Mahar dan Mahram
BAB
I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam memilih
pasangan hidupnya, kebanyakan orang lebih mengedepankan kriteria penampilan
fisik dari pada kriteria lainnya. Hal itu menjadi lumrah karena manusia
mempunyai kodrat nafsu syahwat yang menilai sesuatu secara dhahir. Itulah
kenapa dalam menyebut kriteria seseorang yang hendak dinikahi, Nabi menyebutkan
kata “ma>liha”
pada kriteria pertama dan baru menyebut nasab, keelokan paras, dan terakhir
agama. Meskipun pada akhir teks beliau menganjurkan untuk mengedepankan
kriteria agama yang kebanyakan orang justru acuh tak acuh, akan tetapi dalam
prakteknya saat ini unsur materi yang berupa harta dan paras lebih
dipentingkan.
Karena lebih
mementingkan harta dan paras, tak jarang orang-orang pada saat ini menikah
dengan seseorang yang dalam agama dikategorikan sebagai mahram, seperti kerabat
dekat dan/tetangga bahkan terkadang pezina atau istri orang yang suaminya
mafqud atau wanita sedang dalam masa ‘iddah. Padahal perbuatan tersebut
jelas melanggar larangan agama, namun mereka cuek-cuek saja. Hal tersebut
menjadi semakin parah manakala memberikan mahar, seseorang cenderung berlebihan
(dan terkadang dihutang) karena mengedepankan gengsi dan ego agar tampak
sebagai orang yang hebat. Tanpa mereka sadari bahwa mahar yang telah diberikan
sepenuhnya menjadi hak mutlak istri dan suami tidak boleh ikut memanfaatkannya
sedikitpun kecuali atas kerelaan dan inisiatif istri.
B. Rumusan masalah
Berangkat dari
latar belakang tersebut, penulis rumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
hukum dan apa tujuan diharamkannya menikah dengan seseorang mahram?
2.
Bagaimanaka
kriteria rada>’
(susuan) yang menjadikan mahram?
3.
Bagaimanakah
hukumnya mahar yang dihutang?
C. Tujuan penelitian.
Penulisan
makalah ini ditujukan untuk:
1.
Untuk mengetahui
hukum dan tujuan diharamkannya pernikahan dengan mahram.
2.
Untuk mengetahui
kriteria rada>’
(susuan) yang menjadikan/menyebabkan hubungan mahram.
3.
Menjelaskan
hukum dan permasalahan mahar yang dihutang.
BAB
II
Pembahasan
A. Mahram
1.
Definisi Mahram
Mahram berasal
dari bahasa Arab “المحرم”, yang berarti "sesuatu yang diharamkan".
Kata ini berbeda dengan kata “muhrim” meskipun secara harfiah lafadznya sama
(musytarak) namu artinya berbeda. Secara istilah mahram adalah orang-orang yang
haram dinikahi karena adanya suatu penghalang atau ma>ni’. [1]Orang-orang
yang haram dinikahi ini bisa saja laki-laki, bukan hanya perempuan seperti yang
difahami oleh sebagian orang.[2]
Sebenarnya
perbedaan mengenai definisi mahram ini hanyalah perbedaan dari sudut pandang
saja karena bagi mereka yang mendefinisikan mahram sebagai wanita yang haram
dinikahi melihat dari sudut pandang laki-laki berdasar konteks bahwa keabsahan
akad/ijab kabul itu dilakukan oleh pihak laki-laki. Mereka berpegangan pada
hadits Nabi bahwasanya “seorang wanita itu dinikahi” (bukan menikahi) karena
empat hal: karena kecantikannya parasnya, nasab (keturunannya), hartanya, dan
agamanya. Sedangkan mereka yang mendefinisikannya sebagai “orang-orang yang
haram dinikahi” melihatnya dari sudut perempuan dan laki-laki berdasar pada tatanan
bahwa pernikahan dilakukan apabila keduanya suka sama suka dan tanpa paksaan
dari pihak manapun. Jadi kata mahram bisa saja berma’na laki-laki yang haram
dinikahi dan bisa saja perempuan yang haram dinikahi.
Penulis lebih
condong dan setuju kepada pengertian yang kedua, yaitu bahwa mahram “adalah
orang-orang yang haram dinikahi”. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa tujuan
pernikahan yaitu kata “mawaddah
dan rahmah”
itu harus berasal dari kedua belah fihak, jika dari salah satu fihak saja, maka
sulit rasanya tercipta rumah tangga yang sakinah. Oleh sebab itulah Allah
menegaskannya dengan kata-kata “wa ja’ala bainakum”, yang bila diartikan
lafadz “baina” berarti (timbal balik) “diantara” dua orang atau lebih. Meskipun
sekilas tampaknya hukum Islam cenderung mengarah kepada sistem kekeluargaan
patrilineal bukan parental, namun penulis beranggapan bahwa keumuman khit}a>b
dalam teks nas}
itu berfungsi “al-tag}li>b”
sebagaimana lafadz salam.
2.
Dasar Hukum.
Ada beberapa
ayat al-qur’an yang membicarakan tentang orang-orang yang haram dinikahi,
antara lain:
Ÿwur
(#qßsÅ3Zs?
$tB
yxs3tR
Nà2ät!$t/#uä
šÆÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
žwÎ)
$tB
ô‰s%
y#n=y™
4 ¼çm¯RÎ)
tb$Ÿ2
Zpt±Ås»sù
$\Fø)tBur
uä!$y™ur
¸x‹Î6y™
ÇËËÈ
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita
yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan
(yang ditempuh)”.[3]
ôMtBÌhãm
öNà6ø‹n=tã
öNä3çG»yg¨Bé&
öNä3è?$oYt/ur
öNà6è?ºuqyzr&ur
öNä3çG»£Jtãur
öNä3çG»n=»yzur
ßN$oYt/ur
ˈF{$#
ßN$oYt/ur
ÏM÷zW{$#
ãNà6çF»yg¨Bé&ur
ûÓÉL»©9$#
öNä3oY÷è|Êö‘r&
Nà6è?ºuqyzr&ur
šÆÏiB
Ïpyè»|ʧ9$#
àM»yg¨Bé&ur
öNä3ͬ!$|¡ÎS
ãNà6ç6Í´¯»t/u‘ur
ÓÉL»©9$#
’Îû
Nà2Í‘qàfãm
`ÏiB
ãNä3ͬ!$|¡ÎpS
ÓÉL»©9$#
OçFù=yzyŠ
£`ÎgÎ/
bÎ*sù
öN©9
(#qçRqä3s?
OçFù=yzyŠ
ÆÎgÎ/
Ÿxsù
yy$oYã_
öNà6ø‹n=tæ
ã@Í´¯»n=ymur
ãNà6ͬ!$oYö/r&
tûïÉ‹©9$#
ô`ÏB
öNà6Î7»n=ô¹r&
br&ur
(#qãèyJôfs?
šú÷üt/
Èû÷ütG÷zW{$#
žwÎ)
$tB
ô‰s%
y#n=y™
3 žcÎ)
©!$#
tb%x.
#Y‘qàÿxî
$VJŠÏm§‘
ÇËÌÈ
“Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan,
ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi
pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[4]
3.
Hukum dan
Macam-macam Mahram.
Tidak
selamanya wanita yang shalihah itu boleh dinikahi, karena ada suatu penghalang
(ma>ni’)
yang menyebabkan seorang wanita tidak boleh dinikahi. Ketika penghalang ini
masih ada, maka seseorang menjadi haram untuk dinikahi, namun apabila
penghalang yang menjadi sebab tersebut sudah tidak ada/hilang, maka wanita
tersebut boleh dinikahi. Penghalang yang menjadi penyebab tersebut ada yang
bersifat selamanya dan ada yang bersifat sementara, dengan perincian sebagai
berikut:
a. Haram
selamanya (المحرم المؤبد).
Mah}ram muabbad
adalah orang-orang yang selamanya haram dinikahi, meskipun antara keduanya ada
jalinan kasih dan hubungan suka sama suka. Mereka yang termasuk dalam kategori
ini diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan penyebabnya, yaitu:
1)
Sebab nasab/keturunan.
Orang-orang yang
selamanya haram untuk dinikahi adalah mereka yang masih punya hubungan darah (qara>bat)
dengan calon pengantin. Mereka adalah:[5]
a) Orantua
dan anak kandung (أصول الشخص
وفروعه):
Mereka adalah orang
yang menyebabkan kelahiran seseorang yaitu ibu (الامهات) dan seterusnya ke atas (الجد) dan seorang yang dilahirkan dari hubungan seksual sah ayah dan
ibu, yaitu anak (البنات)
dan generasi berikutnya ke bawah (cucu).
b) Anaknya ayah dan/ibu serta saudara (فروع
أبويه ، شقيقة أو لأب أو لأم):
Orang-orang
ini adalah meraka yang berasal dari satu rahim dengan seseorang atau yang berasal dari benih yang sama, yaitu saudara
kandung dan saudara seayah atau seibu (الاخوات).
Demikian juga keturunan mereka yaitu anak saudara laki-laki kandung
maupun seayah/seibu (بنات الاخ)
dan anak saudara kandung maupun seayah/seibu (بنات الاخت)
c) Anaknya kakek dan/nenek (شقيقات كانت أولا فروع أجداده وجداته):
Mereka adalah
orang-orang saudara ayah baik saudara kandung aaupun saudara seayah/seibu (العمات) dan saudara ibu baik
kandung maupun seayah/seibu (الخالات).
2)
Sebab Musya>harah (Perkawinan).
Orang-orang yang
selamanya haram untuk dinikahi adalah mereka yang punya hubungan perkawinan (perbesanan)
dengan calon pengantin. Mereka adalah:[6]
a)
Mertua (وأمهات النساء), yaitu orangtua dari
pasangan serta us}u>l
dari keduanya ke atas.
b)
Anak dari
pasangan (الربائب)
yang telah digauli/disetubuhi (anak tiri).[7]
c)
Menantu (وحلائل الأبناء), yaitu pasangan dari anak.
d)
Orangtua tiri.
3)
Sebab rad}a>’.
Orang-orang yang
selamanya haram untuk dinikahi adalah mereka yang punya hubungan persusuan (rad}a>’)
dengan calon pengantin. Mereka adalah orang-orang yang sama dengan yang
diharamkan karena sebab nasab (kekerabatan) sebagaimana dijelaskan sebelumnya
hanya berbeda sebab. Hal ini didasarkan pada hadits yang berbunyi:
يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب
Dengan demikian
mereka yang diharamkan karena rad}a>’ adalah: yang menyusui
dan usul-nya (leluhurnya), saudara sepersusuan baik seayah ataupun seibu dan
keturunannya, saudara orang yang
menyusui dan saudara suami wanita yang menyusui.
Dalam hal rad}a>’,
disyaratkan anak menyusu dengan sempurna sebagaimana mestinya, yaitu bayi
memasukkan puting[8]
pada mulutnya dan menghisap bebarapa hisapan serta berhenti menetek apabila
sudah merasa kenyang (berhenti dengan sendirinya) bukan karena dipaksa
berhenti.[9]
Terkait dengan anak yang disusui, disyaratkan umur anak harus kurang/maksimal
dua tahun, apabila lebih dari dua tahun maka hal ini tidak termasuk hukum rad}a>’.
Apabila susu bercampur dengan bahan atau zat lain seperti air, maka syaratya
susu harus tetap dominan.[10]
b. Haram
sementara (المحرم المؤقت)
Mereka adalah
orang yang haram dinikahi dikarenakan adanya suatu sebab, akan tetapi jika
sebab (ma>ni’)nya
sudah hilang, maka boleh dinikahi. Ulama’ berbeda pendapat mengenai istilah
untuk golongan ini, ada yang menyebutnya mah}ram ghairu ta’bi>d/mah}ram muaqqat
dan ada yang menyebutnya bukan mahram. Terlepas dari hal itu mereka tetap saja
haram untuk dinikahi, yaitu: [11]
1) Saudara
ipar.
2) Saudaranya
mertua.
3) Istri
orang lain.
4) Wanita
yang sedang dalam masa ‘iddah.
5) Orang
yang telah ditalak bain kubra.
6) Beda
agama.
7) Pezina.
8) Laki-laki
merdeka menikahi budak.
9) Menjadi
yang kelima.
Apabila
pernikahan seseorang calon suami dengan calon istri yang masih mempunyai
hubunga mahram belum terjadi, maka pernikahan tersebut harus dibatalkan demi
hukum. Karena selain bertentangan dengan hukum agama, hal tersebut juga
bertentangan dengan hukum Negara sebagaimana yang diatur dalam pasal 8-13 UU
Perkawinan tentang syarat dan pencegahan perkawinan. Dan apabila pernikahan tersebut
sudah terlanjur dilaksanakan dengan akad yang sah, maka pernikahan tersebut
harus dibatalkan demi hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 22-28 UU
Perkawinan tentang pembatalan perkawinan.[12]
4.
Tujuan.
Islam
melarang terjadinya pernikahan antara dua orang yang masih mempunyai hubungan
kekerabatan dekat (qarabat). Hal tersebut bukan tanpa sebab, melainkan dengan
beberapa tujuan antara lain:
a. Pernikahan
dengan mahram menimbulkan pelemahan nasab (keturunan) baik segi fisik ataupun
psikologis (mental).
b. Pernikahan
dengan mahram bertolak belakang dengan prinsip dasar nikah yaitu memperbanyak keturunan
dan saudara.
c. Pernikahan
dengan mahram mengakibatkan carut marutnya kekerabatan.
d. Untuk
menjaga kemurnian nasab.
e. Untuk
menjaga agama.
f. Mencetak
generasi unggul dengan berbagai varian jenis dan kualitasnya.
B. Mahar
1.
Pengertian Mahar.
Kata
mahar berasal dari bahasa Arab المهر,
yang artinya identik dengan kata الصداق,
النِحْلَةٌ,
الفَرِيضَةٌ,
الحِبَاءٌ,
العُقْرٌ,
العَلَائِقُ,
dan الأجور yang arti lazimnya dalam bahasa
Indoneisa menjadi “mas kawin”. Adapun definisi mahar menurut terminologi fiqih
adalah pemberian wajib dari seorang suami kepada istri sebagai ganti kehalalan
bersetubuh (istimta>’)
dengannya atau karena akad nikah.[13]
Dalam hal ini Khairudin Nasution mengatakan bahwa mahar tidak hanya sekedar
sebagai pengganti untuk memiliki (sebagaimana jual beli) dan pelayanan (agar
ada beda antara istri dan PSK), akan tetapi juga sebagai bentuk bukti
keseriusan dan simbol kasih sayang.[14] Karena pemberian tersebut bersifat umum maka
sah-sah saja diwujudkan dengan hal-hal yang bersifat materi seperti uang,
rumah, mobil, binatang ternak, perhiasan dan harta benda lainnya ataupun
hal-hal yang bersifat non materi/jasa seperti pelayanan yang berupa perbuatan.
Mahar
adalah sesuatu yang menjadi hak istri atas suaminya dan akan tetap menjadi
kewajiban (tanggungan) suami apabila mahar tersebut belum ditunaikan/dihutang.
Bahkan istri berhak menolak ajakan suami untuk berhubungan badan, apabila keseluruhan atau
sebagian dari mahar yang disepakati belum ditunaikan. Karena merupakan hak
istri, maka haram bagi suami untuk memakan/memakai/menggunakan mahar yang telah
diberikan tanpa izin resmi dari istri.
2.
Dasar Hukum
Ada
beberapa ayat al-qur’an dan hadits yang menjadi dasar penetapan mahar, antara
lain surat al-Nisa’ (4) ayat 4 yang berbunyi:
(#qè?#uäur
uä!$|¡ÏiY9$#
£`ÍkÉJ»s%߉|¹
\'s#øtÏU
4
bÎ*sù
tû÷ùÏÛ
öNä3s9
`tã
&äóÓx«
çm÷ZÏiB
$T¡øÿtR
çnqè=ä3sù
$\«ÿ‹ÏZyd
$\«ÿƒÍ£D
ÇÍÈ
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya”.[15]
3.
Hukum dan syarat-syarat
mahar.
Ulama’
sepakat bahwa mahar meskipun tidak menjadi bagian dari rukun nikah, akan tetapi
mahar adalah sesuatu yang harus (wajib) diberikan suami kepada istri, dengan
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harta/bendanya berharga atau jika berupa jasa harus berupa perbuatan yang
dihalalkan menurut syara’.
b. Milik
sendiri yang sempurna.
c. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat.
d. Barangnya bukan barang gasab.
e. Sesuai dengan kemampuan dan atau
kesepakatan suami istri.
f. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.
4.
Kadar dan
macam-macam.
Hukum
Islam tidak memberikan batasan tentang banyak sedikitnya kadar mahar, karena
keadaan setiap orang dan adat yang berlaku di lingkungannya berbeda-beda.
Asalkan sesuatu yang berharga, maka sudah sah memberikan mahar walau hanya
sekedar cincin besi, satu mud kurma, jasa mengajar al-Qur’an ataupun sepasang sandal dan lain-lain sesuai
dengan kesepakatan suami dan istri. Meskipun demikian, ulama’ Hanafiyyah
mengatakan kadar minimal mahar adalah sepuluh dirham, sedangkan Malikiyyah
mengatakan mahar paling sedikit adalah tiga dirham.[16]
Terkait
kadar maksimal sebuah mahar, ulama’ juga berbeda pendapat, ada yang mengatakan
bahwa mahar tidak boleh melebihi lima auqiyyah emas, dan sebagian lain mengatakan
mahar tidak boleh melebihi 400 dirham. Akan tetapi jumhur ulama’ berpendapat
bahwa tidak ada batasan mengenai banyaknya mahar. Bahkan dimakruhkan “taga>li>”
dan “taka>t}ur”
dalam urusan mahar, mengingat kemampuan setiap orang serta tradisi setiap
daerah tidaklah sama. Banyak sedikitnya mahar tergantung pada kesepakatan suami
istri, tidak dibenarkan adanya intervensi dari pihak luar. Oleh karena itu
tidak dibenarkan bagi orangtua untuk ikut campur dalam urusan menentukan kadar
mahar, sebagaimana yang terjadi di beberapa tempat.
a.
Mahar musamma> (المهر
المسمى).
Mahar
musamma> adalah
mahar yang disebutkan (dijanjikan) bentuk dan kadarnya pada saat pelaksanaan
akad nikah namun pelaksanaan penyerahannya tidak dilaksanakan saat itu baik
simbolis atau perwakilan. Ulama’ berpendapat bahwa mahar musamma>,
wajib diberikan sepenuhnya apabila:[17]
1)
Telah terjadi persetubuhan atau paling
tidak khalwat.
2)
Salah satu dari
suami istri meninggal
dunia.
b.
Mahar mit}il (المثلي المهر).
Mahar
mit}il
adalah mahar yang tidak disebutkan bentuk dan jumlahnya dalam prosesi akad nikah.
Karena tidak disebutkan, maka bentuk dan kadarnya dikembalikan kepada
(disamakan dengan) tradisi yang berlaku di kalangan keluarga terdekat dan
kepantasan serta kemampuan.[18]
Mahar mit}il
berlaku apabila:
1)
Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika
berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau
meninggal sebelum bercampur.
2)
Jika mahar musamma> belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan
istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
BAB
III
Penutup
A. Kesimpulan.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan beberapa hal terkait permasalahan yang ada, yaitu:
1.
Haram hukumnya
menikah dengan seseorang yang masih ada hubungan mahram. Apabila pernikahan
belum terjadi, maka bagi yang mengetahuiatau pejabat berwenang berhak untuk
mencegah terjadinya pernikaha tersebut. Dan apabila pernikahan sudah terlanjur
terjadi, maka pernikahan tersebut harus dibatalkan demi hukum.
Tujuan
diharamkannya menikah dengan seseorang yang masih mempunyai hubungan mahram,
antara lain: a) Pernikahan dengan mahram menimbulkan pelemahan nasab
(keturunan) baik segi fisik ataupun psikologis (mental), b) Pernikahan dengan
mahram bertolak belakang dengan prinsip dasar nikah yaitu memperbanyak
keturunan dan saudara, c) Pernikahan dengan mahram mengakibatkan carut marutnya
kekerabatan, d) Untuk menjaga kemurnian nasab, e) Untuk menjaga agama, f)
Mencetak generasi unggul dengan berbagai varian jenis dan kualitasnya.
2.
Kriteria rada>’
yang menyebabkan hubungan mahram: a) minimal lima kali susuan sempurna, b) anak
berumur maksimal dua tahun, c) ASI masuk ke perut anak dengan menetek langsung
ataupun setelah diperah, d) jika ASI bercampur dengan zat/bahan lain syaratnya
ASI harus lebih dominan.
3.
Mahar boleh
tidak disebutkan (atau bahkan dihutang) dalam prosesi akad nikah. Akan tetapi
jika:
a.
Mahar telah
ditentukan dan terjadi perceraian sebelum persetubuhan, maka suami wajib
membayar setenga dari mahar.
b.
Mahar belum
ditentukan dan terjadi perceraian sebelum persetubuhan, maka suami tidak wajib
membayar mahar. Meskipun demikian suami wajib membayar mut’ah yang kadarnya
disesuaikan dengan keadaan suami.
c.
Sebelum terjadi
persetubuhan istri murtad, menggugat cerai, maka mahar gugur secara keseluruhan
dan tidak wajib mut’ah.
B. Kritik dan saran.
Dalam penulisan
makalah ini penulis sadar masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi
transliterasi ataupun tata bahasa dan hal-hal lainnya. Oleh karena itu
sumbangsih dan koreksi dari semua pihak sangat penulis butuhkan agar ke depan
bisa lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
‘A<bidi>n, Ibn, 1992, Ra>d
al-Mukhta>r ‘Ala> ad-Dur al-Mukhta>r, Juz II, Beirut: Da>r
al-Fikr.
Abidin,
Slamet, Aminuddin, 1999., Fiqih Munakahat 1, Cet. 1, Bandung:
CV. Pustaka Setia
Ash-Shiddieqi,
Hasbi, 1991, Hukum-hukum Fiqh Islam, Cet. VII, Jakarta: PT Bulan Bintang.
Depag RI, 1991, Al-qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Depag RI.
Ghazaly, Abd.
Rahman, 2006, Fiqih Munakahat, Cet. 2, Jakarta: Kencana.
Jazi>ri>, 1993, Al-Fiqh ‘Ala>
al-Maz\a>hib al-Arba’ah, Juz IV, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Khoir, M. Masykur, 2005, Risalah Mahram dan Wali
Nikah, Kediri: Duta Karya Mandiri.
Nasution, Khoiruddin, 2004, Islam Tentang Relasi
Suami dan Istri, (Hukum Perkawinan I), Cet. I, Yogyakarta: ACADEMIA &
TAZZAFA.
Rasyid, Sulaiman, 1986, Fiqih Islam, Bandung:
Sinar Baru.
Rusyd, Ibnu,
1989, Bida>yah al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtas}id, Surabaya:
Al-Hidayah.
Sa>biq,
Sayid>, 1997, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, Cet VIII, Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ara>bi.
Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta:
Rineka CIpta.
Syarifuddin, Amir, 1991, Hukum Perkawinan Islam
di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta:
Pustaka Setia.
Syarqa>wi>, 1993, Ina>rah ad-Dujja>
‘ala> Syarh}i Safi>nah an-Naja>, Mesir: Dar al-Qala>m.
Team Penyusun, 2001, Ensiklopedi Hukum Islam,
Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hove.
Zahrah,
Abu<, t.th, al-Ahwa>l al-Shahs{i<yah, t.tp: Dar al-Fikr
al-Arabi.
[1] Team Penyusun, Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hove, 2001), hal. 1328.
[2] M. Masykur Khoir, Risalah Mahram dan Wali Nikah,
(Kediri: Duta Karya Mandiri, 2005), hal. 6.
[3] Depag RI, Al-qur’an dan
Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1991), hal. 128.
[4] Ibid.
[5] Al-Jazi>ri>, Al-Fiqh
‘Ala> al-Maz\a>hib al-Arba’ah, Juz IV, (Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993), hal. 60.
[6] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam,
(Bandung: Sinar Baru, 1986), hal. 362.
[7] Dalam hal ini ulama’ dhahiriyyah
berpendapat bahwa untuk hal ini anak tiri harus berada dalam pengasuhan orang
yang bersangkutan, apabila tidak, maka anak tersebut boleh dinikahi. Akan
tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa anak tiri tetap haram dinikahi meskipun
tidak berada dalam pengasuhannya. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam
di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta:
Pustaka Setia, 19911), hal. 116.
[8] Ulama’ berbeda pendapat dalam
hal anak menetek langsung atau tidak langsung, akan tetapi mayoritas
berpendapat meskipun tidak langsung hal tersebut tetap menjadikan sebab
hubungan mahram. Al-Jazi>ri>,
Al-Fiqh ‘…, hal. 224-228.
[9] Syarat lain anak menghisab lebih
dari satu atau dua kali hisapan, karena
hal yang demikian tidaklah disebut menyusui (rada>’) dan juga tidak mengenyangkan
bagi bayi. Akan tetapi dalam jumlah susuan yang bisa menyebabkan keharaman,
ulama’ berbeda pendapat, ada yang mengatakan tiga. Lima, dan ada yang sepuluh
susuan. Dalam hal ini jumhur ulama’ empat madzhab memilih lima kali susuan yang
sempurna. Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid
Wa Nihayat al-Muqtas}id, (Surabaya: Al-Hidayah, 1989), 315.
[10] Muh}ammad Abu<
Zahrah, al-Ahwa>l al-Shahs{i<yah, (t.tp: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th),
92. Lihat juga Hasbi al-Shiddieqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Jakarta: PT
Bulan Bintang, cet. VII, 1991), 263.
[11] Sayid Sa>biq,
Fiqh al-Sunnah, Jilid II, Cet VIII, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ara>bi>, 1997), hal. 71-72 Lihat juga Syarqa>wi>, Ina>rah
ad-Dujja> ‘ala> Syarh}i Safi>nah an-Naja>, (Mesir: Dar
al-Qala>m, 1993), hal. 62.
[12] Sudarsono, Hukum Perkawinan
Nasional, (Jakarta: Rineka CIpta, 1991), hal. 100-106.
[13] Ibn al-‘A<bidi>n, Ra>d
al-Mukhta>r ‘Ala> ad-Dur al-Mukhta>r, Juz II, (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1992), hal. 101.
[14] Khoiruddin Nasution, Islam
Tentang Relasi Suami dan Istri, (Hukum Perkawinan I), Cet. I, (Yogyakarta:
ACADEMIA & TAZZAFA, 2004), hal. 168.
[15] Depag RI, Al-Qur’an…, hal.
122.
[16] Sayid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah…,
hal. 156.
[17] Slamet
Abidin, Aminuddin, Fiqih
Munakahat 1, Cet. 1,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 108-109.
Komentar
Posting Komentar