Merawat Jenazah dan Adab Menjenguk Orang Sakit



BAB I
PENDAHULUAN
Drs. KH. Muh. Muhsin 


A.     MUQADDIMAH
Kehidupan dunia adalah tempat menanam sedang kehidupan akhirat adalah tempat menuai hasil perbuatan yang dikerjakan selama hidup di dunia. Barang siapa yang beramal shalih ia akan selamat dari adzab di akhirat dan akan masuk surga. Sebaliknya yang buruk amalnya akan mendapatkan siksa yang pedih di neraka.
Mati merupakan batas akhir kesenangan dan kebebasan manusia hidup di dunia, untuk memasuki sebuah alam, dimana manusia harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia. Karena itu dianjurkan bagi setiap manusia, untuk selalu mengingat kematian agar senantiasa termotifasi untuk beramal baik selama hidup di dunia, serta selalu mempersiapkan diri untuk menuju kehidupan selanjutnya. Sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Nasa’iy :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ. (رواه الترمذى)[1]
“Diriwayatkan dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, ia berkata, bersabda Rasulullah SAW. ""Perbanyaklah mengingat hal yang menghancurkan kenikmatan, yakni kematian”.
Bagi orang-orang yang mengetahui kematian saudaranya yang muslim, sekurang-kurangnya mempunyai kwajiban 4 (empat) hal, yaitu "Memandikan, mengkafani, menshalatkan serta menguburkan", disamping senantiasa mengiringkan kepergian orang yang mati itu dengan iringan do'a dan permohonan ampunan.
Buku ini ditulis dengan tujuan memberikan tuntunan praktis bagi seorang muslim dalam mengurus seseorang yang sedang menghadapi kematian, dalam mengurus jenazah serta melakukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan peristiwa orang sakit serta kematian seseorang.
B.     MEMBEZUK ORANG SAKIT
  1. Hukum Membezuk Orang Sakit
Membezuk orang sakit itu hukumnya sunnah. Sebagian ulama mengatakan hukumnya sunnah muakkad.
Dijelaskan dalam kitab Al-Majmu’:
عيادة المريض سنة متأكدة والاحاديث الصحيحة مشهورة في ذلك.[2]
“Membezuk orang yang sedang sakit itu hukumnya “sunnah muakkad”, sedangkan beberapa hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut yang shahih sangatlah masyhur”.
Dalam kitab Syarkh al-Nawawy ‘ala Muslim, dijelaskan:
أَمَّا عِيَادَة الْمَرِيض فَسُنَّة بِالْإِجْمَاعِ ، وَسَوَاء فِيهِ مَنْ يَعْرِفهُ وَمَنْ لَا يَعْرِفهُ ، وَالْقَرِيب وَالْأَجْنَبِيّ.[3]
“Adapun membezuk orang sakit itu hukumnya sunnah, baik membezuk orang yang dikenal, maupun orang yang tidak dikenal, baik kerabat dekat maupun orang lain”.
  1. Keutamaan Membezuk Orang Sakit
Dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Tsauban:
عَنْ ثَوْبَانَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ.(رواه مسلم)[4]
“Diriwayatkan dari Tsauban, dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang muslim ketika membezuk saudaranya sesama muslim yang sedang sakit, maka tak henti-hentinya ia bedara dalam pertamanan surga, sehingga ia pulang”.
Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari al-Barra’ ibn ‘Azib:
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ فَذَكَرَ عِيَادَةَ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعَ الْجَنَائِزِ وَتَشْمِيتَ الْعَاطِسِ وَرَدَّ السَّلَامِ وَنَصْرَ الْمَظْلُومِ وَإِجَابَةَ الدَّاعِي وَإِبْرَارَ الْمُقْسِمِ.(رواه البخاري)[5]
“Diriwayatkan dari Al-Barra’ ibn ‘Azib RA. ia berkata, Nabi SAW. memerintahkan kepada kita untuk melakukan perkara tujuh dan melarang kita dari perkara tujuh. Kemudian beliau menunurkan: “Membezuk orang sakit, mengiringkan jenazah, mendo’akan orang yang bersin, menjawab salam, menolong orang yang teraniaya, mendatangi undangan serta menghargai orang yang bersumpah”.
  1. TATA RACA MEMBEZUK ORANG SAKIT
a.    Adab Membezuk Orang Sakit
Sepuluh poin adab (etika) membezuk orang sakit, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasiyah al-Jamal, yaitu:
وَجُمْلَةُ آدَابِ عِيَادَةِ الْمَرِيضِ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ وَمِنْهَا مَا لَا يَخْتَصُّ بِالْعِيَادَةِ أَنْ لَا يُقَابِلَ الْبَابَ عِنْدَ الِاسْتِئْذَانِ وَأَنْ يَدُقَّ الْبَابَ بِرِفْقٍ وَلَا يُبْهِمَ نَفْسَهُ بِأَنْ يَقُولَ أَنَا وَأَنْ لَا يَحْضُرَ فِي وَقْتٍ يَكُونُ غَيْرَ لَائِقٍ بِالْعِيَادَةِ كَوَقْتِ شُرْبِ الْمَرِيضِ الدَّوَاءَ وَأَنْ يُخَفِّفَ الْجُلُوسَ وَأَنْ يَغُضَّ الْبَصَرَ وَأَنْ يُقَلِّلَ السُّؤَالَ وَأَنْ يُظْهِرَ الرِّقَّةَ وَأَنْ يُخْلِصَ الدُّعَاءَ وَأَنْ يُوَسِّعَ لِلْمَرِيضِ فِي الْأَمَلِ وَيُعِينَهُ عَلَيْهِ بِالصَّبْرِ لِمَا فِيهِ مِنْ جَزِيلِ الْأَجْرِ وَيُحَذِّرَهُ مِنْ الْجَزَعِ لِمَا فِيهِ مِنْ الْوِزْرِ.
Sepuluh adab membezuk orang sakit:
1)        Tidak menghadap langsung ke arah ointu, ketika meminta izin untuk masuk rumah atau ruangan.
2)        Janganlah mengetuk pinyu terlalu keras.
3)        Janganlah menyamarkan identitas terhadap orang yang dibezuk.
4)        Janganlan membezuk pada waktu yang kurang tetap, seperti waktunya istirahat, waktunya makan atau minum obat.
5)        Jangan berlama-lama, berada di tempat orang yang sedang sakit, sebaiknya membezuk secukupnya.
6)        Hendaknya membatasi pandangan mata, jangan jelalatan ke mana-mana, utamnya pada aurat orang yang sedang sakit.
7)        Jangan banyak bertanya kepada orang yang sedang sakit.
8)        Memperlihatkan rasa kasih sayang yang dalam.
9)        Jangan lupa mendo’akan kesembuhan kepada orang yang sakit.
10)     Memberikan motifasi kepada orang yang sakit untuk senantiasa bersabar, serta menghibur agar jangan putus asa, karena Allah akan menggantinya dengan yang lebih-baik.
b.    Memberi Motifasi Orang yang Sedang Sakit
1)        Hendaknya memberikan nasehat kepada orang yang sakit, bahwa Allah akan menghilangkan dosa-dosa dari orang yang mendapatkan musibah, apapun bentuk musibah itu, apabila diterimanya dengan sabar.
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ.[6]
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “Tidak menimpa kepada seorang muslim apapun bentuk penderitaan, seperti letih, sakit, susah termasuk terkena duri sekalipun, kecuali dengan itu semua Allah SWT. Menghaous dosa dan kesalahan orang tersebut”.
Dalam riwayat Imam Tirmidzy dijelaskan:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَمَامُ عِيَادَةِ الْمَرِيضِ أَنْ يَضَعَ أَحَدُكُمْ يَدَهُ عَلَى جَبْهَتِهِ أَوْ قَالَ عَلَى يَدِهِ فَيَسْأَلُهُ كَيْفَ هُوَ.(رواه الترمذي) [7]
“Diriwayatkan dari Abi Umamah RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: “Sempurnanya seseorang membezuk orang sakit itu apabila ia meletakkan tangannya di atas dahi si sakit, serta menanyakan keadaannya”.
2)        Hendaknya mengingatkan kepada orang yang sedang sakit, untuk tidak putus asa, karena penyakit yang dideritanya.
Dijelsakan dalam sebuah hadits riwayat Anas ibn Malik:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي.[8]
“Diriwayatkan dari Anas ibn Malik RA. ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Janganlah diantara kamu mengharapkan kematian, dikarenakan musibah yang menimpanya. Apabila terpaksa sekali, maka sebaiknya ia berdo’a Ya Allah berilah aku kehidupan sekiranya hidup lebih baik bagiku dan berilah aku kematian sekiranya mati lebih baik bagiku”.
c.    Mendo’akan Orang yang Sakit
Hendaknya orang yang membezuk, mendo’akan kepada orang yang sedang sakit untuk mendapatkan kesembuhan dari Allah SWT. Sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah SAW. :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا عَادَ مَرِيضًا يَقُولُ أَذْهِبْ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ اشْفِهِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا.(رواه مسلم) [9]
“Diriwayatkan dari ‘Aisyah RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW. ketika membezuk orang yang sedang sakit, beliau berdo’a: “Ya Allah, hilangkan penyakit, wahai Tuhan para manusia, sembuhkanlah ia, Engkau adalah dzat yang memberikan kesembuhan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan bekas sakit”.
Dalam riwayat Imam Abu Dawud dijelaskan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَادَ مَرِيضًا لَمْ يَحْضُرْ أَجَلُهُ فَقَالَ عِنْدَهُ سَبْعَ مِرَارٍ" أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ" إِلَّا عَافَاهُ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ الْمَرَضِ.
“Diriwayatkan dari Abu Dawud, dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “Barang siapa membezuk orang sakit yang belum datang ajalnya, kemudian bedo’a sebanyak tujuh kali “Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung, Tuhan ‘Arasy Yang Agung pula, untuk memberikan kesembuhan kepada kamu”, maka Allah akan memberikan kesembuhan bagi orang yang sakit tersebut”.
C.     MENGURUS ORANG YANG SEDANG MENGHADAPI NAZA’
1.      Mengajarkan agar berbaik sangka terhadap Allah
Keluarga dekat hendaknya menumbuhkan semangat kepada orang yang sedang naza’ untuk berbaik sangka terhadap ketentuan Allah, karena sakit dan kematian adalah ujian, apabila diterima dengan sabar akan membawa Rahmat dan Ampunan, sesuai dengan hadits riwayat Muslim bahwa Nabi SAW, bersabda :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ يَقُولُ لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.[10]
“Diriwayatkan dari sahabat Jabir ibn Abdillah al-Anshary, ia berkata, bersabda Rasulullah SAW. "Janganlah sekali-kali salah satu diantara kalian mati, kecuali berbaik sangka terhadap Allah Yang Maha Agung”. (HR. Muslim).
2.      Menghadapkan ke arah kiblat
Dijelaskan dalam kitab Mughni al-Muhtaj, Juz. 4, halaman 199:
وَيُضْجَعُ الْمُحْتَضَرُ وَهُوَ مَنْ حَضَرَهُ الْمَوْتُ وَلَمْ يَمُتْ لِجَنْبِهِ الْأَيْمَنِ نَدْبًا كَالْمَوْضُوعِ فِي اللَّحْدِ إلَى الْقِبْلَةِ نَدْبًا أَيْضًا ؛ لِأَنَّهَا أَشْرَفُ الْجِهَاتِ.[11]
“Orang yang sedang naza’ dan belum meninggal dunia, hendaknya ditidurkan miring ke kanan, sebagaimana posisi dalam liang lahad, serta menghadap ke kiblat, sebab arah itu adalah sebaik-baik arah menghadap”.
Menghadapkan orang yang naza’  ke arah kiblat ada 3 cara :
a)       Menidurkannya miring pada lambung kanannya sedang mukanya menghadap ke arah kiblat.
b)      Atau menidurkannya miring pada lambung kirinya sedang mukanya menghadap ke arah kiblat
c)       Menidurkan dengan cara terlentang membujur ke timur dan mengganjal kepalanya dengan bantal, sedang telapak kaki dan mukanya menghadap kiblat
Orang yang sedang menghadapi naza’ dihadapkan ke arah kiblat agar ia, dalam hidup maupun matinya berkiblat ke Baitul Haram. Sesuai dengan sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Dawud :
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ حَدَّثَهُ وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْكَبَائِرُ فَقَالَ هُنَّ تِسْعٌ فَذَكَرَ مَعْنَاهُ زَادَ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ الْمُسْلِمَيْنِ وَاسْتِحْلَالُ الْبَيْتِ الْحَرَامِ قِبْلَتِكُمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا.(رواه ابو داود)[12]
"Diriwayatkan dari Ubaidah ibn Umair, dari ayahnya, ... sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, ia berkata "Wahai Rasulullah, apa yang termasuk dosa-dosa besar itu? Maka Rasulullah berkata "ada sembilan" kemudian beliau menuturkan maksudnya dan menambahkan "dan menyakiti kedua orang tua yang keduanya muslim serta menghalalkan Masjidil Haram, yaitu kiblatmu baik semasa hidup maupun matimu" (HR. Abu Dawud)
3.      Mentalqinkan kalimat tauhid
Orang yang sedang menghadapi naza’, dituntuni untuk mengucapkan kalimat “Laa-Ilaahaa Illa Allah dengan sabar, lemah lembut, tidak diulang-ulang, serta tidak dipaksakan. Ketika orang yang sedang naza' tersebut sudah mengucapkan kalimah“Laa-Ilaahaa Illa Allah  dan kemudian diam, maka sebaiknya didiamkan sambil diamati apa yang keluar dari lisannya.
Dijelaskan dalam kitab Mughni al-Muhtaj, Juz. 4, halaman 199:
وَيُلَقَّنُ نَدْبًا قَبْلَ الِاضْطِجَاعِ كَمَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ  الشَّهَادَةَ  وَهِيَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، فَإِنْ أَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَ التَّلْقِينِ وَالِاضْطِجَاعِ فُعِلَا مَعًا كَمَا قَالَهُ ابْنُ الْفِرْكَاحِ، وَإِلَّا بَدَأَ بِالتَّلْقِينِ.[13]
“Dan sunnat mentalkin kalimah Syahadat, yaitu “Laa-Ilaahaa Illa Allah” sebelum ditidurkan miring ke arah kiblat, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Mawarady. Apabila mampu dilakukan bersamaan dua hal tersebut, maka lebih baik dilakukan secara bersamaan, sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Firkah. dan apabila tidak memungkinkan, maka didahulukan talkin”.
Ketika orang yang sedang naza' itu, berpaling kepada kalimat lain, selain kalimat “Laa-Ilaahaa Illa Allah, maka segera dituntun ulang pada ucapan kalimat tayyibah tersebut, sehingga kalimat terakhir yang diucapkan ketika ia meninggal dunia, adalahLaa Ilaaha illa Allah”.  Dalam hadits Nabi SAW, diriwayatkan oleh Imam Muslim:
عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ. (رواه مسلم)[14]
Diriwayatkan dari Ibnu Hazim, dari Abi Hurairah, ia berkata, bersabda Rasulullah SAW" Talkinkan orang yang akan meninggal dunia dengan kalimat Laa-Ilaahaa Illa Allah.
Sabda Rasulullah SAW dalam riwayat Abu Dawud:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.(رواه ابو داود)[15]
“Diriwayatkan dari sahabat Mu'adz ibn Jabal, ia berkata, berabda Rasulullah SAW. "Barang siapa akhir pembicaraannya kalimat “Laa Ilaahaa Illaa Allah” maka akan masuk surga.”
  1. Membacakan Surat Yasin di dekatnya.
Orang yang sedang naza’ di dekatnya dibacakan Surat Yasin. Dijelaskan dalam kitab Mughni al-Muhtaj, Juz. 4, halaman 199:
وَيُقْرَأُ عِنْدَهُ  سُورَةُ  يس لِخَبَرِ" اقْرَءُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس".[16]
“Dan hendaknya dibacakan surat Yasin di dekatnya, karena ada hadits yang memerintahkan: “Bacakanlah orang-orang yang menghadapi mati dari kamu semua, surat Yasin”.
Dalam sebuah hadits Nabi SAW riwayat Ibnu Hibban :
عن معقل بن يسار ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اقْرَءُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس.(رواه ابن حبان)[17]
“Diriwayatkan dari Ma'qil ibn Yasar, ia berkata, bersabsa Rasulullah SAW." Bacakanlah atas orang-orang yang akan mati, surat yasin.” (HR. Ibnu Hibban)
  1. Meminumi air dingin
Dijelaskan dalam kitab Mughni al-Muhtaj, Juz. 4, halaman 199:
َيُسَنُّ تَجْرِيعُهُ بِمَاءٍ بَارِدٍ كَمَا قَالَهُ الْجِيلِيُّ ، فَإِنَّ الْعَطَشَ يَغْلِبُ مِنْ شِدَّةِ النَّزْعِ فَيُخَافُ مِنْهُ إزْلَالُ الشَّيْطَانِ.[18]
“Disunnahkan meminumi air dingin, sebagaimana dikatakan oleh al-Jily, sesungguhnya rasa haus yang luar biasa menguasai orang yang sedang naza’, maka ditakutkan terkenan godaan setan yang membawakannya air kesesatan”.
D.     Mengurus Orang yang Telah Meninggal Dunia
  1. Memejamkan matanya
Pertama-tama yang dilakukan terhadap orang yang beru saja menghembuskan nyawanya adalah memejamkan matanya dengan cara mengusapkan telapak tangan ke mukanya dengan halus dan lemah lembut, karena kebanyakan orang mati dengan mata terbuka. Hadits Nabi SAW riwayat Ahmad dari sahabat Syaddad :
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ قََالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَضَرْتُمْ مَوْتَاكُمْ فَأَغْمِضُوا الْبَصَرَ فَإِنَّ الْبَصَرَ يَتْبَعُ الرُّوحَ وَقُولُوا خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تُؤَمِّنُ عَلَى مَا قَالَ أَهْلُ الْبَيْتِ.(رواه ابن ماجة)[19]
"Diriwayatkan dari Syaddad ibn Aus, ia berkata, bersabda Rasulullah SAW. "Apabila kamu melihat orang yang sudah mati, pejamkan matanya karena mata itu mengikuti ruh, dan berdo’alah karena malaikat mengamini apa yang diucapkan keluarga mayit.”
Ketika memejamkan mata, berdo’a : “بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِرَسُوْلِ اللهِ
Dalam riwayat Al-Baihaqy dijelaskan:
عن بكر بن عبد الله قال إذا غمضت الميت فقل بسم الله وعلى ملة رسول الله صلى الله عليه وسلم. (رواه البيهقي)[20]
“Diriwayatkan dari Bakr ibn Abdillah, ia berkata, "Ketika kamu memejamkan si mayit, maka bacalah:" Dan dengan menyebut asma Allah SWT dan mengikuti jalan Rasul SAW. (HR. Baihaqiy)
2.      Mengikat dagunya dengan kain ke atas kepala
Berikutnya yang dilakukan adalah mengikat dagu ke atas kepala, dengan tujuan agar mulut jenazah tidak terbuka, agar tidak dimasuki binatang kecil dan tidak jelek dipandang.
3.      Melemaskan ruas-ruasnya
Ruas-ruas anggota mayit dilemaskan, dengan cara menggerakkan jari-jari tangannya ke arah telapak, menggerakkan lengannya ke arah bahu, dan menggerakkan pahanya ke arah perut, kemudian meluruskannya kembali, agar memudahkannya saat memandikan dan mengkafaninya.
4.      Menutupi badannya dengan kain
Baju yang dipakai jenazah ketika meninggal dunia supaya dilepas semua, kemudian ditutup dengan kain yang terbuat dari katun.
5.      Memberinya bau-bauan yang harum
  1. Melipat tangan si mayit
  2. Menyegerakan Tajhiz
  3. Melunasi hutang-hutangnya
Pihak ahli waris segera melunasi hutang-hutang mayit. Berdasarkan hadits Riwayat Tirmidzi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ.(رواه الترمذي)[21]
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah, ia berkata, Bersabda Rasulullah SAW. "Jiwa seorang mukmin tergadai oleh hutangnya sehingga dibayarkannya.”


 
BAB II
MEMANDIKAN JENAZAH

A.    MENSEGERAKAN MEMANDIKAN JENAZAH
Ketika telah nyata kematian seseorang, maka hukumnya sunnah, cepat-cepat memandikan jenazahnya. Sebuah hadits Nabi SAW yang menceritakan ketika Thalhah bin Barra’ sakit, sebagai berikut:
عَنْ الْحُصَيْنِ بْنِ وَحْوَحٍ أَنَّ طَلْحَةَ بْنَ الْبَرَاءِ مَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَقَالَ إِنِّي لَا أَرَى طَلْحَةَ إِلَّا قَدْ حَدَثَ فِيهِ الْمَوْتُ فَآذِنُونِي بِهِ وَعَجِّلُوا فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ. (رواه ابو داود)[22]
“Diriwayatkan dari Khushain ibn Wahwah, sesungguhnya Thalhah ibn Barra' sedang sakit maka Rasulullah SAW. datang menjenguk kepadanya, beliau bersabda: "Aku tidak melihat Thalhah kecuali dia telah meninggal dunia, (kenapa tidak segera) mereka memberitahukan kematiannya padaku dan mereka menyegerakan perawatannya. Sesungguhnya tidak baik jenazah seseorang muslim dibiarkan tertahan diantara keluarganya.”
B.     HUKUM MEMANDIKAN JENAZAH
Memandikan jenazah hukumnya fardlu kifayah bagi setiap orang Islam. Sesuai dengan hadits Nabi SAW riwayat Imam Bukhari dari Ibn ‘Abbas:
13
 
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ وَاقِفٌ بِعَرَفَةَ إِذْ وَقَعَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتْهُ أَوْ قَالَ فَأَوْقَصَتْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ وَلَا تُحَنِّطُوهُ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا.(رواه البخاري)[23]
"Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata suatu hari seorang laki-laki sedang wuquf di arafah, tiba-tiba jatuh dari tunggangannya dan mematahkan lehernya. Maka bersabda Rasulullah SAW.: "Mandikan jenazah dengan air dicampur daun bidara, kemudian kafani dia dengan dua lapis baju; dan jangan bubuhi obat, jangan dipakaikan tutup kepala, sebab dia nanti akan dibangunkan dalam keadaan membaca talbiyah”.
Berangkat dari Sabda Rasulullah diatas ”Mandikanlah ia ...”, maka para ulama sepakat, bahwa memandikan jenazah itu hukumnya wajib, akan tetapi tidak bersifat wajib ‘ain, melainkan wajib kifayah. Apabila sudah ada yang melakukan dan sudah cukup orang yang melakukannya, maka yang lain tidak lagi terkena hukum wajib; tetapi apabila semua orang yang berada di wilayah itu tidak ada yang melakukannya, maka semua orang terkena hukum wajib untuk melakukannya.
C.    SYARAT MEMANDIKAN JENAZAH
1.      Islam
Orang kafir tidak boleh memandikan jenazah, karena memandikan jenazah itu adalah ibadah, sedangkan orang kafir tidak terkena huum ibadah.
2.      Niat
Sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَن اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.(رواه البخاري)[24]
“Diriwayatkan dari sahabat Al-Laits, ia berkata: "Aku mendengar Umar ibn Khatthab di atas mimbar, ia berkata : "Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya sahnya amal perbuatan itu tergantung pada niat. Dan sesungguhnya setiap seseorang yang berbuat itu tergantung pada nitanya masing-masing. Barang siapa hijrahnya dikarenakan kehidupan dunia yang akan diraihnya atau karena wanita untuk dikawininya, maka hijrahnya itu ya kepada apa yang ditujunya”.
3.      Berakal sehat
Karena orang yang tidak berakal itu bukan orang yang ahli dalam mengatur niat.
D.    ANJURAN BAGI ORANG YANG MEMANDIKAN JENAZAH
1.       Orang yang memandikan jenazah, hendaknya orang yang amanah dan mengerti hukum-hukum merawat jenazah.
2.       Sepanjang ada kerabat dekat, maka dilakukan oleh kerabat dekatnya.
3.       Sebaiknya orang yang memandikan jenazah merahasiakan apa saja yang ia lihat dari jenazah, sesuai dengan hadits Nabi SAW dari Aisyah R.A:
عَنْ يَحْيَى بْنِ الْجَزَّارِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَأَدَّى فِيهِ الْأَمَانَةَ يَعْنِي أَنْ لَا يُفْشِيَ عَلَيْهِ مَا يَكُونُ مِنْهُ عِنْدَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلْيَلِهِ أَقْرَبُ أَهْلِهِ مِنْهُ إِنْ كَانَ يَعْلَمُ فَإِنْ كَانَ لَا يَعْلَمُ فَلْيَلِهِ مِنْكُمْ مَنْ تَرَوْنَ أَنَّ عِنْدَهُ حَظًّا مِنْ وَرَعٍ أَوْ أَمَانَةٍ.(رواه  احمد) [25]
“Diriwayatkan oleh Yahya ibn Jazzar, ia berkata, Aisyah berkata: "Orang yang memandikan jenazah dengan penuh amanah dan tidak menyebarkan apa yang dilihatnya, maka dosanya terhapus seperti bayi yang baru terlahirkan” Aisyah berkata, bersabda Rasulullah SAW. "Dan hendaknya dilakukan oleh kerabat yang terdekat apabila ada; dan apabila tidak ada, maka dilakukan oleh orang yang mempunyai sifat wira'i dan amanah".
4.       Jenazah yang dimandikan, hendaknya ditutupi dari pandangan manusia, karena kemungkinan jenazah tersebut mempunyai aib, yang ditutupinya sewaktu ia hidup.
Hadits Nabi SAW riwayat Abu Dawud dari Ibnu Umar R.A :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اذْكُرُوا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوا عَنْ مَسَاوِيهِمْ.(رواه ابو داود) [26]
“Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, ia berkata, bersabda Rasulullah SAW. "Sebutkan kebaikan-kebaikan orang yang mati, dan tutupilah kejelekkan kejelekannya”.
5.       Orang-orang yang melibatkan diri dalam perawatan jenazah, kalau mereka menemukan, hendaknya menyebarkan kebaikan-kebaikan yang nampak dari jenazah tersebut, seperti: Cemerlang mukanya, atau keadaan jenazah tersenyum dan sebagainya. Sebab yang demikian dapat mendorong orang untuk mengikuti jalan hidupnya, dan meniru kebaikan perjalanan hidupnya.
6.       Memandikan jenazah hendaknya di tempat yang beratap/tertutup.
7.       Apabila memerlukan tenaga bantuan dalam memandikan dan merawat jenazah, hendaknya meminta bantuan kepada orang yang lebih berhak.
8.       Orang-orang yang tidak berkepentingan makruh hukumnya ikut serta dalam memandikan jenazah.
9.       Selama jenazah dimandikan sebaiknya diasapi dengan kayu cendana atau kayu gaharu agar bau dan kotoran yang keluar dari jenazah tersebut tidak tercium.
10.   Hendaknya jenazah dimandikan dalam keadaan tertutup kain.
11.   Hendaknya jenazah dimandikan dengan air dingin, bukan air panas.
12.   Hendaknya orang-orang yang ada, tidak melihat aurat dari jenazah.
13.   Orang yang memandikan, hendaknya tidak menyentuh aurat jenazah tanpa memakai sarung tangan.
14.   Hendaknya orang yang selesai memandikan jenazah, segera mandi dan membersihkan badannya. Sesuai dengan hadits Nabi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ غَسَّلَ الْمَيِّتَ فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ. (رواه ابو داود) [27]
"Diriwayatkan dari Abi Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa selesai memandikan jenazah, maka hendaknya ia mandi untuk dirinya sendiri; dan barang siapa selesai memikul jenazah, maka ia berwudlu'lah".
E.     JENAZAH YANG WAJIB DIMANDIKAN
  1. Jenazah seorang muslim.
Seorang muslim yang meninggal dunia, wajib dimandikan jenazahnya, sedang orang kafir tidak wajib dimandikan.
2.      Jenazah bayi lahir yang terdapat tanda-tanda kehidupan, seperti menangis, menetek atau bergerak.
3.              Untuk jenazah bayi yang lahir sebelum waktunya, terdapat beberapa ketentuan:
a.       Apabila ketika lahir terdapat tanda-tanda kehidupan seperti menangis, maka wajib dimandikan, dikafani, dishalati dan dimakamkan.
b.       Apabila ketika lahir tidak ada tanda-tanda kehidupan, atau lahir sebelum usia kandungan 4 (empat) bulan, maka cukup dimandikan, dikafani dan dimakamkan.
4.      Jenazah yang ditemukan hanya sebagian saja dari jasadnya secara utuh, terdapat beberapa pendapat:
a.       Menurut Imam Hanafi: wajib dimandikan, apabila yang tersisa itu sebagian besar jasadnya dan ada kepalanya.
b.       Menurut Imam Maliki: wajib dimandikan apabila masih ada dua pertiga jasadnya apabila kurang makruh hukumnya.
c.       Sedang menurut Imam Syafi’I dan Hambali : sekalipun jasad jenazah tinggal sedikit, wajib dimandikan, dikafani, dishalati dan dimakamkan.
5.      Jenazah orang yang mati bukan karena syahid.
Sedang orang mati syahid tidak wajib dimandikan, dikafani dan dishalati sesuai dengan sabda Rasulullah SAW terhadap korban perang uhud:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ فِي قَتْلَى أُحُدٍ لَا تُغَسِّلُوهُمْ فَإِنَّ كُلَّ جُرْحٍ أَوْ كُلَّ دَمٍ يَفُوحُ مِسْكًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِمْ.(رواه احمد) [28]
"Diriwayatkan dari sahabat Jabir ibn Abdillah, dari Nabi SAW. Sesungguhnya beliau bersabda tentang orang-orang yang terbunuh dalam perang Uhud: "Janganlah kamu semua memandikan mereka, karena setiap luka atau darah yang mengalir akan menjadi minyak wangi pada hari kiamat", dan Nabi tidak menshalati mereka".
F.     TATA CARA MEMANDIKAN JENAZAH
  1. Persiapan sebelum memandikan
Sebelum proses memandikan jenazah dimulai, maka hal-hal yang harus dilakukan adalah:
a.       Siapkan terlebih dahulu tempat yang akan digunakan untuk memandikan jenazah. Usahakan tempat tersebut terhindar dari pandangan orang banyak, kecuali orang-orang yang akan memandikan saja.
b.      Siapkan peralatan untuk memandikan jenazah, yang meliputi:
1)    Air suci dan mensucikan, dengan jumlah yang cukup; dan ditaruh pada tempat yang terhindar dari percikan-percikan yang bisa menyebabkan air menjadi mutanajis atau musta’mal.
2)    Sabun, air kapur barus dan wangi-wangian.
3)    Sarung tangan, handuk atau kain sejenisnya dan kain basahan.
4)    Gayung untuk menuang air, atau dapat menggunakan selang, kalau air yang digunakan, mengambil dari air ledeng atau selang.
c.       Tempat duduk yang cukup digunakan untuk 3 orang yang akan digunakan untuk memangku jenazah, apabila ketika jenazah dimandikan dengan dipangku. Sebaiknya dicarikan tempat duduk yang kuat dan tingginya disesuaikan.
d.      Jika tidak ada yang memangku, maka disiapkan tempat semacam ranjang atau yang lain, untuk membaringkan jenazah ketika dimandikan.
  1. Pelaksanaan Memandikan Jenazah
a.    Sebaiknya jenazah diletakkan pada balai-balai, sekeliling dan atasnya ditutup dengan tabir.
b.    Ketika akan dimandikan, aurat jenazah harus ditutupi.
c.    Menurut jumhur ulama’, boleh hukumnya melepas seluruh pakaian jenazah ketika sedang dimandikan, agar hasilnya lebih bersih.
d.    Menurut madzhab Syafi’i sebaiknya jenazah dimandikan dalam keadaan tertutup kain.
e.    Posisi kepala jenazah dibuat lebih tinggi, agar air cepat mengalir.
f.     Apabila keadaan jenazah terputus-putus, maka bagian yang terputus dilekatkan atau disambungkan satu dengan yang lainnya.
g.    Apabila bagian jenazah ada yang terputus, seperti gigi atau rambut, maka harus dicuci dan dimasukkan dalam kafannya.
h.    Orang yang memandikan jenazah sebaiknya menggunakan dua lembar sarung tangan, satu lembar untuk membersihkan qubul dan dubur dan satu lembar lagi untuk menggosok seluruh tubuh.
i.     Disunnahkan mendudukkan jenazah dengan pelan-pelan, dengan cara duduk condong ke belakang sambil meletakkan tangan kananya pada pundak kiri jenazah sedang telapak tangan kanannya memegangi tengkuk jenazah agar kepalanya tidak lunglai dan menyandarkan punggung jenazah pada lutut kanannya. Kemudian tangan kirinya menekan perut jenazah agar sisa-sisa kotoran yang ada dalam perut keluar.
j.     Ketika perut jenazah ditekan-tekan, dengan halus, hendaknya orang yang membantu memandikan :
·         Menyiramkan air ke tubuh jenazah, agar kotoran yang keluar, tidak mengotori badannya.
·         Memperbanyak pengasapan dengan kemenyan atau kayu gaharu agar jenazah tidak bau.
·         Apabila point a dan b, sudah dilaksanakan, maka untuk selanjutnya jenazah ditidurkan seperti sediakala.
a.       Mencuci semua najis, baik yang keluar pada saat jenazah didudukkan, maupun najis yang melekat pada badannya.
b.       Membasuh seluruh badan jenazah dengan air yang suci, disertai dengan niat:
نَوَيْتُ لِغُسْلِ الْمَيِّتِ فَرْضَ كِفَايَةٍ ِللهِ تَعَالَى.
"Saya berniat memandikan jenazah ini, fardlu kifayah karena Allah Ta’ala".
Atau
نَوَيْتُ اَدَاءَ الْغُسْلِ عَنْ هذَا الْمَيِّت ِ/ هذِهِ الَمَيِّةِ فَرْ ضَ كِفَايَة ٍ ِللهِ تَعَالَى.
"Saya berniat memandikan jenazah laki-laki/jenazah perempuan ini fardlu kifayah karena Allah Ta’ala".
c.       Menggunakan sarung tangan pada tangan kirinya untuk membersihkan qubul, dubur dan sekitarnya seperti halnya istinjak. Imam Nawawi mengatakan :
ثُمَّ يَغْسِلُ بِيَسَارِهِ وَهِيَ مَلْفُوْفَةٌ بِاحْدَى خِرْ قَتَيْنِ دُبُرَهُ وَمَذَاكِيْرَهُ وَمَا حَوْلَهَا وَيُنْجِيْهِ كَمَا يَسْتَنْجِي الْحَيَّ ثُمَّ يُلْقِي تِلْكَ الْخِرْ قَةَ وَيَغْسِلُ يَدَهُ بِمَاءٍ وَاَشْنَانٍ.[29]
“Menggunakan sarung tangan pada tangan kiri, membasuh qubul, dubur dan sekitarnya seperti halnya orang beristinjak, kemudian sarung tangan tersebut dibuang dan tangannya dicuci dengan sabun.”
d.      Membasuh seluruh badan jenazah sambil menggosoknya, agar seluruh badannya bersih dari kotoran dan najis.
e.       Dengan tetap menggunakan sarung tangan, membersihkan gigi-gigi jenazah dengan jari telunjuknya.
f.        Membersihkan lubang hidung dengan jari kelingking.
g.       Mencuci kepala jenazah, kemudian menyiisir rambutnya. Apabila ada rambutnya yang rontok, maka dimasukkan ke dalam kafan.
h.       Membersihkan kotoran pada kuku tangan dan kuku kaki.
i.         Membasuh sisi kanan badan jenazah. Dengan cara, jenazah dimiringkan pada lambung kirinya, lalu badannya dibasuh mulai dari tengkuk, pinggang sampai telapak kaki.
j.         Membasuh sisi kiri badan jenazah dengan cara, jenazah dimiringkan pada sisi lambung kanannya. Kemudian dibasuh mulai tengkuk, pinggang sampai telapak kaki.
k.       Mengulang masuhan 3 atau 5 kali.
l.         Mewudlukan jenazah.
Setelah semua selesai dikerjakan, jenazah diwudlukan dengan wudlu yang sempurna dengan niat :
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ الْمَسْنُوْنَ  لِهذَا الْمَيِّتِ / لِهذِهِ الْمَيِّتَةِ فَرْضَ كِفَايَةٍ ِللهِ تَعَالَى.
“Saya berniat mewudlukan jenazah ini fardhu kifayah karena Allah Ta’ala”
m.     Mengeringkan jenazah dengan handuk, kemudian ditutup dengan kain.

BAB III


 
MENGKAFANI JENAZAH

A.     HUKUM MENGKAFANI JENAZAH

Mengkafani jenazah adalah fardlu kifayah. Sedang biaya kafan, dan penguburan diambil dari harta peninggalan jenazah. Tetapi apabila keadaan jenazah tidak mampu maka menjadi tanggung jawab ahli waris.

B.     KETENTUAN-KETENTUAN KAFAN

1.       Jenis kafan.
a.       Hendaknya menggunakan kain kafan yang layak.
Dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW.:
أنَّ أَباَ الزُّبَيْرِ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يُحَدِّثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ يَوْمًا فَذَكَرَ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِهِ قُبِضَ فَكُفِّنَ فِي كَفَنٍ غَيْرِ طَائِلٍ وَقُبِرَ لَيْلًا فَزَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقْبَرَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يُضْطَرَّ إِنْسَانٌ إِلَى ذَلِكَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ.(رواه  مسلم ) [30]
“Sesungguhnya Abu Zubair mendengar dari Jabir ibn Abdillah, sesungguhnya Rasulullah SAW. pada suatu hari berkhotbah, kemudian menuturkan tentang seorang laki-laki dari sahabat beliau yang mati dan dibungkus dengan kain kafan yang kurang layak dan dikuburkan pada waktu malam, maka Rasulullah SAW. melarang menguburkan jenazah pada waktu malam, sehingga telah dishalati, kecuali keadaan darurat. Beliau bersabda: "Apabila salah seorang diantara kamu mengkafani saudaranya maka hendaknya ia membaguskan kafannya”.
b.      
21
 
Hendaknya menggunakan kain kafan berwarna putih bersih.
Sabda Rasul SAW juga:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ.(رواه  ابو داود) [31]
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, bersabda Rasuylullah SAW. "Pakaikanlah kain yang berwarna putih, sesungguhnya warna putih itu adalah sebaik-baik pakaianmu. Dan kafani pula dengan kain putih bagi orang-orang yang meninggal diantaramu.”
2.       Ukuran kafan
Ukuran kafan terdiri dari tiga macam :
a.       Kafan darurat
Yaitu kain kafan yang dipergunakan sekedar dapat menggugurkan kewajiban (dapat menutupi seluruh badan) sebagimana yang terjadi pada Mas’ab bin Umair :
عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ خَبَّابٍ قَالَ إِنَّ مُصْعَبَ بْنَ عُمَيْرٍ قُتِلَ يَوْمَ أُحُدٍ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ إِلَّا نَمِرَةٌ كُنَّا إِذَا غَطَّيْنَا بِهَا رَأْسَهُ خَرَجَ رِجْلَاهُ وَإِذَا غَطَّيْنَا رِجْلَيْهِ خَرَجَ رَأْسُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَطُّوا بِهَا رَأْسَهُ وَاجْعَلُوا عَلَى رِجْلَيْهِ شَيْئًا مِنْ الْإِذْخِرِ.(رواه  ابو داود) [32]
“Diriwayatkan dari Wail, dari Khubbab, ia berkata, "Sesungguhnya Mas’ab bin Umair saat terbunuh pada perang uhud, dia tidak meninggalkan sesuatu kecuali gamis, ketika ditutup kepalanya kelihatan kakinya, ketika ditutup kakinya kelihatan kepalanya. Maka Rasululloh SAW memerintahkan untuk menutup kepalanya, sedangkan kakinya ditutupi dengan tumbuh-tumbuhan idkhir (rumput berbau harum).”
b.       Kafan kifayah
1)      Kafan laki-laki terdiri dari dua potong kain, yaitu sarung dan selimut, berdasarkan perkataan Abu Bakar:
عن حذيفة قال كفنوني في ثوبي هذين ... (رواه  ابن  ابى شيبة)[33]
“Diriwaytkan dari sahabat Khudzifah, ia berkata: “Kafanilah aku dengan dua pakaianku ini. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
2)      Kafan wanita terdiri dari dua potong kain, ditambah kerudung untuk menutup kepala dan muka.
c.       Kafan sunnah (kafan yang paling sempurna)
1)      Untuk kafan laki-laki terdiri dari 3 lapis atau 5 lapis
Kafan 3 lapis adalah 3 lapis kain kafan yang dipakai secara keseluruhan tanpa gamis dan surban, sesuai hadits Nabi SAW riwayat Imam Bukhari Muslim dari Aisyah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفِّنَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ لَيْسَ فِيهَا قَمِيصٌ وَلَا عِمَامَةٌ.(رواه البغاري) [34]
“Diriwayatkan dari Aisyah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW dikafani dengan tiga lapis baju, di dalamnya tidak terdapat gamis dan surban.” (HR. Bukhari)
2)      Kafan 5 lapis adalah kafan 3 lapis ditambah gamis dan surban. Seperti yang dilakukan oleh Abdullah ibn Umar kepada keluarganya :
حدثنا ابن علية عن أيوب أن ابن عبد الله توفي فكفنه ابن عمر في خمسة أثواب قميصا وإزارا وثلاثة لفائف.(رواه ابن ابي شيبة) [35]
“Ibnu Aliyah meriwayatkan kepada kami dari Ayyub, sesungguhnya Ibnu Abdillah meninggal dunia, kemudian Ibnu Umar mengkafaninya dengan lima lapis, gamis, surban serta tiga lapis.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).
3)      Kafan perempuan juga terdiri dari 3 lapis atau 5 lapis.
Adapun caranya :
a)       Apabila jenazah perempuan dikafani 3 lapis, maka kain 3 lapis itu dipakai seluruhnya tanpa jarit dan kerudung.
b)      Apabila dikafani 5 lapis, maka terdiri dari 2 lapis kain ditambah jarit, gamis dan kerudung, atau 3 lapis kain ditambah jarit dan kerudung, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap putrinya Umi Kulsum :
أَنَّ لَيْلَى بِنْتَ قَانِفٍ الثَّقَفِيَّةَ قَالَتْ كُنْتُ فِيمَنْ غَسَّلَ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ وَفَاتِهَا فَكَانَ أَوَّلُ مَا أَعْطَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحِقَاءَ ثُمَّ الدِّرْعَ ثُمَّ الْخِمَارَ ثُمَّ الْمِلْحَفَةَ ثُمَّ أُدْرِجَتْ بَعْدُ فِي الثَّوْبِ الْآخَرِ.(روها ابو داود) [36]
“Sesungguhnya Laila binti Qonif Al-Tsaqafiyah berkata: “Aku berada diantara orang-orang yang memandikan Ummu Kultsum binti Rasulillah SAW, ketika ia wafat. Pertama-tama Rasulullah SAW memberikan kepada kami sejenis kain sarung, kemudian pakaian rumah bagi wanita, kemudian kerudung, kemudian selimut, kemudian setelah itu ia dibungkus dalam pkaian yang lain. (HR. Abu Dawud)

C.     CARA MENGKAFANI JENAZAH

1.       Uborampe Pengkafanan Jenazah
Sebelum mengkafani jenazah, maka hal-hal yang harus dipersiapkan adalah:
a.    Tikar jenazah
b.    Kain kafan
c.     Minyak wangi
d.    Tali pengikat jenazah (biasanya diambilkan dari kain kafan yang dirobek, dengan lebar + 3 cm, sebanyak 3 helai)
e.    Keranda jenazah (kalau ada)
f.     Kapas yang sudah ditata bualt pipih dengan deameter + 6 cm, sebanyak 21 keping dan masing-masing diberi serbuk kayu cendana kalau ada.
2.       Pelaksanaan Pengkafanan Jenazah
a.    Apabila dikafani 3 lapis
·         Tali pengkiat jenazah di tata di bawah kain kafan.
·         Kain kafan lapis pertama, kedua dan ketiga dibentangkan (bagian posisi badan jenazah agak di geser melebar sedikit), kemudian masing-masing ditaburi dengan kapur barus dan minyak wangi.
·         Jenazah dengan tidur terlentang, diletakkan di tengah-tengah kain dengan tangan di atas dada, posisi tangan kanan di atas tangan kiri.
·         Celah-celah pantatnya sehingga menyentuh lubang dubur, serta semua anggota tubuh berlubang diisi dengan kapas yang telah ditaburi dengan kapur barus dan minyak wangi.
·         Secara keseluruhan yang di beri kapas adalah:
(1).    Ubun-ubun
(2).    Mata kanan
(3).    Mata kiri
(4).    Lobang hidung kanan
(5).    Lobang hidung kiri
(6).    Telinga kanan
(7).    Telinga kiri
(8).    Mulut
(9).    Pangkal leher kanan
(10). Pangkal leher kiri
(11). Punting susu kanan
(12). Punting susu kiri
(13). Siku-siku tangan kanan
(14). Siku-siku tangan kiri
(15). Pusar
(16). Qubul
(17). Dubur
(18). Tumit kanan
(19). Tumit kiri
(20). Mata kaki kanan
(21). Mata kaki kiri
·         Setelah itu kain kafan dilipatkan ke badan jenazah satu persatu kemudian di ikat dengan tali pengikt agar tidak terlepas.
b.    Apabila dikafani 5 lapis
a.       Jenazah laki-laki
1)      Kain lapis pertama, lapis kedua dan lapis ketiga dibentangkan, kemudian masing-masing ditaburi dengan kapur barus dan minyak wangi.
2)      Dua potong kain yang lain, satu potong untuk gamis dan satu potong lagi untuk serban dan tutup kepala.
b.      Jenazah perempuan, ada dua cara yaitu :
1)      Menurut Imam Syafi’i dalam qaul qadim-nya dua lapis kain ditambah dengan jarit, gamis dan kerudung.
2)      Sedang menurut qaul jadid, tiga lapis kain ditambah jarit dan kerudung.
وإن كفنت المرأة في خمسة فقولان الجديد إزار وخمار وثلاث لفائف والقديم وهو الأظهر عند الأكثرين إزار وخمار وقميص ولفافتان.[37]
“Apabila jenazah perempuan dikafani dengan kafan lima lapis, maka terdapat dua qaul. Menurut Qaul Jadid, lima itu adalah: “jarit, kerudung serta tiga lapis kain pembungkus”, sedangkan menurut Qaul Qadim, dan ini menurut kebanyakan para ulama, lima itu adalah: “Jarit, kerudung, gamis serta dua lapis kain pembungkus”.

D.     DO’A WAKTU MENGKAFANI JENAZAH

Tidak ada do’a khusus yang dibaca waktu mengkafani, namun menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menganjurkan agar orang yang mengkafani jenazah memperbanyak bacaan dzikir.


BAB III


 
SHALAT JENAZAH

A.     HUKUM SHALAT JANAZAH

Shalat janazah adalah fardlu kifayah.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ , قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:صَلُّوا عَلَى مَنْ قَالَ: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ, وَصَلُّوا وَرَاءَ مَنْ قَالَ: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ. (رواه الطبرنى) [38]
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah SAW, bersabda: ”Shalatlah atas yang mengucapkan Laa Ilaha illa Allah. Dan shalatlah di belakang orang yang mengucapkan Lailaha Illa allah”. (HR. Imam Thabrany)

B.     SYARAT- SYARAT SHALAT JANAZAH

a.    Suci dari hadats besar maupun hadas kecil
b.    Suci badan, pakaian dan tempat dari najis.
c.     Menutup aurat
d.    Menghadap kiblat
e.    Janazah telah dimandikan dn dikafani.
f.     Letak janazah di sebelah kiblat orang yang menshalati kecuali shalat ghaib.

C.     RUKUN SHALAT JANAZAH

1.       Berdiri bagi yang mampu melakukan dengan beridi
2.       Niat
3.       Takbir 4 kali
Disebutkan dalam Hadist Nabi SAW.:
27
 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ.(رواه البخاري) [39]
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW diberi tahu mengenai kematian seorang “Najasyi” pada hari dimana orang tersebut mati, beliau menuju ke mushalla bersama dengan para sahabat, kemudian berbaris dan bertakbir empat kali untuk orang “Najasyi” tersebut”. (HR. Bukhari)
4.       Membaca surat Al- fatihah sesudah takbiratul ihram, Sesuai “Atsar” shahaby, yang diriwayatkan oleh sahabat Thalhah ibn Abdillah ibn ‘Auf:
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَاعَلَى جَنَازَةٍ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ قَالَ لِيَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ.[40]
“Diriwayatkan dari sahabat Thalhah ibn Abdillah ibn ‘Auf RA, ia berkata: “Aku shalat jenazah di belakang Ibnu ‘Abbas RA. Beliau membaca surat al-fatihah. Beliau berkata: “Ini adalah sunnah Rasulullah SAW”. (HR. Bukhari)
Sabda Rasulullah SAW. dalam sebuah hadits:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. (رواه البخاري) [41]
5.       Membaca shalawat atas nabi SAW
Hadits riwayat Imam Al-Daraqutniy menjelaskan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمُهَيْمِنِ بْنُ عَبَّاسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ "لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَى نَبِيِّهِ ". عَبْدُ الْمُهَيْمِنِ بْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَ بِالْقَوِىِّ. (رواه الدراقطني)[42]
6.       Membaca do’a setelah takbir, sesuai dengan sabda Nabi SAW riwayat Abu Dawud dari Abi Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوا لَهُ الدُّعَاءَ.(رواه  ابو داود) [43]
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah RA., ia berkata, saya mendengar Rasulullah bersabda: “Apabila kamu semua shalat atas janazah, do’akanlah mereka dengan ikhlas ” (HR. Abu Dawud)
Dalam riwayat Abu Sawud, dijelaskan pula:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تُضِلَّنَا بَعْدَهُ. (رواه ابو داود)[44]
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah RA. ia berkata, Rasulullah SAW melaksanakan shalat atas jenazah, kemudian berdo’a “ Yaa Allah berilah ampunan kepada orang yang mati, orang yang hidup, anak kecil orang tua, laki-laki, perempuan, yang ada diantara kami, yang tidak berada diantara kami dari kami semua. Yaa Allah barang siapa engkau beri hidup dari kami semua, maka berilah hidup dalam keimanan dan barang siapa engkau beri kematian diantara kami, maka berilah kematian dalam suasana Islam. Yaa Allah janganlah engkau halangu pahalanya dan janganlah engkau arahkan kami ke jalan yang sesat, setelah kepergiannya”. (HR. Abu Dawud)
7.       Salam

D.     SUNNAT-SUNNAT SHALAT JANAZAH

  1. Dilaksanakan dengan berjama’ah
  2. Minimal membentuk tiga shaf pada waktu berjama’ah
  3. Meluruskan shaf atau barisan
  4. Mengangkat kedua tangan pada setiap takbir dan meletakkannya di atas pusat pada tiap-tiap selesai takbir.
  5. Semuan bacaan dibaca pelan (sirri), baik shalat pada siang hari mataupun malam hari.
  6. Membaca ta’awudz sebelum surat Al-fatihah tanpa do’a iftitah
  7. Membaca Amin setelah membaca surat Al-fatihah tanpa do’an iftitah
  8. Membaca salam yang kedua
  9. Tetap berdiri pada shaf sampai jenazah diberangkatkan

E.     POSISI TEMPAT BERDIRI IMAM WAKTU SHALAT JANAZAH

a.       Apabila jenazah laki- laki maka imam berdiri di dekat kepala janazah.
b.       Apabila janazah perempuan, maka imam berdiri ditengah-tengah janazah.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat:
عَنْ أَبِي غَالِبٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَلَى جَنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ حِيَالَ رَأْسِهِ ثُمَّ جَاءُوا بِجَنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالُوا يَا أَبَا حَمْزَةَ صَلِّ عَلَيْهَا فَقَامَ حِيَالَ وَسَطِ السَّرِيرِ فَقَالَ لَهُ الْعَلَاءُ بْنُ زِيَادٍ هَكَذَا رَأَيْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَى الْجَنَازَةِ مُقَامَكَ مِنْهَا وَمِنْ الرَّجُلِ مُقَامَكَ مِنْهُ قَالَ نَعَمْ.(رواه الترمذي) [45]
“Diriwayatkan dari Abi Ghalib, ia berkata: “Aku shalat bersama sahabat Anas ibn Malik, atas jenazah laki-laki, ia berdiri pada posisi kepalanya, kemudian ada rombongan datang dengan jenazah wanita dari suku Quraisy, dan mereka berkata, wahai Aba Hamzah, shalatlah untuknya, maka ia berdiri pada posisi ditengah- tengah pusar. Kemudia al-‘Ala’ ibn Ziyad bertanya, apakah demikian itu engkau melihat Nabi SAW. melakukan shalat untuk jenazah ? beliau berdiri pada posisi engkau berdiri untuk jenazah perempuan juga untuk jenazah laki-laki ? sahabat Anas ibn Malik menjawab Ya”.

F.      POSISI JENAZAH KETIKA DISHALATI

Posisi janazah laki-laki, pada saat dishalati adalah: Kepalanya berada di sebelah kiri imam, sedang lambung kirinya mengarah kiblat. Dengan demikian maka sebagian besar anggota badan jenazah berada di sebelah kanan Imam. Dalam praktek di Indonesia, secara keseluruhan tubuh jenazah membujur ke selatan. Sedangkan janazah perempuan, kepalanya berada di sebelah kanan imam, sedang lambung kirinya di arah imam, secara keseluruhan jenazah membujur ke utara.

G.     TATA CARA SHALAT JANAZAH

  1. Untuk Jenazah Laki-Laki
a.    Imam berdiri di samping kepala janazah
b.    Orang-orang yang makmum disusun minimal menjadi tiga baris (Shaf), jika lebih dari tiga baris, diutamakan dalam hitungan ganjil.
c.    Niat shalat janazah
Niat shalat jenazah laki-laki, apabila dilafadzkan adalah sebagai berikut:
أُصَلِّى عَلَى هَذَالْمَيِّتِ  أَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ لِلهِ تَعَالَى
d.    Takbiratul ihram dengan membaca:
اَللهُ اَكْبَرُ
e.    Membaca surat Al-fatihah setelah takbiratul ihram, tanpa do’a iftitah dan tanpa membaca surat.
f.     Takbir ke dua, kemudia diikuti dengan membaca shalawat:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
atau
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْراهِيْمَ وعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ. وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْراهِيْمَ  وَعَلَى الِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ. فِيْ الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
g.    Takbir ke tiga, kemudia diikuti dengan membaca do’a:
أللهُمَّ اغْفِرْلَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ.
h.    Takbir ke empat, kemudia diikuti dengan membaca do’a:
أَللهُمَّ لاَتَحْرِمْنَا اَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ وَاغْفِرْلَنَا وَلَهُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ.
i.     Mengucapkan salam: “اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
  1. Untuk Jenazah Perempuan
a.    Imam berdiri pada posisi tengah-tengah tubuh janazah.
b.    Orang-orang yang makmum disusun minimal menjadi tiga baris (Shaf), jika lebih dari tiga baris, diutamakan dalam hitungan ganjil.
c.    Niat Shakat Jenazah
Niat shalat jenazah laki-laki, apabila dilafadzkan adalah sebagai berikut:
أُصَلِّى عَلَى هَذهِ الْمَيِّتَةِ  أَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ كِفَايَةٍ لِلهِ تَعَالَى
d.    Takbiratul ihram dengan membaca:
اَللهُ اَكْبَرُ
e.    Membaca surat Al-fatihah setelah takbiratul ihram tanpa do’a iftitah dan tanpa membaca surat.
f.     Takbir ke dua, kemudia diikuti dengan membaca shalawat:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
atau
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْراهِيْمَ وعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ. وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْراهِيْمَ  وَعَلَى الِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ. فِيْ الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
g.    Takbir ke tiga, kemudia diikuti dengan membaca do’a:
أللهُمَّ اغْفِرْلَهَا وَارْحَمْهَا وَعَافِهَا وَاعْفُ عَنْهَا
h.    Takbir ke empat, kemudia diikuti dengan membaca do’a:
أَللهُمَّ لاَتَحْرِمْنَا اَجْرَهَا وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهَا وَاغْفِرْلَنَا وَلَهَا بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ.
i.     Mengucapkan salam: “اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

H.     DO’A SETELAH SHALAT JANAZAH

·        اَ للّهُمَّ افْتَحْ اَبْوَابَ السَّمَاءِ عَلَى رُوْحِ هذَا الْمَيِّتِ/ هذِهِ الْمَيِّتَةِ
·         ثَبَّتَنَا اللهُ وَاِيَّاهُ / وَاِيَّاهَا بِا لْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّ نْيَا وَفِى اْلاٰ خِرَةِ بِفَضْلِ قَوْلِكَ "ياأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ إِرْجِعِى اِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مِرْضِيَّةً فَادْ خُلِى فِى عِبَادِي وَادْخْلِى جَنَّتِى".
·       اَللهُمَّ بِجَاهِ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ لاَ تُعَذِّبْ هَذَا اْلمَيِّتَ / هَذِهِ اْلمَيِّتَةَ
·       اللّهُمَّ اجْعَلْ أٰ خِرَكَلاَ مِنَا مِنَ الدُّ نْيَا عِنْدَ انْتِهَاءِ آجَالِنَا قَوْلَ لاَ إِله اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَلهمَّ  اَحْيِنَا عَلَيْهَا يَا حَيُّ  وَاَمِتْنَا عَلَيهَا يَا مُمِيْتُ  وَابْعَثْنَا عَلَيْهَا  يَا بَاعِثُ وَارْفَعْنَا وَانْفَعْنَا بِهَا يَوْ مَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ اِلاَّ مَنْ اَتَى اللهِ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ وَاَتَمُّ التَّسْلِيْمِ عَلَى سَيِّدِ نَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِه وَاَ صْحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُِللهِ رَبِّ العالََمِيْنَ.

I.        SHALAT GHAIB

Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang jenazahnya tidak dihadapan orang yang shalat, baik karena jasadnya itu berada di luar daerah atau dinyatakan hilang sebagaimana hadits riwayat Imam Bukhori :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ.(رواه البخاري) [46]
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW diberi tahu mengenai kematian seorang “Najasyi” pada hari dimana orang tersebut mati, beliau menuju ke mushalla bersama dengan para sahabat, kemudian berbaris dan bertakbir empat kali untuk orang “Najasyi” tersebut”. (HR. Bukhari)
Cara melaksanakan shalat ghaib sama dengan cara melaksanakan shalat jenazah yang hadir. Sedangkan niatnya :
1.       Jenazah ghaib laki-laki :
أُصَلِّى عَلَى اْلمَيِّتِ اْلغَائِبِ اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْ ضَ كِفَابَةٍ اِمَامًا/ مَأْمُوْ مًا ِللهِ تََعَالَى.
2.       Jenazah ghaib perempuan
أُصَلِّى عَلَى اْلمَيِّتَةِ  اْلغَائِبَةِ ِ اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْ ضَ  كِفَابَةٍ اِمَامًا/ مَأْمُوْ مًا ِللهِ تََعَالَى.
3.       Jenazah ghaib dua orang laki-laki
أُصَلِّى عَلَى اْلمَيِّتَيْنِ اْلغَائِبَيْنِ اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْ ضَ كِفَابَةٍاِمَامًا/ مَأْمُوْ مًا ِللهِ تََعَالَى.
4.       Jenazah ghaib dua orang perempuan
أُصَلِّى عَلَى اْلمَيِّتَتَيْنِ اْلغَائِبَتَيْنِ اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْ ضَ كِفَابَةٍاِمَامًا/ مَأْمُوْ مًا ِللهِ تََعَالَى.
5.       Jenazah ghaib lebih dari dua laki-laki dan perempuan
أُصَلِّى عَلَى اْلأَمْوَاتِ اْلغَائِبِاتِ اَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْ ضَ كِفَابَةٍاِمَامًا/ مَأْمُوْ مًا ِللهِ تََعَالَى.
6.       Bagi makmum, dalam shalat ghoib berniat :
أُصَلِّى عَلَى مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ اْلإِ مَامُ, مَأْ مُوْمًا ِللهِ تََعَالَى.

J.       SHALAT TERHADAP BAYI YANG BARU LAHIR DAN MENINGGAL.

Dijelaskan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, tentang hukum shalat atas bayi yang baru lahir dan meninggal adalah sebagai berikut:
وَالسَّقْطُ إنْ اسْتَهَلَّ أَيْ صَاحَ أَوْ بَكَى كَكَبِيرٍ فَيُغَسَّلُ وَيُكَفَّنُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْفَنُ لِتَيَقُّنِ مَوْتِهِ بَعْدَ حَيَاتِهِ وَإِلَّا أَيْ وَإِنْ لَمْ يَسْتَهِلَّ وَلَمْ يَبْكِ فَإِنْ ظَهَرَتْ أَمَارَةُ الْحَيَاةِ كَاخْتِلَاجٍ  أَوْ تَحَرُّكٍ صُلِّيَ عَلَيْهِ فِي الْأَظْهَرِ.[47]
“Bayi yang lahir belum waktunya dan meninggal dunia, apabila lahir dengan terdapat tanda-tanda hidup seperti menjerit, menangis, maka hukumnya seperti orang dewasa, yakni wajib dimandikan, dikafani, dishalati serta dikuburkan. Walaupun tidak ada tanda-tanda hidup seperti menjerit, dan tidak juga menangis, tetapi bergerak-gerak, maka menurut pendapat yang kuat, wajib dishalati”.
وَإِنْ لَمْ تَظْهَرْ  أَمَارَةُ الْحَيَاةِ  وَلَمْ يَبْلُغْ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ  أَيْ مِائَةً وَعِشْرِينَ يَوْمًا حَدُّ نَفْخِ الرُّوحِ  لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ . قَطْعًا لِعَدَمِ الْأَمَارَةِ  وَكَذَا إنْ بَلَغَهَا  أَيْ الْأَرْبَعَةَ الْأَشْهُرَ الَّتِي هِيَ مِائَةٌ وَعِشْرُونَ يَوْمًا لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ وُجُوبًا وَلَا جَوَازًا  فِي الْأَظْهَرِ  لِعَدَمِ ظُهُورِ حَيَاتِهِ فَيَجِبُ غُسْلُهُ وَتَكْفِينُهُ وَدَفْنُهُ.[48]
“Apabila bayi lahir mati dan tidak ada tanda-tanda hidup, serta usia kandungannya kurang dari 4 bulan, maka tidak wajib juga tidak jawaz dishalati. Demikian pula apabila usia kehamilannya telah genap 4 bulan, menurut pendapat yang kuat, tidak wajib juga tidak jawaz dishalati, karena belum tampak tanda-tanda kehidupan. Baginya hanya wajib dimandikan, dikafani serta dikuburkan”.
أَنَّ الْوَلَدَ النَّازِلَ بَعْدَ تَمَامِ أَشْهُرِهِ وَهُوَ سِتَّةُ أَشْهُرٍ يَجِبُ فِيهِ مَا يَجِبُ فِي الْكَبِيرِ مِنْ صَلَاةٍ وَغَيْرِهَا ، وَإِنْ نَزَلَ مَيِّتًا وَلَمْ يُعْلَمْ لَهُ سَبْقُ حَيَاةٍ.[49]
“Apabila bayi lahir mati setelah usia kandungannya sempurna 6 bulan, maka wajib dilakukan perawatan sebagaimana orang dewasa, seperti shalat dan lainnya, walaupun lahir dalam keadaan mati dan tidak ada tanda-tanda hidup sebelumnya”.

K.     SHALAT JENAZAH ATAS ORANG ISLAM BERCAMPUR BAUR DENGAN ORANG KAFIR

Apabila jenazah orang Islam bercampur baur dengan non Islam, maka menurut Imam Syafi’i wajib dishalati dengan niat untuk orang Islam :
قَالَ الشَّا فِعِي وَإِذَاغَرَقَ الرِّ جَالُ اَوْ اَصَابَهُمْ هَدْمٌ اَوْ حَرِ يْقٌ وَفِيْهِمْ مُشْرِكُوْنَ كَانُوااَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ صَلَّى عَلَيْهِمْ وَيَنْوِى بِالصَّلاَةِ عَلَى اْلمُسْلِمِيْنَ دُوْنَ اْلمُشْرِ كِيْنَ.[50]
“Imam Syafi’i berkata : apabila beberapa orang Islam mati tenggelam atau tertimpa reruntuhan dan bercampur dengan orang musyrik baik mereka lebih banyak atau lebih sedikit, maka wajib dishalati dengan niat untuk orang Islam.”

BAB IV

 
MEMAKAMKAN
A.   HUKUMNYA
Kewajiban muslim terhadap jenazah yang keempat adalah memakamkan. Seperti firman Allah SWT dalam surat Abasa ayat 21.
ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ (٢١)
“Kemudian Dia mematikannya dan menguburkannya”
B.   WAKTU DAN TEMPAT PEMAKAMAN
1.   Waktu pemakaman
Pemakaman jenazah boleh dilakukan siang hari atau malam hari, akan tetapi pada siang hari lebih utama karena waktunya lebih longgar dan suasana lebih memungkinkan. Sesuai dengan pendapat Yahya bin Abil Khoir dalam Al-Bayan juz 3 halaman 91 :
وَلاَيُكْرَهُ الدَّفْنُ بِا للَّيْلِ، وَلَكِنَّهُ بِالنَّهَارِ اَوْلَى، لأَِ نَّهُ أَمْكَنُ.
“Menguburkan jenazah pada malam hari tidak dilarang akan tetapi siang hari lebih utama karena lebih memungkinkan.”
2.   Tempat pemakaman
Tempat pemakaman adalah dikuburan (maqbarah), sesuai dengan yang dilakukan Rasululloh SAW terhadap sahabatnya ketika meninggal dunia. Demikian keterangan Yahya bin Abil Khoir dalam kitab al-Bayan hal 95 bahwa :
اَلاَ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَفِنَ اَصْحَا بَهُ فِى اْلمَقْبَرَةِ، فَإِنْ قِيْلَ اِنَّ النَّبِيَّ دُفِنَ فِى بَيْتِ عَائِثَةَ  أُمِ اْلمُؤْ مِنِيْنَ،  قُلْنَا فَكَانَ اْلإِقْتِدَاءُ بِفِعْلِهِ اَوْلَى.
37
 
“Bahwasanya Nabi SAW memakamkan para sahabatnya di kuburan, jika dikatakan bahwa Nabi SAW dikubur di rumah Aisyah Ummi al-Mu’minin, maka kita katakan “mengikuti perbuatan Rasul adalah lebih utama”.
3.   Cara penggalian makam
Cara penggalian makam menurut Imam Rofi’i dalam Al-Aziz juz 2 halaman 447 ada dua macam :
a.    Lahad (اللَّحْد)
وَاللَّحْدُأَنْ يُحْفَرَ حَائِطُ اْلقَبْرِ مَائِلاً عَنِ اسْتِوَ اِئِهِ مِنَ اْلأَ سْفَلِ قَدْرَمَا يُوْضَعُ اْلمَيْتُ فِيْهِ.
“Lahad adalah bentuk penggalian makam dimana dinding kubur bagian bawah digali menyerong kea rah kiblat yang digunakan untuk meletakkan jenazah.”
b.    Syaq (الشَّقُّ)
وَالشَّقُّ اَنْ يُحْفَرَ حُفْرَ ةً كَالنَّهْرِ، اَوْ يُبْنَى جَانِبَاهُ بِاللَّبِنِ اَوْ غَيْرِهِ، وَيُجْعَلُ بَيْنَهُمَا شَقٌّ يُوْ ضَعُ اْلمَيِّتُ فِيْهِ وَيُسْقَفُ.
“Syaq adalah bentuk makam yang bagian tengahnya digali seperti parit, atau sisi kiri dan kanan diberi batu sedang tengahnya dibiarkan berlubang untuk meletakkan jenazah kemudian ditutup.”
Sedang kedalaman kedua bentuk tersebut adalah sak dedek sak pengawe atau seringgi orang berdiri ditambah tangan melambai ke atas (4,5 dzira’) sesuai perkataan Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Ibnu Mundhir :
عَمِّقُو ااِلَى قَدْرِ قَامَةٍ وَبَسْطَةٍ.
“Galilah kuburan sedalam SAK DEDEK SAK PENGAWE.”
C.   TATA CARA PEMAKAMAN
  1. Memasukkan mayat mulai kepala
Sebelum dimasukkan ke liang lahad, mayat diletakkan di sebelah selatan/arah kiri galian, kemudian mayat diturunkan dengan pelan mulai kepala, badan, kemudian kakinya sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Syafi’i dari Ibnu Abbas :
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُلَّ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ.
“Sesungguhnya Nabi SAW diturunkan ke liang lahad dari arah kepalanya.” Sambil berdoa
بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه ابو داودوابن ماجه)
  1. Menurunkan mayat dari arah barat galian
Adapun caranya mayat diletakkan di arah kiblat/barat galian, membujur ke utara kemudian diturunkan ke liang lahad secara melintang, hal ini berdasarkan pendapat Imam Abu Hanifah.  (Al-Bayan, hal 104)
اِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُدْخِلَ مِنْ قِبَلِ قِبْلَةٍ مُعْتَرِ ضًا.
“Bahwasanya Nabi SAW dimasukkan ke kubur dari arah kiblat secara melintang.”
  1. Meletakkan jenazah
Setelah mayat dimasukkan liang kubur, mayat diletakkan miring pada lambung kanannya menghadap kiblat, muka dan kedua kakinya disandarkan pada dinding sedang punggung dan pantatnya diganjal dengan tanah agar tidak terlentang sambil berdo’a :
اَللَّهُمَّ افْتَحْ اَبْوَ ابَ السَّمَاءِ لِرُوْحِهِ وَاَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْ خَلَهُ وَوَ سِّعْ لَهُ فِى قَبْرِهِ.
(Fathul ‘Allam, Juz 3, hal 284)
  1. Adzan dan Iqamah
Dipandang sunnah mengumandangkan adzan dan iqamah lalu ditutup dengan kayu atau batu sampai rapat.
  1. Menaburkan tanah ke atas kuburan
Disunnahkan bagi orang yang hadir untuk menaburkan 3 taburan tanah sambil berdo’a dalam surat Thoha ayat 55 :
·        Taburan pertama membaca :
مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ
“Dari bumi (tanah) Kami menjadikan kamu.”
·         Taburan kedua membaca :
وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ
“Dan kepadanya Kami mengembalikan kamu.”
·         Taburan ketiga membaca :
وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً اُخْرَى
“Dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.”
·         Kemudian tanah diurug sambil membaca do’a :
اَللّهُمَّ اَجِرْ هَا مِنَ الشَّيْطَانِ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، اللهُمَّ جَافَ اْلأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهَا، وَصَعِّدْرُوْحَهَا، وَلَقِّهَا مِنْكَ رِ ضْوَانًا.
“Ya Allah lindungilah dia dari syaithan, dan dari siksa kubur. Ya Allah renggangkan bumi dari sisinya, dan naikkan ruhnya dan pertemukan dia dengan keridhoanmu.”
Setelah rata dianjurkan berdo’a :
اَللَّهُمَّ اَسْلِمْهُ اِلَيْكَ اْلأَ هْلَ وَاْلمَالَ وَ الْعَشِيْرَةَ. وَذَنْبُهُ عَظِيْمٌ فَاغْفِرْلَهُ.
“Ya Allah kuserahkan jenazah ini kepadaMu, juga keluarga, harta dan kerabatnya, dosanya amat banyak, ampunilah ia.”
  1. Meninggikan urugan
Disunnahkan meninggikan urugan kubur setinggi sejengkal berdasarkan jadits riwayat Baihaqi dari Jabir:
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ قَبْرَ اِبْرَ اهِيْمَ ابْنَهُ قَدْرَ شِبْرٍ.
“Sesungguhnya Rasululloh SAW. meninggikan kubur putra beliau “Ibrahim” kira-kira sejengkal.”
  1. Menyiram kubur dengan air
Sunnah hukumnya menyiram kubur dengan air dan meletakkan batu nisan diarah kepala sesuai hadits riwayat Abu Dawud :
وَضَعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَخْرَةَ عَلَى رَأْسِ قَبْرِ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُوْنٍ وَقَالَ اُعْلِمْ بِهَا قَبْرَ اَخِي وَاَدْفَنُ اِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ اَهْلِيْ.
“Nabi SAW meletakkan batu nisan di atas kuburan Utsman bin Madz’un. Dan beliau bersabda aku tandai kuburan saudaraku ini dengan batu, dan akan dikuburkan di sisinya orang mati dari keluargaku.”[51]
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَطَحَ قَبْرَ ابْنِهِ اِبْرَ اهِيْمَ وَرَشَّ عَلَيْهِ اْلمَاءُ وَوَ ضَعَ عَلَيْهِ حَصَى مِنْ حَصَى الْعُرْ صَةِ.
“Sesungguhnya Nabi SAW meratakan kubur anaknya Ibrahim dan menyiraminya dengan air dan meletakkan batu kerikil dari kerikil tanah pekarangan.”
  1. Mendo’akan mayat yang selesai dikubur
Bagi yang hadir berhenti sebentar untuk mendoakannya sesuai dengan hadits Nabi SAW riwayat Hakim dari Usman RA :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَ افَرَغَ مِنْ دَفْنِ اْلمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ، فَقَالَ : اِسْتَغْفِرُوْا لأَِخِيْكُمْ وَاسْئَلُوْا لَهُ التَّثْبِيْتَ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْأَلُ.
“Bahwa Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayat, beliau berdiri lalu bersabda “mintakanlah ampun saudaramu dan mintakanlah supaya ia berketetapan, karena ia sekarang ditanya.”
D.   DO’A TALQIN
1.    Talqin pendek berdasarkan hadist riwayat imam Tabrani berdasarkan kitab Fiqhul Ialam, Wahbah Zuhaili juz 2 hal 537
يَاعَبْدَاللهِ اِبْنِ اَمَةِ اللهِ أُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنْ دَارِالدُّنْيَا شَهَادَةُ اَنْ لاَإلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًارَسُوْلُ اللهِ. وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ. وَاَنَّ النَّارَ حَقٌّ. وَاَنَّ الْبَعْثَ حَقٌّ. وَاَنَّ السَّاعَةَ اٰتِيَةٌ لاَرَيْبَ فِيْهِ. وَاَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِيْ الْقُبُوْرِ . وَاَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا. وَبِالْإِسْلاَمِ دِيْنًا. وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا. وَبِالْقُرْآنِ امَامًا. وَبِالْقِبْلَةِ قِبْلِةً. وَبِالْمُؤْمِنِيٍنَ إِخْوَانًا.
2.    Talqin panjang menurut imam Barnawi yang mengutip dari Imam Qosim Al Ubbadi, dalam kitab Ianatut Tholibin, bakri Syatho Dimyati juz 2 hal 140:
بسم الله الرحمن الرحيم
كُلُّ شَيْئٍ هَالِكٌ اِلاَّ وَجْهَهُ لهَ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَاالْحَيَاةُ الدُّنْيَا اِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً اُخْرٰى مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ لِلْأَجْرِ وَالثَّوَابِ وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ لِلدُّوْدِ وَالتُّرَابِ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ لِلْعُرْضِ وَالْحِسَابِ بِاسْمِ اللهِ وَبِاللهِ وَمِنَ اللهِ وَاِلَى اللهَ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْاللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنِ وَصَدَقَ الْمُرْسَلِيْنَ اِنْ كَا نَتْ اِلاَّ صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ جَمِيْعٌ لَدَيْنَا مُحْضَرُوْنَ يَا فُلاَنُ يَا ابْنُ فُلاَنَةِ اَوْيَاعَبْدَ اللهِ يَا اِبْنَ اَمَةِ اللهِ يَرْحَمُكَ اللهُ ذَهَبَتْ عَنْكَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتُهَا وَصِرْتَ الآٰنَ فِيْ بَرْزَحِ مِنْ بَرَازِحِ الْٰٓاخِرَةِ فَلاَ تَنْسَ الْعَهْدَ الَّذِيْ فَارَقْتَنَا عَلَيْهِ فِي دَارِالدُّنْيَا وَقَدِمْتَ بِهِ اِلَى دَارِ الْاخِرَةِ وَهُوَ شَهَادَتُ اَنْ لاَإلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًارَسُوْلُ اللهِ . فَاِذَا جَائَكَ الْمَلَكَانِ الْمُوَكَّلاَنِ بِكَ وَبِأَمْثَالِكَ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ يُزْجِعَاكَ وَلاَيُرْعِبَاكَ وَاعْلَمْ اَنَّهَا خَلْقٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالىَ كَمَا اَنْتَ خَلْقٌ مِنْ خَلْقِهِ فَاِذَا أَتَيَاكَ وَأَجْلَسَاكَ وَسَأَلَكَ وَقَالاَ لَكَ مَا رَبُّكَ وَمَا دِيْنُكَ وَمَا نُبِيُّكَ وَمَااعْتِقَادُكَ وَمَاالَّذِيْ مُتَّ عَلَيْهِ فَقُل لَهُمَا اللهُ رَبِّي فَاِذَا سَأَلَاكَ الثَّانِيَةَ فَقُلْ لَهُمَا اللهُ رَبِّي فَاِذَا سَأَلَاكَ الثَّالِثَةَ وَهِيَ الْخَاتِمَةُ الْحُسْنَى فَقُل َلهُمَا بِلِسَانٍ طَلْقٍ بِلاَخَوْفٍ وَلاَ فَزَعَ اللهُ رَبِّي وَالْإِسْلَامُ دِيْنِيْ وَمُحَمَّدٌ نَبِيِّ وَالْقُرْانُ اِمَامِى وَالْكَعْبَةُ قِبْلَتِى وَالصَّلَوَاتُ فَرِيْضَتِيْ وَالْمُسْلِمُوْنَ اِخْوِنِى وَاِبْرَاهِيْمُ الْخَلِيْلُ اَبِيْ وَاَنَا عِشْتُ وَمُتَّ عَلَى قَوْلِ لاَاِلٰهَ الاَّ اللهُ مُحَمَّدٌرَسُوْلُ اللهِ . تَمَسَّكْ يَا عَبْدَاللهِ بِهذِهِ الْحُجَّةِ وَاعْلَمْ اَنَّكَ مُقِيْمٌ بِهٰذَاالْبَرْزَحِ اِلَى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ، فَاِذَا قِيْلَ لَكَ مَا تَقُوْلُ فِيْ هٰذَا الرَّجُلِ الَّذِي بُعِثَ فِيْكُمْ وَفِي الْخَلْقِ اَجْمَعِيْنَ. فَقُلْ هُوَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَنَا بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّهِ فَاتَّبَغْنَاهُ وَأٰمَنَّا بِهِ وَصَدَقْنَا بِرِسَالَتِهِ فَاِنْ تَوَلَّوْ فَقُلْ حَسْبِيَ اللهُ لاَاِلٰهَ اِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ. وَاعْلَمْ يَا عَبْدَالله اَنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ وَاَنَّ نُزُوْلَ الْقَبْرِ حَقٌّ وَاَنَّ سُؤَالَ مُنْكَرٍ وَنَكِيْرٌ حَقٌّ وَاَنَّ الْبَعْثَ حَقٌّ وَاَنَّ الْحِسَابَ حَقٌّ وَاَنَّ الْمِيْزَانَ حَقٌّ وَاَنَّ الصِّرَاطَ حَقٌّ وَانَّ النَّارَ حَقٌّ وَاَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَاَنَّ السَّاعّةَ اتِيَةٌ لاَرَيْبَ فِيْهَا. وَاَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِيْ الْقُبُوْرِ. وَنَسْتَوْدِعُكَ أَللهُمَّ يَا أَنِيْسَ كُلِّ وَحِيْدٍ وَيَا حَاضِرًا لَيْسَ يَغِيْبُ أنِسْ وَحْدَتَنَا وَوَحْدَتَهُ وَارْحَمْ غُرْبَتَنَا وَغُرْبَتُهُ وَلَقِّنْهُ حُجَّتُهُ وَلاَتَفْتِنَّا بَعْدَهُ وَاغْفِرْلَنَاوَلَهُ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرَسَلِيْنَ وَالْحَمْدُلِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

BAB III

 
PENUTUP

Puji syukur kami haturkan kepada allah SWT yang telah memberikan taufiq dan hidayah kepada hamba-Nya, sehingga team penyusun bisa menyelesaikan “Buku bimbingan Perawatan Janazah”, dengan harapan semoga buku kecil ini memberikan manfaat bagi para pembaca khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Penulisan “Buku Bimbingan perawatan janazah” yang telah di susun oleh tim Komisi Fatwa, penetapan hukum dan Pengkajian Undang-undang majelis Ulama Indonesia kabupaten gresik ini bukan satu-satunya pedoman yang menjadi suatu keharusan bagi para pembaca, akan tetapi hanya bagian dari buku- buku dan kitab- kitab acuan yang sudah ada. Oleh karena itu jika ditemukan dalam penulisan buku bimbingan ini ada pendapat dikalangan fuqoha’ yang menurut para pembaca kurang dan bahkan tidak sesuai dengan pendapat pembaca,demikianlah dinamika fiqih
Semoga buku bimbingan ini berguna bagi kami pada khususnya dan para pembaca pada umumnya. Dan apabila dalam penulisan buku bimbingan ini ditemukan kekurangan/ kekeliruan kami mohon maaf yang sebesarnya.
Hanya kepada Allah SWT kami berserah diri dan mohon pertolongan.


45
 
 


[1] Sunan Tirmidziy, Juz VIII, hal. 279, hadits no: 2229. Maktabah Syamilah V. 2
[2] Al-Majmu’, Juz. 5, hal. 111, Maktabah Syamilah V.2.
[3] Syarkh al-Nawawy ‘ala Muslim, Juz. 7, hal. 139, Maktabah Syamilah V.2.
[4] Shahih Muslim, Juz. 12, hal. 438, Maktabah Syamilah V.2.
[5] Shahih Bukhari, Juz. 8, hal. 314, Maktabah Syamilah V.2.
[6] Shahih Bukhari, Juz. 17, hal. 374, Maktabah Syamilah V.2.
[7] Sunan Tirmidzy, Juz. 9, hal. 376, Maktabah Syamilah V.2.
[8] Shahih Bukhari, Juz. 17, hal. 421, Maktabah Syamilah V.2.
[9] Shahih Muslim, Juz. 11, hal. 182, Maktabah Syamilah V.2.
[10] Shahih Muslim, Juz 14, hal. 43, hadits no: 5125. Maktabah Syamilah V. 2
[11] Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifati Alfadz al-Minhaj, Juz. 4, hal. 199. Maktabah Syamilah V. 2
[12] Sunan Abi Dawud, Juz 8 hal, hadits no. 2490
[13] Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifati Alfadz al-Minhaj, Juz. 4, hal. 199. Maktabah Syamilah V. 2
[14] Shahih Muslim, Juz 4, hal. 473, hadits no. 1524
[15] Sunan Abi Dawud, Juz. 8, hal. 376, hadits no. 2709
[16] Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifati Alfadz al-Minhaj, Juz. 4, hal. 199. Maktabah Syamilah V. 2
[17] Shahih Ibnu Hibban, Juz 12 hal. 496, hadits no. 3064
[18] Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifati Alfadz al-Minhaj, Juz. 4, hal. 199. Maktabah Syamilah V. 2
[19] Sunan Ibni Majah, Juz. 4. hal. 389, hadits no. 1445
[20] Sunan Al-Kubra Lil-Baihaqi, Juz. 3, hal. 385
[21] Sunan Tirmidziy, Juz 4, hal. 250, hadits no. 998
[22] Sunan Abu Dawud, Juz. 8 hal. 342, hadits no. 2747
[23] Shahih Bukhari, Juz. 4. hal. 500, hadits no. 1186
[24] Shahih Bukhari, Juz. 1, hal. 3, hadits no. 1
[25] Musnad Imam Ahmad, Juz. 50, hal. 419, hadits no. 23763
[26] Sunan Abi Dawud, Juz. 13, hal. 51, hadits no. 4254
[27] Sunan Abi Dawud, Juz. 8, hal. 435, hadits no. 2749
[28] Musnad Imam Ahmad, Juz. 28, hal. 223, hadits no. 13674
[29] Al-Majmu' Juz. 5, hal. 171, Maktabah Syamilah V. 2.
[30] Shahih Muslim, Juz. 5, hal. 30, hadits no. 1567. Maktabah Syamilah V. 2.
[31] Sunan Abi Dawud, Juz. 10, hal. 378, hadits no. 3380.  Maktabah Syamilah V. 2.
[32] Sunan Abi Dawud, Juz. 10, hal. 425, hadits no. 2743.  Maktabah Syamilah V. 2.
[33] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Juz. 3, hal. 143, Maktabah Syamilah V. 2.
[34] Shahih Bukhari, Juz. 5, hal. 11, hadits no. 1193
[35] Mushannaf Ibni Syaibah, Juz. 3, hal. 146. Maktabah Syamilah V. 2.
[36] Sunan Abi Dawud, Juz. 8, hal. 428. Maktabah Syamilah V. 2.
[37] Raudlah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftien, Juz. 1, hal. 183. Maktabah Syamilah V. 2.
[38] Al-Mu’jam al-Kabir li al-Thabrany, Juz. 11, hal. 78. Maktabah Syamilah V. 2.
[39] Shahih Bukhariy, Juz. 5, hal. 105, hadits no. 1247. Maktabah Syamilah V. 2.
[40] Shahih Bukhariy, Juz. 5, hal. 108, hadits no. 1247. Maktabah Syamilah V. 2.
[41] Shahih Bukhariy, Juz. 3, hal. 204, hadits no. 714. Maktabah Syamilah V. 2.
[42] Sunan al-Daraqudny, Juz. 3, hal. 475, hadits no. 1358. Maktabah Syamilah V. 2.
[43] Sunan Abi Dawud, Juz. 8, hal. 491, hadits no. 2784. Maktabah Syamilah V. 2.
[44] Sunan Abi Dawud, Juz. 8, hal. 493, hadits no. 2786. Maktabah Syamilah V. 2.
[45] Sunan Tirmidziy, Juz. 4, hal. 176, hadits no. 955. Maktabah Syamilah V. 2.
[46] Shahih Bukhariy, Juz. 5, hal. 105, hadits no. 1247. Maktabah Syamilah V. 2.
[47] Nihayah al-Muhtaj ila Syarkh al-Minhaj, Juz. 8, hal. 234. Maktabah Syamilah V.2.
[48] Nihayah al-Muhtaj ila Syarkh al-Minhaj, Juz. 8, hal. 234. Maktabah Syamilah V.2.
[49] Nihayah al-Muhtaj ila Syarkh al-Minhaj, Juz. 8, hal. 234. Maktabah Syamilah V.2.
[50] Al-Um, juz 1, hal 306. Maktabah Syamilah V.2.
[51] Abdul Karim bin Muhammad Al-Rofi’i. Al Aziz syayid wajib. Op cit 452

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AMALIYAH NAHDLIYAH (Nahdlotul Ulama')

MAKALAH PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA DEWASA

DELIK PERCOBAAN, PENYERTAAN, DAN PERBARENGANAN PIDANA DALAM KUHP