Menggagas Interaksi Positif Takwil dan Hermeneutika
Wacana yang dibawakan Abu
Zayd seputar hermeneutika sebetulnya tak sedemikian kontroversial sebagaimana
dikesankan para lawan pemikirannya. Kesan pertarungan ideologis justru lebih
kelihatan daripada perbedaan pemikiran biasa. Jadi wajar jika cara tak terpuji
harus dilakukan untuk menyerang Abu Zayd di antaranya dengan memelintir
pernyataan dan tulisan-tulisannya sedemikian rupa. Pun jika perlu dengan
penyekalan seperti baru-baru ini terjadi.
Dalam wawancara singkat
penulis dengan Abu Zayd paska penyekalan, dia menyesalkan MUI yang mengeluarkan
fatwa tetapi tidak pernah melakukan kajian serius atas suatu wacana dan
pemikirannya. Padahal menurutnya figur ulama, sebagaimana dalam tradisi Islam
klasik, adalah seorang “researcher”. Apakah tokoh-tokoh MUI mewakili seorang “researcher”?
Abu Zayd juga menyesalkan Departemen Agama yang begitu gampangnya dimanipulasi
golongan tertentu.
Penulis ragu jika para
penyerang Abu Zayd telah betul-betul menganalisis buku-bukunya. Ada dua corak
buku-buku Abu Zayd, pertama akademis-ilmiah dan kedua polemis. Buku-buku
akademis-ilmiah adalah hasil karya ketika ia menjadi pengajar di Cairo
University dan karenanya ia dikafirkan seperti “Isykaliyyah Al Ta’wil”, “Al
Syafi’i Wa Ta’sis Al Idiyulujiya Al- Wasathiyyah” dan “Mafhum
Al Nash”. Sedangkan yang kedua adalah buku polemis sebagai pembelaan atas
pengafiran dan bantahan kepada Shabour Syahin dan Muhammad Emarah seperti Naqd
Al Khitab Al Dini dan Al Tafkir fi Zaman Al Takfir. Jika kita membaca
keseluruhan isi buku-buku itu maka tidak ada sisi-sisi membahayakan sebagaimana
dikesankan lawan pemikirannya kepada awam.
Di dalam banyak kesempatan
di dalam bukunya, Abu Zayd justru menyarankan pembaca untuk kritis terhadap
tradisi intelektual Barat termasuk hermeneutika. Ia hanya menekankan perlunya
melakukan interaksi pemikiran sehingga kedua tradisi yang hidup ini mampu
saling mengambil manfaat demi pengembangan tradisi intelektual masing-masing
(Abu Zayd, Isykaliyyah, 2001). Tidak lebih dan tidak kurang. Mengenai apakah
terma takwil harus digeser oleh hermeneutika ia tidak mempersoalkan. Atau
bahkan tidak sepakat sebagaimana laiknya Hassan Hanafi.
Para penyerang Abu Zayd
seringkali mengembalikan ketidakmungkinan takwil dan hermeneutika untuk
melakukan interaksi positif karena, diantaranya, keduanya mempunyai latar
belakang historis yang berbeda. Takwil berangkat dari tradisi Islam sebagai
instrumen tafsir Al Quran sedangkan hermeneutika mengakar pada tradisi Kristen
untuk menafsirkan Bible.
Dalam hal ini para
penyerang itu tidak memahami bahwa kajian hermeneutika semenjak abad XVII telah
keluar dari framework pemahaman teks-teks keagamaan dan menjadi metode
tersendiri yang memperdebatkan proses pemahaman dan mekanisme interpretasi
segala teks (Abu Zayd, Isykaliyyah, 2001). Perkembangan hermeneutika sebagai
metode penafsiran dalam fase selanjutnya ini lah yang diharapkan berinteraksi
dengan takwil. Ia juga telah keluar dari kecamuk problem otentisitas Bibel.
Dengan demikian penafsiran Al Quran dengan memanfaatkan elemen hermeneutis
menjadi mungkin setelah melampaui problem otentisitasnya.
Sedangkan problem
penafsiran itu sendiri bukan lah isu baru dalam Islam. Ia mempunyai sejarah
panjang dalam sejarah agama dan peradaban Islam. Titik berat kajian
hermeneutika yang terletak pada analisa kritis terhadap peran pengujar
(author), penerima (reader) dan teks (texts) juga merupakan problem klasik
dalam sejarah penafsiran Al Quran – terutama dalam diskursus fikih – yang
mengenal adanya istilah “qarain lafdziyah” (indikasi bahasa), “qarain
ma’nawiyah” (indikasi semantik) dan “qarain khaliyah” (indikasi konteks). Di
samping itu sejarah tafsir Al Quran mengenal dua genre penafsiran “Bil ma’tsur”
dan “Bil ra’yi”.
Genre penafsiran “Bil
ra’yi” mengandaikan penafsiran yang berangkat dari kekinian dan kedisinian
penafsir. Berbeda dengan tafsir “bil ma’tsur” yang mengandaikan penafsiran Al
Quran yang mengandalkan data-data sejarah di mana dan kapan Al Quran diturunkan
untuk menangkap makna obyektif. Menariknya, banyak tafsir “Bil ma’tsur” yang
mengandung elemen tafsir “Bil ra’yi” berupa ijtihad-ijtihad penafsiran seperti
dilakukan Ibn Abbas. Sebaliknya tafsir “Bil ra’yi” banyak juga yang tidak
menafikan data-data historis dan linguistik yang terkait dengan teks.
Alasan kedua
ketakmungkinan menyandingkan takwil dengan hermeneutika karena keduanya secara
etimologis berbeda. Jika takwil berorientasi penetapan makna maka hermeneutika
berorientasi penisbian makna dan berubah-rubah sesuai pergerakan penafsir. Hal
ini justru kontradiktif dengan pernyataan Musthafa Nasif, pakar bahasa yang
dikutip penyerang Abu Zayd sendiri bahwa “kemunculan takwil dalam lingkungan
tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan merupakan wujud
dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah dengan cepat. Takwil juga
merupakan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus” (Fahmi
Salim, Beda Tafsir dan takwil, Republika, 31 Desember 2007). Di satu
waktu dan di lain sisi Musthafa Nasif justru mendapat apresiasi Abu Zayd
sebagai salah satu perintis kajian hermeneutika selain Luthfi Abdul Badi,
Syukri Iyyad dan Jabir Ashfour (Abu Zayd, Isykaliyyah, 2001).
Penulis menjadi skeptis
jika kritik-kritik yang dilancarkan kepada Abu Zayd berdasar pada gagasan dan
kontruksi berpikir Abu Zayd yang sebenarnya. Sejauh karena mereka tidak tuntas
menganalisa buku-buku Abu Zayd yang banyak mengapresiasi tradisi Islam klasik.
Terlepas dari apresiasinya terhadap hermeneutika di lain sisi. Bahkan kajian
Sayyid Qutb disebutnya sebagai salah satu perintis kajian sastra Al Quran
selain Amin Khuli, Bintu Syathi dan Ahmad Khalafullah.
Baca saja penggambaran
berlebihan tentang kontroversi Abu Zayd dalam tulisan Fahmi Salim sebagai
berikut “Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte sempalan lainnya
adalah batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem pemikiran Islam yang
telah dikonstruksi dengan teliti dan saksama oleh para ulama Muslim selama
perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Dengan mengendarai
tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk memberi kontribusi penghancuran
dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan.”
Apa yang sesungguhnya
mengerikan dalam elemen hermeneutis yang diusung Abu Zayd? Di mana letak yang
membahayakan itu? Barangkali yang dikhawatirkan para penyerang itu adalah jika
dialog takwil dan hermeneutika akan memlintir makna takwil sebenarnya. Dalam
bahasa Fahmi Salim selanjutnya “Konsep itu (takwil) tidak lagi dimengerti
sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan
dalil kuat, yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga
menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan
antara teks dan pemiliknya, juga antara makna dan segala kemungkinan arti yang
diakomodasi oleh dalil yang kuat”.
Sebuah kekhawatiran yang
tidak seharusnya terjadi. Bukankah wacana “takhawwul dalali” (transformasi
makna) telah ada dan masuk dalam kajian semantik yang sudah ada prosedur dan
batasan-batasannya. Memang garis batas antara strukturalisme semantik dengan
hermeneutik bahasa pernah kabur dan tumpang tindih. Semantik lebih berorientasi
pada pemaknaan “syntaxtical” sedangkan hermeneutik lebih kepemahaman isi.
Hermeneutika bahasa lebih kepemahaman isi dengan membuat telaah interpretif
phenomenologik. Hermeneutika bahasa ini dalam tradisi Barat lebih dikenal
sebagai hermeneutika Heidegger dan Derrida. Adapun hermeneutik ontologik
Gadamer yang postmodern dapat disebut sebagai hermeneutik filsafat atau
hermeneutik phenomenologik (Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, 2006).
Dalam sejarah intelektual
Islam klasik kajian semantik sudah dibahas, dibuatkan prosedur dan batasan
secara lebih berani – daripada para penyerang Abu Zayd yang mengkhawatirkan
metode ini – oleh tokoh-tokoh linguistik semisal Al Farra’, Al Jahidl, Qadli
Abdul Jabbar, Al Jurjani dan lain-lain dalam teori-teori mereka laiknya “al
qashdu”, “ma’nal ma’na”, “majaz”, “nadlm” dan sebagainya (Abu Zayd, Al Ittijah
Al ‘Aqli, 2003). Abu Zayd lah yang justru mengapresiasi temuan-temuan pakar
bahasa Islam klasik ini dan menganggapnya sebagai elemen progresif yang
mendesak untuk diungkap dan diajarkan ke publik.
Komentar
Posting Komentar