'Iddah perspektif gender
‘IDDAH DAN IH{DA<D WANITA KARIR
PERPEKTIF
KEADILAN GENDER
Pendahuluan
Dalam perkembangan
modern dewasa ini, banyak kaum wanita yang aktif di berbagai bidang, baik
politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, olahraga, ketentaraan, maupun
bidang-bidang lainnya. Hampir di setiap sektor kehidupan umat manusia, wanita
sudah terlibat; tidak hanya dalam pekerjaan-pekerjaan ringan, tetapi juga dalam
pekerjaan-pekerjaan yang berat, seperti sopir taksi, tukang parkir, buruh
bangunan, kuli panggul, dan lain-lain. Mereka bekerja siang dan malam demi
memenuhi tuntutan kebutuhan anak dan keluarganya.
Akan tetapi dalam
realita hidup bermasyarakat seperti di pulau Jawa, antara pria dan wanita
hampir tidak ada bedanya, mereka bekerjasama bahu-membahu dalam memenuhi
kebutuhan keluarga. Bahkan tidak jarang justru sang wanita yang menjadi
penopang kehidupan keluarga meski hal itu
bukan atas inisiatifnya, tetapi atas dasar mentaati perintah suami.
Sementara kaum pria hanya berpangku tangan menanti kiriman/gaji dari istri
sebagai karyawan, PRT/TKW, PNS atau yang lainnya.
Namun seiring dengan
berjalannya waktu, kaum wanita mulai merasa nyaman dengan profesi sebagai
wanita karir yang digelutinya daripada harus duduk diam di rumah. Wanita karir
adalah wanita sibuk, wanita pekerja, yang waktu dan pelaksanaanya kadang-kadang
lebih banyak di luar rumah dari pada di dalam rumah.[1]
Karir/kesibukan yang dimaksud disini mencakup segala hal yang bergerak di
sektor domestik-non domestik, swasta, dan negeri (PNS). Demi karir dan
prestasi, tidak sedikit wanita yang bekerja siang dan malam tanpa mengenal
lelah.
Bahkan tidak jarang
para wanita karir lebih rela meninggalkan kewajiban mereka di rumah seperti
mendidik dan merawat anak serta mengurus rumah tangga dari pada meninggalkan
pekerjaannya. Urusan tanggung jawab mengurus anak dan rumah tangga diserahkan
pada pembantu yang sering kali juga wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah
tangga (PRT) baik di dalam maupun di luar negeri (TKW).
Kemudian
beberapa permasalahan mulai timbul manakala wanita karir tersebut seorang
wanita muslimah yang tiba-tiba saja ditinggal mati suaminya ataupun diceraikan
suaminya. Karena Islam telah membuat aturan yang sedemikian detail, termasuk
masalah perkawinan, perceraian, hak dan kewajiban masing-masing serta akibat
hukum yang timbul setelahnya. Di antaranya adalah kewajiban melaksanakan ‘iddah
dan ihdad/berkabung yang tatacara dan waktunya telah ditentukan dengan
jelas, tidak boleh keluar rumah, berhias, memakai pakaian yang menarik apalagi
full press body dan trasparan, memakai parfum dan lain-lain.[2]
Akan tetapi dalam prakteknya banyak wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah
dan ihdad yang tetap keluar rumah, memakai parfum, memakai pakaian dinas yang
menarik, dan ber-make up dengan alasan pekerjaan.[3]
Dalam
mendapatkan pemahaman dan pembahasan terhadap sebuah ajaran, pendekatan yang
paling tepat adalah dengan pendekatan tematik/topical yang disebut dengan
istilah mawd}u>’i.
Menurut Al-Farma>wi>
sebagaimana dikutip Muh. Tasrif, metode yang digunakan adalah dengan langkah:[4]
1.
Memilih tema tertentu, akan tetapi tema dalam tulisan ini sudah
ditentukan pembagiannya pada awal kuliah yaitu masalah ‘iddah dan ih}da>d.
2.
Mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan tema yang dibahas, yaitu mengumpulkan
ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan denagan tema ‘iddah dan ih}da>d.
3. Menyusun ayat-ayat sesuai dengan urutan turunnya dan
memperhatikan asba>b nuzu>l al-aya>t.
4. Memaparkan ayat
dalam konteks munasabhnya dalam suratnya masing-masing.
5. Menyusun
struktur atau kerangka yang tepat dan sistematis sehingga unsur-unsurnya saling
menopang.
6. Melengkapi
kajian dengan hadits-hadits Nabi SAW.
7. Mengkaji secara
tematik-sistematik, sehingga semuanya berada dalam satu irama tanpaadanya
kontradiksi dan pemaksaanmakna tertentu terhadap ayat secara tidak semestinya.
Beberapa ayat yang
menerangkan tentang ‘iddah dan ketentuan-ketentuan didalamnya berdasarkan kata
kunci pencarian تربص, عدة, أجل, serta bentuk lain dari kalimat tersebut, maka ditemukan
beberapa ayat antara lain:
1.
Surat al-Baqarah
(2) ayat 228:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur
šÆóÁ/uŽtItƒ
£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/
spsW»n=rO
&äÿrãè%
4
Ÿwur
‘@Ïts†
£`çlm;
br&
z`ôJçFõ3tƒ
$tB
t,n=y{
ª!$#
þ’Îû
£`ÎgÏB%tnö‘r&
bÎ)
£`ä.
£`ÏB÷sãƒ
«!$$Î/
ÏQöqu‹ø9$#ur
ÌÅzFy$#
4
£`åkçJs9qãèç/ur
‘,ymr&
£`ÏdÏjŠtÎ/
’Îû
y7Ï9ºsŒ
÷bÎ)
(#ÿrߊ#u‘r&
$[s»n=ô¹Î)
4
£`çlm;ur
ã@÷WÏB
“Ï%©!$#
£`ÍköŽn=tã
Å$rá÷èpRùQ$$Î/
4
ÉA$y_Ìh=Ï9ur
£`ÍköŽn=tã
×py_u‘yŠ
3
ª!$#ur
͕tã
îLìÅ3ym
ÇËËÑÈ
2.
Surat al-Baqarah (2) ayat 234:
tûïÏ%©!$#ur
tböq©ùuqtFãƒ
öNä3ZÏB
tbrâ‘x‹tƒur
%[`ºurø—r&
z`óÁ/uŽtItƒ
£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/
spyèt/ö‘r&
9åkôr&
#ZŽô³tãur
(
#sŒÎ*sù
z`øón=t/
£`ßgn=y_r&
Ÿxsù
yy$oYã_
ö/ä3øŠn=tæ
$yJŠÏù
z`ù=yèsù
þ’Îû
£`ÎgÅ¡àÿRr&
Å$râ÷êyJø9$$Î/
3
ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
׎Î6yz
ÇËÌÍÈ
3.
Surat al-Talaq (65) ayat 1-4:
$pkš‰r'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$#
#sŒÎ)
ÞOçFø)¯=sÛ
uä!$|¡ÏiY9$#
£`èdqà)Ïk=sÜsù
ÆÍkÌE£‰ÏèÏ9
(#qÝÁômr&ur
no£‰Ïèø9$#
(
(#qà)¨?$#ur
©!$#
öNà6/u‘
(
Ÿw
Æèdqã_ÌøƒéB
.`ÏB
£`ÎgÏ?qã‹ç/
Ÿwur
šÆô_ãøƒs†
HwÎ)
br&
tûüÏ?ù'tƒ
7pt±Ås»xÿÎ/
7puZÉit7•B
4
y7ù=Ï?ur
ߊr߉ãn
«!$#
4
`tBur
£‰yètGtƒ
yŠr߉ãn
«!$#
ô‰s)sù
zNn=sß
¼çm|¡øÿtR
4
Ÿw
“Í‘ô‰s?
¨@yès9
©!$#
ß^ωøtä†
y‰÷èt/
y7Ï9ºsŒ
#\øBr&
ÇÊÈ
#sŒÎ*sù
z`øón=t/
£`ßgn=y_r&
£`èdqä3Å¡øBr'sù
>$rã÷èyJÎ/
÷rr&
£`èdqè%Í‘$sù
7$rã÷èyJÎ/
(#r߉Íkôr&ur
ô“ursŒ
5Aô‰tã
óOä3ZÏiB
(#qßJŠÏ%r&ur
noy‰»yg¤±9$#
¬!
4
öNà6Ï9ºsŒ
àátãqãƒ
¾ÏmÎ/
`tB
tb%x.
ÚÆÏB÷sãƒ
«!$$Î/
ÏQöqu‹ø9$#ur
ÌÅzFy$#
4
`tBur
È,Gtƒ
©!$#
@yèøgs†
¼ã&©!
%[`tøƒxC
ÇËÈ
çmø%ã—ötƒur
ô`ÏB
ß]ø‹ym
Ÿw
Ü=Å¡tFøts†
4
`tBur
ö@©.uqtGtƒ
’n?tã
«!$#
uqßgsù
ÿ¼çmç7ó¡ym
4
¨bÎ)
©!$#
à÷Î=»t/
¾ÍnÌøBr&
4
ô‰s%
Ÿ@yèy_
ª!$#
Èe@ä3Ï9
&äóÓx«
#Y‘ô‰s%
ÇÌÈ
‘Ï«¯»©9$#ur
z`ó¡Í³tƒ
z`ÏB
ÇÙŠÅsyJø9$#
`ÏB
ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS
ÈbÎ)
óOçFö;s?ö‘$#
£`åkèE£‰Ïèsù
èpsW»n=rO
9ßgô©r&
‘Ï«¯»©9$#ur
óOs9
z`ôÒÏts†
4
àM»s9'ré&ur
ÉA$uH÷qF{$#
£`ßgè=y_r&
br&
z`÷èŸÒtƒ
£`ßgn=÷Hxq
4
`tBur
È,Gtƒ
©!$#
@yèøgs†
¼ã&©!
ô`ÏB
¾ÍnÍöDr&
#ZŽô£ç„
ÇÍÈ
4.
Surat al-Ahzab (33) ayat 49:
$pkš‰r'¯»tƒ
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sŒÎ)
ÞOçFóss3tR
ÏM»oYÏB÷sßJø9$#
¢OèO
£`èdqßJçGø)¯=sÛ
`ÏB
È@ö6s%
br&
Æèdq¡yJs?
$yJsù
öNä3s9
£`ÎgøŠn=tæ
ô`ÏB
;o£‰Ïã
$pktXr‘‰tF÷ès?
(
£`èdqãèÏnGyJsù
£`èdqãmÎhŽ| ur
%[n#uŽ|
WxŠÏHsd
ÇÍÒÈ
Paparan Ayat
$pkš‰r'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$#
#sŒÎ)
ÞOçFø)¯=sÛ
uä!$|¡ÏiY9$#
£`èdqà)Ïk=sÜsù
ÆÍkÌE£‰ÏèÏ9
(#qÝÁômr&ur
no£‰Ïèø9$#
(
(#qà)¨?$#ur
©!$#
öNà6/u‘
(
Ÿw
Æèdqã_ÌøƒéB
.`ÏB
£`ÎgÏ?qã‹ç/
Ÿwur
šÆô_ãøƒs†
HwÎ)
br&
tûüÏ?ù'tƒ
7pt±Ås»xÿÎ/
7puZÉit7•B
4
y7ù=Ï?ur
ߊr߉ãn
«!$#
4
`tBur
£‰yètGtƒ
yŠr߉ãn
«!$#
ô‰s)sù
zNn=sß
¼çm|¡øÿtR
4
Ÿw
“Í‘ô‰s?
¨@yès9
©!$#
ß^ωøtä†
y‰÷èt/
y7Ï9ºsŒ
#\øBr&
ÇÊÈ
“Hai Nabi, apabila kamu
menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu
serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari
rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, dan
barangsiapa melanggar hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu sesuatu hal yang baru.[5]
Asba>b
al-nuzu>l
Ayat tersebut
merupakan ayat yang pertama turun dalam hal pensyari’atan ketentuan ‘iddah,
akan tetapi ulama’ tafsir berbeda pendapat tentang asba>b al-nuzu>l dan orang-orang yang terkait di
dalamnya. Terkait dengan kata “ÓÉ<¨Z9$#$pkš‰r'¯»tƒ”, mayoritas ulama tafsir
mengatakan bahwa meskipun khitab dari kata tersebut adalah Nabi Muhammad SAW.,
selaku pembawa risalah, akan tetapi yang dikehendaki adalah seluruh umat Islam.
Al-Qurt}u>bi>
berpendapat bahwa ayat ini turun pada (kejadian) Asma>’ binti Sakan al-Ans}a>ri>
sebagaimana diceritakan dalam Sunan Abi> Da>wud bahwasanya Asma>’ diceraikan
suaminya dan pada saat itu belum ada ketentuan tentang ‘iddah. Maka kemudian Allah menurunkan ayat ini,
sehingga Asma>’
adalah orang pertama yang menjalani masa ‘iddah dalam Islam.[6]
وَيَدُلُّ
عَلَى صِحَّةِ هَذَا الْقَوْلِ نُزُولُ الْعِدَّةِ فِي أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ
بْنِ السَّكَنِ الْأَنْصَارِيَّةِ. فَفِي كِتَابِ أَبِي دَاوُدَ عَنْهَا أَنَّهَا
طُلِّقَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَمْ
يَكُنْ لِلْمُطَلَّقَةِ عِدَّةٌ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى حِينَ طُلِّقَتْ
أَسْمَاءُ بِالْعِدَّةِ لِلطَّلَاقِ، فَكَانَتْ أَوَّلَ مَنْ
أُنْزِلَ فِيهَا الْعِدَّةُ لِلطَّلَاقِ.
Sedangkan ibnu Kasir dan Ibnu al-‘Arabi mengatakan
bahwa ayat ‘iddah tersebut turun atas kasus Hafs}ah yang ditalak
oleh Nabi SAW., karena Nabi marah tatkala Beliau menceritakan sesuatu hal dan
tidak boleh disampaikan kepada siapapun. Akan tetapi Hafs}ah menceritakan
hal itu kepada ‘Aisyah, maka Nabi menceraikannya dan kemudian Hafs}ah pulang kepada
keluarganya. Maka kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi untuk meruju’nya,
karena dia adalah istri yang rajin berpuasa dan sholat malam serta salah satu
istri Nabi kelak di surga.[7]
"طَلَّقَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَفْصَةَ فَأَتَتْ أَهْلَهَا
فَأَنْزَلَ اللَّهُ تعالى: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} فَقِيلَ لَهُ: رَاجِعْهَا، فَإِنَّهَا صَوَّامَةٌ
قَوَّامَةٌ، وهي من أزواجك ونسائك في الجنة" (أخرجه ابن أبي حاتم) . وروى
البخاري أن عبد الله بن عمر طَلَّقَ امْرَأَةً لَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَذَكَرَ
عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَغَيَّظَ رسول
الله صلى الله عليه وسلم ثم قَالَ: «لِيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى
تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ فَتَطْهُرَ، فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا
فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ التي أمر
بها الله عزَّ وجلَّ»
(كَمَا قَالَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ
ومجاهد وعكرمة وغيرهم) . وفي رواية لهم: «فتلك عدة الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ
يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ»"
As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini turun
atas perbuatan Ibnu Umar yang menceraikan istrinya dengan talak satu pada saat
menstruasi, maka Nabi memerintahkannya untuk meruju’nya kembali dan menahannya
sampai dua kali masa suci. Dan jika setelah itu tetap menghendaki perceraian,
maka barulah dicerai dalam keadaan suci akan tetapi tidak melakukan hubungan
suami istri pada masa suci tersebut. Kemudian beberapa orang ikut-ikutan
melakukan seperti apa yang dilakukan Ibnu Umar, mereka adalah Abdullah ibn Amr
Abn ‘ash, Umar Ibn Sa’id Ibn ‘Ash dan ‘Utbah Ibnu Ghazwan.[8]
وَقَالَ السُّدِّيُّ: نَزَلَتْ فِي
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، طَلَّقَ امْرَأَتَهُ حَائِضًا تَطْلِيقَةً وَاحِدَةً
فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَنَّ
يُرَاجِعَهَا ثُمَّ يُمْسِكَهَا حَتَّى تَطْهُرَ وَتَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ، فَإِذَا
أَرَادَ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا حِينَ تَطْهُرُ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يُجَامِعَهَا. فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ
يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ. وَقَدْ قِيلَ: إِنَّ رِجَالًا فَعَلُوا مِثْلَ مَا فَعَلَ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، مِنْهُمْ عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، وَعَمْرُو بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ،
وَعُتْبَةُ بْنُ غَزْوَانَ، فَنَزَلَتِ الْآيَةُ فِيهِمْ.
Kandungan
Hukum
1.
Pengertian,
hukum , dan sebab terjadinya ‘iddah.
Secara bahasa ‘iddah berasal dari bahas Arab
“العدة” yang berarti “menunggu”. Kata ini identik
dengan kata “التربص” dan ”الإنتظار”/penantian, “الإحصاء”/perhitungan,
bilangan, hitungan, dan “الجملة”, (se)jumlah.[9]
Sedangkan secara istilah ‘iddah adalah sebutan bagi masa tunggu yang
digunakan oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya kandungan dari
kehamilan atau murni untuk keperluan ibadah atau untuk berkabung atas
meninggalnya suami.[10]
Seorang wanita wajib menjalani masa ‘iddah
dikarenakan putusnya ikatan tali perkawinan dengan suaminya, baik karena
kematian, t}ala>q
(perceraian), fasakh (pembatalan perkawinan).‘Iddah menjadi wajib
apabila antara suami dan istri telah terjadi hubungan seksual (ba’da dukhu>l)
yang wajar[11],
atau paling tidak sudah ada kesempatan untuk itu dengan berkhalwat[12]
dalam satu ruangan (kamar). Apabila hal tersebut belum terjadi maka tidak ada
kewajiban ber’iddah bagi seorang wanita.
2.
Klasifikasi masa
‘iddah.
Masa
‘iddah antara satu wanita dengan wanita lain berbeda-beda, sesuai dengan
keadaan dan sebab yang melatarbelakanginya.
a.
Wanita yang dit}ala>q (diceraikan).
Wanita
yang dicerai dibedakan menjadi dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan t}ala>q
raj’i> (cerai
yang masih bisa diruju’ kembali sebelum masa ‘iddahnya habis) dan wanita
yang dicerai dengan t}ala>q ba>’in (talak tiga). Wanita yang di
t}ala>q raj’i>
harus dilihat dulu kondisinya baru kemudian bisa ditentukan masa ‘iddahnya,
karena ada beberapa hal yang menyebabkan perbedaan lamanya masa ‘iddah, yaitu:
1)
Wanita yang dicerai dengan talak raj’i (talak satu dan dua) terbagi
menjadi:
a)
Wanita yang masih haidh/menstruasi.
Masa
‘iddah wanita yang masih mengalami menstruasi secara normal pada umumnya[13]
maka ‘iddahnya adalah tiga kali suci. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam
surat Al-Baqarah (2) ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru’.[14]
Lafadh
“الْمُطَلَّقَاتُ”
adalah lafadh yang umum, namun demikian yang dikehendaki dari lafadh tersebut
adalah khusus pada wanita yang diceraikan dala kondisi telah digauli (ba’da dukhu>l). Karena perceraian sebelum terjadi persetubuhan tidak
mengakibatkan adanya kewajiban ber’iddah bagi seorng wanita. Terkait dengan
lafadh quru>’ tersebut, ulama’ berbeda pendapat apakah yang dimaksud
“suci” ataukah “haid/menstruasi”.
Menurut
madzhab Maliki, Syafi’i, Ibnu ‘Umar, Zaid, ‘Aisah, Ahmad Ibn Hambal dan
beberapa ulama’ lain, bahwa yang dimaksud dengan quru’ adalah suci. Sehingga
seorang wanita keluar dari masa ‘iddah ketika memasuki waktu haidh yang ketiga.
Sedangkan
‘Ali, ‘Umar ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, Abu Hanifah, Sufyan Tsauri, Al-Auza’i
berpendapat sebaliknya, bahwa yang dimaksud dengan quru’ adalah haidh. Mereka
mendasarkan pendapatnya pada sabda Nabi SAW. pada Fatimah binti Habsy:
دَعِيْ الصَّلَاةَ أَيَّامَ
أَقْرَائِكِ
“Tinggalkan
shalat selama masa-masa haidhmu”.
Dan juga
hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah terkait istihadlah yang dialami Ummu
Habibah:
أَنَّ
أُمَّ حَبِيبَةَ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا
Sesungguhnya Ummu Habibah pernah mengalami pendarahan
(istihadhah/darah penyakit), lalu dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan shalat pada hari-hari
quru’nya (haidhnya).
Dari dua
hadits diatas maka dapat dipahamai, bahwa makna quru’ adalah haidh,
karena ketika sedang mengalami haidh, seorang wanita dilarang melaksanakan
sholat. Oleh karena ‘Ali ash-Shabuni berpendapat definisi kelompok kedua lebih
unggul dari sisi makna, karena meskipun kalam ayat tersebut adalah kalam
khabar, bukan berarti hal itu tidak mengandung arti hukum jika ada seorang
wanita yang tidak ber’iddah.[15]
Oleh
karena itu Ibnul Qayyim merajihkan pendapat ini dan mengatakan, “Lafazh quru’
tidak digunakan dalam syariat kecuali untuk pengertian haidh dan tidak ada satu
pun digunakan untuk pengertian suci, sehingga memahami pengertian quru’ dalam
ayat ini dengan pengertian yang sudah dikenal dalam bahasa syariat lebih baik.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang kena darah istih}a>d}ah Wanita yang tidak menstruasi, baik
karena belum waktunya (belum baligh) atau karena sudah manopause .
Akan
tetapi Qurtuubi dalam tafsirnya Al-Ja>mi Li Ah}ka>m
al-Qur’a>n mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan quru’ adalah suci, meskipun nantinya seorang
wanita hanya menajalani dua kali suci dan sebagian dari suci yang ketiga
sebagaimana kata “asyhur” dalam perintah melaksanakan ibadah haji.[16]
b)
Wanita yang belum dan/ sudah tidak lagi haidh.
Bagi
wanita yang tidak dan/ belum menstruasi maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan.
Hal ini bardasarkan firman Allah dalam surat al-Talaq (65) ayat 4:
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid.”[17]
Ayat ini
sebagai nasyakh atau pengecualian dari ayat pertama yang memuat ‘iddah
secara umum, yaitu tiga kali suci. Seseorang mengalami menstruasi rata-rata
pada umur 15 tahun, dan kemudian hal itu berhenti ketika memasuki usia 55
tahun. Akan tetapi batasan umur seperti itu tidak lagi sesuai dengan kondisi
pada zaman sekarang ini, karena tidak sedikit anak dibawah umur 15 tahun sudah
mengalami menstruasi. Demikian pula sebaliknya, wanita yang sudah berumur lebih
dari 55 tahun terkadang juga masih ada yang mengalami menstruari.
c)
Wanita yang dicerai dalam kondisi hamil.
Apabila
seorang wanita diceraikan suaminya padahal dia sedang dalam kondisi hamil, maka
masa ‘iddahnya adalah sampai dengan melahirkan anak yang dikandung. Ketentuan
hukum ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Talaq (65) ayat 4:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ
أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi
yang berkaitan dengan kejadian yang dialami Umu Salamah:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ
يُقَالُ لَهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ
حُبْلَى فَخَطَبَهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ
فَقَالَ وَاللَّهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنْكِحِيهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ
الْأَجَلَيْنِ فَمَكُثَتْ قَرِيبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمَّ جَاءَتْ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ انْكِحِي
“Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh
suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya, namun ia
menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, “Demi Allâh, dia tidak boleh
menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua masa
iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menikahlah!”
d) Wanita yang sedang mengalami istihadhah.[18]
Wanita
yang dicerai apabila dalam kondisi istihadhah maka masa ‘iddahnya sama
dengan wanita yang haidh. Kemudian bila ia memiliki kebiasaan haidh yang
teratur maka wajib baginya untuk memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan
suci. Apabila telah berlalu tiga kali haidh maka selesailah iddahnya.
2)
Wanita yang ditalak tiga (talak ba’in).
Wanita
yang telah di talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk memastikan dia
tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan,
“Wanita yang dicerai dengan tiga kali talak, masa iddahnya sekali haidh.
b. Wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya
Seorang
wanita yang mengalami putus perkawinan karena ditinggal mati suaminya, maka
masa ‘iddahnya adalah selama empat bulan sepuluh hari. Hal tersebut merupakan
bentuk berkabung/bela sungkawa atau keprihatinan atas meninggalnya sang suami,
yang dalam agama Islam disebut sebagai ihdad. Hal ini berdasarkan atas
firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 234:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâ‘x‹tƒur %[`ºurø—r& z`óÁ/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ö‘r& 9åkôr& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þ’Îû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah maha mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Seorang wanita yang
ditinggal mati suaminya selain harus menjalani ‘iddah wafat juga harus
meninggalkan beberapa kegiatan yang lumrah dilakukan seoran wanita, yaitu
bersolek, menyisir rambut, bepergian keluar rumah, dan menerima pinangan dari
laki-laki lain. Hal ini merupakan bentuk penghormatan istri terhadap suaminya
yang telah meninggal, sehingga sangat tidak pantas seorang wanita yang baru
saja ditinggal suaminya keluar rumah dengan dandanan yang menor dan menarik
perhatian laki-laki lain untuk mendekatinya.
3.
Hikmah
disyari’atkannya ‘iddah.
- Murni
sebagai bentuk ketaatan manusia pada Allah (ta’abbud)
- Menunjukkan
betapa mulia dan agungnya syari’at pernikahan.
- Memberi
kesempatan kepada kedua belah pihak untuk merenung dan berfikir kembali,
antara melanjutkan perpisahan ataukah ruju’ kembali.
- Untuk
menjaga hak-hak suami.
- Untuk
mengetahui tidak adanya janin dalam kandungan istri.
- Khusus bagi
wanita yang ditinggal mati suaminya, ‘iddah merupakan sarana untuk
berkabung atas meninggalnya suami.
4.
Hak dan
kewajiban wanita dalam masa ‘iddah.
a. Hak-hak
wanita dalam masa ‘iddah.
Wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah dan ihdad,
berhak mendapatkan:
1) Nafkah.
Seoarang wanita yang diceraikan atau ditinggal mati
suaminya, berhak atas nafkah bagi dirinya dan anak-anaknya selama menajalani
masa ‘iddah. Nafkah disini termasuk biaya pendidikan, makan, kesehatan dan
kebutuhan-kebutuhan lain yang memerlukan biaya.
2) Pakaian.
Seorang wanita yang menjalani masa ‘iddah berhak
mendapatkan pakaian yang layak dari mantan suaminya untuk menutupi aurat.
3) Tempat
tinggal.
Selama menjalani masa ‘iddah, seorang wanita berhak
dan bahkan wajib untuk mendapatkan tempat tinggal dan dia tidak diperkenankan
meninggalkan tempat itu serta tidak boleh diusir kecuali jika dia melakukan
perbuatan tercela/menyimpang seperti zina.
b. Kewajiban-kewajiban
wanita dalam masa ‘iddah.
Bagi wanita yang menjalani masa ‘iddah baik ‘iddah
talaq maupun ‘iddah wafat, harus melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan
syara’ agar hak-haknya dapat diperoleh. Kewajiban-kewajiban itu adalah:
1) Kewajiban
tetap berada dirumah, tempat dia dan suaminya tinggal.
Tentang kewajiban tetap berada dirumah ini,
didasarkan pada surat Al-Talaq (65) ayat 1:
...Ÿw
Æèdqã_ÌøƒéB
.`ÏB
£`ÎgÏ?qã‹ç/
Ÿwur
šÆô_ãøƒs†
HwÎ)
br&
tûüÏ?ù'tƒ
7pt±Ås»xÿÎ/
7puZÉit7•B
4
...
ÇÊÈ
“…janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke
luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang….[19]
Namun demikian para ulama’ berbeda pendapat tentang
ketidakbolehan wanita yang sedang dalam masa ‘iddah untuk beraktivitas di luar
rumah. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa seorang wanita dilarang beraktivitas
diluar rumah dengan alas an apapun, terlebih saat dia menjalani masa ‘iddah dan
ihdad.
Perbedaan pendapat ini berawal dari perbedaan
pemaknaan dan penafsiran firman Allah dalam surat Al- Ahzab ayat 33:
tbös%ur ’Îû £`ä3Ï?qã‹ç/ Ÿwur šÆô_§Žy9s? yl•Žy9s? Ïp¨ŠÎ=Îg»yfø9$# 4’n<rW{$# ( z`ôJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# šúüÏ?#uäur no4qŸ2¨“9$# z`÷èÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qß™u‘ur 4 $yJ¯RÎ) ߉ƒÌムª!$# |=Ïdõ‹ã‹Ï9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# Ÿ@÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãƒur #ZŽÎgôÜs? ÇÌÌÈ
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[20]
Dimana sebagian ulama’ menafsirkan bahwa perintah
untuk tetap berada dirumah dalam ayat tersebut meskipun redaksinya ditujukan
hanya pada istri-istri Nabi, akan tetapi kandungan hukumnya berlaku bagi semua
muslimah. Hal ini didasarkan pada pengertian bahwa
istri-istri Nabi adalah ibarat ibu dan teladan bagi semua wanita muslimah.
Dimana dalam ayat tersebut seorang
perempuan tidak boleh keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat yang sangan
mendesak, sebagaimana istri-istri Nabi dilarang
keluar rumah.
Ibnu Kas{i>r mempunyai
pandangan yang sedikit lebih moderat dari pandapat pertama, beliau berpendapat bahwa larangan keluar rumah dalam ayat tersebut ditujukan khsusunya
pada istri-istri Nabi dan muslimah lainnya jika tidak ada keperluan yang
dibenarkan agama, seperti sholat berjamah dimasjid.[21]
Hal ini senada dengan pendapat salah satu ulama’ kontemporer Wahbah Al-
Zuhayli> yang mengatakan: “hendaklah seorang wanita tetap
tinggal dirumah, jangan sering keluar rumah tanpa ada keperluan yang
dibenartkan agama”.[22]
Pandangan berbeda diberikan oleh Sayyid Qutub dan
Quraish Shihab,
dalam tafsir Fi>
Zila>l Al- Qur’a>n Sayid
Qutub sebagaimana dikutip
Quraish Shihab mengatakan bahwa
isyarat untuk tetap tinggal dirumah adalah tugas pokok istri, sedangkan dalam
hal selain itu maka diperbolehkan baginya meninggalkan rumah.[23]
Sementara Quraish Shihab mengatakan bahwa pada awal islam perempuan juga
bekerja ketika kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak
pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, namun karena islam cenderung
mendorong mereka untuk keluar rumah untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu
dan dibutuhkan masyarakat. Misalnya kebutuhan mereka untuk bekerja karena tidak
ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu
mencukupi kebutuhan keluarganya.[24]
Dari sekian pendapat tentang perempuan bekerja yang argumen
kebahasaanyan sama kuatnya, maka untuk menetukan arah yang jelas perlu untuk
melacak akar sejarahnya. Dalam sejarah awal perkembangan islam banyak sekali
perempuan yang berkecimpung dalam kegiatan sosial. Bahkan Imam Bukhari seorang
ulama terkemuka secara khusus menuliskan bab tentang beberapa aktivitas sosial
kaum perempuan.[25]
Dari realitas sosial tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa ayat tersebut tidaklah membatasi hak kaum perempuan untuk
hanya tinggal dirumah saja, menanti sang suami memberinya nafkah yang tidak
jarang tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Namun yang perlu
diperhatikan bahwa perempuan mempunyai kodrat yang tidak bisa ditinggalkan,
yaitu; menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Dan ketiganya tidak bisa
diwakilkan, meskipun proses dan pelaksanaannya bisa dimanipulasi melalui
rekayasa medis.
Selain itu mantan suami dan keluarganya juga tidak
boleh menyuruh keluar dari rumah/mengusir wanita tersebut sampai masa ‘iddahnya
berakhir. Akan tetapi apabila wanita tersebut melakukan perbuatan yang sangat
tercela, maka diperbolehkan bagi mantan suami dan keluarganya untuk mengusir
wanita tersebut dari rumah.
2) Tidak
boleh menyembunyikan kehamilan meskipun umur janin baru beberapa minggu apalagi
sampai menggugurkannya (aborsi).
Seorang wanita diharamkan untuk menyembunyikan
kondisi kehamilannya saat menjalani masa ‘iddah. Hal ini bertujuan untuk
menghindari kesalahan penasaban atau percampuran nasab seorang anak. Dalam
Islam diharamkan menasabkan seorang anak kepada seseorang yang bukan ayah
kandung dari anak tersebut. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah yang
berbunyi:
Ÿwur
‘@Ïts†
£`çlm;
br&
z`ôJçFõ3tƒ
$tB
t,n=y{
ª!$#
þ’Îû
£`ÎgÏB%tnö‘r&
bÎ)
£`ä.
£`ÏB÷sãƒ
«!$$Î/
ÏQöqu‹ø9$#ur
ÌÅzFy$#
3) Tidak
boleh menerima pinangan dari laki-laki lain.
Seorang wanita yang menjalani masa
‘iddah diharamkan menerima pinangan secara jelas dari seorang laki-laki,
apalagi sampai menikah dengannya. Hal ini bertujuan untuk menghormati hak-hak
suaminya yang terdahulu dan memberi kesempatan untuk rujuk kembali jika merasa
perceraian itu dirasakan tidak baik.
4) Dilarang
memakai parfum, pakaian yang gemerlap/menunjukkan lekuk anggota tubuh, make up/berhias,.
Khusus bagi wanita yang ditinggal mati suaminya,
maka dilarang untuk memakai parfum, pakaian yang gemerlap/menunjukkan lekuk
anggota tubuh, make up yang dapat menimbulkan rasa tertarik laki-laki lain yang
memandang. Hal ini sebagai bentuk rasa berkabung atas meninggalnya suami dan
menghormati hak-haknya. Akan tetapi ulama’ berbeda pendapat terkait hal ini,
ada sebagian ulama’ yang melarang dan ada yang memperbolehkannya seperti Abu
Hasan Ibn Abi al-Hasan yang mengatakan bahwa ‘iddah bukanlah apa-apa melainkan
sekedar hak suami, sehingga istri yang ditinggal boleh berhias dan memakai parfum.
Pembaharuan Hukum ‘iddah
dan ih}da>d.
1.
Pandangan kaum
aktifis gender terhadap ketentuan ‘iddah dan ih}da>d.
Keadilan yang dibawa Islam juga bisa dirasakan oleh
perempuan yang bercerai dan pisah dari suaminya di dalam masa ‘iddah tidak
seperti habis manis sepah dibuang. Perempuan yang diceraikan masih berhak atas
nafkah dan tempat tinggal, serta tidak boleh disakiti secara fisik maupun
psikis (Q.S. at-Talaq 65: 6).
Dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan,
keadilan meniscayakan tidak adanya diskriminasi, tidak adanya kecondongan ke
arah jenis kelamin tertentu dan pengabaian jenis kelamin yang lain.[26]
Keadilan juga memberikan bobot yang sepadan antara hak dan kewajiban di antara laki-laki
dan perempuan. Keadilan tidak meletakkan perempuan pada pihak yang lebih
rendah, dan berada di bawah dominasi dan kekuatan laki-laki. Pada saat yang
sama, keadilan juga tidak memberi kesempatan laki-laki untuk berbuat seperti
penguasa yang mempunyai hak penuh atas diri perempuan. Keadilan memang tidak
menafikan perbedaan antara keduanya, namun keadilan sama sekali tidak
menghendaki perbedaan itu dijadikan alasan untuk membeda-bedakan. Inilah
prinsip keadilan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bisa dibaca
dalam al-Qur’an dan hadis.[27]
Dari segi kronologi, ayat-ayat al-Qur’an tentang ‘iddah,
baik menurut versi kesarjanaan Islam, maupun Barat, termasuk ayat-ayat yang
diturunkan dalam periode Madinah atau pasca Hijrah.[28]
Dengan demikian, konteks historis yang melatarbelakangi ketentuan ‘iddah
terjadi di dalam masyarakat Arabia, khususnya Makkah dan Madinah sesudah
Hijrah. Pada saat hijrah, masyarakat Arabia sedang berada dalam peralihan dari matrilineal
ke patrilineal. Akan tetapi, pada saat itu, untuk mengetahui garis
keturunan ayah, seorang anak tampaknya sulit karena di dalam masyarakat
Arabia sering terjadi perceraian dengan perkawinan kembali
dalam waktu dekat.
Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi pada saat itu belum memungkinkan untuk mendeteksi kehamilan dalam
waktu singkat dengan hasil akurat, atau melacak asal-usul keturunan seseorang melalui
tes DNA seperti sekarang. Tujuan ‘iddah adalah untuk mengetahui kebersihan
rahim sehingga apabila terjadi kehamilan nasabnya tidak tercampur. Pada saat
ayat diturunkan, situasi di Arab belum ada perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi canggih seperti alat tes kehamilan yang bisa mendeteksi kehamilan
dalam waktu satu minggu pasca hubungan suami istri dan tes DNA, yang bisa
melacak asal-usul keturunan seperti sekarang ini.[29]
Tujuan ‘iddah, sebagaimana untuk mengetahui
kebersihan rahim, untuk beribadah, untuk rekonsiliasi bagi talak raj’i dan
untuk berkabung bagi ‘iddah wafat. Namun demikian, dalam konteks budaya patriarkhal
saat itu, para ulama’ dan mufassir semua laki-laki bisa jadi tujuan ‘iddah
terutama untuk mengetahui kehamilan. Karena dalam budaya androsentris tersebut,
maka perempuan dipandang menurut kegunaan mereka bagi laki-laki, terutama untuk
melakukan reproduksi. Jika memang demikian kerangka berpikirnya, maka ‘iddah
hanya dipahami terkait dengan seks (jenis kelamin), dan hanya perempuan yang
memiliki rahim serta mengalami kehamilan sehingga logis apabila ‘iddah
diberlakukan hanya bagi perempuan.[30]
Kalau tujuan ‘iddah hanya mengetahui
kebersihan rahim, seyogyanya dengan satu kali haid sudah menunjukkan perempuan
itu tidak hamil. Lalu, apa maksud perempuan yang dicerai harus menunggu tiga
kali haid atau tiga kali suci, dan tiga bulan bagi yang belum haid atau yang
menopause, dan empat bulan sepuluh hari bagi perempuan yang ditinggal mati
suaminya?
Dalam kondisi yang demikian, kewajiban ‘iddah
yang diiringi dengan kewajiban nafkah (mut}’ah) atas suami terhadap para istri yang
dicerai selama dalam masa ‘iddah (Q.S. al-Baqarah (2): 236-7, 240-241,
Q.S. al-Ahzab (33): 49.), dapat memberikan perlindungan ekonomi pasca
perceraian bagi para perempuan pada saat ayat diturunkan. Dapat dikatakan bahwa
di antara maksud lain ketentuan ‘iddah adalah untuk meringankan beban ekonomi
perempuan yang dicerai. Apabila ketentuan nafkah pasca cerai tidak diberikan
oleh suami, maka akan memperberat kondisi istri, apalagi jika sedang hamil.
Perlu digarisbawahi, untuk konteks saat ini,
perempuan sudah banyak yang mandiri, tidak lagi menggantungkan ekonomi pada
suaminya. Namun demikian, pemberlakuan ‘iddah hanya bagi perempuan perlu adanya
keseimbangan agar laki-laki tidak serta merta menikah tanpa mempertimbangkan keadaan
istri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa demi terciptanya keharmonisan
relasi laki-laki dan perempuan, juga keadilan‘ iddah harus diperhatikan, baik
laki-laki maupun perempuan. Hal itu terutama bila dilihat dari tujuan ‘iddah
untuk rekonsiliasi dan tafajju’, laki-laki dan perempuan harus saling terlibat sebab
kalau hanya perempuan saja yang melaksanakan ‘iddah dan laki-laki tidak hal tersebut
tidak adil.
Relevansi ini diharapkan menemukan ajaran yang
sejati, original dan memadai dengan situasi yang dihadapi saat ini.[31]
Setidaknya, ada dua hal yang menjadi acuan sekaligus sebagai bahan pertimbangan
dalam memahami makna ‘iddah. Pertama, saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, khususnya dalam bidang kedokteran telah memungkinkan untuk
mengetahui kehamilan dalam waktu singkat dengan hasil yang akurat. Kedua,
seiring dengan semakin majunya cara berpikir manusia, maka semakin menggema dan
dahsyatnya suara-suara yang menggugat berbagai ketidakadilan gender di
masyarakat yang dialami oleh laki-laki atau perempuan, hanya saja dibandingkan
laki-laki, perempuan lebih banyak mengalami ketidakadilan, terutama dalam
pemenuhan hak asasi mereka.[32]
2.
Teori batas maksimal (h}ad al-a’la>) dan batas
minimal (h}ad al-adna>)
Kesimpulan
Dari
pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa seorang wanita yang
diceraikan suaminya, baik cerai hidup ataupun cerai mati wajib hukumnya untuk
melaksanakan ketentuan ‘iddah yang waktunya telah ditentukan, yaitu tiga
kali suci, tiga bulan, empat bulan sepuluh hari, dan sampai melahirkan
kandungan. Selain itu mereka juga harus berusaha memenuhi ketentuan-ketentuan
lain yang ada di dalamnya, seperti tinggal dirumah, tidak menerima pinangan,
tidak menyembunyikan kondisi bahwa dia sedang hamil.
Terkait
dengan wanita karir yang dalam masa ‘iddah dan beraktivitas di luar
rumah, Islam memperbolehkan wanita beraktivitas di luar rumah asalkan ada
alasan syar’i “darurat”, akan tetapi diharuskan tetap menjaga kehormatan diri
dengan tidak berlebihan dalam memakai parfum, perhiasan, make up, yang bisa
menarik perhatian laki-laki. Meskipun alasan darurat ini juga masih
diperselisihkan, karena darurat itu digunakan hanya sekali saja. Akan tetapi
sebagai wanita karir/PNS, keluarnya mereka dari rumah bukanlah hanya sekali
saja, namun bisa saja setiap hari kerja.
DAFTAR
PUSTAKA
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an.
Cet.1 Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005.
Barlas, Asma. Cara Qur’an membebaskan Perempuan.
terj. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Bujaira>mi>. Tuh}fat al-H{abi>b
‘Ala> Syarh} al-Khat}i>b. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta:
Depag RI, 1984.
Halen Varney dkk. Buku Ajar Asuhan Kebidanan.
Edisi IV. ter. Ana Lusyana dkk. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003.
Huda Nur “Melacak akar Ketidakadilan Gender dalam
Islam: Telaah Terhadap Hadis Suwargo Nunut Neroko Katut”, dalam Erwati Aziz
(Ed.), Relasi Gender dalam Islam. Sukoharjo: PSW Stain Surakarta Press,
2002.
Ilyas, Hamim “Kontekstualisasi Hadis dalam Studi
Gender dan Islam” dalam Siti Ruhaini Duhayatin dkk, Rekonstruksi Metodologis
Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Cet 1. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan
Kalijaga, McGill-ICHIEP dan Pustaka Pelajar, 2002.
Katsi>r, Ibnu. Tafsi>r Al-Qur’a>n
al-‘Az\i>m. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997.
Kementarian Agama RI. Tafsir Al-Qur’an Al-Qur’an
Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan. Jakarta: tp, 2012.
Mulia, Siti Musdah. Muslimah Reformis Perempuan
Pembaharu Keagamaan. Cet.I. Bandung: Mizan, 2005.
Munawir, A. Warson. Kamus Al-Munawir.
Surabaya: Pustaka, 1995.
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum
Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih,
UU. No. 1/1974 sampai KHI). Jakarta: Kencana, 2004.
Qurt}u>bi>. Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m
al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Kutub Al-Misriyyah, 1996.
Quttub, Sayyid. Tafsi>r Fi> Zila>l
al-Qur’a>n. Beirut: Da>r
al-Fikr,
1986.
S}a>bu>ni>. Rawa>i’ al-Baya>n
fi> tafsi>r aya>t al-ah}ka>m. Beirut: Da>r al-Fikr, 1998.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Bandung:
Pustaka Pelajar, 1997.
Sindo, Asril Dt. Paduko. “Iddat dan Tantangan
Teknologi Modern”, dalam Chuzaimah T.
Yanggo (Ed.). Problematika Hukum Islam Kontemporer I. Cet. IV Jakarta: Pustaka Firdaus dan LSIK, 2004
Sudarmanto. Kinerja dan Pengembangan Kompetensi
Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Syamsuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia (Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan). Jakarta:
Kencana, 2011.
T{abari>.
Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l
al-Qur’a>n. Kairo: Ar-Risalah, 2000.
Tasrif, Muh. Konsep Pluralisme Dalam Al-Qur’an:
Telaah Penafsiran Nurcholish Madjid atas Ayat-Ayat Al-Qur’an tentang Pluralisme.
Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2016.
Triswanto, Sugeng Dwi. God’s Code In The DNA
(Kode Tuhan di dalam DNA). Yogyakarta: Trilateral Publisher, 2008.
Zuhaili>, Wahbah. Tafsi>r al-Waji>z.
Beirut: Da>r Ihya>’al-tura>t{ al-’Ara>bi, tt.
[1] Sudarmanto, Kinerja dan
Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), 244.
[2] Amir Syamsuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia (Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan), (Jakarta:
Kencana, 2011), 308-309.
[3] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih,
UU. No. 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2004), 255.
[4] Muh. Tasrif, Konsep
Pluralisme Dalam Al-Qur’an: Telaah Penafsiran Nurcholish Madjid atas Ayat-Ayat
Al-Qur’an tentang Pluralisme, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2016), 329.
[5] Depag RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1984), 64.
[6] Qurt}u>bi>, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m
al-Qur’a>n, Juz XVIII, (Beirut: Da>r al-Kutub Al-Misriyyah, 1996),
147.
[7] Ibnu Katsi>r, Tafsi>r
Al-Qur’a>n al-‘Az\i>m, Juz VIII, (Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1997), 165.
[8] At}-T{abari>,
Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l
al-Qur’a>n, Juz XXIII, (Kairo: Ar-Risalah, 2000), 431.
[9] A. Warson Munawir, Kamus
Al-Munawir, (Surabaya: Pustaka ,1995), 903-904.
[10] Al-Bujaira>mi>, Tuh}fat al-H{abi>b ‘Ala>
Syarh} al-Khat}i>b, Juz IV, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1995), 41.
[11] Yaitu hubungan seksual yang dilakukan pada tempat
yang telah ditentukan, sehingga jika seseorang melakukan liwath atau hubungan
seksual sejenis, maka hal tersebut tidak mengakibatkan apa-apa.
[12] Menurut madzhab Hanafi, apabila suami istri berada
dalam sebuah ruangan yang tertutup/terkunci dari dalam, maka sudah dapat
dipastikan terjadi hubungan seksual yang menjadikan syarat wajibnya ‘iddah.
[13] Menstruasi
dimaksudkan dengan saat seorang wanita mengeluarkan darah pada periode tertentu
dalam keadaan sehat. Darah tersebut berasal dari lubang uterine. Dan
siklus haid berkisar antara 28 hingga 35 hari. Dengan masa menstruasi berkisar
antara tiga hari sampai satu minggu, dalam hal ini tergantung kondisi wanita
tersebut. Halen Varney dkk., Buku Ajar
Asuhan Kebidanan, Edisi IV, ter. Ana Lusyana dkk, (Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2003), 169.
[14] Depag RI, Al-Qur’an…,
[15] Ash-S}a>bu>ni>, Rawa>i’
al-Baya>n fi> tafsi>r aya>t al-ah}ka>m, Juz I, (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1998), 87.
[16] Qurt}u>bi>, Al-Ja>mi’ …, Juz XVIII,
147.
[17] Depag RI, Al-Qur’an…,
[18] Istihadhah adalah keluarnya
darah dari kemaluan perempuan karena adanya penyakit atau sesuatu yang
menyebebkan peredaran siklus menstruasi seseorang menjadi tidak teratur.
[19] Depag RI, Al-Qur’an…,
hlm. 361.
[22] Wahbah Zuhaili>, Tafsi>r
al-Waji>z, (Beirut: Da>r Ihya>’al-tura>t{ al-’Ara>bi,
tt), 423.
[24] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, (Bandung: Pustaka Pelajar, 1997), 267.
[25] Kementarian Agama RI, Tafsir
Al-Qur’an Al-Qur’an Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan, (Jakarta: tp,
2012), 79.
[26] Nur Huda “Melacak akar Ketidakadilan Gender dalam
Islam: Telaah Terhadap Hadis Suwargo Nunut Neroko Katut”, dalam Erwati Aziz (Ed.),
Relasi Gender dalam Islam (Sukoharjo: PSW Stain Surakarta Press, 2002),
136.
[27] Asma Barlas, Cara Qur’an
membebaskan Perempuan, terj. R.
Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), 254.
[28] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an,
Cet.1 (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), 103-122.
[29]
Sugeng Dwi
Triswanto, God’s Code In The DNA (Kode Tuhan di dalam DNA), (Yogyakarta:
Trilateral Publisher, 2008), 12.
[30] Asril Dt. Paduko Sindo, “Iddat
dan Tantangan Teknologi Modern”, dalam Chuzaimah T. Yanggo (Ed.), Problematika Hukum Islam
Kontemporer I, Cet. IV (Jakarta:
Pustaka Firdaus dan LSIK, 2004), 188-189.
[31] Hamim Ilyas, “ Kontekstualisasi
Hadis dalam Studi Gender dan Islam” dalam Siti Ruhaini Duhayatin dkk,
Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Cet 1
(Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICHIEP dan Pustaka Pelajar, 2002),
hal. 170, 180.
[32] Siti Musdah Mulia, Muslimah
Reformis Perempuan Pembaharu Keagamaan, Cet.I (Bandung: Mizan, 2005), 219.
Komentar
Posting Komentar