IMAROH (KONSEP KEPEMIMPINAN ISLAM )
IMAROH
(KONSEP KEPEMIMPINAN ISLAM )
Makalah
ini di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada
Mata
Kuliah “Hadith Ahkam 2”
Di susun oleh :
KHOIRUL ANWAR
2.10.1.09.035
Dosen Pengampu :
IRMA RUMTIANING U.H.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2011
IMAROH
Konsep kepemimpina dalam islam
Kepemimpinan dalam
bahasa arab di kenal melalui/dalam beberapa istilah, yaitu ; kholifah(khilafah), imaroh dan imamah. Kata kholifah berasal
dari bahasa arab kholafa yang dalam al-qur'an disebut sebanyak 127 kali,yang
maknanya antara lain ; menggantikan, meninggalkan, pengganti dan pewaris.
Sedang secara terminology yaitu; kepala negara dalam pemerintahan yang pada
zaman kerajaan dahulu disebut sultan.[1]
Gelar kholifah pertama
kali dalam sejarah islam disandang oleh Abu Bakar Ash-Shidiq sebagai pengganti
Nabi Muhammad sebagai kepala pemerintahan islam yang dipilih melalui musyawarah
antara kaum muhajirin dan anshor di Tsaqifah Bani Sa'diyah madinah. Di lanjutka
Umar ibn al-Khottob yang bergelar Amirul Mu'minin dan di calonkan langsung oleh
Abu Bakar. Kemudian Utsma ibn Affan yang di daulah sebagai kholifah ketiga atas
permufaktan antara dewan "ahl al-Hilli wa al-'Aqdi" yang
manaformaturnya sudah di bentuk oleh Umar. Ali ibn Abi Thalib tampil sebagai
pengganti Utsman setelah di adakannya bai'at antara kaum muslimin setelah
terjadi tragedi berdarah " al-fitan al-kubro" yang menewaskan
Utsman.[2]
Adapun Imaroh dan
imamah, dua suku kata yang berbeda namun memiliki kesamaan makna, yaitu;
kepemimpinan dan pemerintahan. Kata Imam dalam Al-qur'an di sebut sebanyak 7
kali dan immah di ulang sebanyak 5 kali sebagai kata turunan yang di antara
maknanya adalah :
1.Nabi, sebagaimana dalam surat Al-Baqarah 124
2.Pedoman, yang di jumpai dalam surat Al-Ahqof 12
3.Kitab,buku, teks, yang tedapat dalam surat yasin 12
4.Jalan lurus, surat
Al-Hijr 79
5.Pemimpin, Al-Qur'an syrat Al-Furqon 74
Sedang dalam
beberapa literature kitab salaf, ada beberapa pengertian konsep imamah yang di
temukan ;
1.Pemimpin sholat jamaah
2.Pendiri Madzhab
3.Pemimpin umat, yang pada hal ini di samakan artinya
dengan kholifah atau kepala negara dan pemerintahan.
Pada era modern
ini konsep pemimpin dan kepemimpinan dapat di definisikan sebagai ;[3]
- Kredibilitas, tanpa kredibilitas seorang pemimpin tidak akan dapat menjalankan tugasnya sebagai pemimpin karena tidak adanya kepercayaan dan keyakinan dari masyarakat pada kemampuan seseorang dalam memimpin umat.[4]
- Integritas, adalah apa diri kuta yang sesungguhnya/ bukan apa yang kita lakukan tetapi tentang siapa diri kita dan loyalitas kita pada tugas.
- Kedudukan, sekumpulan tugas, tanggung jawab dan wewenang.
- Jabatan, pekerjaan yang telah melembaga dalam suatu instansi atau lenuh membudaya dalam masyarakat
- Wewenang, suatu bentuk kemampuan manusia menggunakan kekuasaan sebagai hasil dari ciri-ciri seperti pengetahuan dan gelar.
- Tanggung jawab, hal yang menjadi keharusan pemegang kekuasaan untuk mejalankan tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
- Kewibawaan, adalah berbagai kelebihan sehingga orang lain dapat mematuhi kehendaknya tanpa tekanan dalam melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan.
- Kemampuan, adalah totalitas kekuatan yang dimiliki untuk melakukan kegiaan.
- Pengaruh/ Influence, adalah tindakan atau contoh tingkah laku yang menyebabkan perubahan sikap atau tingkah laku orang atau kelopok lain.
1. Kepemimpinan Bangsa Quraisy[5]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَىَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : النَّاسُ تَبِعٌ لِقُرَيْشٍ فِيْ هذَا
الشَّأْنِ مُسْلِمُهُمْ تَبِعٌ لِمُسْلِمِهِمْ وَ كَافِرُهُمْ تَبِعٌ تَبِعٌ
لِكَافِرِهِمْو ( أخْرَجَهُ الْبُخَارِيْ )
Artinya : Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a. berkata : Rosulullohi SAW. Bersabda : “ Manusia telah
mengikuti kaum Quraisy, baik dalam amaslah kebaikan ataupun keburukan,
keislaman ereka mengikuti keislaman kaum Quraisy, dan kekafiran mereka
mengikuti kekefiran kaum Quraisy”.
- Penjelasan umum
Manusia dilahirkan dari rahim ibunya dalam keadaan
suci(bebas), menempuh jalan kehidupan dengan bebas, dan akan kembali pada
pangkuan sng pencipta dalam keadaan bebas pula. Di dalam pengertian ma’na
kebebasan terkandung maksud adanya tanggung jawab yang besar, sebab ketika
dikatakan seseorang itu bebas melakukan sesuatu, maka ada konsekuensi besar
yang harus ditanggung dari akibat semua perbuatannya tersebut dan tidak dapat
diwakilkanpada orang lain. Penyandaran tanggung jawab pada orang lain justru
merupakan penyakit sosial yang merendahkan martabat seseorang di mata
masyarakat. Oleh karena itu islam sangat membenci orang yang tidak mau
bertanggungjawab terhadap perbuatannya yang merupakan wujud eksistensinya
sebagai manusia dan makhluk sosial.
Dalam al-Qur’an surat
An-Najm 39 Alloh SWT berfirman :
وَأَنْ لَيْسَ لِلأِنْسَنِ إِلاَّ مَاسَعَىْ
Artinya : “Dan bahwasanya
seseorang manusia itu tidak akan memperoleh balasan kecuali atas apa yang telah
ia lakukan.”
Hal itu dikukuhkan dengan sabda Beliau yang
diriwayatkan dari Abu hurairoh r.a. :
قَامَ رَسُوْلُ اللَّهِ
صَلَىَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ أَنْزَلَـــــ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ :
وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الآَقْرَبِيْنَ قَالَ : يَامَعْشَرَ قُرَيْشٍ, أَوْ
كَلِمَةً نَحْوَهَا إِشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ لآَغْنِيْ عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ
شَيْأً يَا بَنِيْ عَبْدِ مَنَافٍ لآَغْنِيْ عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْأً
يَاعَبَّسُ ابْنِ عَبْدِ الْمُطَلَّبِ, لآَغْنِيْ عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْأً
وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةُ رَسُوْلِ اللَّهِ لآَغْنِيْ عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْأً
وَيَا فَطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّــــــدٍ سَلِيْنِيْ مَاشِئْتِ مِنْ مَالِيْ
لآَغْنِيْ عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْأً
Artinya : Rosululloh berdiri ketika Alloh ‘Azza wa
Jal menurunkan ayat “وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الآَقْرَبِيْنَ “seraya berkata : “ Wahai egenap kaum Quraisy, atau ungkapan
yang serupa dengannya- Belilah(pertanggungjawabkanlah) dirimu ssendiri, karena
saya tidak dapat menjamin kamu sekalian di hadapan Alloh sedikittpun, Wahai
bani Abdi Manaf, saya tidak dapat menjamin kalian dihadapan Alloh sedikitpun,
Waha Abbas ibn Abdil Mutolib, saya tidak dapat menjaminmu di hadapan Alloh
sedikitpun, Wahai Shofiyyah bibi Rosululloh, saya tidak dapat menjaminmu di
hadapan Alloh sedikitpun, wahai fathimah putri Muhammad, mintalah harta
kepadaku sebanyak-banyaknya yang engkau sukai tetapi saya tidak dapat menjamin
di hadapan Alloh sedikitpun
Pernyataan di atas tentunya memberikan gambaran yang
sangat jelas bahwasanya tidak ada seorangpun yang akan memikul beban orang
lain. Dan sebagai pembelajaran pada umatnya, Nabi memberi contoh teladan yang
baik yang mencerminkan kemandirian dan tidak menggantungkan eksistensinya
sebagai manusia pada orang lain. Tidak hanya dalam urusan social
kemasyarakatan, namun juga pada urusan ibadah(pahala-dosa) sesuai dengan apa
yang diperbuat.
- Pemahaman kandungan Hadith
Dari konteks hadith ini dapat di ambil beberapa
kandunga hukum :
1)
Kaum Quraisy memilik kedudukan
yang terhormat dikalangan bangsa-bangsa lainnya sehingga mereka mendapat
prioritas di dalam pekbagai permasalahan terutama dalam hal
pemerintahan(sebagaimana di sebutkan dalam hadith lain).
2)
Kedudukan terhormat kaum Quraisy
disebabakan oleh kecintan mereka terhadap ilmu pengetahuan, dan juga pemahaman
keagamaan yang melebihi bangsa lain.
3)
Kecerdasan otak mereka dalm
menghafal sebuah redaksi baik langsung dari sumbernya maupun lewat perantara.
- Tinjauan Rawi Hadith
Abu Hurairoh adalah Abdurrahman ibn
Shakhar Al-Yamani Al-Dausiya masuk islam pada tahun ke-7 hijrah.mBeliau
meriwayatkan hadith sebanyak 5.374 buah hadith. Oleh karena itu, dia termasuk
sahabat yang paling banyak meriwayatkannya. Meninggal pada tahun 59 H dalam
usia 78 tahun dan di makamkan di Madinah.
2. Larangan Meminta Jabatan[6]
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَـــ : قَالَ رَسُوْلُ
اللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إَنَكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَىْ
الآِمَارَةِ وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَتْ الْمُرْضِعَةُ
وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ ( أخرجه البُخاري )
Artinya : Diriwayatkan dari Abu
Hurairah r.a. berkata : Rosululloh SAW. kepemimpinan adalah kehidupan yang
paling bersabda : “ Sesungguhnya kamu sekalian sangat berhasyrat terhadap
kepemimpinan dan (padahal)akan menjadi penyesalan pada hari qiyamat,
Sesungguhnya menyenangkan, tetapi membawa dampak yang paling jelek dalam
kematian.
عن عبد الرَّحْمَنِ ابْنِ سَمُرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَـــ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : يَاعَبْدَ الرَّحْمَنِ ابْنِ سَمُرَةَ لاَتَسْأَلْ الآِمَارَةَ
فَإِنَّكَ إِنْ أُوْتِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا, وَإِنْ أُوْتِيْتَهَا
عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا ( أخْرَجَهُ البُخَاريْ )
Artinya : Diriwayatkan dari Abdurrahman ibn
samuroh r.a. katanya Rosululloh SAW. Bersabda : ‘Wahai Abdurrahman ibn Samuroh,
janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin, sesungguhnya jika kamu kamu
diberi kepemimpinan (karena) kamu memintanya, maka kamu akan memikul tanggung
jawab sebagai seorang pemimpin. Dan jika kamu di beri kepemimpinan dan kamu
tidak memintanya, maka kamu akan mendapakan pertolongan dan dukungan dalam
kepemimpinan.”
- Penjelasan umum
Demikian besarnya perhatian Rosululloh berkenaan
dengan yang namanya jabatan, karena itu merupakan masalah krusial bagi
masyrakat. Tidak jarang kita jumpai orang-orang yang menginginkan, mencalonkan,
dan berupaya dengan segala macam cara guna mendapatkan jabatan yang di
inginkan. Padahal jelas, orang yang meminta jabatan bahkan sampai mengeluarkan
biaya besar, maka usaha pertama yang akan di lakukannya adalah bagaimana modal
yang dia keluarkan bias segera kembali sembari mencari untung lebih dari
jabatannya itu.
Ketamakan dan keserakahan telah membutakan orang-orang
yang mendapatkan jabatan dengan modal, sehigga dalam perbuatannya tidak
mencerminkan seorang pemimpin yang teladan serta patut di contoh.
Padahal hal itu telah menjadi trend dan bahkan mungkin
suatu kewajiban atau syarat mutlak bagi orang-orang yang ingin mendapatkan
jabatan, baik public, peradilan, penegakan hukum, ekonomi dll. Bahkan
rosululloh bersabda bagi para pencari jabatan sebagai seorang yang meminta untuk di jadikan pejabat
peradilan
مَنْ طَلَبَ قَضَأَ الْمُسْلِمِيْنَ
حَتَّى يَنَالَهُ ثُمَّ غَلَبَ جَوْرَهُ فَلَهُ الْجنَّةُ وَمَنْ غَلَبَ جُوْرُهُ
عَدْلُهُ فَلَهُ النَّارُ
Artinya : Barangsiapa yang meminta jabatan untuk
mengurusi perkara orang muslim, kemudian dia mendpatkannya, maka apabila
keadilannya dapat mengalahkan ketidakjujurannya, maka baginya surga; dan
barangsiapa ketidakjujurannya mengalahjan keadilannya, maka baginya neraka.
Jabatan adalah amanat, bilamana seseorang mendapatkan
amanat tersebut tanpa ia harus meminta Alloh sendiri yang akan memberikan
pertolongan dan kekuatan untuk bissa menjalankan amanah tersebut, dan dalam
kepemimpinannya Insya Alloh akan menjadi pemimpin yang adil, memahami rakyat,
mengutamajan kepentingan umum. Akan tetapi bagi mereka yang mendapatkan jabatan
dengan cara meminta apalagi sampai mengeluarkan modal, maka Alloh tidak
menjamin bahwsa dia akan menjadi sosok pemimpin yang adil dan bila menjalankan
tugas dengan baik.
- Pemahaman Kandungan Hadith
1)
Larangan memberikan jabatan
pemerintahan atau jabatan penting lainnya kepada orang yang tamak untuk
memperolehnya. Sebab orang seperti itu akan menyalahgunakan jabatannya bagi
kepentingan pribadinya.
2)
Tidak ada larangan bagi orang yang
sanggup berlaku adil untuk mengajukan diri sebagai pemimpin yang akan mengurus
permasalahan umat.
3)
Pertolongan Alloh dan dukungan
umat akan dating pada mereka yang bertekad untuk menegakkan keadilan dan
menghilangkan kemadharatan.
4)
Berbagai macam permasalahan harys
diserahkan pada orang yang layak dan ahli dalam menylesaikannya.
- Tinjauan Rawi Hadith
Abdirrahman ibn Samuroh ibn Habib ibn Abd Asy-Syams
Al-‘Absyami Abu Sa’id adalah sahabat yang masuk islam pada hari penakhlukan kota Mekkah. Menurt satu
pendapat, namanya adalah Abd Al-Kalam dan dalam versi riwayat lain Nabi
menyebutnya Abd Ar-Rahman. Tingggal di bashrah, dan dia pulalah yang berjasa
menakhlukkan Sijjistan, Kabil, dan lain-lain. Abd Ar-rahmanjuga termasuk
sahabat yang menyaksikan atau mengikuti perang Muth’ah. Dia meriwayatkan hadith
dari Mu’adz ibn Jabbal dan dari Nabi SAW. Adapun orang-orang yang meriwayatkan
hadith darinya, antara lain : Hibban ibn’Umair, Abd Ar-Rahman ibn Abi Ya’la,
Hisban ibn Kahin, Hasan al-Bashri, Abu Lubaid Lumazah. Beliau wafat pada tahun
50 H.
3. Istikhlaf( Suksesi )[7]
عَنْ عُمَرَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَـــ : قِيْلَ لِعُمَرَ : "أَلاَ
تَسْتَخْلِفُ ؟"قَالَ :" إِنْ
أَسْتَخْلِفُ فَقَدْ اسْتَخْلَفَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّيْ, أَبٌوْ
بَكـــْرٍ وَإِنْ اَتْرُكْ فَقَدْ تَرَكَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّيْ رَسُوْلُ
اللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ", فَأثْنَوْاعَلَيْهِ فَقَالَ : "رَاغِبٌ
رَاهِبٌ وَدِدْتُ عَنِّي نَجَوْتُ مِنْهَا كَفَافاً لاَلِيْ وَلاَ عَلَيَّ, لاَأَتَحَمَّلُهَا
حَيًَّاوَمَيِّتًا" ( أخْرَجَهُ البُخَاريْ )
Artinya : Diriwayatkan dari ‘Umar dari ‘Abdulloh
ibn ‘Umar r.a. berkata : ‘Umar di Tanya ; “ Mengapa kamu tidak menunjuk orang
yang akan menjabat sebaga kholifah penggantimu?” Dia menjawab : “ Sekiranya aku
mencari orang yang akan menjabat sebagai kholifah penggantiku, maka Abu Bakar
orang yang lebih baik dariku telah melakukannya. Dan apabila aku menyerahkan
masalah(suksesi) kepemimpinan ini (pada masyarakat), maka Rosululloh sebagai
orang yang lebih baik dariku telah menyerahkan suksesi kepemimpinan (kepada
mereka). Maka merekapun memuji sikap ‘Umar tersebut. Kemudian ‘Umar berkata :”
sebenarnya aku ingin sekali(menentukan suksesi kepemimpinan ini), tetapi aku
juga takut menentukannya. Aku ingin sekali terbebas(bersikap bijak) dalam
masalah suksesi kepemimpinan ini sehingga ia tidak menjadi sebuah kesenangan,
tapi juga tidak menjadi sebuah kemadharatan bagiku, dan tidak menjadi beban
bagi kehidupan dan kematianku.”
a.
Penjelasan umum
Kepemimpinan mutlak di perlukan dalam sebuah komunitas
yang mengadakan interaksi sosial. Tanpa ada kepemimpinan, terlebih lagi dalam
komunitas makro, perjalanan komunitas akan mengalami ketidakseimbangan atau
mungkin kehilangan arah dalam menghadapi dan mengikuti tuntutan zaman yang
dinamis. Kepemimpinan harus sesuai dengan fungsinya yaitu mengurusi berbagai
permasalahan yang terdapat dalam masyarakat, baik dalam hal keduniaan atau
keagamaan. Kenyataan pentingnya sebuah kepemimpinan dapat di buktikan oleh
sunnatulloh yang tidak dapat di pungkiri keberadaannya, yaitu dengan adanya
orang-orang yang punya kelebihan di banding yang lainnya, baik yang bersifat
bawaan atau latihan sehingga orang yang dapat memberikan influence yang
mendominasi bagi lingkungannya. Kenyatan itulah yang mengharuskan adanya
suksesi (pergantian kepemimpinan) dalam sebuah komunitas.
Berkenaan dengan suksesi ini, Amir Al-Mu’min dan Umar
Ibn Khottob menyikapinya secara bijak. Yang hal itu menunjukkan kehati-hatian
dalam menyokapi suksesi yang merupakan masalah besar dan tidak bias di anggap
remeh. Suksesi merupakan langkag awal dalam penataan maju-mundurnya sebuah
peradaban dan masa depan sebuah bangsa.
Dengan demikian seorang menjadi pemimpin haruslah
orang yang cakap, adil, bijaksana, betanggungjawab, berwibawa, jujur, taat, dan
menepati janji-janjinya. Agar dalm pelajsanaan roda pemerintahan, dapat berjalan sesuai dengan koridor dan harapan
semua orang.[8]
b.
Kandungan Hadith
Dari hadith ini dapat di ambil beberapa kandungan
haadith sebagai berikut :
1)
Suksesi kepemimpinan adalah suatu
keharusan dalam sebuah komnitas yang akan mengurusi berbagai permsalahan umat,
baik duniawi atau ukhrowi.
2)
Sunnatulloh menyatakan bahwa di
antara manusia terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan lebih di banding
yang lain.
3)
Dalam menentukan suksesi
kepemimpinan, setiap orang harus bersikap bujaksana sehingga tidak ada
pihak-pihak yang di rugikan.
4)
Suksesi kepemimpinan harus
selektif sehingga tidak memberikan suatu hak pada orang yang bukan pemiliknya
yang selanjutnya menimbulkan kehancuran umat.[9]
5)
Suksesi kepemimpinan dapat di
lakukan berdasar penunjukan langsung oleh pemimpin sebelumnya atau di serahkan
pada umat itu sendiri.
6)
Seseorang yang akan di jadikan
pemimpin harus memiliki karakter tertentu yang dapat nenunjang kelancaran
pemerintahan.
c.
Tinjauan rawi Hadith
Abdulloh ibn Umar ibn Al-Khottob Al-Adawi Abu
Abdurrahman Al-Makki telah masuk islam sejak kecil di Makkah dan ikut bersama
ayahnya. Ibn Umar menyaksikan perang khandaq dan baiat A-Ridlwan. Ia
meruwayatkan 1630 hadith. Di antara orang-orang yang meriwayatkan hadith
darinya adalah salim, Hamzah, Ubaidillah, dan lain-lain. Ibn Umar termasuk
sahabat yang zahid dan wara’, seorang imam yang luas pengetahuannya dan juga
banyak pengikutnya. Dia meninggal dunia di Makkah tahun 94 H dan di makamkan di
sana.
DAFTAR PUSTAKA
Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin dalam Perspektif Al-Qur’an,Jakarta : Rineka
Cipta,1996.
Taufiq Rahman,Hadis-Hadis ahkam,Jakarta:Pustaka Setia,1998.
,Al-Lu’lu wa Al-Marjan,.Beirut: Dar
al-Fikr,2003, Juz I.
An-Nawawi , Dalil al-Falihiin ‘ala
Syarhi Riyadh al-Sholihin, Beirut:Dar al-Ihya,2005.
Abuddib Nata,Masail Fiqhiyyah.Jakarta:Prenada Media,2003
Al- Maududi, Al-Khilafah wa
al-Muluk, Beirut:
Dar al- kutub, 1998
Harbani Pasolong, Kepemimpinan Birokrasi. (Bandung : Alphabeta,2008)hal 2-7
Yayasan peduli
umat,Buletin Al-Mutsla, edisi Februari 2011
[1]
Al- Maududi, Al-Khilafah wa al-Muluk, (Beirut: dar al- kutub, 1998) 223
[2]
Abu al-din Nata, Masail al-Fiqhiyah,(Jakarta: Prenada Media,2001) hal 118
[3]
Harbani Pasolong, Kepemimpinan Birokrasi. (Bandung : Alphabeta,2008)hal 2-7
[4]
Yayasan peduli umat,Buletin Al-Mutsla, edisi Februari 2011
[5] ,Al-Lu’lu
wa Al-Marjan,(Beirut:
Dar al-Fikr,2003) Juz I hal.591
[6] An-Nawawi , Dalil al-Falihiin ‘ala Syarhi
Riyadh al Sholihin,(Beirut:Dar al-Ihya,2005) hal 1974
[7]
Taufiq Rahman,Hadis-Hadis ahkam,(Jakarta:Pustaka Setia,1998) 208
[8]
Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin dalam Perspektif Al-Qur’an,(Jakarta :
Rineka Cipta,1996) 65
[9]
Abuddib Nata,Masail Fiqhiyyha,op. Cit,,,,,
Komentar
Posting Komentar