'Iddah perspektif gender

 ‘IDDAH DAN IH{DA<D WANITA KARIR
PERPEKTIF KEADILAN GENDER

Pendahuluan
Dalam perkembangan modern dewasa ini, banyak kaum wanita yang aktif di berbagai bidang, baik politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, olahraga, ketentaraan, maupun bidang-bidang lainnya. Hampir di setiap sektor kehidupan umat manusia, wanita sudah terlibat; tidak hanya dalam pekerjaan-pekerjaan ringan, tetapi juga dalam pekerjaan-pekerjaan yang berat, seperti sopir taksi, tukang parkir, buruh bangunan, kuli panggul, dan lain-lain. Mereka bekerja siang dan malam demi memenuhi tuntutan kebutuhan anak dan keluarganya.
Akan tetapi dalam realita hidup bermasyarakat seperti di pulau Jawa, antara pria dan wanita hampir tidak ada bedanya, mereka bekerjasama bahu-membahu dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tidak jarang justru sang wanita yang menjadi penopang kehidupan keluarga meski hal itu  bukan atas inisiatifnya, tetapi atas dasar mentaati perintah suami. Sementara kaum pria hanya berpangku tangan menanti kiriman/gaji dari istri sebagai karyawan, PRT/TKW, PNS atau yang lainnya.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, kaum wanita mulai merasa nyaman dengan profesi sebagai wanita karir yang digelutinya daripada harus duduk diam di rumah. Wanita karir adalah wanita sibuk, wanita pekerja, yang waktu dan pelaksanaanya kadang-kadang lebih banyak di luar rumah dari pada di dalam rumah.[1] Karir/kesibukan yang dimaksud disini mencakup segala hal yang bergerak di sektor domestik-non domestik, swasta, dan negeri (PNS). Demi karir dan prestasi, tidak sedikit wanita yang bekerja siang dan malam tanpa mengenal lelah.
Bahkan tidak jarang para wanita karir lebih rela meninggalkan kewajiban mereka di rumah seperti mendidik dan merawat anak serta mengurus rumah tangga dari pada meninggalkan pekerjaannya. Urusan tanggung jawab mengurus anak dan rumah tangga diserahkan pada pembantu yang sering kali juga wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) baik di dalam maupun di luar negeri (TKW).
Kemudian beberapa permasalahan mulai timbul manakala wanita karir tersebut seorang wanita muslimah yang tiba-tiba saja ditinggal mati suaminya ataupun diceraikan suaminya. Karena Islam telah membuat aturan yang sedemikian detail, termasuk masalah perkawinan, perceraian, hak dan kewajiban masing-masing serta akibat hukum yang timbul setelahnya. Di antaranya adalah kewajiban melaksanakan ‘iddah dan ihdad/berkabung yang tatacara dan waktunya telah ditentukan dengan jelas, tidak boleh keluar rumah, berhias, memakai pakaian yang menarik apalagi full press body dan trasparan, memakai parfum dan lain-lain.[2] Akan tetapi dalam prakteknya banyak wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah dan ihdad yang tetap keluar rumah, memakai parfum, memakai pakaian dinas yang menarik, dan ber-make up dengan alasan pekerjaan.[3]
Dalam mendapatkan pemahaman dan pembahasan terhadap sebuah ajaran, pendekatan yang paling tepat adalah dengan pendekatan tematik/topical yang disebut dengan istilah mawd}u>’i. Menurut Al-Farma>wi> sebagaimana dikutip Muh. Tasrif, metode yang digunakan adalah dengan langkah:[4]
1.      Memilih tema tertentu, akan tetapi tema dalam tulisan ini sudah ditentukan pembagiannya pada awal kuliah yaitu masalah ‘iddah dan ih}da>d.
2.      Mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan tema yang dibahas, yaitu mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan denagan tema ‘iddah dan ih}da>d.
3.      Menyusun ayat-ayat sesuai dengan urutan turunnya dan memperhatikan asba>b nuzu>l al-aya>t.
4.      Memaparkan ayat dalam konteks munasabhnya dalam suratnya masing-masing.
5.      Menyusun struktur atau kerangka yang tepat dan sistematis sehingga unsur-unsurnya saling menopang.
6.      Melengkapi kajian dengan hadits-hadits Nabi SAW.
7.      Mengkaji secara tematik-sistematik, sehingga semuanya berada dalam satu irama tanpaadanya kontradiksi dan pemaksaanmakna tertentu terhadap ayat secara tidak semestinya.


Beberapa ayat yang menerangkan tentang ‘iddah dan ketentuan-ketentuan didalamnya berdasarkan kata kunci pencarian تربص, عدة, أجل, serta bentuk lain dari kalimat tersebut, maka ditemukan beberapa ayat antara lain:
1.      Surat al-Baqarah (2) ayat 228:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
2.      Surat al-Baqarah (2) ayat 234:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ
3.      Surat al-Talaq (65) ayat 1-4:
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# #sŒÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù  ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6­/u ( Ÿw  Æèdqã_̍øƒéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ Ÿwur šÆô_ãøƒs HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 Ÿw Íôs? ¨@yès9 ©!$# ß^Ïøtä y÷èt/ y7Ï9ºsŒ #\øBr& ÇÊÈ #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& £`èdqä3Å¡øBr'sù >$rã÷èyJÎ/ ÷rr& £`èdqè%Í$sù 7$rã÷èyJÎ/ (#rßÍkô­r&ur ôursŒ 5Aôtã óOä3ZÏiB (#qßJŠÏ%r&ur noy»yg¤±9$# ¬! 4 öNà6Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. ÚÆÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! %[`tøƒxC ÇËÈ çmø%ãötƒur ô`ÏB ß]øym Ÿw Ü=Å¡tFøts 4 `tBur ö@©.uqtGtƒ n?tã «!$# uqßgsù ÿ¼çmç7ó¡ym 4 ¨bÎ) ©!$# à÷Î=»t/ ¾Ín̍øBr& 4 ôs% Ÿ@yèy_ ª!$# Èe@ä3Ï9 &äóÓx« #Yôs% ÇÌÈ Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͐öDr& #ZŽô£ç ÇÍÈ
4.      Surat al-Ahzab (33) ayat 49:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ|  WxŠÏHsd ÇÍÒÈ


Paparan Ayat
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# #sŒÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù  ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6­/u ( Ÿw  Æèdqã_̍øƒéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ Ÿwur šÆô_ãøƒs HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 Ÿw Íôs? ¨@yès9 ©!$# ß^Ïøtä y÷èt/ y7Ï9ºsŒ #\øBr& ÇÊÈ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.[5]

Asba>b al-nuzu>l
Ayat tersebut merupakan ayat yang pertama turun dalam hal pensyari’atan ketentuan ‘iddah, akan tetapi ulama’ tafsir berbeda pendapat tentang asba>b al-nuzu>l dan orang-orang yang terkait di dalamnya. Terkait dengan kata “ÓÉ<¨Z9$#$pkšr'¯»tƒ”, mayoritas ulama tafsir mengatakan bahwa meskipun khitab dari kata tersebut adalah Nabi Muhammad SAW., selaku pembawa risalah, akan tetapi yang dikehendaki adalah seluruh umat Islam.
Al-Qurt}u>bi> berpendapat bahwa ayat ini turun pada (kejadian) Asma>’ binti Sakan al-Ans}a>ri> sebagaimana diceritakan dalam Sunan Abi> Da>wud bahwasanya Asma>’ diceraikan suaminya dan pada saat itu belum ada ketentuan tentang ‘iddah.  Maka kemudian Allah menurunkan ayat ini, sehingga Asma>’ adalah orang pertama yang menjalani masa ‘iddah dalam Islam.[6]
وَيَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ هَذَا الْقَوْلِ نُزُولُ الْعِدَّةِ فِي أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ بْنِ السَّكَنِ الْأَنْصَارِيَّةِ. فَفِي كِتَابِ أَبِي دَاوُدَ عَنْهَا أَنَّهَا طُلِّقَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَمْ يَكُنْ لِلْمُطَلَّقَةِ عِدَّةٌ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى حِينَ طُلِّقَتْ أَسْمَاءُ بِالْعِدَّةِ لِلطَّلَاقِ، فَكَانَتْ أَوَّلَ مَنْ أُنْزِلَ فِيهَا الْعِدَّةُ لِلطَّلَاقِ.

Sedangkan ibnu Kasir dan Ibnu al-‘Arabi mengatakan bahwa ayat ‘iddah tersebut turun atas kasus Hafs}ah yang ditalak oleh Nabi SAW., karena Nabi marah tatkala Beliau menceritakan sesuatu hal dan tidak boleh disampaikan kepada siapapun. Akan tetapi Hafs}ah menceritakan hal itu kepada ‘Aisyah, maka Nabi menceraikannya dan kemudian Hafs}ah pulang kepada keluarganya. Maka kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi untuk meruju’nya, karena dia adalah istri yang rajin berpuasa dan sholat malam serta salah satu istri Nabi kelak di surga.[7]
"طَلَّقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَفْصَةَ فَأَتَتْ أَهْلَهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تعالى: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} فَقِيلَ لَهُ: رَاجِعْهَا، فَإِنَّهَا صَوَّامَةٌ قَوَّامَةٌ، وهي من أزواجك ونسائك في الجنة" (أخرجه ابن أبي حاتم) . وروى البخاري أن عبد الله بن عمر طَلَّقَ امْرَأَةً لَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَذَكَرَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَغَيَّظَ رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قَالَ: «لِيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ فَتَطْهُرَ، فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ التي أمر بها الله عزَّ وجلَّ» (كَمَا قَالَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ ومجاهد وعكرمة وغيرهم) . وفي رواية لهم: «فتلك عدة الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ»"
As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini turun atas perbuatan Ibnu Umar yang menceraikan istrinya dengan talak satu pada saat menstruasi, maka Nabi memerintahkannya untuk meruju’nya kembali dan menahannya sampai dua kali masa suci. Dan jika setelah itu tetap menghendaki perceraian, maka barulah dicerai dalam keadaan suci akan tetapi tidak melakukan hubungan suami istri pada masa suci tersebut. Kemudian beberapa orang ikut-ikutan melakukan seperti apa yang dilakukan Ibnu Umar, mereka adalah Abdullah ibn Amr Abn ‘ash, Umar Ibn Sa’id Ibn ‘Ash dan ‘Utbah Ibnu Ghazwan.[8]
وَقَالَ السُّدِّيُّ: نَزَلَتْ فِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، طَلَّقَ امْرَأَتَهُ حَائِضًا تَطْلِيقَةً وَاحِدَةً فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَنَّ يُرَاجِعَهَا ثُمَّ يُمْسِكَهَا حَتَّى تَطْهُرَ وَتَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا حِينَ تَطْهُرُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُجَامِعَهَا. فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ. وَقَدْ قِيلَ: إِنَّ رِجَالًا فَعَلُوا مِثْلَ مَا فَعَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، مِنْهُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، وَعَمْرُو بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ، وَعُتْبَةُ بْنُ غَزْوَانَ، فَنَزَلَتِ الْآيَةُ فِيهِمْ.
Kandungan Hukum
1.    Pengertian, hukum , dan sebab terjadinya ‘iddah.
Secara bahasa ‘iddah berasal dari bahas Arab “العدة” yang berarti “menunggu”. Kata ini identik dengan kata “التربص” dan ”الإنتظار”/penantian, “الإحصاء”/perhitungan, bilangan, hitungan, dan “الجملة”, (se)jumlah.[9] Sedangkan secara istilah ‘iddah adalah sebutan bagi masa tunggu yang digunakan oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya kandungan dari kehamilan atau murni untuk keperluan ibadah atau untuk berkabung atas meninggalnya suami.[10]
Seorang wanita wajib menjalani masa ‘iddah dikarenakan putusnya ikatan tali perkawinan dengan suaminya, baik karena kematian, t}ala>q (perceraian), fasakh (pembatalan perkawinan).‘Iddah menjadi wajib apabila antara suami dan istri telah terjadi hubungan seksual (ba’da dukhu>l) yang wajar[11], atau paling tidak sudah ada kesempatan untuk itu dengan berkhalwat[12] dalam satu ruangan (kamar). Apabila hal tersebut belum terjadi maka tidak ada kewajiban ber’iddah bagi seorang wanita.
2.      Klasifikasi masa ‘iddah.
Masa ‘iddah antara satu wanita dengan wanita lain berbeda-beda, sesuai dengan keadaan dan sebab yang melatarbelakanginya.
a.         Wanita yang dit}ala>q (diceraikan).
Wanita yang dicerai dibedakan menjadi dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan t}ala>q raj’i> (cerai yang masih bisa diruju’ kembali sebelum masa ‘iddahnya habis) dan wanita yang dicerai dengan t}ala>q ba>’in (talak tiga). Wanita yang di t}ala>q raj’i> harus dilihat dulu kondisinya baru kemudian bisa ditentukan masa ‘iddahnya, karena ada beberapa hal yang menyebabkan perbedaan lamanya masa ‘iddah, yaitu:
1)        Wanita yang dicerai dengan talak raj’i (talak satu dan dua) terbagi menjadi:
a)        Wanita yang masih haidh/menstruasi.
Masa ‘iddah wanita yang masih mengalami menstruasi secara normal pada umumnya[13] maka ‘iddahnya adalah tiga kali suci. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.[14]
Lafadh “الْمُطَلَّقَاتُ” adalah lafadh yang umum, namun demikian yang dikehendaki dari lafadh tersebut adalah khusus pada wanita yang diceraikan dala kondisi telah digauli (ba’da dukhu>l). Karena perceraian sebelum terjadi persetubuhan tidak mengakibatkan adanya kewajiban ber’iddah bagi seorng wanita. Terkait dengan lafadh quru>’ tersebut, ulama’ berbeda pendapat apakah yang dimaksud “suci” ataukah “haid/menstruasi”.
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i, Ibnu ‘Umar, Zaid, ‘Aisah, Ahmad Ibn Hambal dan beberapa ulama’ lain, bahwa yang dimaksud dengan quru’ adalah suci. Sehingga seorang wanita keluar dari masa ‘iddah ketika memasuki waktu haidh yang ketiga.
Sedangkan ‘Ali, ‘Umar ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, Abu Hanifah, Sufyan Tsauri, Al-Auza’i berpendapat sebaliknya, bahwa yang dimaksud dengan quru’ adalah haidh. Mereka mendasarkan pendapatnya pada sabda Nabi SAW. pada Fatimah binti Habsy:
دَعِيْ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ
“Tinggalkan shalat selama masa-masa haidhmu”.
Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah terkait istihadlah yang dialami Ummu Habibah:
أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا
Sesungguhnya Ummu Habibah pernah mengalami pendarahan (istihadhah/darah penyakit), lalu dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan shalat pada hari-hari quru’nya (haidhnya).

Dari dua hadits diatas maka dapat dipahamai, bahwa makna quru’ adalah haidh, karena ketika sedang mengalami haidh, seorang wanita dilarang melaksanakan sholat. Oleh karena ‘Ali ash-Shabuni berpendapat definisi kelompok kedua lebih unggul dari sisi makna, karena meskipun kalam ayat tersebut adalah kalam khabar, bukan berarti hal itu tidak mengandung arti hukum jika ada seorang wanita yang tidak ber’iddah.[15]
Oleh karena itu Ibnul Qayyim merajihkan pendapat ini dan mengatakan, “Lafazh quru’ tidak digunakan dalam syariat kecuali untuk pengertian haidh dan tidak ada satu pun digunakan untuk pengertian suci, sehingga memahami pengertian quru’ dalam ayat ini dengan pengertian yang sudah dikenal dalam bahasa syariat lebih baik. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang kena darah istih}a>d}ah Wanita yang tidak menstruasi, baik karena belum waktunya (belum baligh) atau karena sudah manopause .
Akan tetapi Qurtuubi dalam tafsirnya Al-Ja>mi Li Ah}ka>m al-Qur’a>n mengatakan bahwa yang dimaksud dengan quru’ adalah suci, meskipun nantinya seorang wanita hanya menajalani dua kali suci dan sebagian dari suci yang ketiga sebagaimana kata “asyhur” dalam perintah melaksanakan ibadah haji.[16]
b)        Wanita yang belum dan/ sudah tidak lagi haidh.
Bagi wanita yang tidak dan/ belum menstruasi maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan. Hal ini bardasarkan firman Allah dalam surat al-Talaq (65) ayat 4:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.”[17]

Ayat ini sebagai nasyakh atau pengecualian dari ayat pertama yang memuat ‘iddah secara umum, yaitu tiga kali suci. Seseorang mengalami menstruasi rata-rata pada umur 15 tahun, dan kemudian hal itu berhenti ketika memasuki usia 55 tahun. Akan tetapi batasan umur seperti itu tidak lagi sesuai dengan kondisi pada zaman sekarang ini, karena tidak sedikit anak dibawah umur 15 tahun sudah mengalami menstruasi. Demikian pula sebaliknya, wanita yang sudah berumur lebih dari 55 tahun terkadang juga masih ada yang mengalami menstruari.
c)        Wanita yang dicerai dalam kondisi hamil.
Apabila seorang wanita diceraikan suaminya padahal dia sedang dalam kondisi hamil, maka masa ‘iddahnya adalah sampai dengan melahirkan anak yang dikandung. Ketentuan hukum ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Talaq (65) ayat 4:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.

Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang berkaitan dengan kejadian yang dialami Umu Salamah:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى فَخَطَبَهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنْكِحِيهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ فَمَكُثَتْ قَرِيبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمَّ جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ انْكِحِي
“Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, “Demi Allâh, dia tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menikahlah!

d)       Wanita yang sedang mengalami istihadhah.[18]
Wanita yang dicerai apabila dalam kondisi istihadhah maka masa ‘iddahnya sama dengan wanita yang haidh. Kemudian bila ia memiliki kebiasaan haidh yang teratur maka wajib baginya untuk memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan suci. Apabila telah berlalu tiga kali haidh maka selesailah iddahnya.
2)        Wanita yang ditalak tiga (talak ba’in).
Wanita yang telah di talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wanita yang dicerai dengan tiga kali talak, masa iddahnya sekali haidh.
b.      Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
Seorang wanita yang mengalami putus perkawinan karena ditinggal mati suaminya, maka masa ‘iddahnya adalah selama empat bulan sepuluh hari. Hal tersebut merupakan bentuk berkabung/bela sungkawa atau keprihatinan atas meninggalnya sang suami, yang dalam agama Islam disebut sebagai ihdad. Hal ini berdasarkan atas firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 234:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah maha mengetahui apa yang kamu perbuat”.

Seorang wanita yang ditinggal mati suaminya selain harus menjalani ‘iddah wafat juga harus meninggalkan beberapa kegiatan yang lumrah dilakukan seoran wanita, yaitu bersolek, menyisir rambut, bepergian keluar rumah, dan menerima pinangan dari laki-laki lain. Hal ini merupakan bentuk penghormatan istri terhadap suaminya yang telah meninggal, sehingga sangat tidak pantas seorang wanita yang baru saja ditinggal suaminya keluar rumah dengan dandanan yang menor dan menarik perhatian laki-laki lain untuk mendekatinya.
3.      Hikmah disyari’atkannya ‘iddah.
  1. Murni sebagai bentuk ketaatan manusia pada Allah (ta’abbud)
  2. Menunjukkan betapa mulia dan agungnya syari’at pernikahan.
  3. Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk merenung dan berfikir kembali, antara melanjutkan perpisahan ataukah ruju’ kembali.
  4. Untuk menjaga hak-hak suami.
  5. Untuk mengetahui tidak adanya janin dalam kandungan istri.
  6. Khusus bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, ‘iddah merupakan sarana untuk berkabung atas meninggalnya suami.
4.      Hak dan kewajiban wanita dalam masa ‘iddah.
a.       Hak-hak wanita dalam masa ‘iddah.
Wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah dan ihdad, berhak mendapatkan:

1)      Nafkah.
Seoarang wanita yang diceraikan atau ditinggal mati suaminya, berhak atas nafkah bagi dirinya dan anak-anaknya selama menajalani masa ‘iddah. Nafkah disini termasuk biaya pendidikan, makan, kesehatan dan kebutuhan-kebutuhan lain yang memerlukan biaya.
2)      Pakaian.
Seorang wanita yang menjalani masa ‘iddah berhak mendapatkan pakaian yang layak dari mantan suaminya untuk menutupi aurat.
3)      Tempat tinggal.
Selama menjalani masa ‘iddah, seorang wanita berhak dan bahkan wajib untuk mendapatkan tempat tinggal dan dia tidak diperkenankan meninggalkan tempat itu serta tidak boleh diusir kecuali jika dia melakukan perbuatan tercela/menyimpang seperti zina.
b.      Kewajiban-kewajiban wanita dalam masa ‘iddah.
Bagi wanita yang menjalani masa ‘iddah baik ‘iddah talaq maupun ‘iddah wafat, harus melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan syara’ agar hak-haknya dapat diperoleh. Kewajiban-kewajiban itu adalah:
1)      Kewajiban tetap berada dirumah, tempat dia dan suaminya tinggal.
Tentang kewajiban tetap berada dirumah ini, didasarkan pada surat Al-Talaq (65) ayat 1:
...Ÿw  Æèdqã_̍øƒéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ Ÿwur šÆô_ãøƒs HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 ... ÇÊÈ
“…janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang….[19]

Namun demikian para ulama’ berbeda pendapat tentang ketidakbolehan wanita yang sedang dalam masa ‘iddah untuk beraktivitas di luar rumah. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa seorang wanita dilarang beraktivitas diluar rumah dengan alas an apapun, terlebih saat dia menjalani masa ‘iddah dan ihdad.
Perbedaan pendapat ini berawal dari perbedaan pemaknaan dan penafsiran firman Allah dalam surat Al- Ahzab ayat 33:
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/ Ÿwur šÆô_§Žy9s? ylŽy9s? Ïp¨ŠÎ=Îg»yfø9$# 4n<rW{$# ( z`ôJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# šúüÏ?#uäur no4qŸ2¨9$# z`÷èÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 $yJ¯RÎ) ߃̍ムª!$# |=ÏdõãÏ9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# Ÿ@÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãƒur #ZŽÎgôÜs? ÇÌÌÈ
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[20]

Dimana sebagian ulama’ menafsirkan bahwa perintah untuk tetap berada dirumah dalam ayat tersebut meskipun redaksinya ditujukan hanya pada istri-istri Nabi, akan tetapi kandungan hukumnya berlaku bagi semua muslimah. Hal ini didasarkan pada pengertian bahwa istri-istri Nabi adalah ibarat ibu dan teladan bagi semua wanita muslimah. Dimana dalam ayat tersebut seorang perempuan tidak boleh keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat yang sangan mendesak, sebagaimana istri-istri Nabi dilarang keluar rumah.
Ibnu Kas{i>r mempunyai pandangan yang sedikit lebih moderat dari pandapat pertama, beliau berpendapat bahwa larangan keluar rumah dalam ayat tersebut ditujukan khsusunya pada istri-istri Nabi dan muslimah lainnya jika tidak ada keperluan yang dibenarkan agama, seperti sholat berjamah dimasjid.[21] Hal ini senada dengan pendapat salah satu ulama’ kontemporer Wahbah Al- Zuhayli> yang mengatakan: “hendaklah seorang wanita tetap tinggal dirumah, jangan sering keluar rumah tanpa ada keperluan yang dibenartkan agama”.[22]
Pandangan berbeda diberikan oleh Sayyid Qutub dan Quraish Shihab, dalam tafsir Fi> Zila>l Al- Qur’a>n Sayid Qutub sebagaimana dikutip Quraish Shihab mengatakan bahwa isyarat untuk tetap tinggal dirumah adalah tugas pokok istri, sedangkan dalam hal selain itu maka diperbolehkan baginya meninggalkan rumah.[23] Sementara Quraish Shihab mengatakan bahwa pada awal islam perempuan juga bekerja ketika kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, namun karena islam cenderung mendorong mereka untuk keluar rumah untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu dan dibutuhkan masyarakat. Misalnya kebutuhan mereka untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya.[24]
Dari sekian pendapat tentang perempuan bekerja yang argumen kebahasaanyan sama kuatnya, maka untuk menetukan arah yang jelas perlu untuk melacak akar sejarahnya. Dalam sejarah awal perkembangan islam banyak sekali perempuan yang berkecimpung dalam kegiatan sosial. Bahkan Imam Bukhari seorang ulama terkemuka secara khusus menuliskan bab tentang beberapa aktivitas sosial kaum perempuan.[25]
Dari realitas sosial tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat tersebut tidaklah membatasi hak kaum perempuan untuk hanya tinggal dirumah saja, menanti sang suami memberinya nafkah yang tidak jarang tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Namun yang perlu diperhatikan bahwa perempuan mempunyai kodrat yang tidak bisa ditinggalkan, yaitu; menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Dan ketiganya tidak bisa diwakilkan, meskipun proses dan pelaksanaannya bisa dimanipulasi melalui rekayasa medis.
Selain itu mantan suami dan keluarganya juga tidak boleh menyuruh keluar dari rumah/mengusir wanita tersebut sampai masa ‘iddahnya berakhir. Akan tetapi apabila wanita tersebut melakukan perbuatan yang sangat tercela, maka diperbolehkan bagi mantan suami dan keluarganya untuk mengusir wanita tersebut dari rumah.

2)      Tidak boleh menyembunyikan kehamilan meskipun umur janin baru beberapa minggu apalagi sampai menggugurkannya (aborsi).
Seorang wanita diharamkan untuk menyembunyikan kondisi kehamilannya saat menjalani masa ‘iddah. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahan penasaban atau percampuran nasab seorang anak. Dalam Islam diharamkan menasabkan seorang anak kepada seseorang yang bukan ayah kandung dari anak tersebut. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$#

3)      Tidak boleh menerima pinangan dari laki-laki lain.
Seorang wanita yang menjalani masa ‘iddah diharamkan menerima pinangan secara jelas dari seorang laki-laki, apalagi sampai menikah dengannya. Hal ini bertujuan untuk menghormati hak-hak suaminya yang terdahulu dan memberi kesempatan untuk rujuk kembali jika merasa perceraian itu dirasakan tidak baik.
4)      Dilarang memakai parfum, pakaian yang gemerlap/menunjukkan lekuk anggota tubuh, make up/berhias,.
Khusus bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, maka dilarang untuk memakai parfum, pakaian yang gemerlap/menunjukkan lekuk anggota tubuh, make up yang dapat menimbulkan rasa tertarik laki-laki lain yang memandang. Hal ini sebagai bentuk rasa berkabung atas meninggalnya suami dan menghormati hak-haknya. Akan tetapi ulama’ berbeda pendapat terkait hal ini, ada sebagian ulama’ yang melarang dan ada yang memperbolehkannya seperti Abu Hasan Ibn Abi al-Hasan yang mengatakan bahwa ‘iddah bukanlah apa-apa melainkan sekedar hak suami, sehingga istri yang ditinggal boleh berhias dan memakai parfum.

Pembaharuan Hukum ‘iddah dan ih}da>d.
1.      Pandangan kaum aktifis gender terhadap ketentuan ‘iddah dan ih}da>d.
Keadilan yang dibawa Islam juga bisa dirasakan oleh perempuan yang bercerai dan pisah dari suaminya di dalam masa ‘iddah tidak seperti habis manis sepah dibuang. Perempuan yang diceraikan masih berhak atas nafkah dan tempat tinggal, serta tidak boleh disakiti secara fisik maupun psikis (Q.S. at-Talaq 65: 6).
Dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan, keadilan meniscayakan tidak adanya diskriminasi, tidak adanya kecondongan ke arah jenis kelamin tertentu dan pengabaian jenis kelamin yang lain.[26] Keadilan juga memberikan bobot yang sepadan antara hak dan kewajiban di antara laki-laki dan perempuan. Keadilan tidak meletakkan perempuan pada pihak yang lebih rendah, dan berada di bawah dominasi dan kekuatan laki-laki. Pada saat yang sama, keadilan juga tidak memberi kesempatan laki-laki untuk berbuat seperti penguasa yang mempunyai hak penuh atas diri perempuan. Keadilan memang tidak menafikan perbedaan antara keduanya, namun keadilan sama sekali tidak menghendaki perbedaan itu dijadikan alasan untuk membeda-bedakan. Inilah prinsip keadilan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bisa dibaca dalam al-Qur’an dan hadis.[27]
Dari segi kronologi, ayat-ayat al-Qur’an tentang ‘iddah, baik menurut versi kesarjanaan Islam, maupun Barat, termasuk ayat-ayat yang diturunkan dalam periode Madinah atau pasca Hijrah.[28] Dengan demikian, konteks historis yang melatarbelakangi ketentuan ‘iddah terjadi di dalam masyarakat Arabia, khususnya Makkah dan Madinah sesudah Hijrah. Pada saat hijrah, masyarakat Arabia sedang berada dalam peralihan dari matrilineal ke patrilineal. Akan tetapi, pada saat itu, untuk mengetahui garis keturunan ayah, seorang anak tampaknya sulit karena di dalam masyarakat Arabia  sering  terjadi perceraian dengan perkawinan kembali dalam waktu dekat.
Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat itu belum memungkinkan untuk mendeteksi kehamilan dalam waktu singkat dengan hasil akurat, atau melacak asal-usul keturunan seseorang melalui tes DNA seperti sekarang. Tujuan ‘iddah adalah untuk mengetahui kebersihan rahim sehingga apabila terjadi kehamilan nasabnya tidak tercampur. Pada saat ayat diturunkan, situasi di Arab belum ada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih seperti alat tes kehamilan yang bisa mendeteksi kehamilan dalam waktu satu minggu pasca hubungan suami istri dan tes DNA, yang bisa melacak asal-usul keturunan seperti sekarang ini.[29]
Tujuan ‘iddah, sebagaimana untuk mengetahui kebersihan rahim, untuk beribadah, untuk rekonsiliasi bagi talak raj’i dan untuk berkabung bagi ‘iddah wafat. Namun demikian, dalam konteks budaya patriarkhal saat itu, para ulama’ dan mufassir semua laki-laki bisa jadi tujuan ‘iddah terutama untuk mengetahui kehamilan. Karena dalam budaya androsentris tersebut, maka perempuan dipandang menurut kegunaan mereka bagi laki-laki, terutama untuk melakukan reproduksi. Jika memang demikian kerangka berpikirnya, maka ‘iddah hanya dipahami terkait dengan seks (jenis kelamin), dan hanya perempuan yang memiliki rahim serta mengalami kehamilan sehingga logis apabila ‘iddah diberlakukan hanya bagi perempuan.[30]
Kalau tujuan ‘iddah hanya mengetahui kebersihan rahim, seyogyanya dengan satu kali haid sudah menunjukkan perempuan itu tidak hamil. Lalu, apa maksud perempuan yang dicerai harus menunggu tiga kali haid atau tiga kali suci, dan tiga bulan bagi yang belum haid atau yang menopause, dan empat bulan sepuluh hari bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya?
Dalam kondisi yang demikian, kewajiban ‘iddah yang diiringi dengan kewajiban nafkah (mut}’ah) atas suami terhadap para istri yang dicerai selama dalam masa ‘iddah (Q.S. al-Baqarah (2): 236-7, 240-241, Q.S. al-Ahzab (33): 49.), dapat memberikan perlindungan ekonomi pasca perceraian bagi para perempuan pada saat ayat diturunkan. Dapat dikatakan bahwa di antara maksud lain ketentuan ‘iddah adalah untuk meringankan beban ekonomi perempuan yang dicerai. Apabila ketentuan nafkah pasca cerai tidak diberikan oleh suami, maka akan memperberat kondisi istri, apalagi jika sedang hamil.
Perlu digarisbawahi, untuk konteks saat ini, perempuan sudah banyak yang mandiri, tidak lagi menggantungkan ekonomi pada suaminya. Namun demikian, pemberlakuan ‘iddah hanya bagi perempuan perlu adanya keseimbangan agar laki-laki tidak serta merta menikah tanpa mempertimbangkan keadaan istri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa demi terciptanya keharmonisan relasi laki-laki dan perempuan, juga keadilan‘ iddah harus diperhatikan, baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu terutama bila dilihat dari tujuan ‘iddah untuk rekonsiliasi dan tafajju’, laki-laki dan perempuan harus saling terlibat sebab kalau hanya perempuan saja yang melaksanakan ‘iddah dan laki-laki tidak hal tersebut tidak adil.
Relevansi ini diharapkan menemukan ajaran yang sejati, original dan memadai dengan situasi yang dihadapi saat ini.[31] Setidaknya, ada dua hal yang menjadi acuan sekaligus sebagai bahan pertimbangan dalam memahami makna ‘iddah. Pertama, saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang kedokteran telah memungkinkan untuk mengetahui kehamilan dalam waktu singkat dengan hasil yang akurat. Kedua, seiring dengan semakin majunya cara berpikir manusia, maka semakin menggema dan dahsyatnya suara-suara yang menggugat berbagai ketidakadilan gender di masyarakat yang dialami oleh laki-laki atau perempuan, hanya saja dibandingkan laki-laki, perempuan lebih banyak mengalami ketidakadilan, terutama dalam pemenuhan hak asasi mereka.[32]
2.      Teori batas maksimal (h}ad al-a’la>) dan batas minimal (h}ad al-adna>)




Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa seorang wanita yang diceraikan suaminya, baik cerai hidup ataupun cerai mati wajib hukumnya untuk melaksanakan ketentuan ‘iddah yang waktunya telah ditentukan, yaitu tiga kali suci, tiga bulan, empat bulan sepuluh hari, dan sampai melahirkan kandungan. Selain itu mereka juga harus berusaha memenuhi ketentuan-ketentuan lain yang ada di dalamnya, seperti tinggal dirumah, tidak menerima pinangan, tidak menyembunyikan kondisi bahwa dia sedang hamil.
Terkait dengan wanita karir yang dalam masa ‘iddah dan beraktivitas di luar rumah, Islam memperbolehkan wanita beraktivitas di luar rumah asalkan ada alasan syar’i “darurat”, akan tetapi diharuskan tetap menjaga kehormatan diri dengan tidak berlebihan dalam memakai parfum, perhiasan, make up, yang bisa menarik perhatian laki-laki. Meskipun alasan darurat ini juga masih diperselisihkan, karena darurat itu digunakan hanya sekali saja. Akan tetapi sebagai wanita karir/PNS, keluarnya mereka dari rumah bukanlah hanya sekali saja, namun bisa saja setiap hari kerja.









DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Cet.1 Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005.
Barlas, Asma. Cara Qur’an membebaskan Perempuan. terj.  R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Bujaira>mi>. Tuh}fat al-H{abi>b ‘Ala> Syarh} al-Khat}i>b. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Depag RI, 1984.
Halen Varney dkk. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Edisi IV. ter. Ana Lusyana dkk. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003.
Huda Nur “Melacak akar Ketidakadilan Gender dalam Islam: Telaah Terhadap Hadis Suwargo Nunut Neroko Katut”, dalam Erwati Aziz (Ed.), Relasi Gender dalam Islam. Sukoharjo: PSW Stain Surakarta Press, 2002.
Ilyas, Hamim “Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Gender dan Islam” dalam Siti Ruhaini Duhayatin dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Cet 1. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICHIEP dan Pustaka Pelajar, 2002.
Katsi>r, Ibnu. Tafsi>r Al-Qur’a>n al-‘Az\i>m. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997.
Kementarian Agama RI. Tafsir Al-Qur’an Al-Qur’an Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan. Jakarta: tp, 2012.
Mulia, Siti Musdah. Muslimah Reformis Perempuan Pembaharu Keagamaan. Cet.I. Bandung: Mizan, 2005.
Munawir, A. Warson. Kamus Al-Munawir. Surabaya: Pustaka, 1995.
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU. No. 1/1974 sampai KHI). Jakarta: Kencana, 2004.
Qurt}u>bi>. Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Kutub Al-Misriyyah, 1996.
Quttub, Sayyid. Tafsi>r Fi> Zila>l al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr, 1986.
S}a>bu>ni>. Rawa>i’ al-Baya>n fi> tafsi>r aya>t al-ah}ka>m. Beirut: Da>r al-Fikr, 1998.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Bandung: Pustaka Pelajar, 1997.
Sindo, Asril Dt. Paduko. “Iddat dan Tantangan Teknologi Modern”, dalam Chuzaimah T.  Yanggo (Ed.). Problematika Hukum Islam Kontemporer I. Cet.  IV Jakarta: Pustaka Firdaus dan LSIK, 2004
Sudarmanto. Kinerja dan Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Syamsuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan). Jakarta: Kencana, 2011.
T{abari>. Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l  al-Qur’a>n. Kairo: Ar-Risalah, 2000.
Tasrif, Muh. Konsep Pluralisme Dalam Al-Qur’an: Telaah Penafsiran Nurcholish Madjid atas Ayat-Ayat Al-Qur’an tentang Pluralisme. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2016.
Triswanto, Sugeng Dwi. God’s Code In The DNA (Kode Tuhan di dalam DNA). Yogyakarta: Trilateral Publisher, 2008.
Zuhaili>, Wahbah. Tafsi>r al-Waji>z. Beirut: Da>r Ihya>’al-tura>t{ al-’Ara>bi, tt.





[1] Sudarmanto, Kinerja dan Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 244.
[2] Amir Syamsuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana, 2011), 308-309.
[3] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU. No. 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2004), 255.
[4] Muh. Tasrif, Konsep Pluralisme Dalam Al-Qur’an: Telaah Penafsiran Nurcholish Madjid atas Ayat-Ayat Al-Qur’an tentang Pluralisme, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2016), 329.
[5] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1984), 64.
[6] Qurt}u>bi>, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, Juz XVIII, (Beirut: Da>r al-Kutub Al-Misriyyah, 1996), 147.
[7] Ibnu Katsi>r, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-‘Az\i>m, Juz VIII, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), 165.
[8] At}-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l  al-Qur’a>n, Juz XXIII, (Kairo: Ar-Risalah, 2000), 431.
[9] A. Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, (Surabaya: Pustaka ,1995), 903-904.
[10] Al-Bujaira>mi>, Tuh}fat al-H{abi>b ‘Ala> Syarh} al-Khat}i>b, Juz IV, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1995), 41.
[11] Yaitu hubungan seksual yang dilakukan pada tempat yang telah ditentukan, sehingga jika seseorang melakukan liwath atau hubungan seksual sejenis, maka hal tersebut tidak mengakibatkan apa-apa.
[12] Menurut madzhab Hanafi, apabila suami istri berada dalam sebuah ruangan yang tertutup/terkunci dari dalam, maka sudah dapat dipastikan terjadi hubungan seksual yang menjadikan syarat wajibnya ‘iddah.
[13] Menstruasi dimaksudkan dengan saat seorang wanita mengeluarkan darah pada periode tertentu dalam keadaan sehat. Darah tersebut berasal dari lubang uterine. Dan siklus haid berkisar antara 28 hingga 35 hari. Dengan masa menstruasi berkisar antara tiga hari sampai satu minggu, dalam hal ini tergantung kondisi wanita tersebut. Halen Varney dkk., Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Edisi IV, ter. Ana Lusyana dkk, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003), 169.
[14] Depag RI, Al-Qur’an…,
[15] Ash-S}a>bu>ni>, Rawa>i’ al-Baya>n fi> tafsi>r aya>t al-ah}ka>m, Juz I, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1998), 87.
[16] Qurt}u>bi>, Al-Ja>mi’ …, Juz XVIII, 147.
[17] Depag RI, Al-Qur’an…,
[18] Istihadhah adalah keluarnya darah dari kemaluan perempuan karena adanya penyakit atau sesuatu yang menyebebkan peredaran siklus menstruasi seseorang menjadi tidak teratur.
[19] Depag RI, Al-Qur’an…, hlm. 361.
[20] Ibid., 672.
[21] Katsi>r, Tafsi>r .., 93.
[22] Wahbah Zuhaili>, Tafsi>r al-Waji>z, (Beirut: Da>r Ihya>’al-tura>t{ al-’Ara>bi, tt), 423.
[23] Sayyid Quttub, Tafsi>r Fi> Zila>l al-Qur’a>n, jilid VIII (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986 ), 7.
[24] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Bandung: Pustaka Pelajar, 1997), 267.
[25] Kementarian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Al-Qur’an Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan, (Jakarta: tp, 2012), 79.
[26] Nur Huda “Melacak akar Ketidakadilan Gender dalam Islam: Telaah Terhadap Hadis Suwargo Nunut Neroko Katut”, dalam Erwati Aziz (Ed.), Relasi Gender dalam Islam (Sukoharjo: PSW Stain Surakarta Press, 2002), 136.
[27] Asma Barlas, Cara Qur’an membebaskan Perempuan, terj.  R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), 254.
[28] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Cet.1 (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), 103-122.
[29] Sugeng Dwi Triswanto, God’s Code In The DNA (Kode Tuhan di dalam DNA), (Yogyakarta: Trilateral Publisher, 2008), 12.
[30] Asril Dt. Paduko Sindo, “Iddat dan Tantangan Teknologi Modern”, dalam Chuzaimah T.  Yanggo (Ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer I, Cet.  IV (Jakarta: Pustaka Firdaus dan LSIK, 2004), 188-189.
[31] Hamim Ilyas, “ Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Gender dan Islam” dalam Siti Ruhaini Duhayatin dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Cet 1 (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICHIEP dan Pustaka Pelajar, 2002), hal. 170, 180.
[32] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaharu Keagamaan, Cet.I (Bandung: Mizan, 2005), 219.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA DEWASA

AMALIYAH NAHDLIYAH (Nahdlotul Ulama')

HUBUNGAN ILMU KALAM DENGAN FILSAFAT DAN TASAWUF