Iddah wafat perspektif Al- Qurthuby
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Dewasa ini seiring dengan perkembangan zaman, muncul persoalan-persoalan baru yang menuntut untuk segera dicarikan jalan keluar, misalnya dalam bidang fiqih, ketika Rasulullah SAW. masih hidup persoalan yang timbul dalam bidang fiqih dapat langsung ditanyakan kepadanya sehingga persoalan tersebut dapat terselesaikan, dan jika tidak terselesaikan maka Rasulullah SAW meminta petunjuk Allah sehingga diturunkan wahyu. Jadi sumber fiqih pada saat itu ada dua yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Persoalan yang muncul dalam bidang fiqh di antaranya adalah masalah-masalah perkawinan, karena perkawinan adalah suatu aqad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang yang diridloi oleh Allah. Dalam Al-Qur’an juga dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-berjodoh adalah naluri semua makhluk Allah, termasuk manusia. Allah SWT berfirman dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
Sedangkan dari tujuan mulia hidup berumah tangga dalam rangka melestarikan dan menjaga kesinambungan hidup ternyata bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya perkawinan yang tidak dapat diwujudkan dengan baik. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain adalah faktor psikologis, biologis, ekonomis, ideologis, perbedaan kecenderungan, dan perbedaan organisasi. Bahkan perbedaan budaya serta tingkat pendidikan antara suami istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan. Sedangkan hal-hal yang dapat memutuskan pernikahan antara seorang suami dengan seorang istri ada tiga sebab, yaitu karena kematian, perceraian dan atas dasar keputusan pengadilan.
Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya baik karena talak, fasakh, khulu’, li’an maupun ditinggal mati suaminya maka wajib bagi wanita tersebut menjalankan ‘iddah. ‘Iddah adalah satu masa yang mengharuskan perempuan-perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik cerai mati ataupun cerai hidup, untuk menunggu sehingga dapat diyakinkan bahwa rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan. Bila rahim perempuan itu telah berisi sel yang akan menjadi anak, dalam waktu ber‘iddah itu akan kelihatan tandanya. Andaikata ia menikah dalam masa ber‘iddah itu, tentu akan bercampur di dalam rahimnya dua macam sel(mani). Apabila anaknya lahir, dinamakanlah anak itu sebagai anak syubhat, artinya anak yang tidak tentu bapaknya, dan pernikahannya pun tidak sah. Dari dasar dalil mewajibkan menjalani masa ‘iddah dapat dilihat dari beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah SWT, yaitu:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ وَلاَيَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَاخَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan lebih dari pada istrinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana (Q.S. al-Baqarah ayat 228).
Allah SWT telah mensyari’atkan ‘iddah, karena dalam ‘iddah itu terkandung beberapa hikmah yang tidak ternilai harganya dan merupakan salah satu sumber keteraturan hidup, yang antara lain adalah penegasan apakah di dalam rahim wanita itu telah terkandung benih janin atau tidak, sehingga nasabnya nanti jelas. Begitu pula memberikan kesempatan pada suami untuk rujuk kepada istrinya dan sadar dari keterlanjurannya yang membabi buta setelah di fikirnya dan dipertimbangkan dalam-dalam. ‘Iddah akan menampakkan betapa belas kasih Tuhan kepada manusia, karena dalam penungguan itu manusia tahu betapa nikmatnya bersuami atau beristri, dan betapa malangnya perceraian sehingga dibenci Tuhan. Selain itu juga terkandung hikmah disyari’atkannya ‘iddah adalah menjunjung tinggi masalah perkawinan, yaitu dapat menghimpunkan orang-orang yang ‘arif untuk mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberikan kesempatan demikian, ia tak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar disusun, sebentar lagi dirusaknya. Karena kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.
Sedangkan ‘iddah ditinjau dari segi penghitungan dan bilangannya, ada tiga macam: yaitu, ‘iddah dengan aqra’ (masa haid atau masa sucian), ‘iddah dengan bulan, dan ‘iddah dengan melahirkan kandungan. Sementara jika dilihat dari segi kondisi wanita yang menjalani masa ‘iddah, ‘iddah ada beberapa macam yang kami sebutkan sebagai berikut:
1. ‘Iddah perempuan yang masih berdarah haid, yaitu tiga kali haid.
2. ‘Iddah perempuan yang telah berhenti (putus) haid atau perempuan yang belum pernah haid karena masih anak-anak, yaitu tiga bulan.
3. ‘Iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya, lamanya empat bulan sepuluh hari apabila dia tidak hamil
4. ‘Iddah perempuan yang sedang hamil, yaitu sampai perempuan itu melahirkan anaknya.
Perempuan bersuami ada yang sudah dicampuri oleh suaminya dan ada yang belum. Perempuan yang belum pernah dicampuri tidak perlu ber‘Iddah, berdasarkan firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا
Wahai orang-orang yang beriman. Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. ( QS. Al-Ahzab, 49).
Sedang apabila ia ditinggal mati suaminya sebelum kedua suami istri sempat berhubungan kelamin, maka istri wajib ber‘iddah seperti perempuan yang sudah pernah bercampur dengan suaminya, beralsan dengan firaman Allah SWT:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (Al-Baqarah:234).
Perempuan yang sudah pernah dicampuri suami ada tiga kemungkinan:
1. Masih berdarah haid
2. Sudah putus haid
3. Sedang hamil.
Dari macam-macam ‘Iddah tersebut diatas, semuanya menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama’, salah satunya mengenai masa ‘Iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Karena hal ini juga berhubungan dengan tiga hal yang harus diperhatikan: yaitu, pertama: menikah. Kedua: memakai minyak wangi dan berhias (berdandan). Ketiga: beraktifitas di luar rumah. Adapun berkenaan dengan menikah, maka jika ada seorang wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, kemudian dia melahirkan anaknya setelah kematian suaminya tersebut dalam beberapa detik saja sesudah itu, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Pertama: sesungguhnya dia telah halal untuk dinikahi. Kedua: sessungguhnya dia belum halal, kecuali setelah berlalu beberapa bulan (empat bulan sepuluh hari). Ketiga: sesungguhnya tidak halal, kecuali dia telah suci dari nifas, ini pendapat al-Hasan, Hammad bin Sulaiman dan al-Auza’i.
Disamping itu penetapan masa ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya bertujuan untuk memberi kesempatan berihdad (masa berkabung) karena suami telah meninggalkannya untuk selama-lamanya, lagi pula tidak pantas bagi seorang istri yang baru ditinggal mati oleh suaminya untuk menikah dengan pria lain. Selain itu permasalahan di sini juga masih menjadi perdebatan tentang masa ‘iddahnya, karena di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan tentang ‘iddah bagi seorang wanita hamil adalah sampai dia melahirkan,yang terdapat pada surat ath-Thalaaq ayat empat. Sedangkan di ayat yang lain juga terdapat ayat tentang ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang menyatakan ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, hal ini tercantum pada surat al-Baqarah ayat 234.
Al-Qurt}uby dalam hal ini cenderung mengikuti pendapat Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah selain menunggu sampai melahirkan kandungannya berdasarkan surat at- Talak ayat 4, juga menunggu selama empat bulan sepuluh hari berdasarkan surat al- Baqarah ayat 234. Selanjutnya Ali bin Abi Thalib berpendapat jika seorang istri hamil yang ditinggal mati oleh suaminya dan melahirkan kandungannya sebelum jatuh tempo yaitu empat bulan sepuluh hari, maka diharuskan baginya untuk menangguhkan bagi dirinya untuk menikah dengan pria lain sampai habis masa ‘iddahnya. Tetapi jika telah melewatinya sebelum melahirkan kandungannya maka diwajibkan baginya untuk menangguhkan diri sampai saat kelahiran. Adapun alasan Ali berpendapat demikian berdasarkan metode penafsiran mengkompromikan atau “al-jam’u” antara keumuman ayat yang menjelaskan ‘iddah hamil dan ‘iddah wafat. Disini Ali Ibn Abi Thalib lebih memilih bahwa ‘iddahnya waktu yang terakhir (waktu yang terlama), bisa saja dengan melahirkan kandungannya, dan bisa saja dengan berakhirnya masa iddah mati yang disandangnya.
Menurut Ali bin Abi Thalib R.A. ada dua masa ‘iddah orang yang hamil yakni jika hamil tua dan melahirkan anak sebelum habis masa 4 bulan 10 hari, maka ‘iddahnya 4 bulan 10 hari. Tapi jika hamil muda dan masa 4 bulan 10 hari telah lewat dan dia belum melahirkan maka masa ‘iddahnya sampai dia melahirkan. Dengan kata lain beliau mengamalkan kedua ayat tadi dan beliau berpendapat bahwa dalam hal ini kompromi (al-jami’) itu lebih tepat dari pada memilih salah satu. Dalam hal ini al-Qurt}uby mengatakan bahwa ini adalah suatu pandangan yang jitu seandainya tidak ada hadis Sabiah al- Aslamiah ( karena itulah yang lebih sesuai) sebagai berikut:
عن أم سلمة أن سبيعة الاسلمية ولدت بعد وفاة زوجها بنصف شهر وفيه فجاءت رسول الله (ص) فقال لها: " قَدْ حَلَلْتِ فَانْكِحِيْ مَنْ شِئْتِ "
Dari Umi Salamah bahwasanya Syubai’ah al- Aslamiyyah melahirkan anak beberapa saat setelah kematian suaminya (kira-kira selang) setengah bulan, lalu dia melaporkan hal tersebut pada Rosululloh SAW, Maka Rosul bersabda: “Engkau telah halal (lepas dari kewajiban ‘iddah), menikahlah dengan orang yang engkau kehendaki (sukai).
Hal ini berbeda lagi dengan pendapat Abdullah bin Mas’ud yang berpendapat bahwa masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah sampai ia melahirkan kandungannya walaupun kelahiran itu terjadi sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari. Abdullah bin Mas’ud mendasarkan pendapatnya kepada firman Allah dalam surat at Talak ayat 4 di atas.
Apabila dicermati secara mendalam, uraian yang tertulis di atas merupakan nukilan pemikiran dari al-Qurt}uby, yang mana terdapat pada awal pemikiran yang lebih condong kepada fatwa Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa masa ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari dengan rincian; iddah orang yang hamil yakni jika hamil tua dan melahirkan anak sebelum habis masa 4 bulan 10 hari, maka ‘iddahnya 4 bulan 10 hari. Tapi jika hamil muda dan masa 4 bulan 10 hari telah lewat dan dia belum melahirkan maka masa ‘iddahnya sampai dia melahirkan. Namun dengan adanya hadist dari Umi Salamah tentang kisah Subaiah al- Aslamiyah, al-Qurt}uby berpendapat lain yakni, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dari situlah penulis termotivasi untuk mengkaji pendapat al-Qurt}uby yang berubah atau terkesan tidak konsisten dengan pendapatnya sendiri dengan adanya hadist tersebut, padahal itu tertuang dalam karya besarnya yakni tafsir Al- ja>mi’ li ah}ka>mil Qur’a>n. Melihat permasalahan ini al-Qurt}uby yang terkesan masih menjadi permasalahan dalam hal ketentuan masa ‘iddahnya seorang wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul “Masa ‘Iddah Wanita Hamil Yang Ditinggal Mati Suaminya Perspektif al-Qurt}uby Dalam Kitab Tafsimi’ li Ah}ka>mil Qur’a>n”
B. Rumusan Masalah
Secara global penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisa pendapat al-Qurt}uby tentang ‘Iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya, yang terdapat pada karyanya yang terkenal yakni Tafsimi’ li Ah}ka>mil Qur’a>n. Adapun untuk membatasi pembahasan agar tidak jauh keluar dari alur, maka penulis buat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana metode istinbat} hukum al-Qurt}uby dalam hal ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya?
2. Bagaimana relevansi pemikiran al-Qurt}uby dengan hukum di Indonesia berkaitan dengan ‘iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya?
C. Tujuan Penelitian
Merujuk pada judul skripsi dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan studi skripsi ini sebagai berikut:
1. Memberikan analisis hukum ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati berdasarkan pendapat al-Qurt}uby.
2. Meneliti metode penafsiran al-Qurt}uby dalam kitabnya Tafsimi’ li Ah}ka>mil Qur’a>n dalam menafsirkan tentang hukum ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya.
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan kajian dalam pembahasan skripsi ini adalah:
1. Secara teoritis diharapkan dapat menambah dan memperdalam hasanah ilmu pengetahuan khususnya tentang hukum ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya beserta hukum-hukum yang terkait.
2. Secara praktis diharapkan sebagai sumbangan pemikiran kepada yang berminat mengetahui hukum tentang ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya.
E. Telaah Pustaka
Sekalipun kajian terhadap kewajiban pelaksanaan ‘iddah telah banyak mengundang perhatian para ahli hukum dan menjadi pembahasan dalam beberapa karya ilmiah termasuk hukum Islam di Indonesia, baik melalui berbagai tulisan lepas dan laporan hasil penelitian. Namun kajian terhadap pemikiran al-Qurt}uby tentang ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati dalam kitab Tafsimi’ li Ah}ka>mil Qur’a>n, sepanjang pengetahuan penulis belum pernah ada.
Ada beberapa karya tulis yang terkait mengenai ‘iddah wanita zina ini diantaranya terdapat dalam skripsi S-1 Fakultas Syari'ah STAIN Ponorogo karya Sri Rahmawati yang berjudul ‘Iddah perempuan hamil diluar nikah menurut imam Al-Shafi’i dan imam Ahmad ibn Hanbal. Karya ini membahas tentang pemikiran Al-Shafi’i dan imam Ahmad ibn Hanbal yang berkaitan dengan lama masa ‘Iddah perempuan hamil diluar nikah dan mengkomparasikan kedua pendapat imam tersebut Serta karya tulis milik Moh. Ihsan mahasiswa STAIN Ponorogo jurusan syari’ah yang berjudul tinjauan hukum Islam terhadap penundaan haid pada masa Iddah . karya ini membahas tentang akibat hukum dari penundaan haid pada masa ‘Iddah tinjauan hukum Islam.
Dan juga terdapat karya tulis yang sama akan tetapi berbeda tokohnya, yaitu, karya mahasiswi IAIN Sunan Kalijaga tahun 2004, Mafazatun Nafisah. Yang berjudul Iddah Bagi Wanita Yang Di Tinggal Mati Suami : Studi Pemikiran Sayyid Qutb Dalam Tafsir Fi Zilal Al- Qur’an . Di dalam karya ini, dia menjelaskan bahwa Sayyid Qutb memberikan penafsiran alternatifnya yaitu adanya hak bagi istri untuk tetap tinggal di rumah suaminya dan hidup dari harta yang ditinggalkan suaminya selama setahun penuh tanpa harus pindah dari rumah suaminya atau menikah lagi. Kemudian karya Ridwan Kusuma yang berjudul Masa 'iddah Istri Yang Suaminya Mafqud Menurut Imam Asy Syafi'I (dalam Kitab Al Umm, yang membahas tentang masa 'iddah bagi seorang istri yang mana suaminya tidak diketahui keberadaannya.
Dan juga skripsi yang berjudul masa 'iddah Oleh Ridwan Kusuma, Diterbitkan di Yogyakarta oleh Fak. Syari'ah dan Hukum UIN SUKA pada tahun 2011
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan sifat penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah literer atau penelitian perpustakaan (library research), artinya sebuah studi dengan mengkaji buku-buku dan kitab-kitab yang ada kaitannya dengan skripsi ini yang diambil dari perpustakaan. Semua sumber berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan literature-literatur lainnya.
b. Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis, penulis dalam hal ini berusaha mendeskripsikan pendapat al-Qurt}uby tentang ‘Iddah bagi wanita yang ditinggal mati dalam kitab Tafsimi’ li Ah}ka>mil Qur’a>n. Dengan proses analisa sebagai berikut: memaparkan data-data, kemudian menganalisanya serta memberikan komentar/ penilaian terhadap hal tersebut dan mengambil kesimpulan dari data dan analisa yang telah dipaparkan.
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tiga sumber data, yaitu sumber data primer, sekunder, dan tersier. Sumber data primer adalah buku yang dijadikan rujukan utama dalam penelitian ini, yaitu kitab Tafsimi’ li Ah}ka>mil Qur’a>n karya imam al-Qurt}uby dan Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah buku-buku yang penulis rujuk untuk melengkapi data-data yang tersedia dalam sumber data primer seperti; Fiqh al- Islâm wa adillatuh karya Wahbah al-Zuhaylî. Tafsimi’ li Ah}ka>mil Qur’a>n, dan metode istinbat} hukum al-Qurt}uby tentang masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya.
Bab keempat, merupakan analisa terhadap pendapat istinbat argumentasi al-Qurt}uby tentang ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya dan analisa relevansi pemikirannya mengenai ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya dengan hukum Islam di Indonesia terutama di era globalisasi modern ini.
Bab kelima, sebagai penutup yang memuat kesimpulan, kritik, dan saran bagi perkembangan hukum islam selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar