, maka harta yang dimiliki digunakan untuk memulai usaha baru secara bersama-sama demi mewujudkan keluarga yang berkecukupan, mapan,bahagia dan kekal. Kadangkala hanya salah satu pihak yang secara aktif bekerja, sedangkan yang lain bertugas mengurus rumah tangga dan semua keperluan operasionalnya. Namun adakalanya mereka bekerja secara silih berganti sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki. Segala sesuatu dibahas dan direncanakan bersama-sama, agar bisa saling bertukarpendapat dan member solusi yang terbaik bilamana terjadi permasalahan.
4) Hadiah perkawinan
Adalah harta yang diterima suami/istri pada saat mereka bersanding dipelaminan/ saat dilangsungkannya acara pesta perkawinan, seperti harta/uang yang diberikan pihak suami pada istri dan perhiasan yang disebut sebagai maskawin. Adapun harta yang diterima oleh masing-masing pihak sebelum dilangsungkannya akad perkawinan, hal itu bisa dimasukkan dalam harta bawaan masing-masing pihak. Disamping itu juga ada harta yang mereka terima pada saat dilangsungkannya perkawinan, seperti “kado”, “sumbangan”, dan “balen” yang diterima pihak keluarga dari sanak saudara dan selanjutnya dikelola untuk keperluan bersama kedua mempelai dan keluarga.

g.      Status hukum harta yang diperoleh siami-istri dalam perkawinan
Apabila istri yang memperolehnya, maka harta itu menjadi milik istri, namun jika suami yang mendapatkannya sebagi jerih-payahnya, maka harta itu menjadi milik suami. Akan tetapi jika harta itu merupakan pendapatan dari usaha bersama setelah menikah, maka jelas harta tersebut menjadi milik bersama antara suami dan istri. Sehingga dalam penggunaannya harus sepengetahuan pihak yang lain, demikian pula jika terjadi perceraian, maka harus dibagi sama rata atau sesuai dengan kadar kepemilikan yang dimiliki.

3.      Bab III : Pengertian Waris dan sifatnya
a.       Pengertian waris
Waris diambil dari bahasa arab “waratsa” yang berarti peninggalan. Secara adat waris adalah upaya penerusandan peralihan penguasaan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi selanjutnya. Penerusan itu bisa dilaksanakan dengan cara penunjukan, penyerahan, kekuasaan, atau penyerahan pemilikan atau bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.
Mr. Wiryono Priodiokoro menyatakan bahwa waris adalah proses pengoperan segala hak dan kewajiban dari orang yang telah meninggal dunia pada sanak keluarga yang masih hidup.
Di Indonesia terdapat keunikan tersendiri pada proses penerusan hak dan kewajiban tersebut, karena adakalanya harta itu dapa dibagi(seperti ajaran hokum perdata barat dan islam) dan adakalanya harta itu tidak dapat dibagi. Meskipun bertentangan dengan pasal 1066 KUHPerdata, harta adat tetap tidak bisa dibagi ataupun dijual dann selanjutnya harta penjualan dibagi bersama. Namun demikian, harta adat dapat digadaikan bila kondisi sudah sangat mendesak dan tidak ada cara lain, itupun harus melalui musyawarah adat dan persetujuan tetua adat. Memang sangat rumit sekali mempelajari kasus penerapan hokum di Indonesia, disatu pihak sebagai unifikasi hokum nasional menuntut diterapkannya UU KUHPerdata, namun di pihak lain mereka menentang penghaousan hukm adat yang mereka anut sejak zaman nenek moyang mereka. Demikian pula jika tuntutan pelaksanaan syari’at islam sebagai konsekuensi beragama, namun disaat sama bertentangan dengan hokum adat dan hukum Negara.

b.      Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi
Adat yang melarang adanya pembagian harta warisan biasanya menganut paham komunalitas, dimana harta merupakan kepemilikan yang dikuasai secara kolektif, tidak individualitas. Meskipun harta yang ditinggalkan merupakan harta pencaharian, namun harta itu tetap dikuasai bersama seluruh anggota keluarga yang ditinggalkan dan digunakn secara kolektif. Harta peninggalan itu disebut sebagai harta soko/pusaka yang mana masih diklasifikasi lagi menjadi pusaka tinggi dan pusaka rendah.
Ada beberapa alas an harta itu tidak dapat dibagi-bagi, antara lain; 1) sebagai pusaka tinggi yang dimiliki bersama oleh warga adat, 2) sebagai pusaka rendah, namun sangat berperan penting guna pemersatu dan pengikat keluarga, 3) sebagai bentuk penghormatan pada mendiang orangtua, dimana hal tersebut digunakan untuk pemusatan kegiatan dalam rangka mengenang jasa orangtua.

c.       Hibah dan hibah wasiat
Penghibahan adalah pemberian bekal/sesuatu pada seseorang agar digunakan sebagai wahana memulai kehidupan yang baru. Biasanya hal ini deberikan pada saat orang yang member masih hidup pada anak yang ingin memisahkan diri dari kelompok dan memulai hidup baru(mencar/misah). Dalam hal ini harta sudah tidak termasuk dalam harta penunggalan yang dapat dibagi seluruh anggota keluarga, karena sudah menjadi hak individual(namun untuk keabsahan harus diketahui pihak berwenang).
Sedangkan hibah wasiat adalah harta yang diberikan pada seseorang dimana pelaksanaannya setelah orang yang memberi tersebut meninggal dunia. Untuk pelaksanaannya ada perbedaan antara orang kaya dan orang miskin, dimana pada kalangan menengah keatas, wasiat harus disaksikan dan disertai bukti otentik, sedangkan dikalangan menengah kebawah, cenderung asal wasiat saja. Hal itu dikarenakan kemungkinan adanya perebutan harta warisan oleh keluarga yang ditinggalkan, sehingga untuk mencegahnya dibuatlah surat wasiat yang deketahui oleh keluarga atau pejabat desa setempat.

d.      Harta keluarga marga yang merupakan harta peninggalan
Harta marga adalah harta yang tidak dapat dibagi, karena berstatus milik bersama/kolektif dan digunakan bersama seluruh anggota marga tersebut. Namun bila seseorang ditinggal mati suami/istri sementara dia menjadi berstatus janda/duda, maka dia harus tetap dinafkahi dari hasil harta marga yang menjadi hak orang yang meninggalkannya. Begitu pula jika ada anak yang ingin mentas/ mencar/misah dari marga unduk dan memulai kehidupan baru diluar marga, dia juga berhak mendapat bagian yang seharusnya dia terima.

e.       Pembagian harta peninggalan
Jika harta peninggalan adalah harta yang dapa dibagi, maka harta itu dibagi-bagi seluruh anggota keluarga yang berhak atas itu. Dalam pelaksanaannya seringkali tidak sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku di Indonesia ataupun islam. Harta dibagi atas kesepakatan bersama, dengan mempertimbangkan kebutuhan sreta kondisi masing-masing anggota keluarga. Bagi yang sudah “mapan” dan berpenghasilan di atas rata-rata, maka mereka secara sukarela menerima bagian yang lebih sedikit dari yang seharusnya mereka terima. Bahkan tidak jarang mereka menolak pemberian itu, jika melihat saudaranya yang masih sangat kekurangan dan membutuhkannya untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari.

f.       Para ahli waris
Adalah orang yang berhak menerima pengoperan hak sebagai upaya penerusan penguasaan atas suatu harta. Di Indonesia, banyak sekali dijumpai perbedaan aplikasi, bagian yang diterima, dan pengelompokan orang yang berhak menerima warisan. Orang-orang yang berhak menerima warisan menurut adat yang berlaku dibedakan menjadi :
1)      Anak kandung
a)      Anak sah
Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah sebagaimana tertuang dalam UU Perkawinan no. 1 tahun 1974
b)      Anak tidak sah/ anak jadah/ anak haram/ kowar
Adalah anak yang lahir dari perbuatan menyimpang orangtuanya da dilakukan secara tidak sah menurut ketentuan agama, seperti ;
·         Anak yang dikandung sebelum perkawinan(kecelakaan)
·         Anak yang dikandung setelah lama bercerai(rondo meteng)
·         Anak diluar perkawinan yang sah dan legal/ nikah sirri
·         Anak zina
·         Yang tidak diketahui ayahnya
c)      Waris anak laki-laki
Pada adat petrilineal, hanyaanak laki-laki dewasa saja yang berhak mendapat warisn, sehingga penguasaan atas tanah diserahkan secara mutlak pada dia, sedangkan anak perampuan hanya “numpang” saja.
d)     Waris anak perempuan
Dalam masyarakat adat matrilineal, hanya anak perampuan saja yang berhak mendapat warisan dari mendiang orangtuanya, sedangkan anak laki-laki diharuskan berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.
e)      Waris anak laki-laki dan anak perempuan
Dalam masyarakat adat Jawa yang menganut system parental, anak laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama, sehingga sama-sama berhak atas harta peninggalan orangtuanya.
f)       Waris anak sulung
·         Sulung pria
Anak sulung pria, dalam masyarakat adat tertentu mempunyai hak kuasa penuh atassemua harta pusak peninggalan orangtuanya. Sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas penerusan harta dan pemenuhan semua kebutuhan adik-adiknya yang masih kecil.
·         Sulung wanita
Di kalangan masyarakat semando Sumatra selatan, bila orangtua meninggal, maka anak sulung tertua yang berhak atas penguasaan harta pusaka. Sebagai harta tunggu tubing sampai saudara-saudaranya dewasa, barulah harta itu diserahkan pada yang cakap untuk menguasainya.
g)      Anak pangkalan/anak bungsu
Biasanya dalam masyarakat Kalimantan, warisan diserahkan pada anak bungsu sebagai penerus penguasaan hak atas harta pusaka. Namun di daerah Jawa, biasanya anak bungsu yang diberi tugas merawat dan “tunggui prabon mendapat bagian lebih banyak daripada yang lain. Sebagai kompensasi atas kesediaannya menunggui dan merawat salah satu orangtuanga sampai dia meninggal.
2)      Anak tiri dan anak angkat
Sebagai anak bawaan salah satu pihak, maka anak tiri hanya sebatas mewarisi dari orangtua kandungnya saja. Namun dibeberapa daerah semisal Lampung selatan, anak tiri dari seseorang yang menjadi ayah tiri(tegak tegi), dapat menerima warisan dari orangtua tirinya. Demikian pula pada masyarakat Jawa yang terkenal menganut paham “Tepo Seliro”, sehingga meskipun anak tiri, tetap berhak atas harta warisan orangtua tirinya.
Adapun anak angkat yang alas an pengangkatannya telah disebutkan didepan, menurut hukum islam tidak diakui keberadaannya, dalam hukum adat di Indonesia tetap berhak atas harta warisan orangtua angkatnya. Namun adakalanya dia hanya mendapat warisan dari orangtua angkatnya saja, akan tetapi di tempat lain dia bisa mendapatkan warisan dari dua arah(orangtua angkat dan orangtua kandungnya).
Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud anak angkat disini adalah anak angkat yang telah diketahui oleh pejabat/tetua adat/keluarga yang bersangkutan dan diakui secara sah oelh masyarakat setampat dimana dia tinggal.
3)      Waris balu janda/duda
Balu/janda dalam masyarakat patrilineal, berhak atas harta peninggalan mendiang suaminya selama dia suka. Jika tidak ada yang mengawininya lagi/ dia tidak mau kawin lagi, ia tetap berhak atsa harta itu sampai dia meninggal dunia. Sedangkan balu/janda di kalangan masyarakat adat matrilineal, jika seorang laki-laki tidak kawin lagi dengan saudara kandung istrinya(padahal dia tidak punya anak), maka dia punya dua pilihan antara meninggalkan kediaman istrinya dengan berhak membawa harta pencahariannya atau tetap ditempat itu dan tidak mendapat warisan sama sekali dari istrinya.
Adapun dalam masyarakat adat parental, balu/duda/janda tetap berhak atas harta peninggalan suami/istrinya sampai dia wafat. Bahakan meskipun dia menikah lagi dengan oranglain, dia tetap berhak atas warisan itu dan selanjutnya dipergunakan untuk menghidupi anak dari istrinya yang pertama (jika punya anak).
4)      Para ahli waris lainnya
Adalah keluarga dekat orang yang meninggal, sehingga dia berhak mendapat warisan dari saudaranya, baik hubungan saudara kandung, pewaris, keturunan pewaris, ataupun orangtua dari pewaris itu sendiri.



















BAB III
Penutup
a.      Kesimpulan
Masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, memiliki corak budaya dan adat kebiasaan yang sangat berbeda satu sama lainnya. Perbedaan itu dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya iklim, lingkungan, historis, serta pemikiran yang berbeda, sehingga adat yang dimilikipun menjadi berlainan satu dengan yang lainnya. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia sepantasnya menghargai keanekaragaman itu dan menjadikannya sebagai khazanah kekayaan negeri yang patut dibanggakan dan diharapkan mampu mendatangkan “income financial” yang besar.
Budaya Indonesia yang sebenarnya terdiri labih dari 200 suku serta adat-istiadat, namun dalam sejarahnya dapat dikelompokkan dalam tiga system besar, yaitu; patrilineal, matrilineal, dan parental. Meskipun dalam kenyataannya ada sekitar 18 Lingkaran Adat, akan tetapi lokasi yang berdekatan menyebabkan adanya kesamaan beberapa kebiasaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu dikarenakan unsure pembentuk dn yang memepengaruhi perilaku merekajuga sama, seperti kawassan tropis, sub tropis, dan kering/dingin.

b.      Kritik dan saran
Kami tahu makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan menilik banyak sekali kosakata, penulisan, peletakan tanda baca, serta penyusunan yang kurang sinkron satu satu kalimat dengan yang lainnya. Oleh karena itu kami harakan kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman, sebagai koreksi bagi penulis agar kedepan bisa lebih baik dalam pembuatan karya serupa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AMALIYAH NAHDLIYAH (Nahdlotul Ulama')

MAKALAH PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA DEWASA

DELIK PERCOBAAN, PENYERTAAN, DAN PERBARENGANAN PIDANA DALAM KUHP